Malam penembakan Arman...
Warung tua itu nyaris tak terlihat dari jalan utama seolah ditelan malam. Cat dindingnya mengelupas, lampunya redup. Tapi Salira tahu, tempat ini bukan sembarang tempat. Ini tempat pertemuan diam-diam, bagi orang-orang seperti Arman Wijaya.
Orang yang merasa kebal hukum. Orang yang pernah menghancurkan hidupnya.
Sudah berjam-jam Salira menunggu di dalam warung tua itu. Menunggu umpan berdarahnya. Hingga tak lama, sebuah mobil hitam datang, dan berhenti tepat di belakang warung.
Salira mengintai. Umpannya datang sendirian.
Ponselnya bergetar. Ia melihat pesan masuk dari Arman.
Aku sudah di lokasi.
Salira lalu keluar dari tempat persembunyiannya. Langkahnya ringan, hampir tak terdengar di aspal lembab. Topi masih menutupi wajah, masker belum ia lepas. Ransel di punggung, berat dan dingin. Kedua tangannya mengenakan sarung tangan.
Pintu mobil dibuka. Seorang pria berbadan besar dengan jam tangan mencolok dan jas tipis abu-abu keluar dari sana.
Arman Wijaya.
Ia menatap Salira dengan tajam. Waktu tak mengubah arogansinya. Senyumnya masih sama—sinis dan seenaknya. Ia berdiri dengan cara orang yang yakin dunia ini akan selalu melindunginya. Tapi tidak untuk hari ini.
Salira berjalan pelan. Ia melepas topi, lalu masker. Wajahnya langsung membekukan senyum Arman.
“Kau... Kita pernah ketemu?” tanya Arman, heran—dan mulai gelisah.
Salira berdiri tenang. Tak menjawab. Matanya dingin.
Lalu ia membuka mulut dengan suara pelan.
“Kau yang memaksaku masuk ke mobil itu. Lima tahun lalu. Gang belakang diskotek Westin.”
Seketika wajah Arman berubah. Pucat. Bukan karena ingatannya. Tapi karena ia sadar, wanita di depannya tidak datang untuk berdamai. Arman ingat betul penampilan Salira waktu itu. Full makeup dan gaun seksi menggoda.
“Aku tidak tahu apa maksudmu.”
“Kau bilang, ‘ini harga yang harus kau bayar karena mencari tahu soal ayahmu di tempat yang salah.” Salira memotong, suaranya nyaris tanpa nada.
Kilasan masa lalu itu menampar keras di pikirannya.
Tangannya diikat. Mulutnya dibungkam. Di ruangan gelap yang hanya disinari neon rusak. Ia dipaksa diam karena berani menyelidiki keterlibatan mafia dalam kematian ayahnya. Dan Arman... adalah salah satu wajah yang paling jelas ia ingat dari malam itu.
Arman tersenyum miring. “Dasar perempuan licik. Tak kusangka aku akan melihatmu lagi. Pintar juga kau mengelabuhiku, dan mengajakku ketemu. Padahal dulu kau seperti perempuan murahan—”
“Sekarang aku perempuan yang tidak akan pernah kau lupakan di akhir hidupmu,” potongnya cepat.
Dengan gerakan cepat, Salira mengeluarkan pistol yang terselip di punggungnya.
Arman berdiri, reflek panik. “Hei—”
Klik.
Moncong pistol kini terarah tepat di dada Arman. Senjata yang pernah dibuat hanya untuk Elang Ganendra... kini siap digunakan untuk menodai namanya. Salira menggang pistol itu dengan kedua tangannya. Erat. Tanpa ampun.
“Pistol itu tidak cocok untukmu,” kata Arman cepat. “Kita bisa bicarakan ini—”
Salira menggeleng. “Terlambat. Kau sudah membuat aku mati, waktu itu.”
DOR.
Suara pistol meledak, merobek keheningan.
Arman terhempas ke belakang, darah mengucur dari dadanya. Ternganga, tak sempat bicara, tak sempat kabur. Salira melangkah maju.
DOR.
DOR.
Dua kali tembakan susulan. Jatuh di dada dan satunya lagi meleset di leher.
Arman tewas seketika.
Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya keheningan, dan udara malam yang lembab menjadi saksi eksekusi itu. Salira telah mendapatkan umpannya.
Ia meletakkan pistol di dekat tubuh Arman yang bersimbah darah, dengan gagang menghadap ke atas. Sidik jari Elang. Jejak pembunuh.
Lalu ia berlari pergi, menyusup ke kegelapan malam. Menghilang dalam hujan yang mulai turun seperti tirai tipis.
Malam ini, Jayapuri akan bicara.
Dan nama Elang Ganendra... akan jadi berita utama.
*
Salira membuka galeri foto ponselnya. Di antara gegelapan dan keheningan kamar kontrakan yang lembab, satu potret diam menyala di layar.
Elang, tertidur dengan tubuh setengah tertutup selimut, diambil diam-diam setelah malam panas itu—malam di mana segalanya dimulai dan rusak dalam waktu yang sama.
Ia menatap foto itu lama, terlalu lama.
Kalau takdir mempertemukan mereka dalam kehidupan yang normal, mungkinkah ia bisa mencintai pria ini? Mungkinkah Elang bukan monster seperti yang ia tanam dalam pikirannya selama ini?
Tapi ia cepat-cepat menutup pintu lamunan itu.
Elang bukan sekadar pria. Dia adalah simbol dari semua luka masa lalu.
Target. Musuh. Akhiran dari dendam yang telah menggerogoti dirinya selama bertahun-tahun.Salira menghapus foto itu. Satu sapuan jari, dan hilang.
“Permainan dimulai,” bisiknya. “Kau akan membusuk di penjara. Atau... berakhir di tangan musuh bebuyutanmu sendiri.”
Suara TV kecil di sudut kamar bergema pelan, memecah keheningan.
Salira duduk di ujung ranjang reyot, punggungnya bersandar ke dinding dingin yang lembab.
Di luar, langit Jayapuri menggantungkan mendung, seolah tahu ada badai lain yang tengah bersiap turun.
Layar televisi menampilkan rekaman lokasi penembakan. Garis polisi. Lampu merah-biru. Warga berdiri di balik pembatas, membicarakan tragedi itu dengan gumaman cemas dan penasaran.
“Korban tewas adalah Arman Wijaya, 35 tahun. Putra sulung pengusaha ternama, Darmadi Wijaya. Arman dikenal sebagai tokoh muda inspiratif yang aktif dalam program pemberdayaan ekonomi pemuda dan pengembangan teknologi hijau. Polisi belum merilis tersangka resmi, namun sumber dalam menyebutkan bukti forensik tengah dianalisis...”
Salira tersenyum kecil. Pahit. Menyesakkan.
“Ekonomi hijau?”
“Tokoh inspiratif?”
Ia ingin tertawa, tapi yang keluar hanyalah hembusan napas getir.
Arman bukan pahlawan. Arman adalah lelaki yang dulu menyeretnya dari balik bayang, menguliti harga dirinya, lalu menutup semua itu dengan senyum manis dan jabatan tangan politik. Dunia hanya tahu satu wajah Arman—yang berkilau. Tapi Salira tahu yang lainnya—yang membusuk.
Matanya tak lepas dari layar TV, namun pikirannya terlempar ke masa lalu.
Saat ia menangisi jasad ayahnya atas kematian yang misterius.
Saat ibunya duduk diam berjam-jam di ruang tamu, menatap jendela sampai akhirnya menjemput kematian.
Dan ketika Salira ditarik ke ruang gelap—oleh Arman, yang tahu bahwa gadis itu menyelidiki sesuatu yang tidak boleh disentuh siapa pun.
Luka itu tak pernah hilang. Kepingan-kepingan puzzle masa lalunya hanya dipenuhi satu warna. Hitam.
Tapi malam tadi, darahnya mulai dibalas. Ia hanya berpikir sederhana.
Habisi Arman, gunakan pistol Elang, biarkan dunia bawah terbakar.
Ransel lusuh di bawah meja jadi saksi. Kini ringan, karena isinya—pistol Elang—telah diletakkan di sisi jasad Arman sebagai umpan.
Salira hanya ingin mengobarkan perang antara dua raksasa. Biar mereka saling membakar.
Tapi sekarang, saat melihat berita itu... Semua jadi terlalu nyata. Terlalu besar. Terlalu cepat. Dan ia tahu, langkahnya tak bisa diundur.
Ia menatap cermin kecil di dinding. Wajah pucat, mata sayu, tubuh lelah—tapi ada bara yang belum padam. Ia bukan lagi Salira si gadis kecil. Ia perempuan yang menyelinap ke kamar sang raja mafia, dan meninggalkan jejak yang akan mengguncang kota ini.
Namun permainan ini, tak hanya membahayakan musuhnya.
Permainan ini bisa membunuhnya juga.
Pelan-pelan, Salira memeluk lututnya sendiri. Layar TV masih menyala, kabar masih bersambung. Tapi dalam kepalanya, hanya satu suara yang berbisik.
“Elang akan tahu.”
“Dan saat itu terjadi… dia akan datang mencariku.” []
Hening. Tak ada lagi langkah kaki. Tak ada suara.Salira menahan napas, lalu perlahan melangkah keluar dari persembunyiannya. Bayangan dinding masih menyelimuti separuh tubuhnya, tapi ia tahu waktunya untuk bergerak.Matanya menyapu sekeliling. Sepi. Aman—setidaknya itu yang ia kira.Satu langkah. Dua langkah.Lalu suara itu datang, menghantamnya dari arah belakang. Suara yang dulu pernah ia dengar sekilas, saat ia meninggalkan mansion Elang.“Kau mau ke mana, Salira?”Pram. Salah satu anak buah Elang yang paling loyal.Salira membeku, enggan menoleh. Insting bertahan hidupnya lebih kuat. Ia langsung berlari. Sekencang yang ia bisa.Suara langkah kaki menyusul cepat di belakangnya. Lalu teriakan menggelegar.“Jangan kabur, pencuri!”Kengerian merambat di tulang punggungnya. Salira menoleh sesaat—bukan hanya Pram. Tiga, mungkin empat orang ikut mengejar.Tak peduli napasnya memburu atau dadanya nyeri sekalipun, ia harus terus berlari. Tapi ketika berbelok di tikungan gelap menuju mulut
Di dalam ruang kerja bergaya kolonial yang penuh ukiran kayu jati dan aroma tembakau tua, Darmadi Wijaya duduk menghadap jendela besar yang membingkai taman kecil. Kedua tangannya mengepal di atas meja, dengan urat-urat yang menegang. Napasnya pendek-pendek, seolah menahan sesuatu yang lebih dari sekadar amarah.Suara laporan terakhir masih bergema di kepalanya.“Putra Anda, Pak. Tewas di tempat. Satu peluru bersarang di leher, dua di dada.”“Sidik jari ditemukan di senjata—kami sedang menelusuri pemiliknya.”Elang.Nama itu berputar di benaknya, bukan lagi sebagai pesaing—tapi sebagai kutukan. Dulu, Elang hanyalah bayangan muda dalam rapat-rapat kartel. Anak muda berani dengan mata yang terlalu tajam untuk usianya. Sekarang, bayangan itu telah tumbuh menjadi monster besar, tak terkontrol. Yang kini telah merenggut sesuatu yang tak bisa diganti.Langkah kaki mendekat dari belakang. Kinanti, istrinya, masuk. Mata perempuan itu sembap, wajahnya pucat, tapi nadanya tajam.“Ada perkembang
Malam penembakan Arman...Warung tua itu nyaris tak terlihat dari jalan utama seolah ditelan malam. Cat dindingnya mengelupas, lampunya redup. Tapi Salira tahu, tempat ini bukan sembarang tempat. Ini tempat pertemuan diam-diam, bagi orang-orang seperti Arman Wijaya.Orang yang merasa kebal hukum. Orang yang pernah menghancurkan hidupnya.Sudah berjam-jam Salira menunggu di dalam warung tua itu. Menunggu umpan berdarahnya. Hingga tak lama, sebuah mobil hitam datang, dan berhenti tepat di belakang warung.Salira mengintai. Umpannya datang sendirian.Ponselnya bergetar. Ia melihat pesan masuk dari Arman.Aku sudah di lokasi. Salira lalu keluar dari tempat persembunyiannya. Langkahnya ringan, hampir tak terdengar di aspal lembab. Topi masih menutupi wajah, masker belum ia lepas. Ransel di punggung, berat dan dingin. Kedua tangannya mengenakan sarung tangan.Pintu mobil dibuka. Seorang pria berbadan besar dengan jam tangan mencolok dan jas tipis abu-abu keluar dari sana.Arman Wijaya.Ia
Pintu kamar terbuka dengan hentakan. Elang melangkah masuk, hampir setengah berlari. Tak ada waktu untuk berpikir. Hanya satu hal memenuhi kepalanya—pistol itu.Langkahnya berat tapi cepat, sepatu mahalnya menghentak lantai marmer. Memantulkan gema di dinding kamar luas dan dingin. Elang menuju meja kerja di sudut ruangan. Napasnya mulai tak teratur. Tangannya gemetar sedikit saat meraih laci bagian bawah. Laci yang hanya dia seorang yang tahu kodenya.Tiga digit kombinasi. Klik. Lalu Elang menariknya.Kosong.Beberapa lembar dokumen masih rapi. Sebotol pelumas senjata masih ada. Tapi Glock-19 hitam miliknya—yang didesain khusus dengan inisial ‘E’ terpatri di gagangnya—menghilang.Elang membatu sejenak. Lalu...BRAK!Tangannya menghantam tepi meja. Laci dibanting kembali masuk dengan dentuman logam menghantam kayu. Napasnya semakin memburu. Rahangnya mengatup kuat. Sumpah serapah meledak dari bibirnya.“Brengsek!!”Tiba-tiba, suara dalam kepalanya menggema. Ucapan Rahardian saat menel
Elang terbangun lebih pagi dari biasanya.Biasanya, tidur adalah tempat ia lari dari kenyataan. Tapi pagi ini, justru kenyataan yang mengusiknya keluar dari gelap.Malam itu masih terekam jelas—panas, liar, dan... anehnya, penuh sesuatu yang tak bisa ia beri nama. Salira bukan seperti perempuan lain yang pernah menghangatkan ranjangnya. Ia bukan wanita hotel. Ia bukan pelarian sesaat.Ia berbeda.Dan entah bodoh atau jenuh, Elang membawanya pulang.Ke ranjangnya.Ke mansion-nya.Ke ruang yang tidak pernah disentuh siapa pun, bahkan anak buahnya sendiri.Elang mengerjapkan mata, duduk di tepi ranjang dengan napas berat. menyalakan rokok, dan menatap ruangan dalam diam. Ia bukan pria yang peduli soal perempuan pergi begitu saja. Tapi kali ini ada sesuatu yang mengganggu.Apa yang terjadi padaku?Pertanyaan itu mengganggu, tapi harus dikubur. Tak ada ruang untuk perasaan dalam bisnis ini. Apalagi hari ini, pekerjaan besar menantinya.Ponselnya berbunyi. Gani mengirim pesan singkat.Perte
Salira dengan cekatan membereskan barang-barangnya. Tangannya menggenggam erat tas makeup—tempat ia menyembunyikan pistol milik Elang, yang diam-diam berhasil ia curi. Setelah memastikan penampilannya rapi, ia melangkah keluar dari kamar megah itu tanpa menoleh ke belakang.Di depan mansion, Pram—anak buah Elang—sudah menunggunya. Ia membukakan pintu mobil dengan sopan. Salira masuk tanpa sepatah kata pun, lalu menatap pantulan bayangan rumah itu di kaca jendela. Mansion megah, dingin, dan gelap. Penuh rahasia yang tak tertebak.Mobil melaju perlahan disupiri oleh Gani—anak buah Elang yang lain. Pagi masih diselimuti kabut. Salira duduk diam, kedua tangannya bertumpu di atas tas makeup yang menyimpan pistol milik seorang raja kriminal.Tatapannya menusuk jauh ke depan. Dendam yang ia simpan nyaris mendidih di balik ketenangannya. Satu langkah telah ia taklukkan. Tapi ini baru permulaan.Setelah diturunkan di Simpang Lima oleh Gani, Salira berdiri sejenak di tepi trotoar. Matanya koson