Share

Chapter 8

DUG!

Aku langsung masuk ke dalam apartemenku dan setelah itu mengunci pintunya rapat-rapat. Melihat Chris barusan, membuatku sedikit khawatir dan tentunya dengan melihatnya juga membuat suasana hatiku menjadi buruk.

"Akhirnya Aku sendirian," gumamku yang seketika merasa begitu lega berada sendirian di rumah.

Drrrttt ...

Drrrttt ...

Drrrttt ...

Tak lama, ponselku berdering, dan seperti yang kupikirkan, panggilan itu benar-benar dari Chris.

Aku terpaku sejenak memandangi layar ponsel karena hal itu membuatku khawatir dengan hal apa yang akan pria brengsek itu bicarakan padaku.

Namun karena aku tidak bisa mengabaikan panggilan itu, dengan sangat berat hari aku pun menerima panggilannya.

"Bicaralah!" Seperti biasa, aku menjawab panggilannya dengan ketus.

"Hai Baby ... Kenapa? Kenapa Kau terdengar tidak santai seperti itu, hm? Santai saja, Aku tidak menggigit kok, kecuali jika Kau menginginkannya, hehehe." Chris berkata normal seakan tak ada apa-apa sehingga kukira kali ini dia tidak mendapati aku melakukan kesalahan.

"Kali ini ada apa lagi?" tanyaku tanpa menghiraukan basa-basinya di awal.

"Tidak ada, melihatmu di kedai kopi tadi membuatku sangat gatal ingin sekali mengatakan betapa cantiknya Kau, Baby ..." jawabnya dengan suara yang begitu lembut nan menggoda.

"Kau sudah mengatakannya saat di kedai tadi, untuk apa Kau repot-repot menghubungiku lagi jika hanya untuk mengatakan hal konyol itu, hm?" timpalku dengan sinis.

"Oh, ayolah, Kau tadi tidak mengatakan apa-apa, Aku kan ingin mendengar suara manismu. Dan lagi di luar sana Aku tidak bisa berbincang denganmu dengan bebas ketika Kau sedang menyamar-"

"Sedang apa tadi Kau di sana?" selaku yang sudah sangat malas mendengarkan rayuan recehnya itu.

"Aw, akhirnya Kau peduli dengan apa yang kulakukan. Ah~ Aku sangat senang sekali ... Well, tadi Aku hanya mampir sebentar ke kedai kopi itu untuk sekedar minum kopi saja sebelum pergi ke suatu tempat, dan kebetulan sekali Kau juga mengunjungi tempat itu. Bersyukur sekali bisa melihat Kau di tengah suasana hatiku sangat tidak baik," tutur pria brengsek itu.

Aku diam menunggunya selesai dengan omong besarnya.

"Hah~ Suasana hatiku sungguh tidak baik sebelum Kau datang, bahkan saking tidak baiknya hampir saja Aku menghabisi seorang pelayan di kedai itu," sambungnya.

Mendengar penuturannya membuatku tersentak kaget. Jika suasana hatinya sampai tidak baik seperti itu, itu artinya ada sesuatu hal yang mengganggunya dan itu sungguh sangat tidak ia sukai. Kuharap itu bukan karena apa pun yang kulakukan, karena jika demikian, maka bisa saja ia datang ke apartemen ini dan melakukan sesuatu padaku saat ini juga.

Namun mengingat sejauh ini yang ia lakukan hanya memperingatiku saja, jadi kupikir sumber masalahnya bukanlah aku.

"Hal seperti apakah yang bisa mengganggumu, hm?" Aku pun memberanikan diri untuk memastikannya.

Kali ini giliran Chris yang terdiam. Ia diam cukup lama hingga akhirnya ia membuka mulut kembali. "Oh, banyak sekali hal yang menggangguku hari ini, dan salah satunya adalah membayangkan Kau menggoda pria lain selama seharian ini."

Ia terdiam lagi sejenak."Ck, Baby, maaf, Aku harus pergi sekarang -"

"Ya, ya! Aku akan melaporkan apa saja yang terjadi hari ini lewat email!" Aku langsung menyela agar ia bisa cepat-cepat mengakhiri panggilannya.

"Hahaha, baiklah, kalau begitu sampai jumpa, Baby." Setelah itu, ia pun akhirnya benar-benar menutup teleponnya.

Sungguh, setelah panggilan itu berakhir, aku sangat lega bukan main. Mengetahui bahwa Chris tidak marah karena perbuatanku, membuat salah satu keresahan menghilang seakan sebuah bencana terlewati begitu saja.

Untuk menyegarkan kembali otakku yang sudah berasap karena hal-hal yang terjadi selama seharian ini, setelah percakapan singkat itu, aku langsung melepas semua perlengkapan menyamarku dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum nanti menuliskan laporan hari ini untuk Chris.

***

Sekarang sudah terhitung dua minggu aku menjadi seorang mahasiswi. Harus kuakui, selama itu aku merasa tak ada kemajuan dalam misiku ini. Reynold benar-benar pria yang sangat sulit. Selama dua minggu ini aku sama sekali tidak pernah beinteraksi lagi dengannya. Terakhir kami bersama dan berbicara adalah di hari pertamaku menjadi mahasiswi, dan itu pun hanya beberapa menit saja sebelum akhirnya dia pergi bersama dengan kekasihnya. Setelah itu, dia benar-benar tidak tersentuh lagi karena entah mengapa tiap kali aku hendak beraksi, dia selalu saja menghilang dan ketika ada kesempatan pun, dia sering kali disibukan dengan dosen yang memerlukannya, ditambah lagi para penggemarnya yang sangat banyak itu mempersulitku untuk mendekat padanya.

"Oi, mengapa Kau melamun?" tanya Viona yang membuatku tersadar dari lamunanku.

Viona, gadis ini setelah hari itu selalu menempel padaku. Ternyata dugaanku sebelumnya itu benar, dia tidak memiliki seorang teman pun di kampus. Selama aku bersamanya tak ada satu pun orang yang mendekat padanya kecuali hanya sekedar menyapa antar sesama teman sekelas sebagai formalitas saja, setelah itu dia sendiri lagi, benar-benar tidak berteman. Oleh karena itu, aku sangat yakin jika aku tidak ada, gadis ini benar-benar sendirian di sini.

Aku menoleh padanya dengan lemas, seakan menunjukkan padanya bahwa saat ini aku sedang memikirkan sesuatu yang begitu berat di dalam otakku.

"Hah~" Aku hanya menghela napas sebagai respons dari pertanyaannya.

"Apa-apaan dengan reaksi itu? Itu tidak menjawab pertanyaanku tahu!" timpalnya dengan keras.

"Bisakah Kau menebaknya? Aku yakin Kau bisa sangat mudah menebak apa yang menjadi masalahku," timpalku dengan lesu.

"Keh! Jangan meremehkanku! Kau pikir Aku ini siapa, hah?!" Entah mengapa dia tampak bangga dengan perkataanku.

Ia kemudian terdiam sembari memandangku dengan tajam, saking tajamnya terasa sepeti ia sedang berusaha untuk menghipnotisku agar bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaannya.

"Well, masalah asmara?" ucapnya setelah sekian lama ia memelototiku.

Satu lagi yang kutahu mengenai gadis ini setelah dua minggu aku mengenalnya, yaitu dia pintar dan kritis. Sepertinya karena hal itu lah dia bertingkah arogan dan cukup sombong sehingga membuat orang yang berkomunikasi dengannya merasa tidak nyaman.

"Hah~ seperti yang diharapkan dari seorang Viona," ucapku yang perlahan menghilangkan tampang lemasku padanya.

"Hehehe, tak usah Kau pertanyakan lagi kehebatanku ..." Gadis itu tertawa sambil menggosok-gosok hidungnya. "Ngomong-ngomong siapakah pria itu, hm? Apa masalahnya? Apakah dia juga mahasiswa kampus ini?" Mendadak dia malah menjadi tampak sangat peduli.

"Kau pasti akan kaget mengenai masalah serius yang sedang kupikirkan," ucapku sebagai pembuka dari apa yang hendak kusampaikan padanya. "Aku jatuh cinta pada Reynold!" sambungku.

Viona tampak biasa saja, seakan ia sudah menebak hal itu. Kedua tangannya lalu mencengkeram bahuku dengan kuat, lalu berkata, "Aku tidak kaget, tapi harus Kau tahu, yang jatuh cinta pada orang itu ada banyak, bahkan Aku sendiri tidak bisa memperkirakan jumlahnya!"

"Bukannya sudah kuperingatkan sejak awal bahwa berhubungan dengan dia itu sangat berbahaya? Selain berbahaya dari luar, tetapi berbahaya juga bagi bagian dalam dirimu sendiri, Kau hanya akan mendapatkan perasaan kecewa, dan itu sangat tidak baik!" tuturnya dengan amat serius.

"Tapi Aku-"

Baru saja hendak membela diri, gadis itu menyela perkataanku. "Sudahlah, lupakan dia, lagi pula Aku yakin Kau menyukainya karena apa yang tampak kan? Karena dia begitu tampan dan keren? Jadi Kau-lupakan-saja-perasaanmu! Lebih baik Kau cari saja pria lain untuk dicintai!" Dia menegaskan dengan begitu berapi-api dan penuh penekanan.

Aku hanya menghela napas karena sejujurnya apa yang dikatakannya sangat masuk akal dan sebenarnya aku pun tidak bisa mengelak lagi. Namun masalahnya suka atau tidak aku harus tetap mengejarnya.

"Sekarang Aku tanya, selain tampang, apa yang membuatmu jatuh cinta pada Reynold, hah?" tanyanya dengan serius.

"Em, Well, selain keren, Aku suka dia karena dia pintar, Aku lebih suka pada orang yang pintar dari pada mereka yang mempunyai tampang rupawan tapi bodoh," jawabku yang hanya asal bicara saja.

Mendengar alasanku, Viona melepaskan cengkeraman dari bahuku sembari memasang tampang apa boleh buatnya. "Well, Kau benar, pria pintar memang lebih menggoda," komentarnya. "Ternyata kita memiliki selera yang sama terhadap pria," pungkasnya.

"Well, mau bagaimana lagi, perasaan tidak bisa dipaksakan," ucapku dengan polosnya.

"Tapi tetap saja, Aku sangat menyarankan Kau untuk mencari pria lain saja, dari pada mengejar seseorang yang sangat sulit untuk diraih seperti Reynold, apa lagi dia juga sudah punya kekasih yang tentunya akan sangat sulit sekali untuk Kau lampaui dalam berbagai bidang,." Viona masih tetap kekeh dengan sarannya itu.

"Ya, ya, kuharap memang ada pria yang bisa menggantikannya di hatiku." Aku pun mengiyakannya agar gadis itu tidak mengoceh lagi.

"Hah~ semoga saja." Viona kembali fokus pada buku yang sedang dibacanya setelah mendengar masalahku.

Tak berselang lama, jam sudah menunjukan pukul 12.45 siang, dan itu artinya aku dan Viona harus segera bergegas menuju ke ruangan selanjutnya untuk mengikuti perkuliahan berikutnya.

"Kuharap di mata kuliah ini Aku memiliki kesempatan untuk menarik perhatian Reynold," pikirku di tengah perjalanan kami menuju ke ruang perkuliahan.

Baru saja aku duduk di sebuah kursi yang berada di barisan paling depan, tiba-tiba saja Reynold di sebelahku dengan santainya. Sontak aku yang mengetahui hal itu kaget bukan main. Baru saja aku berharap, tiba-tiba saja Tuhan mengabulkan keinginanku.

Viona langsung menepuk pundakku, dan saat menoleh padanya, kulihat dia menggeleng kecil seakan memperingatkanku untuk tidak bertindak apa-apa pada pemuda tampan yang duduk di sampingku itu.

Untuk mendalami karakterku, aku pun mengangguk dengan sangat berat hati dan mencoba bertingkah tidak peduli meski tampak sangat jelas di sampingku target yang selama ini kuincar itu. Namun tak bisa, meski aku tidak bisa tinggal diam melihat kesempatan itu.

"Bodo amat! Aku perlu membuat sebuah langkah untuk perkembangan misiku!" pikirku dengan tekad yang sangat bulat akan mencoba untuk menarik perhatian Reynold.

Tanpa mengindahkan peringatan Viona, aku pun menghadapkan wajahku pada pemuda yang duduk di sampingku itu. Aku sudah sangat siap, dan mulutku juga sudah terbuka untuk mengatakan sesuatu padanya.

"Reynold!" Aku pun memanggilnya.

Mendengar aku memanggilnya, tentu pemuda itu menoleh padaku untuk mengetahui maksud dan tujuanku memanggilnya.

"Kau punya pulpen anti air?" tanyaku yang entah mengapa pertanyaan itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulutku.

Tampak Reynold tidak mengerti dengan pertanyaanku itu. Ia hanya diam seperti sedang memikirkan maksud dari hal absurt yang kutanyakan.

Sontak pikiranku buntu saat ini, melihatnya tampak serius memikirkannya membuatku tidak sanggup untuk mencari alasan logis mengapa pertanyaanku tiba-tiba kutanyakan padanya.

"E ... eh, tak usah dipikirkan, Aku cuma ingin bilang bahwa aku membutuhkan pulpen itu untuk menuliskan namamu dan namaku di sebuah kertas, lalu memasukkannya ke dalam sebuah botol kaca, kemudian melemparkannya ke lautan yang luas agar nama kita berdua bisa mengarungi lautan yang luas." Satu lagi, alasan tidak masuk akal itu malah kembali terucap dari diriku yang sangat kikuk ini.

"BODOH SEKALI! APA YANG BARUSAN KAU KATAKAN, WENDY!" Aku mencaci diri sendiri atas ucapan payah yang baru saja keluar dari mulutku.

Aku langsung memalingkan wajahku dari pria itu dan mencoba bertingkah senatural mungkin agar tidak tampak bahwa aku sangat malu setengah mati atas apa yang kukatakan.

"Gawat, gawat, gawat! Aku yakin sekarang Reynold pasti merasa Aku hanya seorang gadis aneh saja, tak ada bedanya dengan para penggemarnya di luar sana!" uapku dalam hati dengan panik.

"Bella! Apa itu tadi?!" bisik Viona yang terdengar panik. Sepertinya ia mendengarkan apa yang kukatakan pada Reynold.

"Entahlah," jawabku yang juga sambil berbisik.

Aku benar-benar tidak bisa tenang. Aku baru menyadari bahwa ternyata aku melupakan sesuatu yang penting selama dua minggu ini, yaitu mengenai cara untuk mendekati lawan jenis dengan elegan dan tepat sasaran, tanpa membuat orang itu merasa bahwa aku ini adalah orang aneh.

"Aku tidak tahu bahwa ternyata akan sesulit i-"

Ketika aku tengah merenungkan apa yang terjadi, terdengar suara Reynold yang berat itu berkata, "Lantas bagaimana jika botol itu pecah di tengah perjalanan?"

Kaget, dengan sigap aku langsung menoleh ke sampingku, dan tampaklah pemuda itu masih memandangku dengan tatapan datarnya seakan ia sedang menunggu respons dariku.

"Tak apa, asal tak ada gangguan apa pun, nama Kita masih tetap terukir di atas kertas itu," jawabku yang sudah pasrah tak peduli dengan apa lagi yang keluar dari mulutku.

"Itu hanya sementara," sanggahnya.

Sungguh mendengarnya masih menimpali perkataan absurtku membuatku sedikit terkejut. Aku tidak menyangka bahwa dia akan meladeniku karena rangkaian kata payah itu.

"Tenang saja, sebelum kumasukkan kertas itu ke dalam botol itu, Aku sudah memasukkannya ke dalam plastik, jadi seperti yang kukatakan sebelumnya, jika tak ada gangguan apa-apa Aku sangat yakin meski botol itu pecah, nama Kita masih sanggup untuk mengarungi lautan untuk beberapa ratus tahun, dan jika plastik pun rusak karena suatu hal, nama kita masih bisa terukir di atas kertas itu beberapa saat karena tinta pulpen anti air itu sebelum akhirnya hancur lebur bersama dengan kertasnya," tuturku yang masih belum menyerah berkata aneh ini.

Kali ini Reynold terdiam, ia masih memandangiku dengan seksama sebelum akhirnya berkata kembali. "Well, Aku tidak punya pulpen anti air, jadi sejak awal Kau tidak akan menuliskan namamu atau pun namaku di kertas, dan semua perandai-andaian itu tidak akan pernah terjadi."

Aku langsung diam mematung stelah mendapatkan jawaban yang mematikanku itu. "Jawaban yang begitu mulus sekali, anak muda!" pikirku yang sejujurnya takjub dengan penolakan secara tidak langsung itu.

Tak lama dosen yang akan mengajar pun masuk ke dalam ruangan. Sontak semua orang langsung duduk bersiap dan suasana pun seketika menjadi hening.

Perkuliahan berlangsung dengan lancar dan tertib. Semua diam, begitu serius mengikuti perkuliahan hingga tak terasa waktu perkuliahan sudah hampir berakhir. Dosen menjelaskan mengenai tugas kelompok yang akan ia berikan pada kami semua, lalu di akhir perkuliahan, beliau pun membagi mahasiswa di ruangan itu menjadi beberapa kelompok, dan kebetulan lainnya pun terjadi.

Aku menoleh pada Viona dengan tatapan tak percaya. "Ha ... Hari apa hari ini?" tanyaku.

"Hari Senin," jawab Viona yang malah dengan sukarela menjawab pertanyaanku itu.

"Baiklah, kutandai hari ini sebagai hari keberuntunganku!" bisikku dengan begitu bersemangat pada teman sekelasku itu.

Viona hanya menghela napas mendengar keceriaanku. "Yap, semoga sukses," ucapnya pada akhirnya.

Aku sedikit melirik pada pemuda bertampang datar yang duduk di sampingku itu sembari memasang senyum terlebarku.

"Aku satu kelompok dengannya! Akhirnya kesempatan besar itu tiba juga!" ucapku dalam hati yang sungguh senang bukan main mengetahui bahwa secara kebetulan aku dan pemuda itu satu kelompok dalam tugas mata kuliah ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status