LOGINSetibanya di taman belakang, Leonardo melepaskan genggaman itu dan menatap Alessia dengan tatapan datarnya.
“Alessia,” ucapnya dengan pelan, namun nada suaranya membawa getaran aneh di dada gadis itu.
“Mulai sekarang, berhati-hatilah terhadap Thomas. Aku khawatir dia akan melakukan apa pun untuk mempermalukanmu.”
Alessia mengerutkan kening, mencoba memahami maksud ucapan Leonardo tadi.
“Mempermalukanku? Hanya karena penolakan semalam? Dia akan sejauh itu membalaskan dendamnya?” ucapnya seolah tak percaya Thomas akan melakukan hal gila seperti itu.
Leonardo mengangguk tanpa ragu. “Thomas bukan tipe yang mudah menerima penolakan. Apalagi di depan banyak orang. Harga dirinya terlalu tinggi untuk itu.”
Kening Alessia masih berkerut. “Maaf, aku belum paham, Paman.”
Leonardo menghela napas kasar. “Balas dendam, Alessia. Dia menganggap bahwa kau telah mempermalukannya di pesta semalam. Dan dia harus melakukan hal yang sama padanya.”
Barulah Alessia paham. Dia lalu menghela napasnya sambil menatap rerumputan di bawah kakinya. “Aku tidak menyangka dia akan sekejam itu,” gumamnya sambil geleng-geleng kepala.
“Karena kau terlalu baik untuk mengira seseorang bisa bertindak seburuk itu,” balas Leonardo lembut.
Gadis itu menatapnya heran, lalu terdiam beberapa saat. Namun, Leonardo tiba-tiba mengeluarkan ponselnya dari saku jas. Dia menyalakan layar dan menyerahkannya pada Alessia tanpa sepatah kata.
Wajah Alessia langsung pucat. Di layar, tampak foto dirinya bersama Leonardo—diambil dari kejauhan, saat pria itu menggenggam pergelangan tangannya di depan perpustakaan.
Sudutnya jelas dan pencahayaannya tajam. Foto itu tampak seperti potret kedekatan yang intim.
Matanya membola lalu menatap Leonardo dengan raut wajah cemas. “Dari mana Paman mendapatkan foto ini?” tanyanya terbata.
Leonardo menoleh ke arah parkiran, di mana seorang pria berpakaian hitam berdiri di dekat mobil hitam mengilap.
“Siapa dia?” tanya Alessia cepat. Namun, begitu menoleh pada mereka, pria itu tampak menunduk sopan seolah mengenal mereka berdua.
“Asistenku memperhatikan seseorang yang mencurigakan sejak kau keluar dari perpustakaan,” jelas Leonardo tenang.
“Dan dia melihat Thomas mengikutimu, menunggu dari jauh, lalu memotret kita diam-diam. Dia langsung mengirim rekamannya padaku begitu Thomas memotret kita.”
Alessia menutup mulutnya dengan tangan, sedikit terkejut karena ucapan Leonardo tadi.
“Jadi, dia benar-benar melakukannya,” ucapnya tak percaya.
“Ya,” sahut Leonardo singkat. “Dan aku akan mengurus ini semua. Tidak lama lagi gosip itu akan lenyap.”
Nada suaranya berubah menjadi dingin dan nyaris menakutkan. Tatapannya mengeras seperti batu granit.
“Sudah sejak lama aku ingin memberi pelajaran pada Thomas juga pada ayahnya,” katanya dengan pelan namun penuh tekanan.
Alessia menatapnya tak mengerti. “Maksud Paman? Apa hubungan ini semua dengan ayahnya?” tanyanya bingung.
Leonardo tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap jauh ke arah pepohonan, seolah sedang mengingat sesuatu yang tidak ingin diulang.
“Itu urusan lama,” ujarnya akhirnya. “Persaingan bisnis yang kotor. Sudah bertahun-tahun berlalu, tapi luka dari permainan mereka belum sepenuhnya hilang.”
Alessia menatap pria itu dalam diam. Kata persaingan bisnis itu menggema di kepalanya dan mengingatkannya pada sesuatu yang jauh lebih pribadi.
Ayahnya.
Ia menelan ludahnya lalu berkata pelan, “Ternyata persaingan bisnis yang tidak adil itu masih berlangsung hingga kini.”
Leonardo menatapnya cepat lalu mengangguk. “Aku tahu,” bisiknya. “Dan mungkin karena itu, aku tidak ingin hal serupa menimpa dirimu.”
Hening sejenak. Hanya suara dedaunan yang bergesekan di antara mereka. Alessia tak berani menatap Leonardo terlalu lama, khawatir perasaannya semakin tidak karuan karena aura pria itu yang benar-benar membuatnya terpana.
Kemudian Leonardo berbicara lagi. “Thomas mungkin juga merasa cemburu padaku,” ucapnya datar.
Alessia menatapnya dengan tatapan terkejut. “Cemburu? Pada Paman?” ucapnya pelan.
Leonardo mengangguk pelan. “Ya. Dia melihatku mengantarmu pulang semalam. Dan bagi pria muda seperti dia, itu cukup untuk membuatnya kehilangan kendali.”
Alessia tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. “Mana mungkin, Paman. Thomas hanya tidak suka ditolak. Itu saja.”
Leonardo menatapnya serius. “Itu artinya dia menyukaimu.”
Ucapan itu menghentikan tawa Alessia seketika. Ia terdiam dan ingin mencoba membantah, tetapi tidak menemukan kata-kata.
Lalu, entah karena canggung atau gugup, dia menundukkan kepalanya menatap tanah basah di bawah kakinya.
Leonardo lalu melangkah mendekat hingga jarak mereka kini hanya beberapa jengkal.
“Kalau kau tidak nyaman, aku akan bantu agar Thomas berhenti mengganggumu,” katanya seraya menatap lekat wajah Alessia.
Dia lalu mengulurkan tangan perlahan dan menyentuh bahu Alessia. Sentuhan itu begitu ringan, namun membuat napas gadis itu tercekat.
Kehangatan dari jemari pria itu merambat ke kulitnya dan membuat jantungnya berdebar tak karuan.
Ketika dia menatap ke atas, kedua bola matanya bertemu dengan tatapan Leonardo. Tatapan yang selalu membuat debar jantung Aleesia tak karuan.
Dia akhirnya memilih untuk membuang pandangan itu ke arah lain sambil merapikan rambutnya yang tertiup angin.
“Alessia,” bisik Leonardo nyaris tak terdengar. “Beritahu aku jika dia berbuat macam-macam padamu.”
Suara itu terdengar rendah, dalam, dan menggetarkan. Alessia menatapnya tanpa berkedip. Napasnya tertahan di tenggorokan, seolah dunia di sekitarnya berhenti berputar.
Ia ingin menjawab, tapi kalimat yang dia ucapkan seakan menolak keluar. Yang terdengar hanyalah degup jantungnya sendiri—keras, cepat, dan tak beraturan.
Leonardo masih menatapnya dan untuk sesaat waktu seolah membeku. Angin berhembus pelan dan membuat helaian rambut Alessia menyentuh wajahnya.
Tanpa sadar, Leonardo mengangkat tangan dan menyibakkannya perlahan.
Sentuhan itu begitu lembut, nyaris seperti bisikan.“Paman,” bisik Alessia dengan suara bergetar. “Aku … aku akan berhati-hati.”
Leonardo mengangguk pelan, tapi matanya belum melepaskan pandangannya darinya. “Bagus,” katanya akhirnya. “Dan ingat, kau tidak sendirian.”
Dia lalu berbalik dan berjalan perlahan meninggalkan taman dan Alessia seorang diri.
Sementara Alessia masih berdiri mematung di sana, masih merasakan hangat di bahunya—bekas sentuhan yang terlalu sulit untuk diabaikan.
Dia tahu pria itu berbahaya, bukan karena kekuasaannya, melainkan karena caranya membuat segala sesuatu terasa lebih dalam daripada seharusnya.
Hingga tiba di parkiran, Anthony—asisten pribadi Leonardo memberikan sebuah dokumen padanya.
“Saya sudah menemukan data tentang Benny. Dan benar, Benny memiliki anak, satu-satunya, seorang gadis berusia dua puluh satu tahun.”
Di dalam kamarnya, Alessia menutup pintu dan memutarnya sampai bunyi klik terdengar jelas, seolah itu satu-satunya hal yang bisa melindunginya dari seluruh dunia yang tiba-tiba runtuh.Begitu pintu terkunci, tubuhnya melemas. Ia jatuh berlutut, tangannya gemetar saat meraih figura kecil di meja samping tempat tidur, foto kedua orang tuanya, satu-satunya hal yang selalu ia bawa sejak semuanya berubah bertahun-tahun lalu.Begitu jari-jarinya menyentuh bingkainya, air mata langsung pecah.“Papa, Mama,” suaranya retak dan pecah bukan lagi seperti suara seorang perempuan dewasa, melainkan anak kecil yang kehilangan tempat pulang.Alessia memeluk figura itu erat-erat ke dadanya, seperti ingin menempelkan bayangan kedua orang tuanya kembali ke dalam rongga hatinya yang kini hancur berantakan.Tangisannya memecah hening malam, jeritan lirih yang teredam oleh dinding kamar namun cukup keras untuk membuat pundaknya terguncang hebat.“Aku bodoh,” isaknya, suara terputus-putus. “Bodoh sekali.”Ai
Pintu ruang kerja baru saja tertutup ketika Leonardo melangkah masuk. Jas masih melekat di tubuhnya, dasi sedikit longgar, wajah lelah.Begitu melihat Alessia berdiri di tengah ruangan, dia tersenyum tipis dan mengulurkan tangan, berniat hendak memeluknya.Tetapi Alessia mundur. Mata mereka bersitatap dengan hening yang menggigit di ruangan itu.“Ada apa?” tanya Leonardo dengan lembut.Alessia tidak membalas. Tubuhnya tegang, bibirnya bergetar, matanya penuh sesuatu yang menghantam ke dalam.Leonardo merasakan hawa berbeda hingga akhirnya senyumnya lenyap. “Alessia?” panggilnya pelan.Wanita itu mengangkat koran yang terlipat. Sudut-sudutnya kusut, bekas jemarinya yang gemetar masih terlihat. Dia mengangkatnya setinggi dada Leonardo.“Apa ini?” tanyanya dengan nada yang begitu tajam dan dalam. Leonardo sontak membeku. Selama sekejap, dia tidak bernapas. Koran itu, yang seharusnya tidak ditemukan, sekarang berada di tangan Alessia. Mata pria itu memudar, seperti seseorang yang tiba-ti
Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul sembilan malam.Alessia baru saja tiba di rumah, memeluk cardigan tipisnya erat-erat.Udara malam terasa lebih menusuk daripada biasanya, seolah rumah itu sendiri sedang menyimpan sesuatu. Leonardo belum pulang, masih ada urusan dengan klien yang muncul mendadak.Sebelum pergi, dia sempat menunduk, mencium kening Alessia, dan berkata pelan namun tegas, “Ada beberapa dokumen di ruang kerja, tolong rapikan. Aku akan cek malam ini.”Alessia mengangguk, tanpa berpikir apa pun. Itu bukan permintaan yang aneh karena Leonardo sering meminta hal semacam itu.Dia sudah terbiasa masuk ke ruang kerjanya, menata berkas, menyiapkan materi, atau menambahkan sticky notes di sudut-sudut dokumen sesuai instruksinya.Namun kini, ketika dia berdiri di depan pintu kayu gelap menuju ruang kerja Leonardo, rasanya berbeda.Seakan ruangan itu memancarkan aura misterius yang tak pernah ia sadari sebelumnya.Lampu di lorong remang, dan suara langkah sepatu Alessia te
Rafael duduk bersandar di atas matras tebal yang belum sempat dilipat sejak sore.Angin malam dari arah danau berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang digesek angin.Suasana berkemah itu seharusnya membuatnya rileks, tapi matanya justru terpaku pada dua sosok yang sedang tertawa pelan di tepi air.Leonardo dan Alessia.Keduanya duduk di batu besar dekat tepian, bercanda tentang entah apa, namun Rafael bisa mendengar tawa ringan Alessia yang kadang pecah.Leonardo terlihat jauh lebih santai daripada yang pernah ia lihat di kantor—bahkan terlalu santai untuk ukuran seorang pria yang begitu disiplin di ruang kerja.Rafael menghela napas pelan, pandangannya tak lepas dari dua sosok yang tampak terlalu menyatu itu. “Bagaimana bisa mereka menjalin hubungan?” gumamnya tanpa memandang ke arah lain.Gabby, yang sedang menyeruput cokelat panas dari termos kecil, menoleh dan menaikkan alisnya. “Menurutmu kenapa?” Dia menirukan nada aneh Rafael.“Serius, Gab. Maksudku, bagaiman
Angin malam di tepi danau bergerak lembut, mengibaskan ujung rambut Alessia ketika waktu sudah menunjuk pukul sepuluh malam.Langit gelap tampak bersih, bulan bulat menggantung besar dan terang, memantulkan sinarnya ke permukaan air yang tenang dan membuat danau tampak seperti kaca perak yang berkilauan.Leonardo dan Alessia duduk berdampingan di sebuah dermaga kayu kecil yang menjorok ke danau.Suara jarak jauh pesta kecil Rafael, Gabby, dan Anthony yang masih membereskan barang-barang terdengar samar, namun dunia di sekitar mereka sendiri terasa sunyi, hangat, dan tenang.Alessia menarik lututnya sedikit, menyandarkan sedikit tubuhnya ke arah Leonardo.Tatapannya mengarah pada pantulan cahaya bulan yang bergetar lembut mengikuti riak air.Tapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.Dia menoleh, memandang profil wajah Leonardo, garis tegas rahangnya, siluet hidungnya, dan mata pria itu yang tak berkedip memandang permukaan danau.Ada sesuatu yang berbeda dari raut wajah itu. Sesuat
Asap tipis mulai naik dari panggangan ketika jam menunjukkan hampir pukul sebelas siang.Cahaya matahari memantul di permukaan danau, membuat suasana piknik menjadi hangat dan cerah.Di tengah harumnya bumbu seafood yang mulai terkena panas, terdengar suara kecil cesss ketika potongan fillet salmon menyentuh permukaan besi panas.Alessia berdiri dengan celemek kain bergambar lemon yang dipinjamnya dari tas piknik Gabby.Sementara Gabby sibuk mengoleskan bumbu pada udang-udang besar yang ditata rapi dalam baskom stainless kecil.Rafael dan Anthony duduk tak jauh dari situ, mengawasi panggangan sambil sesekali mengipasi bara dengan kipas lipat.Semuanya berjalan normal, sampai Leonardo mendekat.Dengan langkah penuh percaya diri, seolah dia seorang chef bintang lima, Leonardo menyingsingkan lengan kemejanya dan menatap panggangan seperti medan perang yang sudah dipetakan dalam pikirannya.“Aku yang urus ini,” katanya sambil mengambil spatula.Gabby spontan mendelik. Alessia mengernyit.







