LOGIN
“Alessia! Kau harus ikut menari dengan kami. Kapan kau akan punya pacar kalau terus menyendiri di sini?!” teriak Gabby sambil menggenggam tangan pacarnya.
Alessia tertawa sambil melambaikan tangan. “Nanti saja, nikmati malammu dulu. Aku akan jadi penonton setia.”
Bagi sebagian besar yang hadir, pesta ulang tahun ke-21 Gabby Bianchi terasa sempurna.
Hidangan mewah tersaji di setiap meja, bunga-bunga mawar putih memenuhi sudut ruangan, dan semua orang berpakaian glamor seolah tengah menghadiri acara bangsawan.
Namun di sudut ruangan, Alessia Romano, 21 tahun tengah berdiri dengan segelas jus jeruk di tangannya.
Gaun hitam sederhana yang dia kenakan memang tidak terlalu mencolok, tapi itulah dirinya—tidak pernah merasa nyaman berada di pusat perhatian.
Senyumnya muncul setiap kali menatap Gabby, sahabat dekatnya sejak SMA, yang kini tampak bersinar bak putri di panggung malam itu.
Itu sudah cukup baginya. Alessia tidak terbiasa dengan pesta besar semacam ini.
Hidupnya sederhana: kuliah, pekerjaan paruh waktu di toko buku, dan sesekali nongkrong bersama Gabby.
Berada di tengah kemewahan rumah besar keluarga Bianchi membuatnya merasa seperti tamu asing di dunia lain.
“Hey, Alessia!”
Thomas—teman kampusnya berdiri terlalu dekat hingga aroma parfum menyengat ke hidungnya. “Kau sendirian? Sayang sekali di pesta sebesar ini hanya duduk menyendiri.”
Dia lalu tersenyum genit dan matanya menelusuri gaun hitam Alessia. “Jangan bilang kau belum punya pasangan, hm? Mau aku temani?” godanya lagi.
Alessia menahan diri agar tetap ramah. “Terima kasih. Tapi aku tidak mau,” ucapnya menolak ajakan dari teman kampusnya itu.
Tapi Thomas tidak mundur. Dia justru mencondongkan tubuhnya lebih dekat menatap Alessia dengan sorot mata yang membuat gadis itu kaku di tempat.
“Ayo, menari sebentar. Sekali ini saja, buat kenangan di malam pesta meriah ini,” ajak Thomas sekali lagi dengan nada yang memaksa di ujung kalimatnya.
Tangannya terulur hendak menyentuh pergelangan Alessia. Sentuhan itu membuat tubuh Alessia menegang refleks, dan jantungnya berdetak lebih cepat karena rasa tidak nyaman yang menyelinap seperti arus dingin di balik gaun tipis yang dia kenakan.
“Thomas, tolong jangan—” ucapnya lirih, hampir tenggelam di antara riuh musik pesta.
Namun genggaman pria itu justru menguat, seolah dia berhak menentukan gerak Alessia.
Napas Alessia tersengal. Dia merasakan telapak tangan Thomas yang kasar di kulitnya, dan tiba-tiba seluruh suasana pesta—lampu-lampu gantung yang berkilau, tawa tamu undangan, alunan musik—terasa begitu jauh dan memuakkan.
Dia mundur beberapa langkah, berusaha melepaskan diri. Hatinya berdebar panik, perutnya mengeras oleh rasa muak dan takut yang berbaur jadi satu.
Pandangannya berkeliling, mencari sosok yang bisa menolong, tapi semua orang tampak sibuk dengan kebahagiaan mereka.
Namun perasaan panik berubah menjadi sesuatu yang lain ketika matanya—entah karena dorongan apa, menangkap sosok pria di dekat balkon.
Pria itu berdiri agak jauh dari keramaian, tubuh yang tegap dibalut jas hitam elegan.
Garis rahang yang tegas, rambut gelap sedikit beruban di sisi, dan sorot mata dingin yang mengamati pesta dari balik gelas anggur merah.
Tapi semakin dia berusaha mengalihkan perhatian, semakin matanya kembali ke arah pria dewasa itu. Tatapan pria itu begitu tajam, seolah sedang mengamatinya dan Thomas dari sisi yang lain, hingga membuat Alessia menelan ludah dengan gugup.
“Thomas, lepaskan aku,” katanya mencoba mengalihkan pandangannya dari pria dewasa itu dan kali ini dengan nada lebih tegas, meski suaranya masih bergetar.
Sebelum dia sempat menarik tangannya, suara berat terdengar dari belakang.
“Dia sudah bilang tidak mau, anak muda.”
Nadanya begitu datar tapi cukup untuk membuat Thomas langsung melepaskan genggaman itu. Sontak Alessia menoleh ke arah suara dingin itu.
Pria itu … yang sedari tadi Alessia lihat dan kini sudah di depan matanya?
Leonardo berdiri di samping Alessia seraya menatap Thomas dengan sorot dingin yang membuat udara di sekitarnya berubah tegang.
“Paman … Paman Leo, aku hanya bercanda.”
“Bercandamu sangat buruk,” balas Leonardo dengan pelan. “Kau diundang ke pesta bukan untuk memaksa seseorang yang tidak ingin bersamamu.”
Thomas hanya mengangguk-angguk dengan raut wajah takut lalu cepat-cepat pergi dari sana.
Alessia masih mematung tapi napasnya terasa memburu. Leonardo menatapnya, lalu mendekat setengah langkah. “Kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada rendah, lebih lembut daripada yang dia kira.
“A-aku … ya, hanya kaget,” jawabnya pelan.
Namun sebelum sempat mundur, sepatu hak tinggi Alessia tersangkut ujung karpet. Sehingga tubuhnya kehilangan keseimbangan dan—
“Ah!”
Dalam sekejap, lengan Leonardo menangkap pinggangnya.
Dunia seakan berhenti berputar.
Tubuhnya nyaris menempel di dada pria itu. Ia bisa merasakan degup jantungnya yang begitu tenang, stabil, kontras dengan miliknya yang sedang kacau.
Aroma wine dan cologne maskulin menguar lembut di udara. Tatapan mereka bertemu lagi dan kali ini lebih dekat.
Waktu seakan membeku di antara jarak yang hanya beberapa senti.
“Berhati-hatilah, Alessia,” ucap Leonardo dengan suara dinginnya.
Alessia mengadahkan kepalanya dengan kening mengkerut. “Ka-kau tahu namaku?” gumamnya pelan.
“Ya. Kau sahabat Gabby, tentu saja aku tahu namamu.”
Alessia menelan ludahnya menatap Leonardo dengan tubuh yang masih tegang sembari menahan degup jantungnya yang tak karuan.
“Terima kasih … Paman,” katanya nyaris tak terdengar.
Senyum tipis muncul di bibir pria itu, nyaris tidak terlihat tapi cukup membuat napasnya tersangkut.
“Panggil saja Leonardo,” ucapnya seraya menatap lebih lekat wajah Alessia.
Saat itulah, suara ceria memecah suasana.
“Papa!”
Gabby berlari dari arah dalam dengan gaun putih yang berkilau. “Papa, kau di sini rupanya! Aku mencarimu, tahu!”
Alessia langsung menegakkan tubuhnya, seperti baru tersadar dari mimpi.
Papa?
Kata itu menggema di kepalanya.
Gabby menyelip di antara mereka dan merangkul lengan Leonardo. “Aku ingin memperkenalkan Papa ke teman-temanku—oh! Kau sudah bersama Alessia rupanya!”
Alessia tersenyum kikuk sambil mencoba menutupi wajah panasnya.
Leonardo hanya menatapnya sekilas lalu berkata dengan nada datar, “Kami hanya berbicara sebentar.”
“Oh! Ayo, aku ingin mengenalkanmu pada yang lain.”
Namun saat Gabby menarik ayahnya kembali ke aula, Alessia masih berdiri kaku di tempat. Tak mampu menenangkan dadanya yang masih berdegup keras.
Tangannya menyentuh bagian gaun yang tadi sempat disentuh oleh Leonardo, dan entah kenapa … rasanya seolah sentuhan itu masih tertinggal di sana.
“Jadi, pria itu ayahnya Gabby?!”
Di dalam kamarnya, Alessia menutup pintu dan memutarnya sampai bunyi klik terdengar jelas, seolah itu satu-satunya hal yang bisa melindunginya dari seluruh dunia yang tiba-tiba runtuh.Begitu pintu terkunci, tubuhnya melemas. Ia jatuh berlutut, tangannya gemetar saat meraih figura kecil di meja samping tempat tidur, foto kedua orang tuanya, satu-satunya hal yang selalu ia bawa sejak semuanya berubah bertahun-tahun lalu.Begitu jari-jarinya menyentuh bingkainya, air mata langsung pecah.“Papa, Mama,” suaranya retak dan pecah bukan lagi seperti suara seorang perempuan dewasa, melainkan anak kecil yang kehilangan tempat pulang.Alessia memeluk figura itu erat-erat ke dadanya, seperti ingin menempelkan bayangan kedua orang tuanya kembali ke dalam rongga hatinya yang kini hancur berantakan.Tangisannya memecah hening malam, jeritan lirih yang teredam oleh dinding kamar namun cukup keras untuk membuat pundaknya terguncang hebat.“Aku bodoh,” isaknya, suara terputus-putus. “Bodoh sekali.”Ai
Pintu ruang kerja baru saja tertutup ketika Leonardo melangkah masuk. Jas masih melekat di tubuhnya, dasi sedikit longgar, wajah lelah.Begitu melihat Alessia berdiri di tengah ruangan, dia tersenyum tipis dan mengulurkan tangan, berniat hendak memeluknya.Tetapi Alessia mundur. Mata mereka bersitatap dengan hening yang menggigit di ruangan itu.“Ada apa?” tanya Leonardo dengan lembut.Alessia tidak membalas. Tubuhnya tegang, bibirnya bergetar, matanya penuh sesuatu yang menghantam ke dalam.Leonardo merasakan hawa berbeda hingga akhirnya senyumnya lenyap. “Alessia?” panggilnya pelan.Wanita itu mengangkat koran yang terlipat. Sudut-sudutnya kusut, bekas jemarinya yang gemetar masih terlihat. Dia mengangkatnya setinggi dada Leonardo.“Apa ini?” tanyanya dengan nada yang begitu tajam dan dalam. Leonardo sontak membeku. Selama sekejap, dia tidak bernapas. Koran itu, yang seharusnya tidak ditemukan, sekarang berada di tangan Alessia. Mata pria itu memudar, seperti seseorang yang tiba-ti
Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul sembilan malam.Alessia baru saja tiba di rumah, memeluk cardigan tipisnya erat-erat.Udara malam terasa lebih menusuk daripada biasanya, seolah rumah itu sendiri sedang menyimpan sesuatu. Leonardo belum pulang, masih ada urusan dengan klien yang muncul mendadak.Sebelum pergi, dia sempat menunduk, mencium kening Alessia, dan berkata pelan namun tegas, “Ada beberapa dokumen di ruang kerja, tolong rapikan. Aku akan cek malam ini.”Alessia mengangguk, tanpa berpikir apa pun. Itu bukan permintaan yang aneh karena Leonardo sering meminta hal semacam itu.Dia sudah terbiasa masuk ke ruang kerjanya, menata berkas, menyiapkan materi, atau menambahkan sticky notes di sudut-sudut dokumen sesuai instruksinya.Namun kini, ketika dia berdiri di depan pintu kayu gelap menuju ruang kerja Leonardo, rasanya berbeda.Seakan ruangan itu memancarkan aura misterius yang tak pernah ia sadari sebelumnya.Lampu di lorong remang, dan suara langkah sepatu Alessia te
Rafael duduk bersandar di atas matras tebal yang belum sempat dilipat sejak sore.Angin malam dari arah danau berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang digesek angin.Suasana berkemah itu seharusnya membuatnya rileks, tapi matanya justru terpaku pada dua sosok yang sedang tertawa pelan di tepi air.Leonardo dan Alessia.Keduanya duduk di batu besar dekat tepian, bercanda tentang entah apa, namun Rafael bisa mendengar tawa ringan Alessia yang kadang pecah.Leonardo terlihat jauh lebih santai daripada yang pernah ia lihat di kantor—bahkan terlalu santai untuk ukuran seorang pria yang begitu disiplin di ruang kerja.Rafael menghela napas pelan, pandangannya tak lepas dari dua sosok yang tampak terlalu menyatu itu. “Bagaimana bisa mereka menjalin hubungan?” gumamnya tanpa memandang ke arah lain.Gabby, yang sedang menyeruput cokelat panas dari termos kecil, menoleh dan menaikkan alisnya. “Menurutmu kenapa?” Dia menirukan nada aneh Rafael.“Serius, Gab. Maksudku, bagaiman
Angin malam di tepi danau bergerak lembut, mengibaskan ujung rambut Alessia ketika waktu sudah menunjuk pukul sepuluh malam.Langit gelap tampak bersih, bulan bulat menggantung besar dan terang, memantulkan sinarnya ke permukaan air yang tenang dan membuat danau tampak seperti kaca perak yang berkilauan.Leonardo dan Alessia duduk berdampingan di sebuah dermaga kayu kecil yang menjorok ke danau.Suara jarak jauh pesta kecil Rafael, Gabby, dan Anthony yang masih membereskan barang-barang terdengar samar, namun dunia di sekitar mereka sendiri terasa sunyi, hangat, dan tenang.Alessia menarik lututnya sedikit, menyandarkan sedikit tubuhnya ke arah Leonardo.Tatapannya mengarah pada pantulan cahaya bulan yang bergetar lembut mengikuti riak air.Tapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.Dia menoleh, memandang profil wajah Leonardo, garis tegas rahangnya, siluet hidungnya, dan mata pria itu yang tak berkedip memandang permukaan danau.Ada sesuatu yang berbeda dari raut wajah itu. Sesuat
Asap tipis mulai naik dari panggangan ketika jam menunjukkan hampir pukul sebelas siang.Cahaya matahari memantul di permukaan danau, membuat suasana piknik menjadi hangat dan cerah.Di tengah harumnya bumbu seafood yang mulai terkena panas, terdengar suara kecil cesss ketika potongan fillet salmon menyentuh permukaan besi panas.Alessia berdiri dengan celemek kain bergambar lemon yang dipinjamnya dari tas piknik Gabby.Sementara Gabby sibuk mengoleskan bumbu pada udang-udang besar yang ditata rapi dalam baskom stainless kecil.Rafael dan Anthony duduk tak jauh dari situ, mengawasi panggangan sambil sesekali mengipasi bara dengan kipas lipat.Semuanya berjalan normal, sampai Leonardo mendekat.Dengan langkah penuh percaya diri, seolah dia seorang chef bintang lima, Leonardo menyingsingkan lengan kemejanya dan menatap panggangan seperti medan perang yang sudah dipetakan dalam pikirannya.“Aku yang urus ini,” katanya sambil mengambil spatula.Gabby spontan mendelik. Alessia mengernyit.







