Pagi menyapa dengan lembut. Cahaya matahari menyelinap melalui tirai putih tipis kamar, menyinari wajah Azalea yang masih terlelap dalam pelukan Felix. Sisa malam penuh keintiman masih terasa di udara hangat, penuh kenangan yang tak mungkin dilupakan.Felix menatap istrinya, mengecup keningnya sebelum bangkit perlahan menuju kamar mandi.Namun saat ia kembali Azalea tak lagi ada di tempat tidur.Seprei kusut, bantal terlempar ke lantai, dan jendela balkon terbuka sedikit. Jantung Felix langsung berdegup cepat. Ia memanggil nama istrinya, berlari ke setiap sudut ruangan, tapi hanya hening yang menjawab.Felix berusaha bersabar mungkin Azalea tengah keluar dari kamar sebentar karena ada keperluan. Akhirnya Felix putuskan untuk tetap menunggu. Ia mencoba mengatasi rasa khawatirnya.Namun satu jam berlalu membuat Felix gundah. Kenapa Azalea tidak memberitahukannya terlebih dahulu. Sehingga ia tidak khawatir seperti ini.Sebelumnya ...Dari balik kaca mobil hitam yang terparkir tak jauh da
Beberapa bulan kemudian ...Langit Bali sore itu berwarna jingga keemasan, memantul indah di permukaan laut yang tenang. Di tepi pantai yang disulap menjadi altar pernikahan, para tamu mulai berdatangan dengan busana semi-formal pantai. Aroma bunga kamboja dan garam laut bersatu dalam angin yang berembus pelan.Berdiri Felix menatap lautan dengan gugup yang tak bisa disembunyikan. Tapi senyumnya merekah saat akhirnya ia melihat Azalea berjalan perlahan di atas jalur pasir putih, ditemani suara debur ombak dan denting gitar akustik.Azalea tampak memukau. Bukan karena gaunnya yang mewah, tapi karena sinar hangat di wajahnya seolah seluruh dunia berhenti saat ia menatap Felix.Di antara barisan tamu yang duduk, terdengar bisik-bisik kekaguman:“Astaga... cantik banget pengantinnya.”Banyak pujian yang di lontarkan untuk Azalea. Begitu juga Felix yang terlihat tampan paripurna. Duduk di barisan depan, Hisyam, Zahra dan Abie tersenyum haru. Abian duduk tenang menggenggam tangan Abel, da
Azalea dan Felix berdiri di tepi kolam renang, tubuh mereka basah oleh cipratan air. Dengan pelan, Felix merengkuh Azalea, bahu mereka bersentuhan hangat. Azalea menutup matanya sesaat, merasakan detak jantung yang berdentang lebih cepat. Pelukan itu singkat, tapi cukup menghangatkan rasa dingin yang tersisa di antara mereka. Setelah lepas, Azalea menoleh, bibirnya tersungging senyum kecil yang tak terucap.Felix merapatkan wajahnya pelan-pelan ke Azalea, napasnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Matanya mencari-cari tanda dari Azalea, ragu antara ingin maju atau mundur. Azalea terdiam, pandangannya menghindar, tubuhnya sedikit menegang seperti menahan gelombang perasaan yang belum bisa ia ungkapkan.Felix menatap Azalea dalam-dalam sebelum tiba-tiba menarik wajahnya mendekat."Azalea..." bisiknya serak. Azalea terpaku, jantungnya berdegup kencang. Tak sempat berkata apa-apa, bibirnya sudah dilumat perlahan oleh Felix. "Maaf, aku nggak bisa tahan lagi," ujarnya pelan sambil melepa
Malam sudah larut saat mobil Felix berhenti di depan rumah Azalea. Lampu teras menyala redup, menyambut kepulangan yang tak biasa. Di dalam kabin mobil yang hening, hanya suara detak jam di dashboard dan detak jantung yang terasa lebih keras dari seharusnya.Felix tidak langsung bicara, hanya memandangi Azalea yang sibuk merapikan rambutnya, mencoba menyembunyikan wajah yang masih merona."Sudah malam," ucap Azalea pelan, mencoba mengisi keheningan.Felix mengangguk sekali. Sorot matanya berbeda lebih tenang. Ada sesuatu yang belum selesai ia ucapkan, tapi mungkin tak perlu dijelaskan.Saat Azalea mulai membuka pintu, tangan Felix menahan lengannya lembut. Gadis itu menoleh, dan belum sempat bertanya, pria itu menarik tubuhnya sedikit mendekat.Tanpa kata, tanpa banyak basa-basi, bibir Felix menyentuh bibir Azalea. Ciuman itu singkat hanya beberapa detik. Tapi dalam waktu sesingkat itu, Azalea bisa merasakan sesuatu yang berbeda. "Istirahatlah, besok akan ada kejutan lainnya," bisik
"Merepotkan," omel Felix.Singkat padat, tapi tepat sasaran. Azalea menoleh sebentar. Ia juga tidak menyangka kalau Felix. Tapi begitulah Felix selalu menyembunyikan kepedulian di balik sikap dingin dan wajah tanpa ekspresi."Kalau tidak ingin repot kenapa kamu jemput aku?" tanya Azalea."Karena kau calon istriku," jawabnya sembari fokus menyetir. Ia menyetir dengan tenang, sorot matanya fokus ke depan, seolah percakapan ini tak menggoyahkan emosinya sedikit pun."Oh, bukannya kamu cemburu?" tanya balik Azalea.Felix akhirnya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalanan. Di wajahnya tak tampak perubahan tetap tenang, tetapi dingin."Cemburu? Yang benar saja, pada Daffa mantan kekasihmu? Dia bukan levelku," jawab Felix penuh percaya diri."Ck, sombong amat jadi orang," lirih Azalea."Aku tidak sombong, ini kenyataan. Lagian ... kamu juga bodoh mau saja di ajak dia keluar sama si Daffa itu," imbuh Felix. Lagi-lagi tatapannya tidak tertuju pada Azakea melainkan jalan di depannya."C
Mobil melaju pelan menembus malam kota, lampu-lampu jalan berkelebat di balik kaca jendela. Di dalam kabin yang remang dan sunyi itu, suasana mendadak canggung.Felix menyetir dengan satu tangan, sementara tangan satunya sesekali meremas kemudi seolah mencari cara untuk menenangkan pikirannya. Di sampingnya, Azalea duduk diam, memandangi jalanan. Wajahnya sedikit memerah, masih menyimpan sisa-sisa momen tadi.Tak ada yang bicara. Bahkan suara musik pun tak diputar. Hanya ada suara mesin dan detak jantung mereka yang terasa terlalu keras di dada masing-masing.Sesekali Felix melirik ke samping, mencuri pandang ke arah Azalea. Ia ingin mengatakan sesuatu... tapi lidahnya seperti terikat.Azalea sadar, tapi ia pura-pura tidak melihat. Tangannya memainkan ujung rambutnya sendiri, gugup, padahal biasanya ia paling cerewet.Akhirnya Felix yang membuka suara duluan, meski nadanya terdengar canggung.“Udara malam ini... dingin ya.”Azalea menoleh cepat, menatapnya. “Iya, agak dingin.”Lalu la