"Akhirnya aku terbebas dari rasa tidak nyaman ini."
Sekar melepaskan gips yang membalut kaki setelah beberapa hari dikenakan, rasanya begitu lega. Meski sedikit nyeri karena biasa terbalut, sekarang sudah tidak mengenakannya lagi karena merasa risih. Dia sudah bisa berjalan tanpa penyangga kaki lagi, dengan langkah pelan Sekar berjalan masuk rumah dinas setelah dari rumah sakit. Dia hanya pergi di temani Panji dan pengawal wanita yang bersamanya. "Nanti bisa jalan bersama Lastri kalau begitu. Akhirnya terbuka gips yang membuat hidupku kesulitan beberapa hari ini." Dia menggerutu sendiri berjalan menuju pintu masuk dengan beberapa anak tangga menjadi jalannya. Langkahnya terhenti ketika suara mobil menusuk gendang telinganya, dia menatap ke arah di mana mobil dinas sang ayah berhenti di sana. Apalagi ada Wira yang turun sebelum ayahnya. Matanya tak berkedip menatap sosok tampan yang dia temui di Mall waktu itu. "Kamu membuka gips mu, apa tidak sakit? Bukannya harus seminggu lagi." Adi menghampiri puterinya yang ada di tengah tangga sambil menatap ke arahnya berjalan. "Ya, sakit, tapi aku tidak bisa leluasa dengan gips itu. Seperti ini jauh lebih baik." Dia coba berjalan agar ayahnya tau, jika kakinya baik-baik saja. Namun, baru beberapa langkah, dia malah hampir jatuh sampai Wira yang ada di belakang Adi memeganginya agar tidak jatuh. "Itu yang kamu bilang baik-baik saja? Sebaiknya Ayah bantu kamu ke kamar," tutur Adi. "Kalau begitu gendong," renggek Sekar tanpa malu ada Wira di hadapannya. Dia melepaskan tangan Wira setelah berhasil berdiri tegak. Wira sendiri tak bersuara, dia tampak canggung setelah membantu. Meski tak lama dia menunduk, ketika mata mereka saling bertemu. "Biar saya yang membantu Mbak Sekar ke kamar. Bapak istirahat saja," pinta Wira dengan sopan, tak ingin melihat Presiden kesusahan untuk membantu puterinya masuk. Senyum bahagia itu tersungging indah di bibir Sekar, dan Adi hanya menggeleng kepala sambil tersenyum melihat tingkah putrinya yang tampak bahagia. Dia tau jika kebahagiaan bisa dekat dengan Wira, karena sang puteri mengidolakan pria tampan dengan tatapan tegasnya itu. "Saya bantu berjalan." Lah, kok berjalan. Harapan Sekar lebih dari berjalan, menggendong seperti biasanya yang dia mau. "Ah ... iya." Meski dia ingin sekali digendong, lidah Sekar tidak bisa bergerak untuk mengatakan itu. "Aduh—" rintih Sekar saat beberapa anak tangga dia lewati dengan bantuan Wira, padahal sebelumnya dia berjalan sendiri tanpa merintih kesakitan. Sekar memegang erat lengan Wira agar tidak terjatuh. Dia seperti memanfaatkan kesempatan ini untuk lebih dekat dengan pria tampan seperti Wira. "Maafkan saya." Hal yang sangat Sekar inginkan terjadi ketika Wira meminta maaf sebelum menggendong tubuh Sekar masuk. Triknya dekat dengan Wira berhasil, dia digendong dengan bahagianya. "Loh, Mbak, ada apa?" tanya Rini, pengawal wanita yang pergi bersamanya tadi. "Kenapa kamu membiarkan Mbak Sekar melepaskan gips saat kakinya masih sakit," ucap Wira pada pengawal pribadi Sekar. "Tadi Dokter bi–lang kalau—" "Aduh ... bisakah kita ke kamar saja. Kakiku terasa kesemutan, apa karena belum terbiasa itu ya." Sekar mengalihkan obrolan mereka agar tidak menyalahkan Rini. Wira segera membawa wanita yang dia gendong ke kamarnya agar bisa istirahat. Membiarkan Rini menatap bingung. Padahal Dokter bilang kondisi kakinya sudah jauh lebih baik. Pemulihannya berjalan dengan cepat, itu sebabnya Dokter membuka gips yang dikenakan. "Mbak Sekar ada-ada saja." Rini sangat tau jika Sekar memang menyukai Wira, itu sebabnya dia hanya tersenyum melihat mencari alasan agar bisa digendong. "Apa Mas sudah menikah?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Sekar yang berhasil duduk di tempat tidurnya. "Apa itu penting untuk Mbak tau?" "Mas masih saja memanggil seperti itu. Aku merasa canggung jika Mas memanggilku Mbak," sahutnya dengan wajah ditekuk. "Lantas saya harus memanggil apa? Nona?" Wajah serius Wira luntur melihat wajah Sekar yang ditekuk karena kesal. Untuk kesekian kalinya Sekar mengingatkan Wira agar memanggilnya nama, namun tidak diiyakan. "Panggil sayang saja, apa bisa?" Sekar seketika menutup mulutnya dengan tatapan melirik ke arah Wira yang hanya diam."Mas—" Wira malah diam tanpa memberi jawaban atas apa yang Sekar katakan."Ya, aku pulang. Kalau begitu tutup teleponya." Wira tidak bisa membohongi Sekar dan memilih pulang.Dalam perjalanan pulang dia menghubungi Gala untuk tidak jadi pergi karena Sekar memintanya pulang. Mungkin belum waktunya dia menemukan kebenaran akan keluarganya.Dengan perasaan yang campur aduk, Wira masuk ke dalam rumah. Dia bersikap tidak terjadi apapun dan mendengarkan apa yang Sekar mau. Bukan apa-apa, hanya memeluk tubuh suaminya saja, dan mengajaknya bicara. Padahal ada hal yang lebih penting. Masalahnya Wira tidak menceritakan, kalau saja bilang dengan jujur mungkin Sekar mengiyakan."Mas tidak kembali ke Batalyon?" Setelah beberapa saat di rumah dan menemani suaminya makan, Sekar berbaring di pangkuan Wira yang duduk menatap layar TV."Tidak. Aku akan menemanimu. Mau ke kamar sekarang? Aku akan membantumu.""Tidak ap
"Mas, ada apa? Bangunlah! Mas!" Panggilan Sekar membuat Wira yang tidur sambil berteriak membuka mata dengan nafas memburu."Ada apa, Mas?" tanya Sekar yang duduk sambil menatap Wira.Tanpa menjawab, Wira bangun dan memeluk erat tubuh istrinya. Nafasnya masih memburu tanpa mengatakan apapun. Sekar yang khawatir membalas pelukan Wira dengan mengusap pelan punggung suaminya. Keringat membanjiri tubuhnya, tapi tidak peduli akan itu Sekar masih memeluknya."Maaf, aku bermimpi buruk. Seseorang mengejarku sampai akhirnya dia berhasil mencekik ku.""Minumlah dulu." Sekar menyodorkan air minum untuk suaminya. Dia tampak seperti orang yang baru berlari bermil-mil jauhnya."Beberapa hari ini Mas terus bermimpi buruk, ada apa sebenarnya? Apa ada beban pikiran yang Mas tidak katakan padaku? Ceritakan saja Mas jika itu menganggu dirimu." Wira hanya menggeleng pelan. Dia kembali membawa Sekar dalam pelukanya.Sete
— Flashback —Seorang anak laki-laki berusia 19 tahun sedang menggendong adiknya keluar rumah agar tangis sang adik berhenti, namun tidak. Sepanjang jalan adiknya terus menangis dalam gendongannya. Terpaut usia 14 tahun, tidak membuat anak laki-laki itu lantas malu memilik adik, apalagi dia harus merawat adiknya ketika kedua orang tuanya sibuk bekerja.Hidupnya sendiri sudah berat dan jarang mendapatkan kasih sayang, sekarang di usianya 18 tahun, dia harus merawat adiknya yang baru 5 tahun. Tubuhnya sangat lelah, namun dia tetap coba membujuk adiknya agar tidak menangis lagi. Sejak pagi sang adik sudah menyusahkan neneknya.Dia, Wira Cahyadi, peserta Taruna Akmil yang sedang menjalani pendidikanya untuk menjadi Perwira. Dia mendapatkan ini karena kemapuannya, selain tampan, dia juga pintar. Itu sebabnya dia berhasil masuk dengan sekali tes, dan beasiswa yang dia dapat."Mas, mau ibu ..." rengek anak kecil yang ada di gendonganya.
10 lembar uang pecahan 100 dolar berserta surat menjadi fokus Wira. Dia diam dalam mobil sebelum melajukannya, dia penasaran siapa sebenarnya yang mengirimkan uang sebanyak itu."Bawa Mas saja, aku tidak mau membawanya," ucap Gala."Jika ini memang dari mereka, untuk apa baru sekarang mereka memberinya." Wira langsung berpikir jika itu dari orang tuanya, siapa lagi pikirnya, apalagi kata-kata dalam suratnya seperti itu."Tidak tau, bagiku Mas jauh berarti dari mereka, karena Mas aku bisa seperti ini. Aku tidak mengenal mereka dan tidak ingin bertemu dengan mereka."Wira diam, dia sendiri bingung. Hati kecilnya mengatakan hal yang sama, namun dia juga ingin tau apa orang tuanya masih hidup atau tidak dan alasan apa yang membuat mereka pergi begitu saja."Jangan ceritakan pada Sekar nanti, aku tidak ingin dia malah kepikiran dengan hal yang tidak jelas kebenaranya. Iya kalau ini dari mereka, jika tidak bagaimana. Se
"Masih terasa mual? Kita pulang saja ya?" Pria yang mengenakan Jas biru dongker, kemeja putih dengan kancing atas dibuka itu sedang berjongkok menatap istrinya yang mengeluh mual. Wanita cantik dengan kebaya warna baby blue itu coba mengatur nafas agar tidak memuntahkan isi perutnya. Sikapnya begitu manja dengan menyandarkan kepala pada bahu sang suami."Tidak mau," rengeknya."Tunggu di sini biar aku minta air hangat." Wira kemudian beranjak untuk mengambilkan air hangat untuk istrinya. Penuh perhatian hingga seseorang yang sejak tadi menatap interaksi mereka berjalan menghampiri Sekar."Suamimu baik sekali, tampan lagi. Beruntung kau mengenalnya, Mbak," sahut salah satu sepupu Sekar."Makanya jadi cegil agar kau bisa mendapatkan apa yang kau mau. Jangan hanya diam sambil menunggu.""Ngomong-ngomong, Mas Panji apa sudah menikah. Dia terlihat sangat tampan, lihatlah," tuturnya sambil menatap Panji y
"Sudah merasa lebih baik?" Wira menopang tubuh istrinya yang lemas karena sejak tadi terus memuntahkan isi perutnya. Tanpa rasa jijik Wira membantu sang istri ke kamar mandi. Tak hanya itu, dia juga menggendong tubuh istrinya. Membawa kembali ke atas tempat tidur. Bertambah hari, perut Sekar sering merasa mual hingga muntah. "Tidurlah lagi, masih terlalu pagi," ucap Wira dengan lembut. "Maafkan aku mengganggu waktu tidur Mas," jawab Sekar. "Sudah jangan pikirkan, mau minum yang hangat dulu?" Wira mengambilkan istrinya minum air hangat agar lebih enakan. Setelahnya mereka kembali berbaring dengan Sekar memeluk tubuh suaminya. Usia kandungannya jalan 12 minggu, dan beberapa hari ini Sekar mulai merasakan mual yang mengganggu harinya. Dia beruntung suaminya, Wira, selelah apa dia masih mau membantu istrinya. Seperti sekarang, dia baru pulang pukul 11 malam dan saat akan tidur malah Sekar