Share

Fourth

Matahari belum menampakkan diri—hanya seberkas cahayanya yang mulai menyapa bumi— tetapi William sudah membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah wajah Sarah begitu dekat dengannya. Dua detik kemudian William merasakan tangannya kebas. Tangan yang ternyata menjadi alas tidur untuk kepala Sarah. William tidak ingat apa yang terjadi hingga Sarah berada di dalam pelukannya pagi ini. Dengan hati-hati William mengangkat kepala Sarah dan bangkit dari tempat tidur.

Ponsel yang masih berada di saku jas menjadi benda pertama yang William ambil. Ada pesan dari sekretarisnya yang menginformasikan kalau hari ini William ada janji temu dengan klien. Dari ponsel, William beralih ke telepon hotel yang ada di atas coffee table untuk menyewa setelan jas. Tidak membutuhkan waktu lama hingga pramutamu membawakan barang yang diminta oleh William. 

Setelah mengecek setelan jas berwarna dongker tersebut, William beranjak menuju kamar mandi. Berdasarkan pesan yang dikirim oleh sekretarisnya, pukul sembilan dia sudah harus menemui sang klien. Meski masih ada waktu tiga jam, William harus segera bersiap-siap karena perjalanan yang lumayan jauh.

Tak perlu waktu lama untuk William bersiap. Sepuluh menit kemudian William sudah rapi dan terbalut sempurna oleh kemeja putih, rompi, dan celana dongker. Dasi dan jas masih tergeletak di atas sofa. Mata William menangkap jas hitam yang dia pakai sehari sebelumnya masih di lengan sofa. Segera William pindahkan jas itu ke keranjang di kamar mandi agar nanti bisa segera dicuci.

William mengambil dasi dan segera memakainya, tepat saat Sarah mulai membuka mata. Butuh sedetik untuk Sarah menyadari kalau dirinya berada di atas ranjang, bukan sofa seperti terakhir kalinya dia masih terjaga. Indra penglihatannya menangkap sosok William yang tengah berdiri membelakanginya. Sarah perlahan bangkit dari posisi tidurnya, bibirnya masih tertutup rapat sampai William membalikkan tubuhnya untuk mengambil jasnya.

“Saya ada urusan hari ini,” ucap William setelah memakai jas tanpa mengancingkannya. 

Dia mengambil dompet yang berada di sebelah ponsel lalu mengeluarkan selembar kartu berwarna hitam. Kaki William melangkah mendekati ranjang dan meletakkan kartu itu di nakas samping Sarah yang masih belum berbicara.

“Pakai ini untuk beli pakaian baru. Jangan pakai dress murahan semalam, buang saja kalau bisa.”

Sarah mengangguk mendengar ucapan William. Dia tidak keberatan untuk membuang gaun itu. Lagi pula, Sarah memang tidak ingin memakainya lagi, mengingat gaun itu berasal dari tempat di mana Sarah dikurung selama beberapa hari. William berbalik arah dan berjalan menuju ponselnya, mengetik sebaris pesan untuk sang sekretaris. Setelahnya William menunjuk telepon yang tadi digunakannya.

“Pesan makanan apa pun yang kamu. Saya pergi sampai sore.” 

Lalu William berjalan pergi hanya berbekal ponsel dan dompet. Berkas yang nanti dia butuhkan untuk bertemu klien sudah disiapkan oleh sekretarisnya dari jauh-jauh hari. Tepat di depan pintu, sebelum memutar kenopnya, kaki William berhenti melangkah. Dia berbalik menatap Sarah yang kakinya sudah turun dari ranjang.

“Jangan lupa telepon housekeeper untuk cuci pakaian di keranjang.” Lalu William pun menghilang dari balik pintu.

Selepas kepergian William, Sarah tidak langsung bergerak. Dia memperhatikan kamar hotel yang langsung terasa sepi. Tidak munafik, Sarah merasa lebih segar dari sebelumnya. Tidurnya nyenyak sekali malam ini. Mungkin karena pengaruh ranjang hotel yang begitu empuk dan lembut. Sebelum melakukan perintah William, Sarah pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan menggosok giginya. Semua peralatan yang Sarah butuhkan sudah tersedia. Bahkan sikat gigi.

Sarah menengok ke dalam keranjang yang hanya terisi sedikit dan berpikir apa dia harus memakai gaun hitam kemarin untuk pergi membeli pakaian yang disuruh oleh William? Namun, Sarah tidak ingin mengekspos tubuhnya lagi, terutama saat matahari sudah kembali bekerja. Akhirnya Sarah memilih untuk memesan makanan dulu karena perutnya sudah mulai berbunyi.

Sarah berjalan ke meja bar, mencari minuman untuk menghilangkan rasa hausnya. Pintu kulkas dia buka. Terdapat empat botol yang masih utuh dan satu botol yang isinya hanya setengah. Sarah mengambil salah satu botol utuh dan meminum isinya. Matanya menangkap sebuah buku yang terselip di antara pajangan hotel. Buku menu. Selesai minum dan mengembalikan botol ke dalam kulkas, Sarah mengambil buku itu, mencari makanan yang tidak terlalu banyak menggunakan uang. Namun, pencariannya berakhir sia-sia. Tidak ada makanan murah di sini. Sarah pun akhirnya memutuskan untuk memesan segelas kopi dan french toast.

Jari Sarah sedikit gemetar ketika menekan tombol telepon. Jantungnya bahkan berdegup kencang saat mendengar nada sambung dan rasanya seperti berhenti begitu orang di seberang sana menyapa. Semua kalimat yang tadi disiapkan oleh Sarah sebelum menelepon langsung hilang.

“Halo?” sapa operator hotel lagi.

Sarah gelagapan lagi. “Um ... yah, aku ... Sarah.”

“Halo, Nona Sarah. Ada yang bisa saya bantu?”

Sarah melihat ke arah buku menu, kembali membaca menu yang akan dipesannya lalu berdeham. “Aku mau pesan satu kopi espreso dan satu french toast.”

Jeda dua detik sebelum si operator membalas, “Ada lagi yang bisa saya bantu?”

“Laundry,” ucap Sarah, “aku butuh laundry.”

“Hanya itu?”

Sarah menggeleng dan sedetik kemudian teringat kalau lawan bicaranya tidak bisa melihatnya. “Um ... apa kalian bisa belikan pakaian?”

“Tentu saja. Kami punya pelayanan belanja. Pakaian apa yang Anda inginkan?”

“Apa pun yang terlihat sopan dan tidak terlalu terbuka.” Sarah diam sejenak. “Dan nyaman.”

Setelahnya Sarah menutup telepon dan menghela napas lega. Matanya menangkap remot dan menyalakan televisi yang sedang menayangkan serial film yang tidak pernah Sarah lihat sebelumnya. Meskipun tidak tahu kisah awalnya, Sarah menikmati tontonan itu. Tak lama bel berbunyi dan Sarah terlonjak bangkit. Sebelum membuka pintu, Sarah mengintip di lubang pintu seperti yang pernah dia lihat di dalam sebuah film. Seorang wanita dengan seragam hotel. Sarah membuka pintu.

Wanita itu mengucapkan salam dan tersenyum lalu menuju keranjang di kamar mandi. Dia keluar membawa keranjang dan masuk kembali dua detik kemudian dengan keranjang baru yang kosong. Lalu Sarah sendirian lagi. Kaki Sarah melangkah ke sofa dan kembali menonton serial film tersebut sampai dua menit kemudian Sarah membuka pintu untuk kedua kalinya. Kali ini seorang lelaki yang membawa troli berisi makanan yang tadi dipesannya dengan tambahan sepiring buah-buahan.

French toast yang dipesannya dihiasi oleh potongan pisang, stroberi, dan dua sendok yogurt. Ada wadah kecil berisi sirup yang Sarah tuang ke atas roti. Sarah menikmati makanannya. Benar-benar menikmati. Sejenak Sarah melupakan segala hal yang terjadi padanya beberapa hari belakangan dan fakta bahwa dirinya bisa menikmati semua ini berkat William. Hanya kopi yang tidak Sarah suka dari semua makanan yang diantar. Terlalu pahit. Kalau saja Sarah tahu kopinya akan sepahit ini, tidak akan dia memesannya. Air mineral di kulkas menjadi penyelamat Sarah.

Bel pintu berbunyi untuk ketiga kalinya. Seorang lelaki datang membawa tiga pasang pakaian yang diminta Sarah sebelumnya. Dengan cepat Sarah mengambil kartu milik William yang masih berada di atas nakas lalu memberikannya pada lelaki itu.

“Pakaian ini sudah masuk ke tagihan hotel dan akan dibayar saat nanti Anda checkout,” ucap si pramutamu lalu tersenyum.

“Oh, gitu, baiklah.” Sarah mengangguk dan si pramutamu pun pamit pergi.

Jam masih menunjukkan pukul tujuh dan Sarah tidak tahu ingin melakukan apa lagi. Sarah benci ketika dirinya tidak ada kegiatan untuk dilakukan. Yang bisa Sarah lakukan sekarang hanyalah menonton film atau memesan makanan lagi, tetapi jelas Sarah tidak akan memilih opsi kedua. Entah apa yang akan dilakukan William nanti begitu kembali. Lalu matanya menangkap dua buah benda yang berada di kolong coffee table. Topeng.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status