Jika tadi jantung Risa bertalu-talu karena terkejut dengan kebahagiaan yang dirasakan. Maka saat ini, jantungnya terasa bagai di tusuk dengan ribuan jarum. Sakit.Risa menyesal mengapa begitu terbuai dengan ucapan yang tidak mungkin akan keluar dari mulut Gilang. Karena Gilang yang Risa tau, adalah lelaki yang sangat pelit dalam berbicara. Bukan lelaki yang berbicara dengan ribuan sanjungan dan kata cinta.Air mata kembali lolos dari pelupuk mata Risa. "Apakah ini yang dinamakan patah hati? Hati yang mana? Bahkan hati itu baru saja terbentuk beberapa jam yang lalu." Risa berbisik seorang diri.Risa akhirnya naik ke atas ranjang dan membiarkan denting demi denting air menetes dari pelupuk matanya. Beberapa jam yang lalu dia jatuh cinta pada sosok yang selalu membersamainya setiap hari. Sekarang, yang Risa rasakan adalah patah hati pada sosok yang tadi telah membuatnya jatuh cinta..Air mata tak kunjung berhenti mengalir dari pelupuk mata Risa. Dia berusaha mengerti akan perkataan Gila
Pagi yang cukup cerah. Bias sinar matahari menerobos melalui ventilasi jendela kamar. Risa membuka lebar-lebar jendela kamar agar udara pagi masuk untuk memberikan kesegaran pada rongga dadanya yang masih terasa sesak. Risa merasa senang karena sinar matahari pagi mampu menghangatkan hatinya yang terasa dingin membeku.Risa beranjak dari balkon kamar dan berjalan menuju dapur. Dia ingin menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Gilang sudah mengizinkan Risa melakukan semua yang harus dilakukannya sebagai seorang istri. Tentu saja dia tak ingin melewatkan kesempatan itu.Ketika Risa berada di dapur untuk membuat kopi Gilang, Amira muncul dengan wajah segar menghampiri Risa."Bunda, Amira mau sekolah," ujarnya dengan bibir cemberut."Sekolah?" Risa bingung karena tidak tahu usia Amira."Iya, kan Bunda sudah janji, akan menyekolahkanku," ujarnya lagi.Risa hanya terdiam, selalu begini. Amira selalu mengatakan bahwa dia sudah berjanji. "Sebenarnya kemana ibumu, Nak?" Risa hanya mam
"Kalau Gio saja bingung untuk menjawab pertanyaan Amira, apalagi aku yang sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ibunya Amira. Gadis kecil ini terlalu sering memberikan pertanyaan yang aku sendiri tidak tahu harus menjawab apa." Risa bergumam saat melihat Gio yang hampir kehabisan akal untuk menjelaskannya pada Amira."Amira tinggal di rumah sama Bik Asih, Bunda nanti malam tidak pulang." ujar Gilang tanpa menjawab pertanyaan Amira."Kenapa Bunda sering ninggalin Amira?" Gadis kecil itu mulai terisak."Bunda akan usahakan pulang nanti malam," bujuk Risa."Jadi anak yang manis," Gilang mengecup pucuk kepala Amira dengan lembut.Amira hanya menganggukkan kepalanya, lalu mencium pipi Gilang dan mencium pipi Risa bergantian. Risa mendekatkan wajahnya, dan mencium pipi kiri Amira, bersamaan dengan Gilang mencium pipi kanan Amira."Ooowwwhh ... co cwiitt ..." Gio bertepuk tangan menyaksikan pemandangan itu.Gilang segera berdiri seraya menggenggam tangan Risa, lalu berjala
"Kak ... Dela mau bertemu Tante Tika." sahut Risa."Tidak!" Gilang berdiri dan berjalan menuju dapur. Lelaki itu terlihat marah pada Risa.Risa mengikuti langkah Gilang ke dapur dan masih berupaya dengan sekuat tenaga untuk bisa mengajak Gilang berbicara. "Tapi, Kak. Kasihan Dela, dia tertekan," Risa memegang lengan Gilang. Membuat Gilang memandang tangan Risa yang memegang lengannya dengan kuat.Risa menatap tangannya yang memegang Gilang. "Sepertinya Kak Gilang tidak menyukai aku menyentuh tangannya." Risa bergumam sambil segera menarik tangannya dan menyimpannya di balik punggung."Boleh, tapi nanti, setelah aku pulang kantor." ujar Gilang menatap Risa. Tatapan matanya teramat teduh."Makasih, Kak." Risa mencium tangan Gilang dengan lembut. Risa benar-benar mengucapkan terima kasih kepada Gilang. Tak peduli kalau Gilang akan memarahinya karena mencium tangan lelaki dingin itu. Risa mencium tangan Gilang sebagai tanda kalau dia menghormati dan menghargai Gilang sebagai suami."Aku
Risa tersenyum sendiri jika mengingat kecemburuannya beberapa saat yang lalu kepada Yesi. Sekarang dia sudah merasa lebih baik dan lebih plong karena satu pertanyaan yang bersarang di hati telah terjawab."Aku semakin mengagumi Kak Gilang karena kebaikannya. Kak Gilang ternyata bukan hanya baik kepadaku dan juga Dela, tapi juga kepada Yesi. Orang yang tidak dia kenal tapi dia beri pekerjaan dan obat untuk Ayah Yesi." Risa bergumam di dalam hati.Setelah memasak bersama, Risa lalu memanggil Dela untuk makan siang. Dela sempat menolak berkali-kali dengan alasan dia masih kenyang. Namun Risa tetap memaksanya makan karena dia tidak ingin jika Dela sakit karena banyak pikiran.Akhirnya Dela pun bersedia makan siang setelah Risa paksa untuk menyuapinya. "Kak Gilang nggak akan mau mengantarkan kamu ke penjara kalau wajahmu masih pucat seperti ini," ancam Risa kepada Dela dengan harapan Gadis itu bersedia menerima suapan darinya.Ancaman itu pun manjur. Dela akhirnya bersedia makan sehingga
"Pikir aja sendiri," sahut Risa seraya mengerucutkan bibirnya yang tertangkap oleh Gilang melalui kaca spion mobil.Wajah Dela sudah memudar pucatnya, tapi tubuhnya masih terlihat lemas. Wajahnya juga masih terlihat sembab."Ayang Beb, sepi banget lho, nggak ada kamu di kelas," ujar Gio membalikkan badannya menoleh ke belakang.Dela membisu, bahkan tidak menoleh sedikitpun."Ayang Beb, kasih tau Aak Gio, apa yang bisa Aak lakukan agar Ayang Beb bisa tersenyum." Gio menatap Dela dengan ekspresi konyolnya."Nyumpel mulut kamu," jawab Dela dengan tatapan kesal."Oh Tuhan, nasib aku kok malang amat Yaakk, udah punya Kakak dingin dan suka menindas. Eh, punya calon istri juteknya minta ampun." Gio mengomel sembari melirik Dela."Lo beruntung banget ya, Kak. Punya bini kayak Kak Risa. Udah baik banget, nurut, ngomognya juga lembut banget." Gio mendekatkan wajahnya pada Gilang."Jodoh itu cerminan diri Lo, kali Gi," ujar Gilang datar."Sebentar ... Sebentar." Gio memandang Risa dan Gilang ber
Dela kembali mendekati Tante Tika dan mencoba menenangkan perempuan paruh baya itu."Tidak, Bu. Ayah meninggal karena sakit. Kami menemukannya sedang sekarat." Dela mencoba meraih Tante Tika ke dalam pelukannya. Namun, di tepis oleh Tante Tika dengan kasar.Tante Tika tiba-tiba berdiri dari lantai dan mendekati Risa dan Dela yang sudah menegang karena bingung dan takut melihat sikapnya."Aku mau ke makam suamiku. Aku mau ke makam suamiku." Tante Tika kembali histeris, dan menangis sejadi-jadinya.Risa menoleh kearah Gilang untuk meminta pendapat. "Apa yang harus kita lakukan pada Tante Tika? Tante Tika adalah seorang tawanan di penjara, jadi tidak mungkin jika kita ingin membawa Tante Tika mengunjungi makam Om Herman." Risa menggigit bibir bawahnya.Risa memahami bagaimana perasaan Tante Tika yang tiba-tiba mendengar kabar kematian suaminya. Pasti sangat sakit."Kak apa yang harus kita lakukan?" Risa kembali bertanya kepada Gilang."Sebentar, Risa." Gilang meninggalkan Risa untuk mene
Tante Tika tidak mempedulikan perkataan Gilang. Dia tetap menodongkan pistol itu ke kening Risa membuat tubuh Risa seketika gemetar."Tidak, suamiku sudah mati. Maka Risa juga harus mati." Tante Tika berucap seraya hendak menarik pelatuk pistol tersebut.Ucapan Tante Tika benar-benar membuat Risa takut. Dia teramat sangat takut. Bahkan selama hidup di dunia ini, baru kali ini Risa merasakan ketakutan yang luar biasa. Terlebih, pistol semakin maju mendekati keningnya."Bu, Dela mohon, jangan bunuh Kak Risa, Bu ..." Dela berusaha melangkah maju, tapi di tahan oleh Gio.Dela berusaha membujuk Tante Tika untuk menurunkan pistolnya dari keningku."Tidak akan, Dela. Itu tidak akan terjadi. Aku akan membunuh Risa karena Risa yang telah membuat suamiku hidup menderita," sahut Tante Tika."Tante, saya berjanji akan memberikan apa pun yang Tante mau, asal jangan bunuh istri saya." Gilang mengusap kasar wajahnya. Gilang berjalan selangkah maju. Namun sepertinya ucapan Gilang sudah tidak berpenga