“Jangan melamun seperti itu, Alessia. Nanti orang-orang makin yakin kalau kau benar-benar sedang jatuh cinta pada ayahku.”
Gabby menegur Alessia sambil menepuk pundak sahabatnya itu yang sedang duduk di kantin kampus sambil memegang jus jeruk di tangan kanannya.
Alessia menoleh dengan cepat. Gabby berdiri di samping meja dengan senyum khasnya—campuran antara jahil dan lembut.
Rambut pirangnya tergerai rapi dan blazer pastel yang dia kenakan membuatnya tampak seperti putri konglomerat sejati.
“Gabby.” Alessia memaksakan senyum tipis di bibirnya. “Aku hanya sedang berpikir.”
“Berpikir tentang gosip gila itu, tentu saja.” Gabby menarik kursi di depannya dan duduk tanpa diundang. “Kau tidak perlu terlalu memikirkannya. Aku sudah tahu semuanya.”
Alessia mengerutkan dahi. “Sudah tahu apa?”
Gabby menaruh tasnya di pangkuan lalu menatapnya lurus. “Tentang Thomas. Tentang gosip murahan itu. Dan tentang siapa yang sebenarnya meminta Papa untuk mengantarmu malam itu.”
Alessia memiringkan kepala karena bingung. “Apa maksudmu?”
Gabby tersenyum kecil lalu bersandar santai di kursinya sambil menatap lekat wajah Alessia. “Aku yang meminta Papa untuk mengantarmu pulang.”
Alessia terdiam, menatap sahabatnya dengan mata membulat. “Apa?” serunya hampir berbisik, agar tidak menarik perhatian orang lain di sekitarnya.
“Kenapa kau melakukan itu? Aku bisa pulang sendiri. Aku sudah memesan taksi, Gabby,” protes Alessia yang tidak menyangka bahwa pelaku utamanya adalah Gabby.
“Ya, aku tahu,” jawab Gabby dengan santai sambil mengaduk kopi di depannya. “Tapi taksi itu terlalu lama datangnya. Dan malam itu hujan cukup deras. Kau bisa masuk angin kalau menunggu di luar.”
Alessia menghela napas kasar menatap Gabby dengan tatapan datarnya. “Kau tidak perlu repot memintanya. Aku tidak ingin merepotkan siapa pun. Apalagi ayahmu.”
Gabby mengangkat alisnya lalu menyunggingkan senyum tipis. “Ayahku tidak keberatan. Lagipula, dia jarang melakukan hal di luar rutinitas bisnisnya. Jadi, mengantarmu pulang mungkin justru jadi penyegaran untuknya.”
Alessia menaikkan alisnya, ucapan Gabby terlalu ambigu di telinganya. “Penyegaran?” gumamnya pelan hingga membuat Gabby tertawa kecil.
“Tenang saja,” lanjut Gabby sambil meneguk kopinya. “Aku juga sudah meluruskan semua gosip bodoh yang disebarkan Thomas pagi ini. Semuanya akan percaya jika aku yang bicara.”
Alessia menatapnya tak percaya. “Kau sudah meluruskan?”
“Tentu saja.” Gabby tersenyum puas. “Atas perintah Papa, sebenarnya,” sambungnya sambil menerbitkan cengiran pada Alessia.
Alessia terdiam beberapa detik sebelum akhirnya bertanya, “Atas perintah Paman Leonardo?”
Gabby mengangguk ringan. “Ya. Beliau meneleponku beberapa menit yang lalu. Katanya, gosip itu tidak boleh dibiarkan berkembang. Kau tahu kan, ayahku sangat tidak suka jadi bahan pembicaraan publik—apalagi yang menyangkut hal-hal pribadi.”
“Hal-hal pribadi,” ulang Alessia lirih. Ia lalu menggenggam gelas jus jeruknya lagi dan matanya menatap cairan oranye yang berputar pelan di dasar gelas. “Aku rasa aku mengerti.”
Gabby memandangnya beberapa saat, lalu mengubah posisi duduknya. “Jadi jangan terlalu cemas. Aku akan pastikan semua orang berhenti membicarakan hal itu. Lagipula, siapa yang berani melawan nama keluarga kami?” katanya sambil tersenyum samar.
Alessia membalas senyum itu meski samar. “Terima kasih, Gabby. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus berterima kasih.”
“Kau tidak perlu berterima kasih. Kau temanku, Alessia. Jangan canggung terus menerus seperti itu.”
Hening sejenak. Alessia kembali menyesap jus jeruknya perlahan sembari mencoba menenangkan diri.
Dia masih merasa sedikit tertekan, tetapi kehadiran Gabby setidaknya mengurangi rasa sesak yang sempat menumpuk di dadanya.
Namun Gabby tiba-tiba menatapnya tajam dan mata hijaunya menyipit nakal.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Alessia mulai tidak nyaman dengan tatapan itu.
Gabby bersandar ke depan dan dagunya bertumpu di tangan. “Kau yakin?”
“Yakin apa?”
“Bahwa kau tidak tertarik pada Ayahku.”
Alessia hampir tersedak. “Apa?!” pekiknya setengah berteriak.
Gabby terkekeh puas melihat raut wajah Alessia. “Wajahmu langsung memerah. Aku hanya bercanda, Alessia.”
“Bercanda yang tidak lucu,” sahut Alessia pelan sambil mencoba menutupi wajahnya yang mulai panas.
Namun Gabby tidak berhenti di situ. Ia terus menatap Alessia dan kali ini dengan ekspresi yang lebih serius.
“Kau tahu, aku sudah lama tidak melihat Papa begitu … memperhatikan seseorang.”
Alessia menoleh pelan. “Apa maksudmu?” ucapnya dengan perasaan yang mulai tidak enak.
Gabby memainkan sendok kecil di gelas kopinya. “Ayahku biasanya tidak peduli dengan hal-hal di luar pekerjaannya. Tapi kemarin malam, dia bahkan menanyakan apakah kita berteman baik selama ini. Dan pagi ini, dia langsung meneleponku hanya untuk memastikan gosip ini tidak berkembang lebih lama.”
Alessia menelan ludahnya mendengar ucapan Gabby tadi. “Mungkin … karena aku temanmu, dan dia menghormati itu, Gabby.”
“Mungkin,” jawab Gabby dengan nada menggantung.
Alessia tidak tahu harus tertawa atau tidak. Dia mencoba menepis ketegangan dengan menatap ke luar jendela. “Kau terlalu banyak menonton drama, Gabby.”
“Bisa jadi,” kata Gabby ringan. Lalu, dengan senyum yang sangat tipis namun penuh arti, ia menambahkan, “Drama memang menyenangkan daripada kisah hidupku sendiri.”
Alessia tidak menjawab. Dia hanya memutar sedotan di gelasnya, sambil menatap wajah Gabby. Namun, seiring berjalannya waktu, pandangannya justru seolah beralih pada wajah Leonardo.
Seolah wajah Leonardo tercetak di wajah Gabby. Dan akhirnya Alessia geleng-geleng kepala karena menurutnya dia sudah tidak waras, yang memikirkan bahkan mengingat wajah Leonardo terus menerus.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Lalu, dengan nada yang seolah tidak disengaja, Alessia bertanya, “Gabby, boleh aku bertanya sesuatu yang agak pribadi?”
“Tentu,” sahut Gabby dengan santai.
Alessia menelan ludahnya sebelum bertanya. “Apakah ayahmu tidak berniat ingin menikah lagi setelah berpisah dengan ibumu?” tanyanya dengan rasa ingin tahu yang begitu dalam.
Gabby terdiam sejenak, lalu mengangkat bahu ringan. “Aku tidak tahu. Tapi, mungkin tidak.”
“Kenapa begitu?” tanya Alessia ingin tahu lebih dalam.
Gabby memutar gelasnya sambil menatap gelembung kopi yang pecah di permukaan.
“Papa terlalu ambisius terhadap sesuatu yang tidak pernah aku pahami. Setelah perceraian itu, dia jadi berbeda. Dingin. Sulit didekati. Dan sejujurnya, aku tidak pernah tahu apakah dia masih bisa mencintai seseorang atau tidak.”
Nada suaranya terdengar datar, tapi ada sedikit luka di baliknya. Luka seorang anak yang harus melihat perpisahan kedua orang tuanya di depan matanya sepuluh tahun yang lalu.
Alessia menatapnya dengan iba. “Maaf, aku tidak bermaksud—”
“Tidak apa-apa,” potong Gabby cepat. “Aku sudah terbiasa. Papa memang selalu sibuk dengan perusahaannya. Dia hidup untuk itu, bukan untuk hal lain. Pengkhianatan Mama pasti menaruh trauma mendalam di hatinya. Jadi, aku memaklumi jika Papa enggan punya istri lagi hingga saat ini.”
Alessia hanya mengangguk pelan lalu menghela napas kasar. “Sengaja membuat hidupnya sepi.”
Gabby menatapnya sejenak lalu tersenyum tipis. “Mungkin. Tapi itulah dunia kami,” jawab Gabby dengan nada santai. Seolah kehidupannya yang tampak mewah dan glamour itu tidak menyimpan luka yang tidak bisa dilupakan.
Lebih tepatnya, Gabby menutupi semuanya dengan cara menghabiskan uang ayahnya yang tidak berseri. Menghabiskan masa mudanya dengan belanja semua yang dia inginkan.
Mereka berdua terdiam kembali, tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
Alessia menyesap jus jeruknya perlahan, lalu menatap Gabby yang kini tengah memperhatikannya dengan pandangan penuh teka-teki.
“Ada apa lagi?” tanya Alessia sambil mencoba untuk tersenyum meski canggung.
Gabby menyipitkan mata lalu dengan nada setengah bercanda berkata, “Entah kenapa, aku merasa kau sedang menatap ayahku dengan cara yang berbeda.”
Alessia menegakkan tubuhnya bahkan hampir menjatuhkan sedotannya. “Gabby!”
Gabby sontak tertawa pelan lalu menutupi mulutnya dengan tangan. “Tenang saja, aku tidak benar-benar menuduhmu.”
Dia mencondongkan tubuh sedikit ke depan dan berbisik, “Tapi serius … apa kau tidak tertarik menjadi ibu sambungku?” godanya dengan nada bercanda.
Alessia langsung memukul pelan lengan Gabby dengan ekspresi setengah jengkel. “Kau gila ya?!” serunya dan pipinya memanas karena ucapan Gabby tadi.Gabby tergelak lalu mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. “Hei, hei! Tenang. Aku hanya bercanda, Alessia,” katanya sambil mengerling jahil.“Tapi serius deh, kau harus segera punya pacar. Biar gosip murahan dari Thomas itu cepat mati.”Alessia mendengus dan memutar sedotan di gelas jus jeruknya. Tidak mau menanggapi ucapan sahabatnya itu. Hatinya masih panas karena ucapan Gabby barusan, meskipun dia tahu sahabatnya itu hanya menggoda.“Lihat wajahmu itu,” lanjut Gabby lalu pura-pura menghela napas panjang. “Bahkan kalau kau diam seperti ini, orang akan makin yakin kau menyimpan sesuatu.”“Gabby, berhenti,” kata Alessia pelan, tapi nada suaranya cukup membuat Gabby berhenti tertawa.Suasana kantin mendadak sunyi di antara mereka. Gabby menatap Alessia beberapa detik, lalu ponselnya bergetar.Ia menunduk dan membaca sebuah pesan yang m
“Jangan melamun seperti itu, Alessia. Nanti orang-orang makin yakin kalau kau benar-benar sedang jatuh cinta pada ayahku.”Gabby menegur Alessia sambil menepuk pundak sahabatnya itu yang sedang duduk di kantin kampus sambil memegang jus jeruk di tangan kanannya.Alessia menoleh dengan cepat. Gabby berdiri di samping meja dengan senyum khasnya—campuran antara jahil dan lembut.Rambut pirangnya tergerai rapi dan blazer pastel yang dia kenakan membuatnya tampak seperti putri konglomerat sejati.“Gabby.” Alessia memaksakan senyum tipis di bibirnya. “Aku hanya sedang berpikir.”“Berpikir tentang gosip gila itu, tentu saja.” Gabby menarik kursi di depannya dan duduk tanpa diundang. “Kau tidak perlu terlalu memikirkannya. Aku sudah tahu semuanya.”Alessia mengerutkan dahi. “Sudah tahu apa?”Gabby menaruh tasnya di pangkuan lalu menatapnya lurus. “Tentang Thomas. Tentang gosip murahan itu. Dan tentang siapa yang sebenarnya meminta Papa untuk mengantarmu malam itu.”Alessia memiringkan kepala
Setibanya di taman belakang, Leonardo melepaskan genggaman itu dan menatap Alessia dengan tatapan datarnya.“Alessia,” ucapnya dengan pelan, namun nada suaranya membawa getaran aneh di dada gadis itu.“Mulai sekarang, berhati-hatilah terhadap Thomas. Aku khawatir dia akan melakukan apa pun untuk mempermalukanmu.”Alessia mengerutkan kening, mencoba memahami maksud ucapan Leonardo tadi. “Mempermalukanku? Hanya karena penolakan semalam? Dia akan sejauh itu membalaskan dendamnya?” ucapnya seolah tak percaya Thomas akan melakukan hal gila seperti itu.Leonardo mengangguk tanpa ragu. “Thomas bukan tipe yang mudah menerima penolakan. Apalagi di depan banyak orang. Harga dirinya terlalu tinggi untuk itu.”Kening Alessia masih berkerut. “Maaf, aku belum paham, Paman.”Leonardo menghela napas kasar. “Balas dendam, Alessia. Dia menganggap bahwa kau telah mempermalukannya di pesta semalam. Dan dia harus melakukan hal yang sama padanya.”Barulah Alessia paham. Dia lalu menghela napasnya sambil m
Besok paginya, Alessia kembali ke kampus seperti biasa, menjalani aktivitas rutin sebagai mahasiswi semester enam.Ia berjalan menyusuri koridor dengan langkah ringan sambil membawa beberapa buku di pelukannya. Rambutnya masih sedikit lembap, sisa dari perjalanan yang tergesa.Beberapa mahasiswa menatapnya ketika dia lewat. Pandangan itu terasa berbeda dari biasanya—terlalu lama dan terlalu menilai.Alessia mencoba mengabaikan pandangan itu dan mengira itu hanya perasaannya sendiri. Namun, bisikan-bisikan lirih mulai terdengar dari sudut-sudut lorong.“Katanya, semalam dia pulang bersama ayahnya Gabby.”“Yang pengusaha itu?”“Ya. Kudengar mereka satu mobil. Aneh sekali, bukan?”Alessia berhenti sesaat lalu melanjutkan langkah tanpa menoleh. Ia berharap semua itu hanya kesalahpahaman kecil.Tapi semakin dia berjalan menuju ruang kelas, semakin kuat perasaan bahwa sesuatu telah beredar tanpa kendali.Begitu memasuki ruang kelas, suasana terasa ganjil. Percakapan berhenti sejenak, lalu b
“Hujannya tidak akan reda sampai pagi, Alessia. Sebaiknya kau menginap saja di sini,” ucap Gabby yang sedari tadi membujuk Alessia agar mau menginap di rumahnya.Sebab jam sudah menunjuk angka sebelas malam.Sementara di luar hujan turun dengan deras mengguyur halaman rumah megah itu hingga lampu taman memantul di genangan air seperti serpihan kaca yang pecah.“Tidak, Gabby. Terima kasih. Taksi sebentar lagi akan tiba. Aku pamit dulu,” ucap Alessia lalu melangkah keluar rumah dengan langkah lebarnya.Tak lama dia tiba di halaman rumah, ponselnya bergetar tanda notifikasi masuk. Layar menampilkan pesan dari aplikasi pemesanan, “Taksi Anda akan tiba dalam 24 menit.”Dua puluh empat menit. Waktu yang terasa seperti selamanya di tengah hujan malam begini.Ia menatap lagi ke arah rumah di belakangnya. Pesta ulang tahun di dalam baru saja usai, dan tawa-tawa yang tadi memenuhi aula kini berganti senyap.Alessia sudah berpamitan dan menolak tawaran untuk menginap. Ia hanya ingin pulang, ke a
“Alessia! Kau harus ikut menari dengan kami. Kapan kau akan punya pacar kalau terus menyendiri di sini?!” teriak Gabby sambil menggenggam tangan pacarnya.Alessia tertawa sambil melambaikan tangan. “Nanti saja, nikmati malammu dulu. Aku akan jadi penonton setia.”Bagi sebagian besar yang hadir, pesta ulang tahun ke-21 Gabby Bianchi terasa sempurna.Hidangan mewah tersaji di setiap meja, bunga-bunga mawar putih memenuhi sudut ruangan, dan semua orang berpakaian glamor seolah tengah menghadiri acara bangsawan.Namun di sudut ruangan, Alessia Romano, 21 tahun tengah berdiri dengan segelas jus jeruk di tangannya.Gaun hitam sederhana yang dia kenakan memang tidak terlalu mencolok, tapi itulah dirinya—tidak pernah merasa nyaman berada di pusat perhatian.Senyumnya muncul setiap kali menatap Gabby, sahabat dekatnya sejak SMA, yang kini tampak bersinar bak putri di panggung malam itu.Itu sudah cukup baginya. Alessia tidak terbiasa dengan pesta besar semacam ini.Hidupnya sederhana: kuliah,