"Sepertinya meluangkan waktu dengan melukis akan jauh lebih baik."
Sekar diantarkan ke tempat yang dia mau, dia membeli beberapa alat untuk menggambar. Dia duduk di batu besar dekat jurang yang ada dihadapannya dengan alat gambar di tangan, sambil menatap bentangan hijau, dia tidak merasa takut duduk di sana. Suasana yang tenang dan juga udara yang segar membuat Sekar merasa nyaman. Pohon besar yang tak jauh darinya menutupi Sekar dari sinar matahari yang terik. Perlahan tangannya digerakan untuk menggambar sesuatu yang ada di pikirannya. Panji dan pengawal yang lain ada di dekatnya, namun mereka tidak berani mengganggu. Panji memberinya waktu 1 jam untuk Sekar yang ingin melampiaskan kesedihannya dengan menggambar. Dia tidak bisa meluapkan kesedihan yang dirasakan di rumah, itu hanya akan membuat orang tuanya khawatir. Sebuah rumah dengan taman yang indah, tergambar di kertas dari tangan Sekar. Bukan rumah istana, hanya rumah sederhana. Begitu detail gambarnya hingga terlihat nyata. Walau tidak ada warna dalam gambar itu, namun gambar itu begitu indah. Air mata menetes begitu saja tanpa di minta, kesedihan yang dia rasakan begitu menyiksa. Dia seperti sedang rindu dengan kesederhanaan yang dulu. "Apa kita bisa pulang sekarang?" Panji yang merasa sudah 1 jam membiarkan Sekar di sana, coba menghampirinya. "Bukankah rumah yang cantik, Mas?" Sebelum menoleh, dia menyeka kasar air mata sebelum menjawab Panji. Dia menunjukkan hasil karyanya. Sebuah rumah sederhana dengan keluarga bahagia. Seperti keinginannya, dia berharap keluarga bahagia, meski itu sulit dia dapat. Padahal hal seperti ini sudah sejak lama dia lalui, namun dia masih berharap keluarga yang sederhana. Dia harus mulai menerima kenyataan, jika ini memang menjadi kewajibannya sebagai anak Adi Bagas. Harus mengalah dengan pekerjaan orang tuanya, membuat Sekar kurang perhatian. Bukan berarti orang tuanya tidak sayang, ataupun tidak peduli. Hanya saja berkeinginan memiliki keluarga kecil yang bahagia tanpa memikirkan politik itu sulit Sekar lakukan. "Apa memangnya itu?" tanya Panji. Dia coba mengajak bicara agar kegelisahan Sekar berkurang. Dia kesepian, karena dia belum terbiasa tinggal di rumah dinas yang baru. "Entahlah, hanya aku selalu senang menggambar rumah kecil dengan keluarga bahagia," jawabnya. "Apa kamu merasa Bapak dan Ibu tidak memperdulikan lagi? Mereka sedang menjalankan tugasnya menjadi pemimpin negara. Bukankah ada kita yang akan menemanimu." "Benar, Mas. Hanya saja—" Sekar ragu mengatakannya, bukan itu saja masalah yang dia simpan, ada satu masalah lain yang tidak bisa dia katakan. Agar mereka tidak khawatir, belum lagi pasti dia akan semakin terkekang. "Sebaiknya kita pulang, Mas. Nanti Ayah akan marah pada Mas lagi." Perlahan Panji membantu untuk kembali ke dalam mobil. Jam menunjukkan pukul 5 sore, dan memerlukan waktu 1 jam untuk sampai rumah dinas Presiden. Sebelum sampai, Sekar langsung mengajak mereka untuk makan. Dari pengawal yang bersamanya hanya dia yang perempuan. Biasanya akan ada 1, tapi hari ini pengawal perempuan yang ada bersama Sekar sedang cuti. Dia seperti seorang putri yang dikawal 4 orang pria. Kesedihan yang dia rasakan tadi seperti hilang ketika senyum manis mengembang saat mereka mengajaknya bercanda. "Benarkah Mas dekat dengan Lastri?" Sekar menatap Panji dengan tatapan terkejut setelah mendengar pengawal yang lain menceritakan kedekatan Panji. "Bukan seperti itu, kan—" "Sudah ngaku saja." Salah satu pengawal memotong ucapan Panji yang mau mengelak. "Iya juga tidak apa-apa, Mas. Dia itu baik, walau sedikit cerewet," sahut Sekar, dia ikut menggoda Panji yang bingung dengan tuduhan mereka. Kedekatakan Panji karena Lastri dekat dengan Sekar. Agar jika ada apa-apa mendapatkan kabar darinya. Ketika mereka sedang asyik bicara, suara ponsel Panji terdengar. Dia meminta mereka diam sebentar dan menjawab telepon yang masuk. Sekar menatap takut jika Panji akan diomeli ayahnya lagi karena menuruti kemauan Sekar. "Mbak Sekar, bolehkah foto." Seorang pemuda mendekati Sekar yang sedang fokus pada Panji bicara. Namun, pengawal yang lain segera menghentikan pemuda itu agar tidak lebih dekat lagi. "Aku hanya ingin minta foto, apa salahnya?" Pemuda itu terlihat tidak terima dengan larangan yang pengawal Sekar lakukan.Sekar terlanjur kesal melihat Wira, itu sebabnya dia tidak menerima penjelasan dari Wira. Mengganggap jika pria yang dia tunggu sejak siang tidak pernah peduli dengan dirinya yang khawatir.Dia tertunduk mendengarkan omelan dari seseorang jabatannya lebih tinggi darinya, karena keteledorannya kegiatan Adi terhambat. Tidak ada jawaban ataupun pembelaan darinya karena memang dia bersalah. Pukulan yang dia terima saja seperti tidak berarti apa-apa. "Saat kau tidak bisa menjalani tugasmu dengan benar, jangan menyanggupi. Sudah bagus sebelumnya kau mengambil cuti, saat kau bilang akan datang, kau tidak datang. Bagaimana malunya Bapak saat terlambat karena menunggumu. Ha!" Didikan militer tidak membuat hati Wira menciut karena teriakan dari atasanya. Jadwal hari ini kacau karena Wira dan atasanya datang untuk memberi peringatan."Sudahlah, ini juga kesalahan putriku, bukankah kegiatan berjalan dengan lancar tadi, jangan terlalu menyalahkan dia." Adi yang baru datang menghampiri mereka. Buka
Wira yang baru bangun termenung sejenak mengingat mimpi tidur siangnya. Meski muka bantal, dia tetap terlihat tampan. Jam memunjukkan pukul 5 sore, rencana untuk ke makam urung dia lakukan karena terlalu lama tidur."Ini formulir Beasiswa yang aku janjikan. Pilih mana yang ingin kau masuki, nanti saat kau sudah memutuskannya kirimkan pada Mas." Ada beberapa pilihan kampus yang atasanya tawarkan, dan itu cuma-cuma untuk adik Wira asal kakaknya mau menjalankan tugasnya dengan benar."Mas, bukankah aku sudah katakan untuk tidak memikirkan ini lagi. Aku tidak ingin terus merepotkanmu. Fokus saja mencari jodoh dari pada mengurus diriku.""Tugasmu menyelesaikan S1 mu, setelahnya terserah dirimu ingin bagaimana. Buktikan jika tanpa orang tua, kita bisa berhasil," sahut Wira. Harapan besar itu ingin Wira tunjukkan pada orang-orang yang meremehkan dirinya, jika berhasil membuat adiknya berhasil juga."Tapi ini usaha Mas, aku hanya menikmati dengan tenang.""Tidak juga, kau sudah berusaha untuk
"Seperti penawaranku sebelumnya, jika kau berhasil dengan tugasmu kali ini, promosimu siap disetujui menjadi Wakil Komandan Batalyon Infanteri para Reider."Wira sedang bertemu dengan atasanya. Dia akan di promosikan, namun dia harus menjalani tugas sebagai Ajudan Adi Bagus selama periode menjabat."Kau bisa kapan saja digantikan dan dipromosikan saat waktunya tepat seperti yang Panglima perintahkan. Jangka yang kita beri selama periode Bapak berlangsung, jadi nikmati waktu kerjamu. Dan tentang beasiswa adikmu, dia sudah bisa mengajukan pendaftaran ke universitas yang dia pilih. Berikan formulir ini padanya, kita akan atur sisanya." Seperti janji mereka, saat Wira mau menjadi Ajudan Presiden dengan resiko berat dipikul, dia juga mendapatkan apa yang mereka janjikan.Berjuang demi masa depan dirinya dan juga adiknya sedang Wira lakukan, agar bukan dia saja yang akan menjadi berhasil, melainkan adiknya juga. Dia memang tidak memaksa pada adiknya untuk mengikuti jalannya, namun dia ingin
"Lihat saja dulu. Nanti Mas bisa menyimpulkan sendiri, kenapa aku bersikap seperti tadi. Jika aku tidak sungguh-sungguh padamu, untuk apa aku membuang waktu untuk memikirkan Mas yang tidak membalas perasaanku."Sekar memberikan ponsel miliknya pada Wira. Dia tidak mungkin mengatakan saat ada Panji ataupun Rini. Bukan tidak percaya pada mereka, hanya saja pasti dia semakin tidak bisa bergerak karena penjagaan ketat dari ayahnya.Wira ingin ikut ke rumah dinas daripada memilih untuk pulang. Sesampainya di rumah, Sekar segera ke kamar. Mood nya buruk karena ucapan Wira, memang tidak salah, tapi terdengar memaksakan saja.Dalam ruang kerja yang juga banyak berbagai buku di ruangan itu, Wira duduk di sofa panjang dan coba mengecek ponsel Sekar. Dia coba melihat dari panggilan masuk. Begitu banyak panggilan tidak dijawab di sana, padahal Sekar sudah mengaktifkan mode blokir untuk penelepon spam, tapi tetap saja ada yang menghubunginya. B
"Mbak yakin dengan jawaban itu?" Sekar menatap serius atas pernyataan Rini."Kita berangkat sekarang?" Wira yang sudah terlihat rapi dan tampan menghampiri mereka dan langsung mendapatkan tatapan tajam."Apa yang kalian lihat? Kenapa menatap sampai seperti itu?" tanya Wira bingung."Tunggu, Mbak. Aku ulangi, siapa target laki-laki yang Mbak sukai?" Sekar mengulangi pertanyaan di hadapan Wira yang tidak mengerti topik pembahasan mereka."Dia. Sejak pertama kali bertemu, dia sudah membuatku jatuh hati." Sekar menatap seseorang yang Rini maksudkan."Kenapa Mas tidak mengelak. Apa kalian sudah menjalin hubungan?""Belum. Dia belum membalas perasaanku, tapi jahatnya dia selalu memberiku perhatian." Rini kembali yang menjawab rasa penasaran Sekar, akan hubungan yang sedang mereka jalani."Sebenarnya apa yang sedang kalian bahas? Tidak bisakah kita berangkat dulu.""Mas Panji ...
"Lantas jika bukan, lalu siapa dia?" Sekar balas bertanya atas pertanyaan yang Wira lontarkan."Dia ini hanya teman lama, dia memiliki suami yang semalam menyeretku dalam perkelahian bodoh itu. Apa kamu pikir dia kekasihku? Kenapa sikapmu seperti menghindariku sejak kemarin. Di Mall kemarin itu kamu kan? Dia memang bersamaku, tapi dia juga bersama suaminya. Kita teman akrab, tidak ada hubungan lebih.""Lalu kenapa Mas menjelaskan ini semua. Memangnya siapa aku? Mau dia pacar Mas atau bukan, itu terserah Mas."Mereka berdua bicara di dalam mobil, membiarkan yang lain menunggu setelah wanita yang bersama Wira pergi. Sekar tidak mau di ajak masuk, itu sebabnya mereka bicara di mobil."Aku hanya ingin menjelaskan saja. Apa salahnya? Aku pikir kamu menghindariku beberapa hari ini. Maaf jika aku bersikap salah padamu."Sekar diam, dia salah paham pada Wira karena gosip bohong itu. "Tanyakan apa yang ingin kamu tau dariku, jangan hanya diam ketika kamu ingin mengenalku lebih jauh. Bagaimana