"Lima ratus juta! Aku mau lima ratus juta. Aku jamin kalau dia benar-benar masih perawan dan belum pernah disentuh oleh siapa pun!" tandas Tamara, dengan entengnya menyebutkan nominal harga yang ia inginkan. Wanita paruh baya itu bagai sedang menawarkan suatu barang dagangan saja. Padahal, yang ia jual adalah keperawanan anak gadisnya sendiri.
"Apaa?! Lima ratus juta? Gila! Kau benar-benar sudah tidak waras!" Mata Bramantyo langsung melotot syok mendengarnya. Tentu saja lelaki tua itu terlihat sangat kesal dengan nominal yang disebutkan oleh Tamara. Nominal itu terlalu besar buat membayar anak seorang pelacur. Walau putrinya masih perawan, tetapi bagi Bram, itu angka fantastis yang tidak masuk akal. "Kau meminta uang bayaran, atau mau memerasku, hah?" Dengan acuh Tamara mengangkat bahu. Tanda ia tidak perduli dengan respon Bram yang sedang meneriakinya kesal. "Itu sih, terserah kau saja, Bang. Kalau setuju, silahkan! Kalau tidak, ya udah sana-sana kau pergi saja deh sekarang!" Tamara mengibaskan tangan, sebagai tanda mengusir Bram dari rumah. "Lagi pula, jika kau tak mau, masih banyak orang yang mengantri demi mendapatkan putriku yang masih ting-ting itu, kok!" Tamara tampak tersenyum sinis padanya. Bram terdiam sesaat, ia seperti sedang berfikir. Sungguh ia sangat menginginkan dan tergiur dengan gadis itu. Apa bila ia tak bertindak cepat, benar kata Tamara, pasti ada banyak laki-laki lain yang juga menginginkan gadis tersebut. Hingga pada akhirnya ia pun berkata, "Ok, aku setuju. Tapi, uang yang lima ratus juta itu akan kuberikan setelah aku menikah dengannya nanti." "Ok, deal." Dengan senang hati Tamara langsung menyetujui tawaran itu. "Tapi, tidak terpotong sama hutangku itu loh, Bang. Jadi, besok aku mau terima utuh uang lima ratus juta." "Ok, tapi, aku ingin membawa gadis itu malam ini juga. Dan besok pagi aku akan langsung menikahinya." Lelaki itu tersenyum miring, merasa senang. Karena sebentar lagi ia akan segera memiliki gadis itu. Tetapi, ia juga sedikit kesal dengan cara licik Tamara yang memanfaatkan keadaan ini untuk bisa terbebas dari hutang. "Eh tunggu, sabar dululah, Bang! Gak sabar banget, sih," sungut Tamara mendengkus kesal. "Yah, karena kalau nunggu besok, takutnya nanti anakmu tidak mau dan malah kabur dari sini, bagaimana?" "Oh, jadi Abang takut, kalau aku akan menipumu gitu, Bang?" "Ya, siapa tau begitu?" "Ok, tapi beneran ya, Bang. Setelah kalian menikah besok, kau akan langsung memberikan uang itu 'kan?" Bram mengangguk mantap. "Ya ya ya, langsung aku tranfer besok." "Baiklah, kalian tunggu sebentar! Aku akan memanggilnya." Kemudian wanita paruh baya itu langsung pergi menuju kamar sang anak. Sementara ke tiga pria itu dengan sabar menunggu di ruang tamu. Syaqilla yang semula akan merebahkan diri di atas kasur, merasa kaget saat mendengar ada suara ketukan pintu. Sehingga ia terpaksa menunda keinginannya untuk beristirahat. Dengan malas ia beranjak dari tempat tidur, dan berjalan menuju pintu. Kleek! Saat pintu terbuka, ia cukup kaget melihat ibunya. "Eh, Ibu. Ada apa?" tanya Syaqilla. "Sekarang kamu siap-siap ikut Pak Bram!" perintah Tamara tiba-tiba. "Hah, siap-siap?" Syaqilla mengerutkan dahi, merasa bingung tidak mengerti maksud dari perkataan ibunya. "Siap-siap untuk apa? Da-dan Pak Bram itu siapa, Bu?" "Ya siap-siap untuk ikut Pak Bram ke rumahnya, Syaqilla!" "Huh, ke rumahnya? Untuk apa aku ikut ke sana?" "Kamu akan ibu nikahkan dengannya, Besok! Dan Ibu tidak ingin ada bantahan sedikit pun darimu, titik!" "A-apa? Me-menikah?!" Tentu saja gadis itu langsung terpekik kaget. Ucapan ibunya bagaikan petir di siang bolong. Seketika itu juga, rasa kantuk yang sedari tadi ia rasakan, hilang begitu saja. Mendengar kata 'Menikah' membuatnya sangat syok dan tidak bisa berkata apa-apa. "Ja-jadi, ma-maksud Ibu aku harus menikah dengan Pak Bram?" ucapnya terbata-bata. "Ya, bukannya kamu ingin Ibu berhenti dari pekerjaan itu 'kan?" Syaqilla menggangguk. "Makanya kamu harus menikah dengan Pak Bram," lanjut Tamara. Syaqilla terdiam mematung, masih mencoba mencerna perkataan dari ibunya. Namun, tiba-tiba Tamara malah menarik tangan, dan dengan paksa membawanya menuju ke ruang tamu. "Aww, sakit, Bu!" pekik Syaqilla menahan sakit di pergelangan tangan. Karena sang Ibu mencengkram nya terlalu kuat. Namun, ia terpaksa mengikuti langkah sang ibu yang menyeretnya ke ruang depan. Tamara menghempaskan tangan Syaqilla kasar. "Ini, dia. Kalian boleh membawanya sekarang juga!" Gadis bergigi gingsul itu sampai terbengong dibuatnya. Ia tidak mengira kalau Ibunya ini tega menyerahkan dirinya kepada pria yang bernama Bram. "Tunggu! Sebenarnya apa yang terjadi, Bu? Kenapa aku harus ikut mereka? Aku tidak mau!" Syaqilla bersuara lantang mencoba melawan perintah ibunya. "Apa, kamu bilang? Tidak mau? Kamu mau jadi anak durhaka, yang membangkang pada orang tua, hah!" Dengan sangat geram Tamara berteriak dan melotot tajam ke arah Syaqilla. "Tapi, aku belum mau menikah. Dan kenapa pula Ibu tiba-tiba saja menjodohkan ku dengan Pak Bram?" protesnya lagi. "Pak Bram itu orang kaya, orang terpandang, Syaqilla! Kamu bisa hidup enak tanpa harus capek-capek kerja keras seperti yang sekarang ini. Dan pastinya dia akan cukupi semua kebutuhanmu nanti. Jadi, kurang enak apa lagi, coba?" ujar Tamara, memberikan berbagai alasan untuk membela diri. Padahal dalam hatinya, ia hanya ingin mendapatkan uang yang banyak tanpa memperdulikan bagaimana nasib gadis itu kedepannya nanti. "Tapi, bukan seperti ini yang aku inginkan, Bu. Aku hanya ingin hidup damai bersama Ibu. Dan aku ingin Ibu menyayangiku, itu aja sudah cukup." "Kalau soal uang, aku masih sanggup bekerja untuk Ibu." Dengan menatap sedih, Syaqilla mulai mengungkapkan isi hatinya yang ia pendam selama ini. "Alah, omon tersenyum sinis, Tamara mengibaskan tangan, seolah meremehkan omongan putrinya. "Memangnya dengan kamu, bekerja sebagai pelayan toko, berapa uang yang bisa kamu berikan ke Ibu, huh? Buat makan aja kurang, sok-sok'an mau ngebahagiain Ibu!" Syaqilla masih terdiam membatu, menatap tidak percaya, kalau sang ibu akan berkata seperti itu padanya. Jadi, selama ini yang ibunya pikirkan hanyalah uang dan uang. Dia tidak pernah memikirkan perasaanya sedikit pun. Perlahan bulir-bulir bening seperti kristal mulai mengalir di kedua pipi. Hatinya terasa sangat sakit. Ternyata memang benar, ibunya tidak pernah menyayanginya dengan sepenuh hati. Lalu, sebenarnya apa tujuan beliau mengajaknya untuk tinggal di rumah ini? Jika saja Syaqilla tahu, kalau ibunya tak pernah menyayanginya. Ia akan lebih memilih untuk tetap tinggal di pantai asuhan. "Ibu, apakah Ibu pernah menyayangiku walau hanya sedikit?" tanya Syaqilla tiba-tiba. Degh!Deg! Seperti seorang maling yang kepergok oleh sang pemilik rumah. Suara Natasya bagikan aliran listrik yang merayap hingga ke seluruh tubuh. Syaqilla langsung membeku seketika. "CK ck ck! Lihat siapa ini, yang tengah malam begini baru pulang?" Sambil menggelengkan kepala, Natasya mulai bergerak mendekati Syaqilla yang tampak bergeming di tempatnya. Tatapan gadis itu begitu tajam siap untuk mengintimidasi. Syaqilla menelan ludah, wajahnya tampak menegang, mulai merasa ketakutan. "Dari mana saja kau, Syaqilla? Oh, aku tahu. Wanita dari panti asuhan, yang asal usul tidak jelas sepertimu itu, pasti memang suka sekali keluyuran tiap malam, ya?" Sembari tersenyum miring, Natasya mulai mengejek. "Tidak." Syaqilla menggelengkan kepala. "Em, saya tadi--" Belum sempat ia membela diri, Natasya lebih dulu menyela. "Habis ketemuan dengan Alvaro, kan?" Glek! Susah payah, Syaqilla kembali menelan ludah kasar. Ia merasa seperti seorang penjahat yang sedang diintrogasi oleh polisi
Setelah hampir satu jam kemudian. Akhirnya dengan sangat terpaksa, mau tidak mau, Alvaro harus mengantarkan sang gadis pujaan hatinya untuk pulang. Sebenarnya kalau boleh jujur, ia masih sangat ingin terus bersama dengan gadis itu. Namun, berhubung waktu yang sudah cukup larut malam, memang sudah sepatutnya seorang gadis tak boleh keluyuran di luar rumah. Sehingga ia pun ingin mengantarkannya ke rumah sang majikan Syaqilla, yang tak lain adalah rumah keluarga Mahendra yang sekaligus rumah orang tuanya Natasya. Jika mengingat bagaimana perlakuan kasar yang pernah dilakukan Natasya pada Syaqilla. Dirinya jadi merasa sedikit khawatir juga was-was, takut jika sampai Natasya nanti akan mengulangi perbuatannya lagi, bagaimana? Rasa cemas mulai menjalar di pikiran. Hatinya pun jadi tak tenang. Hingga jiwa kepahlawanannya pun muncul dan rasa ingin melindunginya tumbuh begitu saja. Membuatnya bertekad ingin jadi sang pelindung gadis tersebut. Di sepanjang jalan, walaupun merasa cemas,
Setelah melakukan pertolongan medis, Alvaro yang masih tampak lemas duduk bersenden di atas ranjang pasien. Dengan wajah cemas, Syaqilla terlihat tak tenang, setia duduk menunggu di samping ranjang. Sementara orang lainnya sudah disuruh pulang oleh Alvaro. Sehingga kini hanya tinggal mereka berdua di ruang IGD sebuah klinik terdekat dari tempat mereka berkelahi tadi. Jujur Syaqilla merasa sedikit canggung juga gelisah tak tahu harus bersikap bagaimana ia sekarang? Karena semenjak beberapa hari lalu, mereka sudah lama tak saling jumpa, membuatnya jadi merasa kikuk dan serba salah. "Terima kasih, karena tadi sudah mau menolongku." Akhirnya setelah cukup lama mereka saling diam, Syaqilla mulai bersuara. Alvaro tersenyum. Namun, sedetik kemudian ia meringis karena merasa sedikit nyeri di sudut bibirnya. Syaqilla yang melihatnya pun segera mendekat dan dengan ragu tangannya mulai terulur menyentuh pelan sudut bibir Alvaro yang masih tampak memerah. Sungguh ia tak tega melihat k
Tentu saja Alvaro langsung naik pitam. Dengan rahang mengeras ia melotot tajam ke arah Raka. "Jangan berani-berani kau mendekati Syaqill! Jika sampai kau berani menyentuhnya walau hanya sedikit, aku pasti akan langsung menghajarmu, Raka!" ancamnya geram. Namun, bukannya takut, Raka malah tertawa lantang. Ia merasa senang dan sekaligus tertantang mendengar ancaman Alvaro yang sudah mulai terpancing emosi. "Ukh, aku jadi takut, Alvaro!" Dengan wajah songong lelaki itu berpura-pura takut. "Mari kita lihat, jika aku berani menyentuh gadis itu, apa yang bisa kau lakukan, Varo?" Lalu Raka bergerak mendekati Syaqilla. Otomatis gadis itu langsung bergerak mundur ingin menjauh. Namun, tak bisa. Karena sang anak buah Raka menahan tangannya. "Aku bilang berhenti, Brengsek! Lepas, kalau kalian berani hadapi aku satu per satu. Jangan cuma beraninya main keroyokan begini! Dasar pengecut kalian!" Alvaro masih saja terus mengoceh berusaha untuk memberontak. Mendengar kata pengecut, Raka cu
Wajah Syaqilla panik, ia menelan ludah, merasa sedikit ketakutan. Lalu, dengan tanpa mau berkata, gegas ia membalikkan badan ingin segera pergi meninggalkan lelaki tersebut. Namun, apa yang terjadi? Tiba-tiba saja lelaki berpenampilan seperti preman itu langsung meraih tangannya dan berkata, "Eh, mau ke mana, Cantik!" Raka tersenyum menyeringai. "Ikh, lepasin!" Tentu saja Syaqilla menggerakkan tangan, berusaha untuk bisa terbebas dari cengkeraman lelaki itu. Semua orang, yang merupakan anak geng Rajawali itu tertawa lantang. Merasa sangat senang dan terhibur melihat wajah tegang Syaqilla. "Jangan galak-galak dong, Nona! Aku hanya ingin menawarkan bantuan. Bukankah kau mau pulang? Biar aku antar, ya?" Dengan gaya sok pura-pura baik, Raka menawarkan tumpangan. "Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri! Jadi, lepasin aku sekarang! Kalau tidak, maka aku akan teriak. Biar semua orang datang menghajar kalian!" Sambil memasang wajah galak, Syaqilla memberanikan diri memberi mereka anca
Brugh! "Aww ...." Karena takut, pada akhirnya Natasya menyingkir dan ia pun jatuh terduduk di samping motor Alvaro melintas. "Ya ampun, Tasya kamu tidak apa-apa?" Dua orang temannya langsung datang menghampirinya. Lalu, mereka ingin membantu untuk bangun. Namun, karena rasa kesal yang sedang membara di dalam dada, gadis itu menangkis kasar uluran tangan dari keduanya. "Aw, Tasya! Kenapa malah dipukul? Sakit tau!" keluh Sonia sedikit kesal. "Pergi! Tinggalin aku sendiri!" bentak Natasya beram. "Ta-tapi--" "Pergi! Aku bilang pergi!" Natasya mulai terlihat histeris. Otomatis semua orang yang melihatnya jadi ketakutan. "Ya ya, udah. Ayo, kita pergi! Biarin dia sendirian dulu?" ajak Renita mengajak temannya untuk segera menjauhi gadis tempramen tersebut. Setelah keduanya pergi. Untuk meluapkan emosi, yang serasa telah sesak memenuhi dada. Bagai orang yang tak waras, Tasya kembali berteriak, "Argh!" Sungguh, rasa benci terhadap Syaqilla kian bertambah besar. Dan bahkan