Di lantai paling atas kantor yang sunyi, di balik kaca jendela besar yang menghadap ke kota, Candra duduk dengan tenang di balik mejanya. Pandangannya tertuju pada laporan proyek yang baru saja diselesaikan oleh timnya. "Pak, ini kopinya," kata Rania menyodorkan kopi di atas meja."Tapi saya tidak minta," jawab Candra datar."Maaf, saya sendiri yang inisiatif karena saya pikir Bapak terlihat sangat lelah hari ini," kata Rania.Karyawan yang lain langsung melirik. Dan ada yang menyenggol lengan temannya memberi isyarat tertentu. Mereka tidak suka tindakan Rania."Maaf, saya sedang tidak ingin minum kopi," tolak Candra meninggalkan Rania yang masih berdiri di tempat.Rania terdiam sejenak, matanya membulat tak percaya mendengar penolakan Candra yang begitu tiba-tiba. Senyum yang sejak tadi menggantung di wajahnya perlahan memudar, tergantikan oleh gurat kecewa yang tak bisa disembunyikan. Ia mengedipkan mata cepat-cepat, seolah mencoba memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Namun, pung
Beberapa hari setelah bulan madu, Candra kembali bekerja di kantor. Ia kembali sibuk, banyak pekerjaan yang harus di selesaikan.Tumpukan berkas di mejanya seperti tidak pernah berkurang, dan email masuk seakan tidak berhenti berdatangan. Namun, ada yang berbeda kini pikirannya sering melayang kepada Anita, istrinya.Sesekali saat mengetik laporan, ia tersenyum sendiri mengingat hari-hari romantisnya bersama Anita. Tapi senyum itu cepat menghilang saat ponselnya bergetar. Notifikasi dari grup kantor kembali mengingatkannya akan dunia nyata."Ini proyek dari klien luar negeri kontrak bernilai miliaran. Mereka butuh proposal final minggu depan. Aku tunjuk kamu jadi ketua tim. Aku nggak mau ada kesalahan sekecil apa pun," pesan Hisyam lewat wa."Siap. Saya akan mulai kerjakan hari ini," balas Candra."Bagus, tapi kamu harus sungguh-sungguh. Jangan ingat bulan madu terus, ini bulan kerja. Pekerjaan menumpuk kalau kamu tidak ada," peringat Hisyam tegas."Saya mengerti, Bos. Saya akan pastik
Badan Anita terasa remuk redam setelah semalaman suntuk Candra menggempurnya habis-habisan. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana permainan suaminya yang gagah di atas ranjang. Ia akui stamina suaminya memang luar biasa. Hari ini saja Anita masih terkulai berbalut selimut tebal, Candra sudah berkutat dengan laptopnya.Punggungnya yang kekar tampak dari belakang. Anita masih merem melek. Ia masih ingin menikmati tidurnya yang subuh tadi harus di jeda mandi junub lanjut sholat terus bobok lagi. Ia harus memulihkan seluruh tenaganya. Karena sepertinya suaminya pasti sewaktu-waktu minta jatah.Candra bangkit dari tempat duduknya dan menutup laptopnya. Sejak subuh tadi dia berkutat dengan benda pipih tersebut. Ia melirik ke belakang, Anita masih tidur memunggunginya.Candra menarik napas panjang. Cahaya pagi yang menyusup dari celah tirai menyorot sebagian wajahnya yang terlihat letih tapi tenang. Ia melangkah pelan ke sisi ranjang dan menatap punggung Anita yang terbalut selimut. Rambut i
Kini fokus pada poinnya, yaitu malam pertama. Pasangan pengantin langsung meluncur dengan mobil pribadinya menuju ke hotel yang berada di puncak. Anita yang masih mengenakan gaun pengantin melirik ke arah Candra yang sedari tadi senyumnya nggak jelas. Bikin bulu keduanya merinding. Ia memandang sekeliling kamar, melihat kelopak-kelopak bunga mawar yang di taburkan di ranjang. Lampu kamar yang remang-remang membuat suasana makin intim. Mereka duduk di tepi ranjang mencari kenyamanan di antara kecanggungan. Candra meraih tangan Anita perlahan, menggenggamnya dengan hangat. Suasana hening beberapa detik, hanya terdengar detak jam dinding dan desir angin dari jendela yang sedikit terbuka. "Aku nggak nyangka, kita akhirnya sampai juga di titik ini," ujar Candra pelan, matanya menatap Anita dengan penuh rasa. Anita tersenyum malu, pipinya memerah, entah karena udara dingin di puncak atau karena jantungnya yang berdegup kencang. Ia membalas genggaman tangan Candra dan mengangguk pelan. "A
Pagi itu, rombongan dari kampung mulai berangkat. Warga yang selama ini mengenal Anita sejak kecil, datang bersama dalam satu bus besar. Ada yang mengenakan baju adat, ada pula yang memakai pakaian terbaik mereka. Wajah-wajah penuh semangat, canda tawa, dan sesekali rasa canggung pun tampak, karena ini bukan pesta biasa. Ini adalah pesta mewah, di kota besar, di gedung yang hanya mereka lihat di televisi. Di dalam Bus Bu RT nyeletuk,"Eh, kita ini tamu pernikahan apa masuk sinetron, ya? Gedungnya aja udah kayak istana.” “Yang penting jangan lupa kita wakili kampung. Anita itu dulu ikut lomba nyanyi pas 17-an di balai desa, inget nggak? Sekarang jadi nyonya besar!” sahut Pak RW. “Dulu sering main masak-masakan sama anakku... Sekarang lihat tuh di undangan, tulisannya 'Mrs. Anita & Mr. Candra'... Wah, keren!” imbuh Bu Nur bangga. Ketika mereka tiba di gedung pernikahan, mata warga kampung membelalak. Karpet merah terbentang, tamu-tamu berdatangan dengan pakaian formal elegan. Namun, r
Pagi ini Candra dan Anita sudah janjian mendatangi butik ternama untuk fitting baju pengantin. Semua itu Zahra yang menyiapkan, karena Candra sudah di anggap saudara oleh Hisyam. Zahra menghubungi butik kenalannya untuk menyiapkan baju pengantin khusus untuk Candra dan calon pengantinnya."Mas, aku kok deg-degan gini. Butiknya bagus banget," lirih Anita. Matanya menyapu interior butik yang penuh kemewahan.Lampu gantung kristal berkilau lembut di atas kepala, sementara deretan gaun-gaun elegan tergantung rapi di rak-rak kayu mengilap. Aroma bunga segar samar tercium, menambah kesan mewah dan tenang."Aku bahkan nggak yakin berani nyentuh bajunya, Mas... Semua keliatan mahal dan berkelas banget," lanjutnya pelan, nyaris berbisik. "Kayak masuk dunia lain." Suaranya nyaris tenggelam di antara alunan musik lembut yang mengalun dari speaker tersembunyi."Mas... maaf kalau aku kampungan. Rasanya kayak masuk dunia yang cuma ada di film-film romantis," bisiknya, sambil menggenggam tangan Can