Matahari belum menampakkan diri—hanya seberkas cahayanya yang mulai menyapa bumi— tetapi William sudah membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah wajah Sarah begitu dekat dengannya. Dua detik kemudian William merasakan tangannya kebas. Tangan yang ternyata menjadi alas tidur untuk kepala Sarah. William tidak ingat apa yang terjadi hingga Sarah berada di dalam pelukannya pagi ini. Dengan hati-hati William mengangkat kepala Sarah dan bangkit dari tempat tidur.
Ponsel yang masih berada di saku jas menjadi benda pertama yang William ambil. Ada pesan dari sekretarisnya yang menginformasikan kalau hari ini William ada janji temu dengan klien. Dari ponsel, William beralih ke telepon hotel yang ada di atas coffee table untuk menyewa setelan jas. Tidak membutuhkan waktu lama hingga pramutamu membawakan barang yang diminta oleh William.
Setelah mengecek setelan jas berwarna dongker tersebut, William beranjak menuju kamar mandi. Berdasarkan pesan yang dikirim oleh sekretarisnya, pukul sembilan dia sudah harus menemui sang klien. Meski masih ada waktu tiga jam, William harus segera bersiap-siap karena perjalanan yang lumayan jauh.
Tak perlu waktu lama untuk William bersiap. Sepuluh menit kemudian William sudah rapi dan terbalut sempurna oleh kemeja putih, rompi, dan celana dongker. Dasi dan jas masih tergeletak di atas sofa. Mata William menangkap jas hitam yang dia pakai sehari sebelumnya masih di lengan sofa. Segera William pindahkan jas itu ke keranjang di kamar mandi agar nanti bisa segera dicuci.
William mengambil dasi dan segera memakainya, tepat saat Sarah mulai membuka mata. Butuh sedetik untuk Sarah menyadari kalau dirinya berada di atas ranjang, bukan sofa seperti terakhir kalinya dia masih terjaga. Indra penglihatannya menangkap sosok William yang tengah berdiri membelakanginya. Sarah perlahan bangkit dari posisi tidurnya, bibirnya masih tertutup rapat sampai William membalikkan tubuhnya untuk mengambil jasnya.
“Saya ada urusan hari ini,” ucap William setelah memakai jas tanpa mengancingkannya.
Dia mengambil dompet yang berada di sebelah ponsel lalu mengeluarkan selembar kartu berwarna hitam. Kaki William melangkah mendekati ranjang dan meletakkan kartu itu di nakas samping Sarah yang masih belum berbicara.
“Pakai ini untuk beli pakaian baru. Jangan pakai dress murahan semalam, buang saja kalau bisa.”
Sarah mengangguk mendengar ucapan William. Dia tidak keberatan untuk membuang gaun itu. Lagi pula, Sarah memang tidak ingin memakainya lagi, mengingat gaun itu berasal dari tempat di mana Sarah dikurung selama beberapa hari. William berbalik arah dan berjalan menuju ponselnya, mengetik sebaris pesan untuk sang sekretaris. Setelahnya William menunjuk telepon yang tadi digunakannya.
“Pesan makanan apa pun yang kamu. Saya pergi sampai sore.”
Lalu William berjalan pergi hanya berbekal ponsel dan dompet. Berkas yang nanti dia butuhkan untuk bertemu klien sudah disiapkan oleh sekretarisnya dari jauh-jauh hari. Tepat di depan pintu, sebelum memutar kenopnya, kaki William berhenti melangkah. Dia berbalik menatap Sarah yang kakinya sudah turun dari ranjang.
“Jangan lupa telepon housekeeper untuk cuci pakaian di keranjang.” Lalu William pun menghilang dari balik pintu.
Selepas kepergian William, Sarah tidak langsung bergerak. Dia memperhatikan kamar hotel yang langsung terasa sepi. Tidak munafik, Sarah merasa lebih segar dari sebelumnya. Tidurnya nyenyak sekali malam ini. Mungkin karena pengaruh ranjang hotel yang begitu empuk dan lembut. Sebelum melakukan perintah William, Sarah pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan menggosok giginya. Semua peralatan yang Sarah butuhkan sudah tersedia. Bahkan sikat gigi.
Sarah menengok ke dalam keranjang yang hanya terisi sedikit dan berpikir apa dia harus memakai gaun hitam kemarin untuk pergi membeli pakaian yang disuruh oleh William? Namun, Sarah tidak ingin mengekspos tubuhnya lagi, terutama saat matahari sudah kembali bekerja. Akhirnya Sarah memilih untuk memesan makanan dulu karena perutnya sudah mulai berbunyi.
Sarah berjalan ke meja bar, mencari minuman untuk menghilangkan rasa hausnya. Pintu kulkas dia buka. Terdapat empat botol yang masih utuh dan satu botol yang isinya hanya setengah. Sarah mengambil salah satu botol utuh dan meminum isinya. Matanya menangkap sebuah buku yang terselip di antara pajangan hotel. Buku menu. Selesai minum dan mengembalikan botol ke dalam kulkas, Sarah mengambil buku itu, mencari makanan yang tidak terlalu banyak menggunakan uang. Namun, pencariannya berakhir sia-sia. Tidak ada makanan murah di sini. Sarah pun akhirnya memutuskan untuk memesan segelas kopi dan french toast.
Jari Sarah sedikit gemetar ketika menekan tombol telepon. Jantungnya bahkan berdegup kencang saat mendengar nada sambung dan rasanya seperti berhenti begitu orang di seberang sana menyapa. Semua kalimat yang tadi disiapkan oleh Sarah sebelum menelepon langsung hilang.
“Halo?” sapa operator hotel lagi.
Sarah gelagapan lagi. “Um ... yah, aku ... Sarah.”
“Halo, Nona Sarah. Ada yang bisa saya bantu?”
Sarah melihat ke arah buku menu, kembali membaca menu yang akan dipesannya lalu berdeham. “Aku mau pesan satu kopi espreso dan satu french toast.”
Jeda dua detik sebelum si operator membalas, “Ada lagi yang bisa saya bantu?”
“Laundry,” ucap Sarah, “aku butuh laundry.”
“Hanya itu?”
Sarah menggeleng dan sedetik kemudian teringat kalau lawan bicaranya tidak bisa melihatnya. “Um ... apa kalian bisa belikan pakaian?”
“Tentu saja. Kami punya pelayanan belanja. Pakaian apa yang Anda inginkan?”
“Apa pun yang terlihat sopan dan tidak terlalu terbuka.” Sarah diam sejenak. “Dan nyaman.”
Setelahnya Sarah menutup telepon dan menghela napas lega. Matanya menangkap remot dan menyalakan televisi yang sedang menayangkan serial film yang tidak pernah Sarah lihat sebelumnya. Meskipun tidak tahu kisah awalnya, Sarah menikmati tontonan itu. Tak lama bel berbunyi dan Sarah terlonjak bangkit. Sebelum membuka pintu, Sarah mengintip di lubang pintu seperti yang pernah dia lihat di dalam sebuah film. Seorang wanita dengan seragam hotel. Sarah membuka pintu.
Wanita itu mengucapkan salam dan tersenyum lalu menuju keranjang di kamar mandi. Dia keluar membawa keranjang dan masuk kembali dua detik kemudian dengan keranjang baru yang kosong. Lalu Sarah sendirian lagi. Kaki Sarah melangkah ke sofa dan kembali menonton serial film tersebut sampai dua menit kemudian Sarah membuka pintu untuk kedua kalinya. Kali ini seorang lelaki yang membawa troli berisi makanan yang tadi dipesannya dengan tambahan sepiring buah-buahan.
French toast yang dipesannya dihiasi oleh potongan pisang, stroberi, dan dua sendok yogurt. Ada wadah kecil berisi sirup yang Sarah tuang ke atas roti. Sarah menikmati makanannya. Benar-benar menikmati. Sejenak Sarah melupakan segala hal yang terjadi padanya beberapa hari belakangan dan fakta bahwa dirinya bisa menikmati semua ini berkat William. Hanya kopi yang tidak Sarah suka dari semua makanan yang diantar. Terlalu pahit. Kalau saja Sarah tahu kopinya akan sepahit ini, tidak akan dia memesannya. Air mineral di kulkas menjadi penyelamat Sarah.
Bel pintu berbunyi untuk ketiga kalinya. Seorang lelaki datang membawa tiga pasang pakaian yang diminta Sarah sebelumnya. Dengan cepat Sarah mengambil kartu milik William yang masih berada di atas nakas lalu memberikannya pada lelaki itu.
“Pakaian ini sudah masuk ke tagihan hotel dan akan dibayar saat nanti Anda checkout,” ucap si pramutamu lalu tersenyum.
“Oh, gitu, baiklah.” Sarah mengangguk dan si pramutamu pun pamit pergi.
Jam masih menunjukkan pukul tujuh dan Sarah tidak tahu ingin melakukan apa lagi. Sarah benci ketika dirinya tidak ada kegiatan untuk dilakukan. Yang bisa Sarah lakukan sekarang hanyalah menonton film atau memesan makanan lagi, tetapi jelas Sarah tidak akan memilih opsi kedua. Entah apa yang akan dilakukan William nanti begitu kembali. Lalu matanya menangkap dua buah benda yang berada di kolong coffee table. Topeng.
Mobil William terparkir di depan sebuah restoran Italia. Kaki William melangkah melewati deretan meja dan kursi yang sengaja ditaruh di luar untuk orang-orang yang ingin makan di luar ruangan. Saat William mendorong pintu kaca berkusen cokelat tua hampir hitam, bel berbunyi. Mata William bergerak-gerak mencari wajah seseorang yang dikenalinya lalu berhenti begitu seorang perempuan yang rambutnya disanggul ke atas tengah melambai. Sekretarisnya. Segera William berjalan ke arah meja yang sudah terisi oleh tiga orang.William menyalami dua orang di sana dan meminta maaf atas keterlambatannya. Awalnya William ingin segera memulai diskusi mengenai kerja sama dirinya dengan sang klien, tetapi sekretarisnya memberi saran untuk memesan makanan pembuka lebih dahulu. Usulnya pun disetujui oleh dua orang lain yang ada di sana.William mengambil buku menu, memperhatikan makanan apa yang cocok untuk memulai harinya. Setelah satu menit menatap buku menu, William akhirnya memutuskan untuk memesan fo
Kabut mimpi perlahan mulai pergi dari kepala Sarah. Dia meregangkan tubuhnya yang kaku setelah tidur beberapa jam dan menyadari di mana dirinya sekarang. Di ranjang, seperti sebelumnya saat dirinya terbangun pagi tadi. Kepala Sarah menoleh ke arah nakas dan melihat angka lima di jam digital. Karena masih merasa mengantuk, Sarah menarik selimut dan kembali memejamkan matanya.“Kamu gak punya kasur di rumah?”Sontak mata Sarah kembali terbuka saat mendengar sebuah suara lain di kamar. Segera Sarah mendudukkan dirinya dan melihat William yang tengah bersandar di meja bar. Tangannya memegang gelas kecil berisi cairan bening. William tak lagi mengenakan pakaian formal seperti tadi pagi, melainkan sweatshirt berwarna hitam dan celana panjang berwarna abu-abu.William meminum alkoholnya, matanya tetap mengarah pada Sarah. Menatap setiap inci tubuh Sarah. Rambutnya yang berantakan khas baru bangun tidur. Matanya yang jelalatan, yang dari jarak lumayan jauh pun William dapat melihat kegelisah
Sarah mengeringkan rambutnya dengan handuk sehabis mandi. Semalam William memberikan sampo dan sabun miliknya untuk Sarah pakai sementara karena belum sempat berbelanja. William juga meminjamkan piama miliknya yang kebesaran di tubuh Sarah. Tadi saat mandi, Sarah kembali teringat sang ayah. Beberapa pertanyaan hadir di benaknya saat mengingat sosok yang kerap kali menyakiti dirinya.Bagaimana kabar sang ayah? Apa dia bertanya-tanya ke mana perginya Sarah? Apa dia khawatir karena Sarah tidak pulang-pulang? Apa mungkin dia justru senang karena Sarah tidak ada?.Apa pun itu, Sarah tidak menemukan jawabannya. Tidak sekarang, atau mungkin, tidak selamanya. Setelah rambutnya sudah lembap, tidak basah seperti sebelumnya, Sarah memutuskan untuk keluar, hanya berbalut handuk. Jantung Sarah rasanya seperti berhenti berdetak saat melihat William berada di kamarnya, sedang duduk di atas ranjang, dan lagi-lagi, s
Jessica berjalan dengan gontai menuju lift. Matanya sedikit terpejam karena kelelahan. Kegiatan pemotretannya baru saja selesai. Beberapa hari ini jadwal Jessica memang lebih padat dari sebelumnya. Butuh waktu dua menit untuk menunggu lift datang ke lantai basement. Tidak ada orang di lift dan Jessica bersyukur akan hal itu. Dia menekan tombol sebelas, tempat penthouse-nya berada.Jessica menyenderkan tubuhnya ke dinding lift dan memejamkan mata. Terbayang bathub air hangat yang penuh dengan busa yang akan menjadi tempat pelepasan rasa penat Jessica. Jessica berpikir apa yang akan dia lakukan nanti sebelum pergi tidur, mengingat besok jadwalnya kosong untuk satu hari.Lift berdenting membuat mata Jessica terbuka sempurna. Pintu lift terbuka, menampilkan jendela dengan pot kaktus sebagai pemanis. Jessica melangkah keluar, sudah tidak terlalu gontai dari sebelumnya. Kaki Jess
Mobil silver William terparkir rapi di sebelah mobil hitamnya. William tidak langsung mematikan mesin, dia duduk di kursi pengemudi dan menyenderkan tubuhnya ke senderan jok terlebih dahulu. Matanya terpejam dan napasnya berembus lelah. William memijat pangkal hidungnya, berharap pusingnya dapat sedikit hilang. Ada satu masalah rumit di kantor tadi yang menguras energi William.Pemilik butik yang juga adalah seorang manajer tempo hari tidak terima dengan keputusan sepihak William. Dia mendatangi kantor pria bersurai cokelat itu dan menolak ganti rugi, bahkan mengancam untuk membawa perkara ini ke jalur hukum. William tetap kekeh memutus kontrak dengan butik itu. Bukan hanya karena Sarah saja, tetapi William berpikir, kalau Sarah sudah menjadi korban, pasti lebih banyak korban lainnya. Pada akhirnya William yang memenangkan perdebatan itu dengan alasan yang sama yang dia berikan pada Sarah waktu perempuan itu bertanya, tetapi Wil
Remi menatap ruangan tempat dia mengadakan pesta topeng untuk merayakan lima tahun berdirinya perusahaan miliknya. Lampu kristal besar di tengah ruangan berkilauan dengan megah, ditemani lampu-lampu kecil yang menggantung dari satu lampu ke yang lain layaknya tirai. Meja-meja bundar yang dipenuhi dengan gelas berisi champagne dan kudapan. Beberapa sofa terdapat di setiap sudut ruangan. Ada panggung kecil yang digunakan para musisi untuk memainkan musik saat berdansa nanti. Selebihnya ruangan itu dibiarkan kosong dari barang, menjadi tempat untuk berdansa.Remi mengundang semua koleganya, termasuk William yang mengajak Sarah. William memberikan undangan pada penjaga pintu lalu masuk ke dalam, diikuti Sarah yang mengalungkan tangannya di lengan William. Sarah begitu terpukau dengan dekorasi ruang dansa ini, begitu pula dengan orang-orang yang hadir. Gaun mereka terlihat amat mewah di mata Sarah, membuat dirinya langsung m
Jessica baru saja mengganti gaunnya yang tidak sengaja ketumpahan champagne. Wanita itu kini menggunakan gaun hitam bertaburan kristal di bagian bawahnya. Sebelum kembali ke ruang dansa, Jessica merapikan tatanan rambutnya terlebih dahulu, kembali membubuhkan bedak dan lipstik, dan memakai topengnya. Jessica mengucapkan terima kasih pada pelayan yang membantunya mengganti gaun lalu keluar.Kaki Jessica menyusuri lorong panjang yang di kiri kanannya terdapat vas keramik tanpa bunga setiap lima meter. Tidak ada orang di sana kecuali dirinya. Jessica berbelok menuju tangga, langkahnya dengan anggun menuruni tangga. Di bawah, Jessica melihat Sarah yang sedang dibopong oleh seorang lelaki yang Jessica yakini adalah teman yang disebut Sarah sebelumnya. Melihat bagaimana interaksi mereka, Jessica tidak yakin kalau Sarah dan lelaki itu tidak hanya berteman.Sarah tampak berontak dari genggaman temannya, tanpa sengaja melepaskan topeng yang dipakai oleh temannya. Tubuh Jess
Sarah mengerjapkan matanya beberapa kali yang terasa panas. Setiap kedipan membawa rasa panas yang tidak nyaman. Sarah memperhatikan sekitar, tidak mengenali kamar tempat dia tidur. Sarah mencoba untuk bangun, tetapi kepalanya terasa amat pusing, akhirnya dia menidurkan tubuhnya kembali. Kamar yang kini ditempatinya didominasi oleh warna hitam dan putih. Di depan ranjang yang Sarah tiduri terdapat satu sofa panjang dengan coffee table di depannya.Sarah memejamkan matanya, berharap rasa pusing yang menghantam kepalanya bisa segera pergi. Sarah masih memejamkan mata saat mendengar suara pintu terbuka dan langkah kaki yang mendekat. Lalu sebuah tangan menyentuh dahinya. Tangan itu terasa dingin di kulitnya. Sarah membuka mata. Meski penglihatannya sedikit buram, Sarah tahu kalau seseorang di depannya adalah William.Seketika Sarah teringat kejadian sebelumnya. Sarah ingat dia pergi ke pesta topeng yang diadakan oleh kolega William. Sarah juga ingat meminum champagne.