Di dalam ruang kerja bergaya kolonial yang penuh ukiran kayu jati dan aroma tembakau tua, Darmadi Wijaya duduk menghadap jendela besar yang membingkai taman kecil. Kedua tangannya mengepal di atas meja, dengan urat-urat yang menegang. Napasnya pendek-pendek, seolah menahan sesuatu yang lebih dari sekadar amarah.
Suara laporan terakhir masih bergema di kepalanya.
“Putra Anda, Pak. Tewas di tempat. Satu peluru bersarang di leher, dua di dada.”
“Sidik jari ditemukan di senjata—kami sedang menelusuri pemiliknya.”
Elang.
Nama itu berputar di benaknya, bukan lagi sebagai pesaing—tapi sebagai kutukan. Dulu, Elang hanyalah bayangan muda dalam rapat-rapat kartel. Anak muda berani dengan mata yang terlalu tajam untuk usianya. Sekarang, bayangan itu telah tumbuh menjadi monster besar, tak terkontrol. Yang kini telah merenggut sesuatu yang tak bisa diganti.
Langkah kaki mendekat dari belakang. Kinanti, istrinya, masuk. Mata perempuan itu sembap, wajahnya pucat, tapi nadanya tajam.
“Ada perkembangan?” tanyanya lirih.
Darmadi tak menjawab. Ia hanya menyalakan cerutunya—dengan tenang.
“Jangan bilang kau akan diam saja?” suara Kinanti mulai meninggi. “Itu anak kita, Darmadi! Arman mati!”
Darmadi berdiri perlahan. Menatap istrinya dengan mata yang kini tak menyimpan kesedihan, melainkan hanya dendam beku.
“Aku akan membalas kematian itu,” ucapnya datar.
Kinanti menggigit bibir. “Kapan? Sudah hampir seminggu, tapi kau tak bergerak. Apa sesulit itu untuk menghancurkan Elang?”
Darmadi mendekat satu langkah.
“Jaga suaramu, Kinanti.” Sorot mata Darmadi terlihat dingin.
“Aku kehilangan pewaris. Calon pemimpin yang aku didik dengan tanganku sendiri. Kau pikir aku tidak hancur?”
Darmadi menatap Kinanti lekat. Meyakinkan perempuan itu.
“Aku pastikan Elang akan membayar mahal kerugianku.”
Kinanti hanya diam. Ia tahu, saat Darmadi bicara seperti itu, artinya sesuatu sedang bergerak. Kinanti lalu memutuskan untuk keluar dari ruangan ini.
Darmadi kembali menghisap cerutunya dalam-dalam. Mata Darmadi menatap ke jendela. Namun pikirannya sudah jauh—menuju perang yang tak terelakkan.
“Bangkitlah, Ular Tua,” gumamnya, “karena tikus-tikus muda mulai lupa siapa raja di tanah ini.”
*
Elang duduk diam di kursi belakang mobil hitam yang melaju perlahan di tengah senja Jayapuri. Tatapannya kosong menembus jendela, tapi pikirannya tak berhenti bergolak. Gani, salah satu orang setianya, duduk di kemudi. Ia sesekali melirik dari spion tengah, menyadari betapa muram aura di bangku belakang.
Sejak kematian Arman, dunia terasa terlalu tenang. Sunyi dan mencurigakan. Tidak ada pergerakan dari Darmadi. Walaupun Elang bukan pembunuhnya, tapi ketenangan sikap Darmadi justru mengusiknya. Elang khawatir Darmadi sedang menyusun rencana diam-diam.
“Darmadi,” gumam Elang lirih. “Kenapa dia tenang-tenang saja?”
Harusnya sejak tragedi itu, pria seperti Darmadi tidak tinggal diam. Karena diamnya pria tua itu bisa menjadi ancaman.
Tiba-tiba Elang berkata, nadanya berat dan datar, “Kalau kau jadi ayah dan anakmu dibunuh—apa yang akan kau lakukan?”
Gani mengernyit. Suara Elang yang mendadak memecah keheningan membuatnya gugup.
“Aku?” Gani menjawab setelah hening sejenak. “Aku akan mencari pembunuhnya, dan kubunuh dia dengan tanganku sendiri. Kau tahu, kita tak bisa terlalu berharap pada hukum di negeri ini.”
Elang mengangguk pelan. “Harusnya memang seperti itu. Apalagi kalau kau adalah seorang Darmadi Wijaya.”
Gani menegang. Nama ular tua itu akhirnya disebut. Ia melirik spion tengah lagi, ingin memastikan apakah Elang serius.
“Kau mau konfrontasi?” tanya Gani hati-hati.
Elang menggeleng pelan. “Tidak perlu. Aku bukan pembunuh anaknya.”
Ia membuka jendela, membiarkan angin sore menyapu wajahnya. Matanya menatap kosong ke jalanan yang ramai oleh lalu-lalang pejalan kaki dan kendaraan. Tapi di balik ketenangannya, pikirannya terus berjalan, menebak-nebak langkah berikutnya dari rival lamanya itu.
Lalu matanya menangkap sesuatu.
Seseorang berjalan di tepi trotoar. Dari posturnya terlihat kalau dia perempuan. Ia memakai celana jeans panjang, jaket hoodie, dan topi. Separuh wajahnya tertutup masker. Hanya sekelebat, Elang meliriknya, lalu mengalihkan pandangan kembali ke depan.
Tapi dadanya bergemuruh. Ada yang tak beres.
Ia menoleh lagi. Dan pada detik itu, mata mereka bertemu.
Hanya sepersekian detik. Tapi cukup.
Elang membeku.
Mata itu. Tatapan itu. Ia mengenalnya. Terlalu dalam untuk dilupakan.
“Salira...” desis Elang.
“Hentikan mobilnya!” teriak Elang tiba-tiba.
Gani terkejut, refleks menginjak rem meski belum sepenuhnya mengerti situasi.
“Ada apa?!”
“Berhenti sekarang!”
Belum sempat mobil benar-benar berhenti sempurna, Elang sudah membuka pintu dan melompat keluar. Iring-iringan kendaraan pengawal di depan dan belakang ikut berhenti mendadak. Para anak buah Elang langsung siaga, bingung melihat pemimpinnya berlari ke arah belakang.
Gani buru-buru menyusul. Pram, yang keluar dari mobil depan, langsung menghampiri Gani dengan ekspresi tegang.
“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Pram cepat.
“Elang tiba-tiba minta berhenti. Sepertinya dia melihat seseorang,” jawab Gani terburu-buru.
Mereka langsung siaga. Beberapa mulai meraba senjata, bersiap pada kemungkinan terburuk.
Di sisi lain, Elang berdiri di pinggir jalan, matanya liar menelusuri kerumunan. Nafasnya berat, jantungnya berdegup cepat. Ia tahu siapa yang ia lihat barusan. Tidak mungkin salah.
“Salira!!” teriaknya mendadak.
Semua anak buahnya terkejut.
“Cari dia! Dia ada di sekitar sini! Perempuan ber-hoodie, topi, pakai masker! Cepat!”
Anak buah Elang langsung berpencar, menyisir sepanjang jalan.
Elang menoleh ke arah sebuah terowongan tua—penghubung antara pinggiran Jayapuri dan wilayah Jatisari. Gelap dan terlupakan. Tapi Elang tahu, jika seseorang ingin menghilang, tempat seperti itu adalah persembunyian yang sempurna.
Ia berdiri terpaku, matanya menajam.
“Aku tahu itu kau, Salira,” gumamnya.
Mata itu tak pernah ia lupakan.
Mata yang pernah membuatnya percaya, membuainya, hingga akhirnya menipunya.
*
Langkah Salira bergema pelan di dalam lorong tua yang lembap dan berlumut. Napasnya terengah, dadanya sesak oleh kecemasan. Cahaya redup dari mulut terowongan tak bisa menembus kegelapan tempat ia kini menyandar—di balik tiang beton besar, separuh tubuhnya menyatu dengan bayangan.
Suara langkah kaki dan mobil-mobil di kejauhan masih terdengar samar. Tapi bukan itu yang membuatnya gemetar. Melainkan suara... Elang.
“SALIRA!!”Pekikan itu menghantam jantungnya. Ia tahu suara itu. Terlalu sulit untuk dilupakan. Suara yang pernah memanggil namanya dengan lembut, kini terdengar seperti vonis.
Dia tahu Elang melihatnya. Tatapan mereka tadi bukan kebetulan. Ia tak cukup cepat menunduk, tak cukup hati-hati untuk menghindari sorot mata lelaki itu.
“Bodoh...” bisiknya lirih, menggigit bibir bawahnya yang gemetar.
Salira merapatkan jaketnya, mencoba menenangkan diri. Jantungnya berdentum begitu keras, sampai-sampai ia yakin Elang bisa mendengarnya dari luar sana.
Langkah kaki mendekat.
Satu...
Dua...
Tiga...
Langkah tegap dan pasti. Langkah kaki Elang.
Salira menahan napas. Ia meraba dinding terowongan, mencari jalan mundur, mencari rute kabur, namun ia tahu tempat itu adalah jebakan sempurna. Jika Elang masuk hanya beberapa meter lagi, ia akan menemukannya.
Tapi langkah itu berhenti. Sangat dekat dengan keberadaan Salira. Bahkan dari tempatnya berdiri, Salira bisa mencium aroma parfum Elang yang khas.
Salira memejamkan mata. Dalam sekejap, pikirannya dilempar kembali ke peristiwa seminggu lalu—ke dalam pelukan Elang, ke tawa mereka di malam panas. Saat tubuh mereka menyatu, aroma tubuh Elang menyeruak—hangat, temaram, dan sedikit membius.
Dan kini, pria itu mencarinya.
Seketika, suara lain menginterupsi keheningan.
“Elang! Ada ledakan kecil di gudang sisi utara Rawapati! Mereka lihat dua orang mencurigakan kabur ke arah pasar lama!”
Salira membuka matanya.
Itu dia. Sebuah gangguan yang Salira harapkan. Sebuah keberuntungan.
Langkah Elang berbalik.
Salira mendengar Elang memerintahkan, suaranya penuh ketegangan.
“Arahkan dua tim ke sana! Tapi satu tim tetap di sini! Jangan biarkan terowongan ini kosong!”
Suara langkah menjauh. Tapi tidak semua.
Salira tahu dia belum sepenuhnya aman. Tapi ia punya waktu untuk kabur. Untuk menghilang dari Elang. []
Hening. Tak ada lagi langkah kaki. Tak ada suara.Salira menahan napas, lalu perlahan melangkah keluar dari persembunyiannya. Bayangan dinding masih menyelimuti separuh tubuhnya, tapi ia tahu waktunya untuk bergerak.Matanya menyapu sekeliling. Sepi. Aman—setidaknya itu yang ia kira.Satu langkah. Dua langkah.Lalu suara itu datang, menghantamnya dari arah belakang. Suara yang dulu pernah ia dengar sekilas, saat ia meninggalkan mansion Elang.“Kau mau ke mana, Salira?”Pram. Salah satu anak buah Elang yang paling loyal.Salira membeku, enggan menoleh. Insting bertahan hidupnya lebih kuat. Ia langsung berlari. Sekencang yang ia bisa.Suara langkah kaki menyusul cepat di belakangnya. Lalu teriakan menggelegar.“Jangan kabur, pencuri!”Kengerian merambat di tulang punggungnya. Salira menoleh sesaat—bukan hanya Pram. Tiga, mungkin empat orang ikut mengejar.Tak peduli napasnya memburu atau dadanya nyeri sekalipun, ia harus terus berlari. Tapi ketika berbelok di tikungan gelap menuju mulut
Di dalam ruang kerja bergaya kolonial yang penuh ukiran kayu jati dan aroma tembakau tua, Darmadi Wijaya duduk menghadap jendela besar yang membingkai taman kecil. Kedua tangannya mengepal di atas meja, dengan urat-urat yang menegang. Napasnya pendek-pendek, seolah menahan sesuatu yang lebih dari sekadar amarah.Suara laporan terakhir masih bergema di kepalanya.“Putra Anda, Pak. Tewas di tempat. Satu peluru bersarang di leher, dua di dada.”“Sidik jari ditemukan di senjata—kami sedang menelusuri pemiliknya.”Elang.Nama itu berputar di benaknya, bukan lagi sebagai pesaing—tapi sebagai kutukan. Dulu, Elang hanyalah bayangan muda dalam rapat-rapat kartel. Anak muda berani dengan mata yang terlalu tajam untuk usianya. Sekarang, bayangan itu telah tumbuh menjadi monster besar, tak terkontrol. Yang kini telah merenggut sesuatu yang tak bisa diganti.Langkah kaki mendekat dari belakang. Kinanti, istrinya, masuk. Mata perempuan itu sembap, wajahnya pucat, tapi nadanya tajam.“Ada perkembang
Malam penembakan Arman...Warung tua itu nyaris tak terlihat dari jalan utama seolah ditelan malam. Cat dindingnya mengelupas, lampunya redup. Tapi Salira tahu, tempat ini bukan sembarang tempat. Ini tempat pertemuan diam-diam, bagi orang-orang seperti Arman Wijaya.Orang yang merasa kebal hukum. Orang yang pernah menghancurkan hidupnya.Sudah berjam-jam Salira menunggu di dalam warung tua itu. Menunggu umpan berdarahnya. Hingga tak lama, sebuah mobil hitam datang, dan berhenti tepat di belakang warung.Salira mengintai. Umpannya datang sendirian.Ponselnya bergetar. Ia melihat pesan masuk dari Arman.Aku sudah di lokasi. Salira lalu keluar dari tempat persembunyiannya. Langkahnya ringan, hampir tak terdengar di aspal lembab. Topi masih menutupi wajah, masker belum ia lepas. Ransel di punggung, berat dan dingin. Kedua tangannya mengenakan sarung tangan.Pintu mobil dibuka. Seorang pria berbadan besar dengan jam tangan mencolok dan jas tipis abu-abu keluar dari sana.Arman Wijaya.Ia
Pintu kamar terbuka dengan hentakan. Elang melangkah masuk, hampir setengah berlari. Tak ada waktu untuk berpikir. Hanya satu hal memenuhi kepalanya—pistol itu.Langkahnya berat tapi cepat, sepatu mahalnya menghentak lantai marmer. Memantulkan gema di dinding kamar luas dan dingin. Elang menuju meja kerja di sudut ruangan. Napasnya mulai tak teratur. Tangannya gemetar sedikit saat meraih laci bagian bawah. Laci yang hanya dia seorang yang tahu kodenya.Tiga digit kombinasi. Klik. Lalu Elang menariknya.Kosong.Beberapa lembar dokumen masih rapi. Sebotol pelumas senjata masih ada. Tapi Glock-19 hitam miliknya—yang didesain khusus dengan inisial ‘E’ terpatri di gagangnya—menghilang.Elang membatu sejenak. Lalu...BRAK!Tangannya menghantam tepi meja. Laci dibanting kembali masuk dengan dentuman logam menghantam kayu. Napasnya semakin memburu. Rahangnya mengatup kuat. Sumpah serapah meledak dari bibirnya.“Brengsek!!”Tiba-tiba, suara dalam kepalanya menggema. Ucapan Rahardian saat menel
Elang terbangun lebih pagi dari biasanya.Biasanya, tidur adalah tempat ia lari dari kenyataan. Tapi pagi ini, justru kenyataan yang mengusiknya keluar dari gelap.Malam itu masih terekam jelas—panas, liar, dan... anehnya, penuh sesuatu yang tak bisa ia beri nama. Salira bukan seperti perempuan lain yang pernah menghangatkan ranjangnya. Ia bukan wanita hotel. Ia bukan pelarian sesaat.Ia berbeda.Dan entah bodoh atau jenuh, Elang membawanya pulang.Ke ranjangnya.Ke mansion-nya.Ke ruang yang tidak pernah disentuh siapa pun, bahkan anak buahnya sendiri.Elang mengerjapkan mata, duduk di tepi ranjang dengan napas berat. menyalakan rokok, dan menatap ruangan dalam diam. Ia bukan pria yang peduli soal perempuan pergi begitu saja. Tapi kali ini ada sesuatu yang mengganggu.Apa yang terjadi padaku?Pertanyaan itu mengganggu, tapi harus dikubur. Tak ada ruang untuk perasaan dalam bisnis ini. Apalagi hari ini, pekerjaan besar menantinya.Ponselnya berbunyi. Gani mengirim pesan singkat.Perte
Salira dengan cekatan membereskan barang-barangnya. Tangannya menggenggam erat tas makeup—tempat ia menyembunyikan pistol milik Elang, yang diam-diam berhasil ia curi. Setelah memastikan penampilannya rapi, ia melangkah keluar dari kamar megah itu tanpa menoleh ke belakang.Di depan mansion, Pram—anak buah Elang—sudah menunggunya. Ia membukakan pintu mobil dengan sopan. Salira masuk tanpa sepatah kata pun, lalu menatap pantulan bayangan rumah itu di kaca jendela. Mansion megah, dingin, dan gelap. Penuh rahasia yang tak tertebak.Mobil melaju perlahan disupiri oleh Gani—anak buah Elang yang lain. Pagi masih diselimuti kabut. Salira duduk diam, kedua tangannya bertumpu di atas tas makeup yang menyimpan pistol milik seorang raja kriminal.Tatapannya menusuk jauh ke depan. Dendam yang ia simpan nyaris mendidih di balik ketenangannya. Satu langkah telah ia taklukkan. Tapi ini baru permulaan.Setelah diturunkan di Simpang Lima oleh Gani, Salira berdiri sejenak di tepi trotoar. Matanya koson