Ciuman kedua yang panjang masih berlanjut. Mereka terpejam dan semakin bisa merasakan semuanya. Tangan Berliana tak lagi memegang cangkir kopi. Tak lagi juga menelusuri dagu Vero yang dipenuhi bulu pendek selepas cukur.
Tangan perempuan itu kini melingkar di leher panjang nan kokoh Vero. Urat-urat besar leher terasa begitu seksi di telapak tangannya. Sesekali ia menarik leher Vero agar lebih dekat dengannya. Meskipun mereka sudah tanpa jarak. Meskipun mereka kini berciuman dengan perasaan terdalam.
Tak ada lagi perasaan ragu di dalam hati mereka masing-masing. Tak ada rasa canggung bagi Berliana. Meski Vero adalah laki-laki yang baru kemarin ia jumpai. Perempuan mana saja pasti akan merasa ternoda jika jadi Berliana. Segampang dan sesingkat itu laki-laki ini mendapatkan bibirnya.
Tak ada perasaan ragu juga di dalam hati Vero. Tak perlu merasa sungkan sebab perempuan yang ia cium sekarang adalah atasannya. Tak ada yang pe
“Vero, kita ga bisa lakuin ini terus-terusan,” cegah Berliana. Vero tengah mengimpit tubuhnya ke tembok. Ini jam kerja dan semua orang tengah sibuk di bawah sana.Vero terbelalak mengangkat alis heran. “Ta ... tapi kenapa Mbak? Padahal dua minggu yang la ....”“Vero Cukup!!” bentak Berliana.Membuat laki-laki di depannya menundukkan muka. Menghela napas panjang, beringsut mundur tak lagi mengimpit tubuh Berliana dengan tubuhnya. “Tapi kenapa Mbak! Kenapa?”“Karena kamu dan aku itu beda, Ver! Beda jauh sekali, dari segi mana pun!”Vero menelan ludah begitu kalimat barusan meluncur ringan dari mulut Berliana. Tenggorokannya tidak kering, tapi seketika semua kalimat jawabannya tercekat. Tak sanggup melewati tenggorokannya.Kalimat Berliana barusan melukai perasaannya. Relung hatinya tersayat ol
“Antar ke meja nomor dua!” suruh Dhita pada Vero. Tanpa menunggu aba-aba ulang laki-laki itu sudah bergerak menaruh nampan. Ganti mengangkat nampan yang sudah disiapkan Dhita.Hari ini Coffe and Snack resto JANDA ramai pengunjung. Tak hanya di luar, tapi juga di dalam. Hampir semua tempat penuh. Dari dua puluh lima tinggal satu meja yang dekat dengan pintu masuk yang masih kosong.Vero, Angga bahkan Januar sampai turun tangan melayani pengunjung.Vero bahkan baru saja mengantar pesanan dari luar. Dua kopi Toraja, satu es campur, satu wedang belimbing wuluh, dan sepiring camilan jajan tradisional yang dipilih oleh pembeli sendiri.Baru selesai dari depan, baru sampai depan pintu sudah harus kembali lagi dengan pesanan yang sudah disiapkan Dhita.Di belakang kesibukan dapur tidak kalah riuh. Dhita dan Vera silih berganti mengisi nampan baru dengan berb
Hening sebentar waktu dua pasang mata saling bertatapan. Waktu seakan berhenti meski sebentar. Alunan musik yang sebelumnya diputar oleh Berliana juga tepat sekali pas berganti.Membuat suasana bertambah hening dan keduanya sama-sama canggung bertatapan.Apa seutuhnya hening dan sepi? Sebetulnya tidak juga. Resto yang ramai di bawah sana. Suara gemuruh percakapan orang seperti sekawan lebah madu di dalam sangkar. Suara alat masak yang beradu di tangan Wilda dan Dhita, meramu berbagai pesanan.Bahkan jika didengar saksama suara jarum jam Berliana juga ikut berpartisipasi suara.Tapi kesepian yang terjadi lebih dari itu. Mereka berdua seakan tak tahu, kata pertama apa yang pantas keluar dari mulut mereka.Hingga sebuah petikan gitar mengambil alih percakapan mereka. Ya, lagu Berliana berputar kembali dan mereka sama-sama tahu melodi siapa yang tengah diputar.
“Temani?” Vero mengangkat alis.Berliana mengangguk, masih dengan tangan dingin dan gemetarnya yang menahan Vero pergi.Matanya, meski Vero tak dapat melihatnya langsung, laki-laki itu tahu Berliana tengah sangat memohon padanya.“Maaf,” jawab Vero. Jemari tangannya menggeliat melepaskan diri. Melepaskan diri dari genggaman tangan Berliana.“Saya kira kita masih jauh berbeda. Dari sisi mana pun,” lanjutnya dengan amat menyakitkan.Sepatu pantofel kerja yang Vero kenakan mengetuk lantai. Tapi suaranya seolah menyalak di telinga Berliana. Kepergian, dan penolakan terang-terangan itu seperti menggarami hati Berliana yang berdarah.Ia ingin melanjutkan tangisnya. Tapi udara dingin dan sikap Vero, membuatnya diam. Tak ada air mata yang tersisa. Tak ada kesedihan yang sanggup ia tangisi lagi.Ia ingin sekali
Untuk jangka waktu yang cukup lama akhirnya bibir mereka bertemu lagi.“Buat aku tak menyesal dengan pilihanku sore ini, Ver,” ucap Berliana.“Masih adakah orang yang mampu seperti itu Mbak?” Ujung jari Vero menelusuri garis wajah Berliana. Menyingkirkan anak rambut yang berantakan dari pipi dan matanya. Memandang jauh ke dalam bola mata yang dengan iris berwarna coklat terang.“Kita hanya bisa membuat penyesalan terasa lebih indah,” lanjut Vero.Laki-laki itu mendorong tubuh sintal Berliana. Tubuh yang sedikit lebih pendek darinya namun padat berisi. Membuat perempuan itu melenguh saat tubuhnya merapat ke meja. Hanya satu gerakan bagi Vero untuk mengangkat tubuh perempuan itu, menaikkannya.“Jadi,” tagih Berliana.“Jadi?” tatap Vero.“Bisakah kau memberikan penyesalan pali
Vero berdiri, membiarkan perempuan yang tadinya ada di bawah tubuhnya menikmati orgasme panjang. Dengan tenang ia berjalan ke arah meja bar kedai. Mengambil dua botol minuman.Cukup lama mereka terdiam hingga kemudian Vero memecahkan keheningan.“Apa malam ini telah usai?” ucap Vero sambil menyandarkan tubuh di meja tempat Berliana terkulai lemas. Ia membuka dua botol. Satu botol ia minum sendiri. Satu lagi ia letakkan dekat tubuh Berliana.Lumayan lama pertanyaan Vero menggantung. Hingga kemudian perempuan itu terpingkal. Susah payah bangun, duduk di tepian meja tempat Vero menyandarkan tubuhnya.“Abis ganas banget mainnya sih! Jadi cepet keluar kan,” jawab Berliana. Tangannya sibuk mengelap sisa keringat di keningnya. Sambil meraih botol minuman yang sudah Vero bukakan.Vero menerawang jauh ke depan. Matanya kosong, tak menduga malam ini akan terjadi. Ia
Di bawah sinar lampu kamar Berliana adegan itu masih berlangsung. Pelan-pelan Berliana mulai menyukai perannya sekarang.Dari menjadi seorang bos Vero. Memerintah laki-laki itu sesuka hatinya. Membuatnya jadi budak kepuasan birahinya. Hingga kini, dirinya jadi seperti pelacur semalam untuk Vero.Semua bagian punya sensasi debar jantung sendiri-sendiri.Bayangkan seorang laki-laki mengangkat kedua pergelangan tanganmu ke atas. Kemudian menjilati semua bagian tubuhmu dan berlama-lama di bagian sensitif. Pusar, pinggang, ketiak, tengkuk, telinga, mengingat beberapa menit yang lalu di bawah sana membuat gairah Berliana makin menggebu.Tangannya mengepal, menggenggam pangkal batang itu. Meski tak cukup, ia tetap menikmati sensasi saat kulit batang itu bertemu kulit tangannya. Apalagi kulit bagian tubuh Berliana yang lain.Seperti saat ini pelan-pelan bibirnya ikut merasakan sensasi it
“Kau harus segera tidur sesampainya di rumah!” Perempuan itu jadi berubah jadi perhatian pada Vero. Dua orang itu tengah menuruni satu persatu anak tangga menuju lantai satu Resto.Vero mengangguk, sebenarnya berat rasanya untuk pulang.Tak terasa sudah pukul sepuluh malam. Permainan mereka bahkan masih bisa masuk ke ronde berikutnya. Tapi Vero tak akan tega melakukan itu pada Berliana.“Jadi, bagaimana tentang kita?” tanya Vero.Pertanyaan yang mencekik tenggorokan, membuat Berliana mati langkah. Ia berhenti di satu anak tangga lebih tinggi dari Vero berdiri.“Ak ... aku belum bisa memutuskannya sekarang, Ver,” jawab Berliana ragu.Vero tersenyum kecil. Memutar badannya menelisik mata Berliana. “Karena?” tanyanya lagi.Perempuan itu menghela napas panjang, sebentar kemudian menggel