Beranda / Romansa / Terpikat Pesona Ayah Temanku / 5. Tidak Tertarik jadi Ibu Sambungku?

Share

5. Tidak Tertarik jadi Ibu Sambungku?

Penulis: CeliiCaaca
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-08 12:05:14

“Jangan melamun seperti itu, Alessia. Nanti orang-orang makin yakin kalau kau benar-benar sedang jatuh cinta pada ayahku.”

Gabby menegur Alessia sambil menepuk pundak sahabatnya itu yang sedang duduk di kantin kampus sambil memegang jus jeruk di tangan kanannya.

Alessia menoleh dengan cepat. Gabby berdiri di samping meja dengan senyum khasnya—campuran antara jahil dan lembut.

Rambut pirangnya tergerai rapi dan blazer pastel yang dia kenakan membuatnya tampak seperti putri konglomerat sejati.

“Gabby.” Alessia memaksakan senyum tipis di bibirnya. “Aku hanya sedang berpikir.”

“Berpikir tentang gosip gila itu, tentu saja.” Gabby menarik kursi di depannya dan duduk tanpa diundang. “Kau tidak perlu terlalu memikirkannya. Aku sudah tahu semuanya.”

Alessia mengerutkan dahi. “Sudah tahu apa?”

Gabby menaruh tasnya di pangkuan lalu menatapnya lurus. “Tentang Thomas. Tentang gosip murahan itu. Dan tentang siapa yang sebenarnya meminta Papa untuk mengantarmu malam itu.”

Alessia memiringkan kepala karena bingung. “Apa maksudmu?”

Gabby tersenyum kecil lalu bersandar santai di kursinya sambil menatap lekat wajah Alessia. “Aku yang meminta Papa untuk mengantarmu pulang.”

Alessia terdiam, menatap sahabatnya dengan mata membulat. “Apa?” serunya hampir berbisik, agar tidak menarik perhatian orang lain di sekitarnya.

“Kenapa kau melakukan itu? Aku bisa pulang sendiri. Aku sudah memesan taksi, Gabby,” protes Alessia yang tidak menyangka bahwa pelaku utamanya adalah Gabby. 

“Ya, aku tahu,” jawab Gabby dengan santai sambil mengaduk kopi di depannya. “Tapi taksi itu terlalu lama datangnya. Dan malam itu hujan cukup deras. Kau bisa masuk angin kalau menunggu di luar.”

Alessia menghela napas kasar menatap Gabby dengan tatapan datarnya. “Kau tidak perlu repot memintanya. Aku tidak ingin merepotkan siapa pun. Apalagi ayahmu.”

Gabby mengangkat alisnya lalu menyunggingkan senyum tipis. “Ayahku tidak keberatan. Lagipula, dia jarang melakukan hal di luar rutinitas bisnisnya. Jadi, mengantarmu pulang mungkin justru jadi penyegaran untuknya.”

Alessia menaikkan alisnya, ucapan Gabby terlalu ambigu di telinganya. “Penyegaran?” gumamnya pelan hingga membuat Gabby tertawa kecil.

“Tenang saja,” lanjut Gabby sambil meneguk kopinya. “Aku juga sudah meluruskan semua gosip bodoh yang disebarkan Thomas pagi ini. Semuanya akan percaya jika aku yang bicara.”

Alessia menatapnya tak percaya. “Kau sudah meluruskan?”

“Tentu saja.” Gabby tersenyum puas. “Atas perintah Papa, sebenarnya,” sambungnya sambil menerbitkan cengiran pada Alessia.

Alessia terdiam beberapa detik sebelum akhirnya bertanya, “Atas perintah Paman Leonardo?”

Gabby mengangguk ringan. “Ya. Beliau meneleponku beberapa menit yang lalu. Katanya, gosip itu tidak boleh dibiarkan berkembang. Kau tahu kan, ayahku sangat tidak suka jadi bahan pembicaraan publik—apalagi yang menyangkut hal-hal pribadi.”

“Hal-hal pribadi,” ulang Alessia lirih. Ia lalu menggenggam gelas jus jeruknya lagi dan matanya menatap cairan oranye yang berputar pelan di dasar gelas. “Aku rasa aku mengerti.”

Gabby memandangnya beberapa saat, lalu mengubah posisi duduknya. “Jadi jangan terlalu cemas. Aku akan pastikan semua orang berhenti membicarakan hal itu. Lagipula, siapa yang berani melawan nama keluarga kami?” katanya sambil tersenyum samar.

Alessia membalas senyum itu meski samar. “Terima kasih, Gabby. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus berterima kasih.”

“Kau tidak perlu berterima kasih. Kau temanku, Alessia. Jangan canggung terus menerus seperti itu.”

Hening sejenak. Alessia kembali menyesap jus jeruknya perlahan sembari mencoba menenangkan diri.

Dia masih merasa sedikit tertekan, tetapi kehadiran Gabby setidaknya mengurangi rasa sesak yang sempat menumpuk di dadanya.

Namun Gabby tiba-tiba menatapnya tajam dan mata hijaunya menyipit nakal.

“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Alessia mulai tidak nyaman dengan tatapan itu.

Gabby bersandar ke depan dan dagunya bertumpu di tangan. “Kau yakin?”

“Yakin apa?”

“Bahwa kau tidak tertarik pada Ayahku.”

Alessia hampir tersedak. “Apa?!” pekiknya setengah berteriak.

Gabby terkekeh puas melihat raut wajah Alessia. “Wajahmu langsung memerah. Aku hanya bercanda, Alessia.”

“Bercanda yang tidak lucu,” sahut Alessia pelan sambil mencoba menutupi wajahnya yang mulai panas.

Namun Gabby tidak berhenti di situ. Ia terus menatap Alessia dan kali ini dengan ekspresi yang lebih serius.

“Kau tahu, aku sudah lama tidak melihat Papa begitu … memperhatikan seseorang.”

Alessia menoleh pelan. “Apa maksudmu?” ucapnya dengan perasaan yang mulai tidak enak.

Gabby memainkan sendok kecil di gelas kopinya. “Ayahku biasanya tidak peduli dengan hal-hal di luar pekerjaannya. Tapi kemarin malam, dia bahkan menanyakan apakah kita berteman baik selama ini. Dan pagi ini, dia langsung meneleponku hanya untuk memastikan gosip ini tidak berkembang lebih lama.”

Alessia menelan ludahnya mendengar ucapan Gabby tadi. “Mungkin … karena aku temanmu, dan dia menghormati itu, Gabby.”

“Mungkin,” jawab Gabby dengan nada menggantung. 

Alessia tidak tahu harus tertawa atau tidak. Dia mencoba menepis ketegangan dengan menatap ke luar jendela. “Kau terlalu banyak menonton drama, Gabby.”

“Bisa jadi,” kata Gabby ringan. Lalu, dengan senyum yang sangat tipis namun penuh arti, ia menambahkan, “Drama memang menyenangkan daripada kisah hidupku sendiri.”

Alessia tidak menjawab. Dia hanya memutar sedotan di gelasnya, sambil menatap wajah Gabby. Namun, seiring berjalannya waktu, pandangannya justru seolah beralih pada wajah Leonardo. 

Seolah wajah Leonardo tercetak di wajah Gabby. Dan akhirnya Alessia geleng-geleng kepala karena menurutnya dia sudah tidak waras, yang memikirkan bahkan mengingat wajah Leonardo terus menerus. 

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Lalu, dengan nada yang seolah tidak disengaja, Alessia bertanya, “Gabby, boleh aku bertanya sesuatu yang agak pribadi?”

“Tentu,” sahut Gabby dengan santai.

Alessia menelan ludahnya sebelum bertanya. “Apakah ayahmu tidak berniat ingin menikah lagi setelah berpisah dengan ibumu?” tanyanya dengan rasa ingin tahu yang begitu dalam. 

Gabby terdiam sejenak, lalu mengangkat bahu ringan. “Aku tidak tahu. Tapi, mungkin tidak.”

“Kenapa begitu?” tanya Alessia ingin tahu lebih dalam. 

Gabby memutar gelasnya sambil menatap gelembung kopi yang pecah di permukaan.

“Papa terlalu ambisius terhadap sesuatu yang tidak pernah aku pahami. Setelah perceraian itu, dia jadi berbeda. Dingin. Sulit didekati. Dan sejujurnya, aku tidak pernah tahu apakah dia masih bisa mencintai seseorang atau tidak.”

Nada suaranya terdengar datar, tapi ada sedikit luka di baliknya. Luka seorang anak yang harus melihat perpisahan kedua orang tuanya di depan matanya sepuluh tahun yang lalu.

Alessia menatapnya dengan iba. “Maaf, aku tidak bermaksud—”

“Tidak apa-apa,” potong Gabby cepat. “Aku sudah terbiasa. Papa memang selalu sibuk dengan perusahaannya. Dia hidup untuk itu, bukan untuk hal lain. Pengkhianatan Mama pasti menaruh trauma mendalam di hatinya. Jadi, aku memaklumi jika Papa enggan punya istri lagi hingga saat ini.” 

Alessia hanya mengangguk pelan lalu menghela napas kasar. “Sengaja membuat hidupnya sepi.”

Gabby menatapnya sejenak lalu tersenyum tipis. “Mungkin. Tapi itulah dunia kami,” jawab Gabby dengan nada santai. Seolah kehidupannya yang tampak mewah dan glamour itu tidak menyimpan luka yang tidak bisa dilupakan. 

Lebih tepatnya, Gabby menutupi semuanya dengan cara menghabiskan uang ayahnya yang tidak berseri. Menghabiskan masa mudanya dengan belanja semua yang dia inginkan. 

Mereka berdua terdiam kembali, tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

Alessia menyesap jus jeruknya perlahan, lalu menatap Gabby yang kini tengah memperhatikannya dengan pandangan penuh teka-teki.

“Ada apa lagi?” tanya Alessia sambil mencoba untuk tersenyum meski canggung.

Gabby menyipitkan mata lalu dengan nada setengah bercanda berkata, “Entah kenapa, aku merasa kau sedang menatap ayahku dengan cara yang berbeda.”

Alessia menegakkan tubuhnya bahkan hampir menjatuhkan sedotannya. “Gabby!”

Gabby sontak tertawa pelan lalu menutupi mulutnya dengan tangan. “Tenang saja, aku tidak benar-benar menuduhmu.”

Dia mencondongkan tubuh sedikit ke depan dan berbisik, “Tapi serius … apa kau tidak tertarik menjadi ibu sambungku?” godanya dengan nada bercanda. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   92. Tak ingin Tinggal di Sana Lagi

    Di dalam kamarnya, Alessia menutup pintu dan memutarnya sampai bunyi klik terdengar jelas, seolah itu satu-satunya hal yang bisa melindunginya dari seluruh dunia yang tiba-tiba runtuh.Begitu pintu terkunci, tubuhnya melemas. Ia jatuh berlutut, tangannya gemetar saat meraih figura kecil di meja samping tempat tidur, foto kedua orang tuanya, satu-satunya hal yang selalu ia bawa sejak semuanya berubah bertahun-tahun lalu.Begitu jari-jarinya menyentuh bingkainya, air mata langsung pecah.“Papa, Mama,” suaranya retak dan pecah bukan lagi seperti suara seorang perempuan dewasa, melainkan anak kecil yang kehilangan tempat pulang.Alessia memeluk figura itu erat-erat ke dadanya, seperti ingin menempelkan bayangan kedua orang tuanya kembali ke dalam rongga hatinya yang kini hancur berantakan.Tangisannya memecah hening malam, jeritan lirih yang teredam oleh dinding kamar namun cukup keras untuk membuat pundaknya terguncang hebat.“Aku bodoh,” isaknya, suara terputus-putus. “Bodoh sekali.”Ai

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   91. Rasa Kecewa yang Mendalam

    Pintu ruang kerja baru saja tertutup ketika Leonardo melangkah masuk. Jas masih melekat di tubuhnya, dasi sedikit longgar, wajah lelah.Begitu melihat Alessia berdiri di tengah ruangan, dia tersenyum tipis dan mengulurkan tangan, berniat hendak memeluknya.Tetapi Alessia mundur. Mata mereka bersitatap dengan hening yang menggigit di ruangan itu.“Ada apa?” tanya Leonardo dengan lembut.Alessia tidak membalas. Tubuhnya tegang, bibirnya bergetar, matanya penuh sesuatu yang menghantam ke dalam.Leonardo merasakan hawa berbeda hingga akhirnya senyumnya lenyap. “Alessia?” panggilnya pelan.Wanita itu mengangkat koran yang terlipat. Sudut-sudutnya kusut, bekas jemarinya yang gemetar masih terlihat. Dia mengangkatnya setinggi dada Leonardo.“Apa ini?” tanyanya dengan nada yang begitu tajam dan dalam. Leonardo sontak membeku. Selama sekejap, dia tidak bernapas. Koran itu, yang seharusnya tidak ditemukan, sekarang berada di tangan Alessia. Mata pria itu memudar, seperti seseorang yang tiba-ti

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   90. Sesuatu yang Alessia Temukan

    Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul sembilan malam.Alessia baru saja tiba di rumah, memeluk cardigan tipisnya erat-erat.Udara malam terasa lebih menusuk daripada biasanya, seolah rumah itu sendiri sedang menyimpan sesuatu. Leonardo belum pulang, masih ada urusan dengan klien yang muncul mendadak.Sebelum pergi, dia sempat menunduk, mencium kening Alessia, dan berkata pelan namun tegas, “Ada beberapa dokumen di ruang kerja, tolong rapikan. Aku akan cek malam ini.”Alessia mengangguk, tanpa berpikir apa pun. Itu bukan permintaan yang aneh karena Leonardo sering meminta hal semacam itu.Dia sudah terbiasa masuk ke ruang kerjanya, menata berkas, menyiapkan materi, atau menambahkan sticky notes di sudut-sudut dokumen sesuai instruksinya.Namun kini, ketika dia berdiri di depan pintu kayu gelap menuju ruang kerja Leonardo, rasanya berbeda.Seakan ruangan itu memancarkan aura misterius yang tak pernah ia sadari sebelumnya.Lampu di lorong remang, dan suara langkah sepatu Alessia te

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   89. Gabby Mengetahuinya?

    Rafael duduk bersandar di atas matras tebal yang belum sempat dilipat sejak sore.Angin malam dari arah danau berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang digesek angin.Suasana berkemah itu seharusnya membuatnya rileks, tapi matanya justru terpaku pada dua sosok yang sedang tertawa pelan di tepi air.Leonardo dan Alessia.Keduanya duduk di batu besar dekat tepian, bercanda tentang entah apa, namun Rafael bisa mendengar tawa ringan Alessia yang kadang pecah.Leonardo terlihat jauh lebih santai daripada yang pernah ia lihat di kantor—bahkan terlalu santai untuk ukuran seorang pria yang begitu disiplin di ruang kerja.Rafael menghela napas pelan, pandangannya tak lepas dari dua sosok yang tampak terlalu menyatu itu. “Bagaimana bisa mereka menjalin hubungan?” gumamnya tanpa memandang ke arah lain.Gabby, yang sedang menyeruput cokelat panas dari termos kecil, menoleh dan menaikkan alisnya. “Menurutmu kenapa?” Dia menirukan nada aneh Rafael.“Serius, Gab. Maksudku, bagaiman

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   88. Deep Talk

    Angin malam di tepi danau bergerak lembut, mengibaskan ujung rambut Alessia ketika waktu sudah menunjuk pukul sepuluh malam.Langit gelap tampak bersih, bulan bulat menggantung besar dan terang, memantulkan sinarnya ke permukaan air yang tenang dan membuat danau tampak seperti kaca perak yang berkilauan.Leonardo dan Alessia duduk berdampingan di sebuah dermaga kayu kecil yang menjorok ke danau.Suara jarak jauh pesta kecil Rafael, Gabby, dan Anthony yang masih membereskan barang-barang terdengar samar, namun dunia di sekitar mereka sendiri terasa sunyi, hangat, dan tenang.Alessia menarik lututnya sedikit, menyandarkan sedikit tubuhnya ke arah Leonardo.Tatapannya mengarah pada pantulan cahaya bulan yang bergetar lembut mengikuti riak air.Tapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.Dia menoleh, memandang profil wajah Leonardo, garis tegas rahangnya, siluet hidungnya, dan mata pria itu yang tak berkedip memandang permukaan danau.Ada sesuatu yang berbeda dari raut wajah itu. Sesuat

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   87. Sok Perfeksionis

    Asap tipis mulai naik dari panggangan ketika jam menunjukkan hampir pukul sebelas siang.Cahaya matahari memantul di permukaan danau, membuat suasana piknik menjadi hangat dan cerah.Di tengah harumnya bumbu seafood yang mulai terkena panas, terdengar suara kecil cesss ketika potongan fillet salmon menyentuh permukaan besi panas.Alessia berdiri dengan celemek kain bergambar lemon yang dipinjamnya dari tas piknik Gabby.Sementara Gabby sibuk mengoleskan bumbu pada udang-udang besar yang ditata rapi dalam baskom stainless kecil.Rafael dan Anthony duduk tak jauh dari situ, mengawasi panggangan sambil sesekali mengipasi bara dengan kipas lipat.Semuanya berjalan normal, sampai Leonardo mendekat.Dengan langkah penuh percaya diri, seolah dia seorang chef bintang lima, Leonardo menyingsingkan lengan kemejanya dan menatap panggangan seperti medan perang yang sudah dipetakan dalam pikirannya.“Aku yang urus ini,” katanya sambil mengambil spatula.Gabby spontan mendelik. Alessia mengernyit.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status