Share

2. Kisah yang Tragis

Author: CeliiCaaca
last update Huling Na-update: 2025-10-08 12:02:50

“Hujannya tidak akan reda sampai pagi, Alessia. Sebaiknya kau menginap saja di sini,” ucap Gabby yang sedari tadi membujuk Alessia agar mau menginap di rumahnya.

Sebab jam sudah menunjuk angka sebelas malam.

Sementara di luar hujan turun dengan deras mengguyur halaman rumah megah itu hingga lampu taman memantul di genangan air seperti serpihan kaca yang pecah.

“Tidak, Gabby. Terima kasih. Taksi sebentar lagi akan tiba. Aku pamit dulu,” ucap Alessia lalu melangkah keluar rumah dengan langkah lebarnya.

Tak lama dia tiba di halaman rumah, ponselnya bergetar tanda notifikasi masuk. Layar menampilkan pesan dari aplikasi pemesanan, “Taksi Anda akan tiba dalam 24 menit.”

Dua puluh empat menit. Waktu yang terasa seperti selamanya di tengah hujan malam begini.

Ia menatap lagi ke arah rumah di belakangnya. Pesta ulang tahun di dalam baru saja usai, dan tawa-tawa yang tadi memenuhi aula kini berganti senyap.

Alessia sudah berpamitan dan menolak tawaran untuk menginap. Ia hanya ingin pulang, ke apartemennya yang sederhana di pinggiran kota, tempat dia bisa melepas sepatu basah dan membungkus diri dengan selimut tipis.

“Menunggu seseorang?”

Suara dalam dan tenang itu muncul tiba-tiba di balik pintu gerbang yang terbuka. Alessia menoleh dengan cepat ke arah sumber suara.

Leonardo—ayah Gabby—berdiri di sana mengenakan kemeja hitam yang lengan atasnya digulung yang kini basah di ujungnya karena hujan.

Rambutnya sedikit berantakan, tapi tatapan matanya tetap tajam dan tenang seperti biasa.

“Oh, Paman,” ucap Alessia terbata. “Aku sedang menunggu taksi dan hujannya tiba-tiba turun dengan deras.”

Leonardo menatap langit kemudian kembali menatapnya. “Kau bisa mati kedinginan kalau menunggu di sini.”

“Aku tidak apa-apa, Paman. Taksi sebentar lagi datang.”

“Sebentar lagi?” tanyanya dengan datar.

Alessia mengangguk dengan anggukan yang sedikit ragu. “Ya. Sekitar setengah jam lagi.”

Leonardo menyunggingkan senyum sinis. “Setengah jam bukan waktu yang singkat,” ucapnya datar kemudian matanya menatap lekat wajah Alessia. “Masuklah dulu. Setidaknya sampai hujan reda.”

Alessia buru-buru menggeleng. “Tidak perlu, sungguh. Aku tidak ingin merepotkan siapa pun.”

“Kau tidak merepotkan siapa pun. Bukankah Gabby adalah sahabatmu? Lalu, kenapa kau tampak canggung dan menolak tawaranku?” tanyanya ingin tahu.

Alessia menelan salivanya dengan pelan sembari memegang erat dressnya. Dia tidak tahu harus menjawab apa, karena setiap kali pria berusia empat puluh tiga tahun itu menatapnya, jantungnya selalu berdebar tak karuan.

Namun sebelum Alessia sempat menolak lagi, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan rumah. Sopirnya keluar lalu memberikan kunci pada Leonardo.

“Mobilnya sudah siap, Tuan,” katanya singkat.

Leonardo menatap Alessia lagi. “Karena kau tidak ingin masuk ke rumah, aku akan mengantarmu pulang.” 

“Ti-tidak perlu, Paman,” tolak Alessia dengan cepat. 

Namun, tampaknya Leonardo tidak suka dengan penolakan. Mata tajamnya menatap dingin wajah Alessia dan berhasil membuat tubuh wanita itu kembali menegang. 

“Kau tidak ingin masuk? Atau kau ingin mati kedinginan di sini sampai taksi yang entah kapan akan datang?” tanyanya datar. 

Alessia menatap jalanan gelap di depannya, lalu ke arah pria itu lagi. Dingin kembali menusuk telapak tangannya bahkan napasnya keluar berupa kabut tipis.

Ia tahu jika menolak lagi akan membuatnya terlihat tidak sopan, tapi menerima berarti duduk berdua dalam mobil bersama Leonardo akan membuat jantungnya mungkin akan lepas dari tempatnya.

Akhirnya, dengan suara nyaris tak terdengar, dia berkata, “Baiklah kalau begitu.”

Leonardo mengangguk pelan. “Ayo.”

Mobil itu meluncur perlahan meninggalkan halaman rumah megah tersebut. Di dalam kabin, suasana terasa sunyi. Hanya terdengar deru mesin dan suara hujan di atap mobil.

Alessia duduk tegang di kursi penumpang dengan tangannya meremas tas kecil di pangkuannya. Entah karena alasan apa Leonardo ingin mengantarnya pulang. Namun, dia tidak berani bertanya, khawatir pria itu akan menurunkannya di tengah jalan.

“Sudah berapa lama kau berteman dengan Gabby?” tanya Leonardo tiba-tiba.

Alessia menoleh sedikit. “Sejak SMA. Kami satu kelas waktu itu,” jawabnya gugup.

“Hm.” Leonardo mengangguk tipis. “Tapi kenapa aku tidak pernah melihatmu sebelumnya?”

Alessia menelan ludahnya mendengar pertanyaan tersebut. “Karena aku jarang ikut acara keluarga. Sejak lulus SMA, aku sibuk kerja part time. Di toko buku siang hari, dan malamnya di kafe.”

“Kerja keras sekali.”

“Untuk menyambung hidup,” jawab Alessia jujur. “Karena aku sendirian sekarang.”

Leonardo melirik dan alisnya sedikit terangkat. “Sendirian?” tanyanya sedikit penasaran.

“Iya,” jawabnya dengan pelan. “Ayahku meninggal waktu aku berusia tujuh belas tahun. Lalu ibuku menyusul beberapa hari kemudian.”

Leonardo terdiam. Suasana di dalam mobil tiba-tiba berubah menjadi lebih hening dari sebelumnya. Alessia memandangi jendela dengan tatapan mata yang kosong, seolah melihat ulang kenangan lama yang pahit untuk dia ingat.

“Ayahmu … meninggal karena apa?” tanya Leonardo perlahan.

Alessia menarik napas, mencoba menahan getaran di suaranya. “Persaingan bisnis.”

Saat kata itu terucap, tubuh Leonardo langsung menegang. Matanya menatap lurus ke depan, tapi jemarinya yang menggenggam setir tampak mengeras. Suara hujan yang menimpa kaca seolah tiba-tiba terdengar lebih keras.

“Persaingan bisnis?” ulangnya dengan nada yang berubah jadi dingin.

Alessia mengangguk tanpa menyadari perubahan ekspresi di wajah pria itu. “Ayahku dulu punya usaha kecil. Ada seseorang yang menjatuhkannya dengan cara kotor. Setelah itu, semuanya hancur. Ibuku bunuh diri karena tidak bisa hidup tanpa suaminya. Dan akhirnya aku hidup sebatang kara.”

Leonardo tidak berkata apa-apa. Matanya sedikit menajam, seperti tengah menatap sesuatu jauh di depan jalan gelap itu, tapi sebenarnya dia sedang menatap ke dalam dirinya sendiri.

“Maaf,” ucap Alessia dengan cepat, karena merasa mungkin ceritanya terlalu pribadi. “Aku tidak bermaksud—”

“Tidak,” potong Leonardo pelan. “Tidak apa-apa.”

Namun suaranya tak lagi sama. Ada getar rendah yang terselip di sana, seperti bara lama yang tiba-tiba tersentuh. Cerita masa lalu Alessia seperti pernah dia alami sebelumnya.

Hingga tiba di depan apartemen studio tempat Alessia tinggal, wanita itu langsung turun dari mobil Leonardo.

“Terima kasih sudah mengantarku pulang, Paman. Hati-hati di jalan,” katanya lalu melangkah masuk dengan cepat menuju lobi dan menekan tombol lift menuju unitnya.

Sementara Leonardo masih diam, tak berniat untuk melajukan mobilnya lagi. Justru, dia mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang.

“Cari tahu tentang kematian pemilik perusahaan Benny lima tahun yang lalu. Dan cari tahu apakah mereka memiliki anak atau tidak. Jika ada, cari tahu tentang anaknya!” 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   92. Tak ingin Tinggal di Sana Lagi

    Di dalam kamarnya, Alessia menutup pintu dan memutarnya sampai bunyi klik terdengar jelas, seolah itu satu-satunya hal yang bisa melindunginya dari seluruh dunia yang tiba-tiba runtuh.Begitu pintu terkunci, tubuhnya melemas. Ia jatuh berlutut, tangannya gemetar saat meraih figura kecil di meja samping tempat tidur, foto kedua orang tuanya, satu-satunya hal yang selalu ia bawa sejak semuanya berubah bertahun-tahun lalu.Begitu jari-jarinya menyentuh bingkainya, air mata langsung pecah.“Papa, Mama,” suaranya retak dan pecah bukan lagi seperti suara seorang perempuan dewasa, melainkan anak kecil yang kehilangan tempat pulang.Alessia memeluk figura itu erat-erat ke dadanya, seperti ingin menempelkan bayangan kedua orang tuanya kembali ke dalam rongga hatinya yang kini hancur berantakan.Tangisannya memecah hening malam, jeritan lirih yang teredam oleh dinding kamar namun cukup keras untuk membuat pundaknya terguncang hebat.“Aku bodoh,” isaknya, suara terputus-putus. “Bodoh sekali.”Ai

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   91. Rasa Kecewa yang Mendalam

    Pintu ruang kerja baru saja tertutup ketika Leonardo melangkah masuk. Jas masih melekat di tubuhnya, dasi sedikit longgar, wajah lelah.Begitu melihat Alessia berdiri di tengah ruangan, dia tersenyum tipis dan mengulurkan tangan, berniat hendak memeluknya.Tetapi Alessia mundur. Mata mereka bersitatap dengan hening yang menggigit di ruangan itu.“Ada apa?” tanya Leonardo dengan lembut.Alessia tidak membalas. Tubuhnya tegang, bibirnya bergetar, matanya penuh sesuatu yang menghantam ke dalam.Leonardo merasakan hawa berbeda hingga akhirnya senyumnya lenyap. “Alessia?” panggilnya pelan.Wanita itu mengangkat koran yang terlipat. Sudut-sudutnya kusut, bekas jemarinya yang gemetar masih terlihat. Dia mengangkatnya setinggi dada Leonardo.“Apa ini?” tanyanya dengan nada yang begitu tajam dan dalam. Leonardo sontak membeku. Selama sekejap, dia tidak bernapas. Koran itu, yang seharusnya tidak ditemukan, sekarang berada di tangan Alessia. Mata pria itu memudar, seperti seseorang yang tiba-ti

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   90. Sesuatu yang Alessia Temukan

    Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul sembilan malam.Alessia baru saja tiba di rumah, memeluk cardigan tipisnya erat-erat.Udara malam terasa lebih menusuk daripada biasanya, seolah rumah itu sendiri sedang menyimpan sesuatu. Leonardo belum pulang, masih ada urusan dengan klien yang muncul mendadak.Sebelum pergi, dia sempat menunduk, mencium kening Alessia, dan berkata pelan namun tegas, “Ada beberapa dokumen di ruang kerja, tolong rapikan. Aku akan cek malam ini.”Alessia mengangguk, tanpa berpikir apa pun. Itu bukan permintaan yang aneh karena Leonardo sering meminta hal semacam itu.Dia sudah terbiasa masuk ke ruang kerjanya, menata berkas, menyiapkan materi, atau menambahkan sticky notes di sudut-sudut dokumen sesuai instruksinya.Namun kini, ketika dia berdiri di depan pintu kayu gelap menuju ruang kerja Leonardo, rasanya berbeda.Seakan ruangan itu memancarkan aura misterius yang tak pernah ia sadari sebelumnya.Lampu di lorong remang, dan suara langkah sepatu Alessia te

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   89. Gabby Mengetahuinya?

    Rafael duduk bersandar di atas matras tebal yang belum sempat dilipat sejak sore.Angin malam dari arah danau berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang digesek angin.Suasana berkemah itu seharusnya membuatnya rileks, tapi matanya justru terpaku pada dua sosok yang sedang tertawa pelan di tepi air.Leonardo dan Alessia.Keduanya duduk di batu besar dekat tepian, bercanda tentang entah apa, namun Rafael bisa mendengar tawa ringan Alessia yang kadang pecah.Leonardo terlihat jauh lebih santai daripada yang pernah ia lihat di kantor—bahkan terlalu santai untuk ukuran seorang pria yang begitu disiplin di ruang kerja.Rafael menghela napas pelan, pandangannya tak lepas dari dua sosok yang tampak terlalu menyatu itu. “Bagaimana bisa mereka menjalin hubungan?” gumamnya tanpa memandang ke arah lain.Gabby, yang sedang menyeruput cokelat panas dari termos kecil, menoleh dan menaikkan alisnya. “Menurutmu kenapa?” Dia menirukan nada aneh Rafael.“Serius, Gab. Maksudku, bagaiman

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   88. Deep Talk

    Angin malam di tepi danau bergerak lembut, mengibaskan ujung rambut Alessia ketika waktu sudah menunjuk pukul sepuluh malam.Langit gelap tampak bersih, bulan bulat menggantung besar dan terang, memantulkan sinarnya ke permukaan air yang tenang dan membuat danau tampak seperti kaca perak yang berkilauan.Leonardo dan Alessia duduk berdampingan di sebuah dermaga kayu kecil yang menjorok ke danau.Suara jarak jauh pesta kecil Rafael, Gabby, dan Anthony yang masih membereskan barang-barang terdengar samar, namun dunia di sekitar mereka sendiri terasa sunyi, hangat, dan tenang.Alessia menarik lututnya sedikit, menyandarkan sedikit tubuhnya ke arah Leonardo.Tatapannya mengarah pada pantulan cahaya bulan yang bergetar lembut mengikuti riak air.Tapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.Dia menoleh, memandang profil wajah Leonardo, garis tegas rahangnya, siluet hidungnya, dan mata pria itu yang tak berkedip memandang permukaan danau.Ada sesuatu yang berbeda dari raut wajah itu. Sesuat

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   87. Sok Perfeksionis

    Asap tipis mulai naik dari panggangan ketika jam menunjukkan hampir pukul sebelas siang.Cahaya matahari memantul di permukaan danau, membuat suasana piknik menjadi hangat dan cerah.Di tengah harumnya bumbu seafood yang mulai terkena panas, terdengar suara kecil cesss ketika potongan fillet salmon menyentuh permukaan besi panas.Alessia berdiri dengan celemek kain bergambar lemon yang dipinjamnya dari tas piknik Gabby.Sementara Gabby sibuk mengoleskan bumbu pada udang-udang besar yang ditata rapi dalam baskom stainless kecil.Rafael dan Anthony duduk tak jauh dari situ, mengawasi panggangan sambil sesekali mengipasi bara dengan kipas lipat.Semuanya berjalan normal, sampai Leonardo mendekat.Dengan langkah penuh percaya diri, seolah dia seorang chef bintang lima, Leonardo menyingsingkan lengan kemejanya dan menatap panggangan seperti medan perang yang sudah dipetakan dalam pikirannya.“Aku yang urus ini,” katanya sambil mengambil spatula.Gabby spontan mendelik. Alessia mengernyit.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status