Tamara terdiam, tidak menjawab. Dirinya bingung mau menjawab apa. Apakah harus berkata jujur, atau akan tetap membiarkan putrinya berfikiran entah seperti apa tentang dirinya.
"Sudah cukup dramanya! Mending sekarang kau ikut denganku saja gadis cantik!" sahut Bramantyo tiba-tiba. Wajah sembab Syaqilla yang semula sedang tertunduk langsung terangkat. Lalu, sembari menyeka air mata, gadis ber-piama pink itu mengernyitkan dahi, menatapnya keheranan. "Anda siapa?" Bramantyo malah tertawa lantang. Dengan tersenyum genit, ia berkata, "Aku adalah calon suamimu, Sayang!" "A-apa!" Spontan gadis cantik itu membelalakan mata. Sungguh sangat-sangat di luar dugaan. Ternyata ibunya malah tega menjodohkannya dengan seorang pria tua. "Ibu, apa maksudnya ini? Masa aku harus menikah dengan pria itu?" Protes Syaqilla menuding ke arah Bramantyo. Ia semakin menolak perjodohan ini. Apa lagi setelah tahu kalau umur pria yang akan menjadi calon suaminya itu terpaut jauh dengannya. Bahkan umur pria itu, lebih pantas sebagai ayah mertuanya saja. "Ya, memang benar. Dia adalah calon suami kamu, Syaqilla!" jawab Tamara, dengan santainya membenarkan ucapan Bramantyo. "Jika, kamu mau menikah dengannya nanti. Maka semua hutang-hutang Ibu akan dianggap lunas." "Jika, memang kamu pingin bantu Ibu. Makanya kamu harus mau menikah dengannya, Qilla." "Apa?! Hutang! Hutang apa, Ibu?" Entah yang ke berapa kalinya gadis itu kembali dibikin syok oleh perkataan Ibunya sendiri. "Astaghfirullah! Berarti Ibu ingin menjadikanku sebagai pelunas hutang?" "Sudah, cukup! Cepat bawa dia sekarang!" sela Bramantyo menghentikan perdebatan. "Tidak, aku tidak mau!" Seraya menggelengkan kepala, tentu saja Syaqilla menolak. Sebelum kedua anak buah itu mendekat, dengan cepat gadis itu langsung berlari menuju pintu. "E-eh, berhenti! Dasar brengsek, dia malah kabur, lagi. Buruan cepat kejar dia, Bodoh!" Bramantyo terlihat sangat marah. Dengan kesal memberikan perintah anak buahnya segera. Dengan sigap, kedua pria berbadan kekar itu langsung berlari ke luar rumah mengejar Syaqilla. Sementara Bramantyo, kini wajahnya tampak semakin mengeras, ia mulai menatap Tamara dengan tajam dan penuh kemarahan. "Jika, putrimu itu tidak bisa ditemukan, maka hutangmu akan bertambah menjadi dua kali lipat!" ancam Bramantyo geram. "A-apa?! Ti-tidak bisa seperti ini dong, Bang!" pekik Tamara syok, tidak terima. "Jika, kau ingin hutangmu lunas, maka temukan putrimu itu dan serahkan dia padaku secepatnya!" tandasnya. Kemudian, dengan emosi yang memuncak, Bramantyo pergi meninggalkan rumah itu begitu saja. "Argh, sialan kamu Syaqilla! Dasar anak gak tau diuntung! Anak kurang ajar! Sama persis seperti ayahnya! Sangat menjengkelkan!" umpatnya sambil mengeratkan giginya kesal. Kemudian ia pun berlari keluar rumah, berusaha ingin mencari putrinya juga. *** Kembali di rumah sakit. Setelah gadis itu menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya. Kedua paruh baya itu tampak syok. Mereka tidak percaya, bagaimana bisa ada seorang ibu yang tega menjual anaknya sendiri? Sungguh hati keduanya merasa sangat miris dan tergerak untuk menolong gadis tersebut. "Sudah-sudah! Kamu sekarang tenang, ya! Kami pasti akan menolong mu, Syaqilla," ujar Mahendra, merasa iba. Ketika melihat betapa masih mudanya usia gadis itu, ia jadi teringat akan putrinya sendiri, yang kira-kira usia mereka sebaya. "Ya, benar. Kami pasti akan menolongmu. Jadi, mulai sekarang kamu ikut kami saja, ya! Nanti kamu bisa tinggal di rumah kami. Dan kamu juga bisa bekerja di butikku saja. Bagaimana, kamu mau, 'kan?" sahut Laura. Masih sama seperti tadi, perempuan cantik dan elegan itu, memang terkenal sangat ramah dan baik hati kepada semua orang. Sehingga, dengan tanpa berpikir panjang Syaqilla langsung saja mengangguk setuju. Sungguh ia tidak mengira kalau kedua orang ini begitu baik, bersedia mau menolongnya. "Ya Allah, terimakasih. Karena Engkau telah mengirim dua malaikat ini untuk menolongku, ya Allah," batin Syaqilla penuh syukur. *** Di keesokan harinya. Setengah jam kemudian, mobil yang ditumpangi oleh Syaqilla bersama dua orang tadi, telah sampai di depan gerbang sebuah bangunan rumah yang besar dan megah. Begitu gerbang besar itu terbuka, mereka langsung disuguhi oleh pemandangan halaman hijau yang sangat luas. Di tengahnya terdapat taman bunga yang indah, lengkap dengan kolam ikan dan air mancur. Lalu, di sisi kanan-kiri taman itu terdapat jalan menuju tempat parkir khusus depan rumah, yang bisa menampung banyak mobil. Perlahan roda mobil itu kembali berputar, memasuki halaman, hingga akhirnya berhenti tepat di depan pintu utama sebuah rumah yang sangat besar dan megah. Manik kecoklatan milik gadis itu langsung melebar, merasa syok juga kagum melihat ke sekitar. Ia tidak pernah melihat rumah yang sebesar dan semewah ini sebelumnya. Halaman yang luas, taman yang indah, kolam ikan yang jernih, dan gazebo yang elegan. Membuat Syaqilla merasa seperti sedang berada di dunia yang berbeda. Dunia yang penuh dengan kemewahan dan keindahan. Ia tidak bisa berhenti menatap keindahan yang ada di sekitar, merasa takjub dan terkesima dengan semua hal yang terpampang di depan matanya kini. Ini baru halamannya saja. Belum lagi di dalam rumah akan seperti apa? Dengan penuh kekaguman, gadis cantik bergigi gingsul itu masih tampak diam mematung di depan sebuah bangunan yang berdiri kokoh. Rumah besar yang megah dengan gaya modern. Sungguh ia tak bisa membayang bagaimana mewahnya isi dari rumah yang tampak seperti istana itu. Gadis yang masih ber-piyama itu hanya melongo menyaksikan semua keindahan tempat ini. Sungguh ia tidak menyangka, kalau kedua orang yang telah menolongnya tadi, ternyata sangatlah kaya. Syaqilla jadi merasa minder dan sedikit grogi, karena harus berhadapan dengan orang kaya seperti mereka. "Nah, Syaqilla. Ini rumah kami. Untuk sementara, kamu boleh tinggal di sini," ujar Laura lembut. Seraya merangkul pundak gadis manis itu, ia menunjukkan rumah yang bak istana tersebut padanya. "Emm ... tapi, saya merasa tidak pantas tinggal di sini, Bu. Eh, Nyo- nyonya. Anda adalah orang kaya, sedangkan saya--" ucapan Syaqilla terhenti karena disela oleh Laura. "Loh, memangnya kenapa kalau kami orang kaya? Menurutku semua orang itu sama, kami tidak pernah membeda-bedakannya. Ya sudah, nanti kamu bisa kok, tinggal di rumah belakang bareng Bik Imah, ya!" "Dan, ingat! Panggil aku Ibu saja, jangan Nyonya, oke?" Bagaikan seorang anak yang penurut kepada ibunya, Syaqilla pun mengangguk patuh. Baru kemudian mereka berniat akan memasuki rumah. Namun, dengan tiba-tiba terlihat ada satu buah mobil mewah berwarna putih memasuki halaman rumah. Otomatis membuat ketiga orang itu langsung menoleh ke arahnya. Ketika mobil itu telah berhenti tepat di hadapan mereka, tampaklah seorang gadis cantik dengan pakaian yang indah dan elegan, turun dari mobil tersebut. "Mama, Papah! Kalian sudah pulang?" seru gadis itu kegirangan.Tamara terdiam, tidak menjawab. Dirinya bingung mau menjawab apa. Apakah harus berkata jujur, atau akan tetap membiarkan putrinya berfikiran entah seperti apa tentang dirinya. "Sudah cukup dramanya! Mending sekarang kau ikut denganku saja gadis cantik!" sahut Bramantyo tiba-tiba. Wajah sembab Syaqilla yang semula sedang tertunduk langsung terangkat. Lalu, sembari menyeka air mata, gadis ber-piama pink itu mengernyitkan dahi, menatapnya keheranan. "Anda siapa?" Bramantyo malah tertawa lantang. Dengan tersenyum genit, ia berkata, "Aku adalah calon suamimu, Sayang!" "A-apa!" Spontan gadis cantik itu membelalakan mata. Sungguh sangat-sangat di luar dugaan. Ternyata ibunya malah tega menjodohkannya dengan seorang pria tua. "Ibu, apa maksudnya ini? Masa aku harus menikah dengan pria itu?" Protes Syaqilla menuding ke arah Bramantyo. Ia semakin menolak perjodohan ini. Apa lagi setelah tahu kalau umur pria yang akan menjadi calon suaminya itu terpaut jauh dengannya. Bahkan umur pr
"Lima ratus juta! Aku mau lima ratus juta. Aku jamin kalau dia benar-benar masih perawan dan belum pernah disentuh oleh siapa pun!" tandas Tamara, dengan entengnya menyebutkan nominal harga yang ia inginkan. Wanita paruh baya itu bagai sedang menawarkan suatu barang dagangan saja. Padahal, yang ia jual adalah keperawanan anak gadisnya sendiri. "Apaa?! Lima ratus juta? Apa kau sudah gila?" Mata Bramantyo langsung melotot syok mendengarnya. Tentu saja lelaki tua itu terlihat sangat kesal dengan nominal yang disebutkan oleh Tamara. Nominal itu terlalu besar buat membayar anak seorang pelacur. Walau putrinya masih perawan, tetapi bagi Bram, itu angka fantastis yang tidak masuk akal. "Kau meminta uang bayaran, atau mau memerasku, hah?" Dengan acuh Tamara mengangkat kedua bahu. Tanda ia tidak perduli dengan respon Bram yang sedang meneriakinya kesal. "Itu sih, terserah kau saja, Bang. Kalau setuju, silahkan. Kalau gak, ya udah sana-sana kau pergi saja deh sekarang!" Tamara mengibaskan
Flashback. Di suatu malam, tepat di jam sembilan. Seorang gadis yang baru selesai bekerja, tampak sangat kelelahan. Gadis berkemeja putih dan bercelana jeans itu kini berjalan menelusuri kota. Menapaki jejak di pinggiran pertokoan. Malam yang sepi, ia terus melangkah pelan sambil menikmati malam yang dipenuhi dengan cahaya lampu-lampu temaram, yang tampak begitu indah menghias pinggir jalan. Langkahnya kian terasa berat. Tatkala ia semakin mendekat ke arah sebuah rumah kecil tempatnya ia tinggal sekarang. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk ia pulang. Malah justru membuatnya merasa sangat tertekan. Lalu, ketika ia hampir sampai di depan rumah, dirinya merasa sedikit keheranan. Dahinya mengernyit saat melihat sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan, depan rumah. Dalam hatinya pun bertanya, "Mobil siapa ini? Apakah kali ini Ibu sedang berada di rumah?" Tiap kali ia pulang kerja, rumah itu biasanya akan terlihat sepi. Karena ibunya jarang sekali pulang ke
Berapa jam kemudian. Di suatu ruang bernuansa putih, dua orang paruh baya terduduk di sofa panjang, yang ada di sudut ruang. Dengan perasaan khawatir dua orang tersebut tampak cemas, menunggu seorang gadis yang kini terbaring lemas di atas pembaringan. Dua mata gadis itu tertutup rapat, masih dalam keadaan yang tak sadarkan diri. Terlihat ada beberapa luka gores ataupun memar di sekujur tubuhnya kini. Di dahinya juga terdapat plester yang menempel cantik menghiasi wajah gadis tersebut. Dan tak lupa, selang infus yang menancap di satu lengannya, menandakan kalau gadis itu kini sedang dirawat di sebuah rumah sakit. Ya, karena keteledorannya yang berlari tanpa melihat ke sekitar, hingga membuat gadis itu tertabrak sebuah mobil yang sedang melintas di jalan. Untung saja keadaan gadis itu tidak terlalu parah, sehingga tidak berakibat fatal. Akan tetapi, karena dirinya yang dalam keadaan panik, dan kejadian itu yang terlalu mendadak, hingga membuat gadis itu sangat syok dan jatuh p
Di pinggir jalan. "Woy, berhenti! Jangan kabur!" Dua orang pria berbadan kekar sedang berlari mengejar seorang gadis. Terlihat, dua kaki mungil telanjang tanpa alas, terus berlari tiada henti di tepi jalanan yang sangat sepi. Suara napasnya menderu dan tersengal-sengal. Kadang dada terasa sesak, kala oksigen senyap tak terhirup dari lubang hidung. Jantungnya berdetak kencang tak beraturan. Rambut tergerai acak-acakan, wajah pun dipenuhi peluh. Padahal, angin malam di luaran sana terasa dingin menyentuh kulit. Namun, bulir-bulir bening seolah tak mau berhenti mengucur deras membasahi tiap jengkal kulit langsat-nya. Wajah gadis berambut panjang sebahu itu terlihat ketakutan. Sesekali ia menoleh ke belakang. Memastikan bahwa orang yang sedari tadi mengikutinya, masih terus mengejarnya atau tidak. Waktu sudah menunjukan pukul 23.00 WIB. Jalanan itu tampak lenggang, tidak terlihat ada banyak aktifitas orang yang melintas di sekitar jalan. Hanya ada beberapa mobil dan kendaraan b