"Biarkan dulu. Sekali saja ya?" Sekar coba berdiri dan berpose di hadapan kamera orang yang minta foto dirinya.
"Terima kasih, Mbak, senang bisa bertemu dengan Anda." "Sama-sama." Senyum manisnya begitu ramah, dia tidak mau jika dengan bersikap dingin akan membuat reputasi ayahnya akan memburuk. Padahal dia ingin menikmati waktu tanpa diganggu sekedar meminta foto bersama. Hidupnya harus diatur, dia tidak bisa melakukan hal sesuka hati apalagi sampai melukai perasaaan rakyat. Dia mau saja meski tidak ingin diganggu karena sedang menikmati makan. "Sebaiknya kita cepat pulang," ujar Panji setelah menutup sambungan teleponnya. Seperti ada yang penting harus dilakukan. "Pasti Ayah marah lagi. Ya sudah, kita pulang sekarang." Wajahnya sendu mengingat jika waktu yang dijalani sekarang tidak sama seperti keinginan dia sendiri. Walaupun masih ingin berkumpul bersama mereka, Sekar tetap harus pulang. Sesampainya di rumah tampak sedang ada beberapa orang di sana. Ada juga Wira yang sedang bercanda dengan beberapa staf. Senyum manisnya itu membuat candu, dia begitu tampan di mata Sekar. "Malam, Ayah, maaf Sekar—" "Tidak apa-apa, ayo duduk di sini, kita makan malam bersama." Sekar pikir ayahnya akan marah karena dia baru sampai rumah pukul 8 malam. Ternyata mereka harus cepat pulang karena ada acara makan bersama. Mata Sekar melirik ke arah Wira yang tak sengaja juga menatapnya. Mereka saling menatap sampai seseorang menghalangi pandangan mereka. "Tidak, Sekar masih kenyang. Sebaiknya Sekar ke kamar," ujarnya yang langsung berjalan meninggalkan ayahnya. "Mau ke mana? Makan dulu, sayang." Sekar berpapasan dengan ibunya yang baru bergabung, namun dia tetap menolak. Dia hanya ingin ke kamarnya dan merebahkan tubuh. Di kamar setelah membersihkan tubuhnya, Sekar duduk di meja belajarnya. Dia kembali menggambar, kali ini dia menggambar di Ipad kesayangannya. Seorang pria tampan dengan senyum manis yang menjadi khayalan sekarang. Suara ketukan pintu dan tak lama seseorang membuka pintu kamarnya pelan setelah mendengar Sekar memintanya masuk. "Kenapa membawa makanan ke sini, Mbok. Aku sudah makan sebelum pulang, aku masih kenyang. Bawa kembali saja," tutur Sekar. "Kata Mas Panji, Mbak tadi hanya makan sedikit karena salah pesan. Ibu sedang mengerjakan laporan bersama asistennya, jadi Mbok yang membawanya ke sini. Makan dan segera istirahat," ujar Mbok Nanik, namun Sekar tetap tidak mau. "Siapa yang Mbak gambar kali ini? Apa itu Mas Wira?" Mbok Nanik sudah berdiri di samping Sekar menatap gambar setengah jadi itu. "Apa terlihat sama? Oh ya, Mbok, apa Mas Wira sudah pulang?" tanya Sekar mengalihkan obrolan. Jam menunjukan pukul 10 malam, tapi dia belum merasa mengantuk. "Mas Wira masih ada. Mau Mbok bantu untuk menemuinya?" "Tidak, hanya bertanya saja," jawab Sekar. Wira menjadi objeknya sekarang. Dalam imajinasi dia menggambar pria tampan yang "Mbok pikir beberapa hari ini Mbak terus menatapnya. Kenapa tidak mengajaknya bicara saja. Mas Wira sedang bercanda dengan yang lain, kesempatan untuk mendekatinya, Mbak." Mbok Nanik mendukung saja jika Sekar memang menyukai Wira. Apalagi pria yang menjadi fokus Sekar begitu tampan. "Nyaliku menciut Mbok, saat berhadapan dengannya. Kira-kira dia sudah memiliki pacar apa belum ya?" tanya Sekar. "Besok biar Mbok mencarikan informasi. Kenapa tidak tanyakan Mas Panji saja, katanya mereka itu kenal sebelumnya. Pernah berada di divisi yang sama," jawab Mbok Nanik. "Tidak ah, nanti malah diejek sama Mas Panji. Aku malu, tapi juga penasaran, apa pria setampan Mas Wira sudah memiliki pendamping atau belum." "Semoga saja belum, Mbak. Nanti biar Mbok bantu mencari informasi yang akurat, tenang saja. Sekarang sebaiknya Mbak makan biar Ibu tidak khawatir. Kalau tidak mau, minum habis susunya." Sekar memilih minum segelas susu, dia sedang tidak nafsu untuk makan, itu sebabnya dia tidak mau makan malam bersama yang lain. "Kalau memang dia masih lajang, bukankah itu kesempatan untukku." Senyumnya merekah ketika dia mengingat wajah tampan Wira, pria yang dia temui pertama kali di Mall waktu itu."Mas—" Wira malah diam tanpa memberi jawaban atas apa yang Sekar katakan."Ya, aku pulang. Kalau begitu tutup teleponya." Wira tidak bisa membohongi Sekar dan memilih pulang.Dalam perjalanan pulang dia menghubungi Gala untuk tidak jadi pergi karena Sekar memintanya pulang. Mungkin belum waktunya dia menemukan kebenaran akan keluarganya.Dengan perasaan yang campur aduk, Wira masuk ke dalam rumah. Dia bersikap tidak terjadi apapun dan mendengarkan apa yang Sekar mau. Bukan apa-apa, hanya memeluk tubuh suaminya saja, dan mengajaknya bicara. Padahal ada hal yang lebih penting. Masalahnya Wira tidak menceritakan, kalau saja bilang dengan jujur mungkin Sekar mengiyakan."Mas tidak kembali ke Batalyon?" Setelah beberapa saat di rumah dan menemani suaminya makan, Sekar berbaring di pangkuan Wira yang duduk menatap layar TV."Tidak. Aku akan menemanimu. Mau ke kamar sekarang? Aku akan membantumu.""Tidak ap
"Mas, ada apa? Bangunlah! Mas!" Panggilan Sekar membuat Wira yang tidur sambil berteriak membuka mata dengan nafas memburu."Ada apa, Mas?" tanya Sekar yang duduk sambil menatap Wira.Tanpa menjawab, Wira bangun dan memeluk erat tubuh istrinya. Nafasnya masih memburu tanpa mengatakan apapun. Sekar yang khawatir membalas pelukan Wira dengan mengusap pelan punggung suaminya. Keringat membanjiri tubuhnya, tapi tidak peduli akan itu Sekar masih memeluknya."Maaf, aku bermimpi buruk. Seseorang mengejarku sampai akhirnya dia berhasil mencekik ku.""Minumlah dulu." Sekar menyodorkan air minum untuk suaminya. Dia tampak seperti orang yang baru berlari bermil-mil jauhnya."Beberapa hari ini Mas terus bermimpi buruk, ada apa sebenarnya? Apa ada beban pikiran yang Mas tidak katakan padaku? Ceritakan saja Mas jika itu menganggu dirimu." Wira hanya menggeleng pelan. Dia kembali membawa Sekar dalam pelukanya.Sete
— Flashback —Seorang anak laki-laki berusia 19 tahun sedang menggendong adiknya keluar rumah agar tangis sang adik berhenti, namun tidak. Sepanjang jalan adiknya terus menangis dalam gendongannya. Terpaut usia 14 tahun, tidak membuat anak laki-laki itu lantas malu memilik adik, apalagi dia harus merawat adiknya ketika kedua orang tuanya sibuk bekerja.Hidupnya sendiri sudah berat dan jarang mendapatkan kasih sayang, sekarang di usianya 18 tahun, dia harus merawat adiknya yang baru 5 tahun. Tubuhnya sangat lelah, namun dia tetap coba membujuk adiknya agar tidak menangis lagi. Sejak pagi sang adik sudah menyusahkan neneknya.Dia, Wira Cahyadi, peserta Taruna Akmil yang sedang menjalani pendidikanya untuk menjadi Perwira. Dia mendapatkan ini karena kemapuannya, selain tampan, dia juga pintar. Itu sebabnya dia berhasil masuk dengan sekali tes, dan beasiswa yang dia dapat."Mas, mau ibu ..." rengek anak kecil yang ada di gendonganya.
10 lembar uang pecahan 100 dolar berserta surat menjadi fokus Wira. Dia diam dalam mobil sebelum melajukannya, dia penasaran siapa sebenarnya yang mengirimkan uang sebanyak itu."Bawa Mas saja, aku tidak mau membawanya," ucap Gala."Jika ini memang dari mereka, untuk apa baru sekarang mereka memberinya." Wira langsung berpikir jika itu dari orang tuanya, siapa lagi pikirnya, apalagi kata-kata dalam suratnya seperti itu."Tidak tau, bagiku Mas jauh berarti dari mereka, karena Mas aku bisa seperti ini. Aku tidak mengenal mereka dan tidak ingin bertemu dengan mereka."Wira diam, dia sendiri bingung. Hati kecilnya mengatakan hal yang sama, namun dia juga ingin tau apa orang tuanya masih hidup atau tidak dan alasan apa yang membuat mereka pergi begitu saja."Jangan ceritakan pada Sekar nanti, aku tidak ingin dia malah kepikiran dengan hal yang tidak jelas kebenaranya. Iya kalau ini dari mereka, jika tidak bagaimana. Se
"Masih terasa mual? Kita pulang saja ya?" Pria yang mengenakan Jas biru dongker, kemeja putih dengan kancing atas dibuka itu sedang berjongkok menatap istrinya yang mengeluh mual. Wanita cantik dengan kebaya warna baby blue itu coba mengatur nafas agar tidak memuntahkan isi perutnya. Sikapnya begitu manja dengan menyandarkan kepala pada bahu sang suami."Tidak mau," rengeknya."Tunggu di sini biar aku minta air hangat." Wira kemudian beranjak untuk mengambilkan air hangat untuk istrinya. Penuh perhatian hingga seseorang yang sejak tadi menatap interaksi mereka berjalan menghampiri Sekar."Suamimu baik sekali, tampan lagi. Beruntung kau mengenalnya, Mbak," sahut salah satu sepupu Sekar."Makanya jadi cegil agar kau bisa mendapatkan apa yang kau mau. Jangan hanya diam sambil menunggu.""Ngomong-ngomong, Mas Panji apa sudah menikah. Dia terlihat sangat tampan, lihatlah," tuturnya sambil menatap Panji y
"Sudah merasa lebih baik?" Wira menopang tubuh istrinya yang lemas karena sejak tadi terus memuntahkan isi perutnya. Tanpa rasa jijik Wira membantu sang istri ke kamar mandi. Tak hanya itu, dia juga menggendong tubuh istrinya. Membawa kembali ke atas tempat tidur. Bertambah hari, perut Sekar sering merasa mual hingga muntah. "Tidurlah lagi, masih terlalu pagi," ucap Wira dengan lembut. "Maafkan aku mengganggu waktu tidur Mas," jawab Sekar. "Sudah jangan pikirkan, mau minum yang hangat dulu?" Wira mengambilkan istrinya minum air hangat agar lebih enakan. Setelahnya mereka kembali berbaring dengan Sekar memeluk tubuh suaminya. Usia kandungannya jalan 12 minggu, dan beberapa hari ini Sekar mulai merasakan mual yang mengganggu harinya. Dia beruntung suaminya, Wira, selelah apa dia masih mau membantu istrinya. Seperti sekarang, dia baru pulang pukul 11 malam dan saat akan tidur malah Sekar