Hening. Tak ada lagi langkah kaki. Tak ada suara.
Salira menahan napas, lalu perlahan melangkah keluar dari persembunyiannya. Bayangan dinding masih menyelimuti separuh tubuhnya, tapi ia tahu waktunya untuk bergerak.
Matanya menyapu sekeliling. Sepi. Aman—setidaknya itu yang ia kira.
Satu langkah. Dua langkah.
Lalu suara itu datang, menghantamnya dari arah belakang. Suara yang dulu pernah ia dengar sekilas, saat ia meninggalkan mansion Elang.
“Kau mau ke mana, Salira?”
Pram. Salah satu anak buah Elang yang paling loyal.
Salira membeku, enggan menoleh. Insting bertahan hidupnya lebih kuat. Ia langsung berlari. Sekencang yang ia bisa.
Suara langkah kaki menyusul cepat di belakangnya. Lalu teriakan menggelegar.
“Jangan kabur, pencuri!”
Kengerian merambat di tulang punggungnya. Salira menoleh sesaat—bukan hanya Pram. Tiga, mungkin empat orang ikut mengejar.
Tak peduli napasnya memburu atau dadanya nyeri sekalipun, ia harus terus berlari. Tapi ketika berbelok di tikungan gelap menuju mulut terowongan, kakinya terpeleset di bebatuan basah.
BRAK!
Tubuhnya menghantam tanah keras. Lututnya robek, darah hangat mengalir. Tapi tak ada waktu untuk mengaduh.
Dengan gemetar, Salira menarik tubuhnya berdiri. Ia meraba dinding terowongan, mengabaikan rasa sakit, dan kembali berlari.
Di depan, semak-semak liar membentuk jalan kecil. Salira menerobos—duri menyayat punggung tangannya, ranting mencakar wajahnya. Lalu di ujung jalan itu terlihat sebuah tebing. Di bawahnya mengalir sungai deras dan dingin.
Ia berhenti sejenak, jantungnya memukul-mukul rongga dada. Langkah kaki makin dekat di belakangnya.
“SALIRA!!”
Kali ini ia menoleh. Matanya bertemu tatapan Pram—garang, marah, tak berniat menyerah.
Tak ada waktu.
“Lari... atau mati,” gumamnya.
Salira menarik napas dalam-dalam, lalu tanpa ragu ia melompat.
BYUR!
Tubuhnya menghantam air. Dingin menggigit kulitnya, arus langsung menyeretnya menjauh.
Di atas tebing, Pram membelalak. Ia menjejak maju, lalu berteriak pada yang lain.
“Sebar orang kita sampai ke hilir!”
Lalu, tanpa pikir panjang, ia ikut melompat ke sungai.
Air memercik tinggi. Salira mendongak sesaat dari dalam arus deras—dan melihat Pram menghilang ke dalam air, mengejarnya tanpa ragu.
Seketika, rasa takut Salira berubah jadi getir.
Bahkan mereka rela mati demi membawa aku kembali pada Elang?
*
Bau mesiu masih menyesakkan udara ketika Elang melangkah melewati serpihan beton dan puing-puing hangus di sisi utara Gudang Rawapuri. Asap tipis masih membubung dari dinding logistik yang menghitam. Cahaya sore menabrak kaca yang pecah, menciptakan pantulan seperti mata-mata yang mengintip dari kegelapan.
Di tanah, bercak-bercak jelaga mencoret lantai semen. Bau terbakar dan logam memenuhi hidung.
“Dua kontainer senjata cadangan aman,” lapor Gani dari samping, suaranya cepat namun tertahan.
Elang mengangguk pelan. Bahunya sedikit bergeser, seolah mencoba melepaskan beban tak kasatmata yang menempel di tubuhnya. Pandangannya menyapu lokasi—bukan hanya mencari kerusakan, tapi juga kemungkinan pengkhianatan.
“Ada yang terekam di CCTV?”
Gani mengangkat tablet kecil dan menekan layar.
“Dua orang anak baru. Muka tertutup. Mereka lari ke arah pasar lama sesaat sebelum ledakan. Kemungkinan besar mereka pelakunya.”
Elang diam. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi. Tapi di balik tatapan matanya yang dingin, pikirannya berputar cepat.
“Aku mau kepastian.” Nada suaranya datar dan tegas.
Gani menunduk singkat. “Akan kami buru mereka.”
Elang menatap ke langit. Awan berat menggantung, menambah kelam sore itu. Seolah langit ikut menyimpan rahasia.
“Kekacauan ini akan sampai ke telinga media,” kata Gani pelan, setengah bertanya, setengah khawatir.
Elang tak menjawab. Wajahnya tetap tenang. Ia mengeluarkan ponsel, menekan satu nama.
“Kompol Rahardian,” katanya dingin. “Gudang Rawapuri meledak. Tolong urus semuanya. Kit aanggap ada korsleting, kebakaran kabel tua. Jangan ada ruang spekulasi. Ini harus kelihatan... biasa.”
Hening sejenak di seberang.
“Ledakan? Jenisnya?” suara Rahardian terdengar waspada.
“Bom rakitan kecil,” jawab Elang. “Semua terkontrol. Tidak ada korban. Tapi aku tidak suka dipermainkan.”
“Siapa pelakunya?”
Elang menatap ke sudut gudang yang masih mengepulkan asap. Wajahnya datar, tapi rahangnya mengeras.
“Aku sedang menyelidiki,” ucapnya, lalu memutus sambungan telepon tanpa menunggu balasan. Ia menyelipkan ponsel kembali ke saku, lalu berdiri diam. Lama. Angin sore menyapu debu dan abu, menerbangkan sisa-sisa ketenangan yang retak.
Dalam benaknya, satu nama terlintas.
Darmadi. Sumber kegelisahannya belakangan ini. Jelas ini baru awal pergerakan Darmadi. Tapi Elang tahu, tidak ada serangan yang bisa sampai ke jantung operasinya... tanpa celah dari dalam.
Matanya menyipit. “Kita disusupi,” gumamnya pelan. “Dan itu berarti... perang sudah dimulai.”
Matahari perlahan bergerak pergi. Kegelapan menyelimuti sudut kelam Rawapuri. Elang masih berdiri, bergeming, sendirian.
*
Darmadi mengamati layar laptopnya yang memutar video drone yang menunjukkan gudang senjata Rawapuri—milik Elang—dari kejauhan. Api sudah padam. Tapi wajah Elang yang muncul, berdiri di tengah reruntuhan—membuatnya tersenyum miring.
“Bagaimana bocah itu bisa pasang bom sedekat itu ke gudang senjata Elang?”
Seseorang di sampingnya—seorang pria bertubuh kurus, berpakaian gelap—menjawab tanpa mengangkat pandangan.
“Saya yang bantu buka pintu dari dalam.” Suara itu datar. Tanpa emosi. Wajahnya nyaris tak terlihat karena topi yang menutupi sebagian besar cahaya. Di dekat ibu jari tangan kanan pria itu ada tato siluet naga.
Pria itu adalah pengkhianat dari lingkaran dalam Elang. Salah satu tangan kanan yang kini telah berubah tuan. Darmadi membelinya dengan harga tinggi—uang, tempat aman, dan janji masa depan.
Darmadi meneguk teh hangat dari cangkir porselen Cina yang selalu ia pakai saat memulai sesuatu yang besar. Di sekelilingnya, beberapa orang kepercayaan berdiri diam, menanti perintah.
“Katakan pada mereka untuk tidak muncul dulu,” ujar Darmadi pada pria bertopi itu.
“Biarkan Elang sibuk menambal kebocoran. Kita kaburkan semua jejak sampai dia...” kata-kata Darmadi menggantung di udara.Layar kini menampilkan sosok Elang berdiri di tengah reruntuhan, yang tampak seolah sedang menatap langsung ke mata Darmadi dari balik layar.
Tatapan itu bukan sekadar sadar kamera. Itu tantangan.
Darmadi menyipitkan mata. Jarinya mengetuk-ngetuk cangkir teh dengan irama pelan.
Lalu, tiba-tiba—Elang merogoh jas mahalnya dan mengeluarkan sepucuk pistol. Tanpa ragu, ia menodongkan senjata itu ke arah drone.
DOR.
Layar seketika bergetar. Gambar terguncang, lalu terdistorsi menjadi noise abu-abu. Sinyal terputus.
Darmadi tidak terkejut. Justru, senyum miring perlahan kembali muncul di wajahnya.
“Begitu ya...” gumamnya. “Kau tahu sedang diawasi.”
Ia berdiri, perlahan. Menatap layar kosong seolah masih bisa melihat sosok Elang berdiri di sana.
Salah satu orang kepercayaan Darmadi—seorang pria bernama Ragil—mendekat, nadanya waspada.
“Apa rencana selanjutnya, Pak?”
Darmadi tidak langsung menjawab. Ia menatap cangkirnya, memutar sedikit, lalu meletakkannya di atas meja ukir. Sorot matanya dingin. Sudah bukan lagi kesedihan yang tersisa atas kematian Arman. Hanya strategi, dendam, dan obsesi atas kendali.
“Kita tidak perlu terburu-buru.”
“Kita hancurkan semua milik Elang. Pelan-pelan. Bisnisnya. Citra dirinya. Dan, yang paling penting... harga dirinya.”
Ia berdiri. Suaranya bertambah pelan, tapi lebih tajam dari silet.
“Sudah saatnya Jayapuri dipimpin oleh satu kartel. Tanpa pesaing. Tanpa Elang.”
Ia menoleh ke jendela, seperti sedang berbicara pada kota itu sendiri.
“Hanya aku.”
Hening kembali menyelimuti ruangan. Tapi bukan keheningan damai. Ini adalah hening yang datang sebelum badai. Sebelum seluruh Jayapuri tahu bahwa dua raksasa akan saling gigit sampai darah terakhir.
Dan malam itu, tiga arah mata angin menyala serempak.
Satu melompat ke sungai, untuk bertahan hidup.
Satu berdiri di reruntuhan, menatap perang yang tak bisa dihindari.
Satu duduk di ruangan sunyi, menyusun bidak-bidak kematian. []
Hening. Tak ada lagi langkah kaki. Tak ada suara.Salira menahan napas, lalu perlahan melangkah keluar dari persembunyiannya. Bayangan dinding masih menyelimuti separuh tubuhnya, tapi ia tahu waktunya untuk bergerak.Matanya menyapu sekeliling. Sepi. Aman—setidaknya itu yang ia kira.Satu langkah. Dua langkah.Lalu suara itu datang, menghantamnya dari arah belakang. Suara yang dulu pernah ia dengar sekilas, saat ia meninggalkan mansion Elang.“Kau mau ke mana, Salira?”Pram. Salah satu anak buah Elang yang paling loyal.Salira membeku, enggan menoleh. Insting bertahan hidupnya lebih kuat. Ia langsung berlari. Sekencang yang ia bisa.Suara langkah kaki menyusul cepat di belakangnya. Lalu teriakan menggelegar.“Jangan kabur, pencuri!”Kengerian merambat di tulang punggungnya. Salira menoleh sesaat—bukan hanya Pram. Tiga, mungkin empat orang ikut mengejar.Tak peduli napasnya memburu atau dadanya nyeri sekalipun, ia harus terus berlari. Tapi ketika berbelok di tikungan gelap menuju mulut
Di dalam ruang kerja bergaya kolonial yang penuh ukiran kayu jati dan aroma tembakau tua, Darmadi Wijaya duduk menghadap jendela besar yang membingkai taman kecil. Kedua tangannya mengepal di atas meja, dengan urat-urat yang menegang. Napasnya pendek-pendek, seolah menahan sesuatu yang lebih dari sekadar amarah.Suara laporan terakhir masih bergema di kepalanya.“Putra Anda, Pak. Tewas di tempat. Satu peluru bersarang di leher, dua di dada.”“Sidik jari ditemukan di senjata—kami sedang menelusuri pemiliknya.”Elang.Nama itu berputar di benaknya, bukan lagi sebagai pesaing—tapi sebagai kutukan. Dulu, Elang hanyalah bayangan muda dalam rapat-rapat kartel. Anak muda berani dengan mata yang terlalu tajam untuk usianya. Sekarang, bayangan itu telah tumbuh menjadi monster besar, tak terkontrol. Yang kini telah merenggut sesuatu yang tak bisa diganti.Langkah kaki mendekat dari belakang. Kinanti, istrinya, masuk. Mata perempuan itu sembap, wajahnya pucat, tapi nadanya tajam.“Ada perkembang
Malam penembakan Arman...Warung tua itu nyaris tak terlihat dari jalan utama seolah ditelan malam. Cat dindingnya mengelupas, lampunya redup. Tapi Salira tahu, tempat ini bukan sembarang tempat. Ini tempat pertemuan diam-diam, bagi orang-orang seperti Arman Wijaya.Orang yang merasa kebal hukum. Orang yang pernah menghancurkan hidupnya.Sudah berjam-jam Salira menunggu di dalam warung tua itu. Menunggu umpan berdarahnya. Hingga tak lama, sebuah mobil hitam datang, dan berhenti tepat di belakang warung.Salira mengintai. Umpannya datang sendirian.Ponselnya bergetar. Ia melihat pesan masuk dari Arman.Aku sudah di lokasi. Salira lalu keluar dari tempat persembunyiannya. Langkahnya ringan, hampir tak terdengar di aspal lembab. Topi masih menutupi wajah, masker belum ia lepas. Ransel di punggung, berat dan dingin. Kedua tangannya mengenakan sarung tangan.Pintu mobil dibuka. Seorang pria berbadan besar dengan jam tangan mencolok dan jas tipis abu-abu keluar dari sana.Arman Wijaya.Ia
Pintu kamar terbuka dengan hentakan. Elang melangkah masuk, hampir setengah berlari. Tak ada waktu untuk berpikir. Hanya satu hal memenuhi kepalanya—pistol itu.Langkahnya berat tapi cepat, sepatu mahalnya menghentak lantai marmer. Memantulkan gema di dinding kamar luas dan dingin. Elang menuju meja kerja di sudut ruangan. Napasnya mulai tak teratur. Tangannya gemetar sedikit saat meraih laci bagian bawah. Laci yang hanya dia seorang yang tahu kodenya.Tiga digit kombinasi. Klik. Lalu Elang menariknya.Kosong.Beberapa lembar dokumen masih rapi. Sebotol pelumas senjata masih ada. Tapi Glock-19 hitam miliknya—yang didesain khusus dengan inisial ‘E’ terpatri di gagangnya—menghilang.Elang membatu sejenak. Lalu...BRAK!Tangannya menghantam tepi meja. Laci dibanting kembali masuk dengan dentuman logam menghantam kayu. Napasnya semakin memburu. Rahangnya mengatup kuat. Sumpah serapah meledak dari bibirnya.“Brengsek!!”Tiba-tiba, suara dalam kepalanya menggema. Ucapan Rahardian saat menel
Elang terbangun lebih pagi dari biasanya.Biasanya, tidur adalah tempat ia lari dari kenyataan. Tapi pagi ini, justru kenyataan yang mengusiknya keluar dari gelap.Malam itu masih terekam jelas—panas, liar, dan... anehnya, penuh sesuatu yang tak bisa ia beri nama. Salira bukan seperti perempuan lain yang pernah menghangatkan ranjangnya. Ia bukan wanita hotel. Ia bukan pelarian sesaat.Ia berbeda.Dan entah bodoh atau jenuh, Elang membawanya pulang.Ke ranjangnya.Ke mansion-nya.Ke ruang yang tidak pernah disentuh siapa pun, bahkan anak buahnya sendiri.Elang mengerjapkan mata, duduk di tepi ranjang dengan napas berat. menyalakan rokok, dan menatap ruangan dalam diam. Ia bukan pria yang peduli soal perempuan pergi begitu saja. Tapi kali ini ada sesuatu yang mengganggu.Apa yang terjadi padaku?Pertanyaan itu mengganggu, tapi harus dikubur. Tak ada ruang untuk perasaan dalam bisnis ini. Apalagi hari ini, pekerjaan besar menantinya.Ponselnya berbunyi. Gani mengirim pesan singkat.Perte
Salira dengan cekatan membereskan barang-barangnya. Tangannya menggenggam erat tas makeup—tempat ia menyembunyikan pistol milik Elang, yang diam-diam berhasil ia curi. Setelah memastikan penampilannya rapi, ia melangkah keluar dari kamar megah itu tanpa menoleh ke belakang.Di depan mansion, Pram—anak buah Elang—sudah menunggunya. Ia membukakan pintu mobil dengan sopan. Salira masuk tanpa sepatah kata pun, lalu menatap pantulan bayangan rumah itu di kaca jendela. Mansion megah, dingin, dan gelap. Penuh rahasia yang tak tertebak.Mobil melaju perlahan disupiri oleh Gani—anak buah Elang yang lain. Pagi masih diselimuti kabut. Salira duduk diam, kedua tangannya bertumpu di atas tas makeup yang menyimpan pistol milik seorang raja kriminal.Tatapannya menusuk jauh ke depan. Dendam yang ia simpan nyaris mendidih di balik ketenangannya. Satu langkah telah ia taklukkan. Tapi ini baru permulaan.Setelah diturunkan di Simpang Lima oleh Gani, Salira berdiri sejenak di tepi trotoar. Matanya koson