Home / Romansa / Tersandung Cinta Tuan Muda / Bab 6: Syarat-Syarat Pernikahan Kontrak

Share

Bab 6: Syarat-Syarat Pernikahan Kontrak

Author: Melsya Aulia
last update Huling Na-update: 2025-03-07 10:34:37

Naira duduk di hadapan Adrian dengan tatapan penuh kebingungan. Sejak pertemuan mereka di kafe, hidupnya berubah drastis. Kini, ia kembali berhadapan dengan pria itu, tetapi dalam situasi yang jauh lebih rumit.

"Jadi, kau ingin aku menikah denganmu?" tanya Naira, suaranya terdengar tidak percaya.

Adrian menyesap kopinya dengan tenang. Matanya yang tajam menatap lurus ke arahnya, seolah menganalisis setiap reaksi yang ditunjukkan gadis itu. "Ya. Itu satu-satunya solusi untuk kita berdua."

Naira tertawa hambar. "Solusi? Kau bercanda, kan? Kita bahkan tidak saling mengenal!"

Adrian meletakkan cangkirnya dengan tenang, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Dengar, aku tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan. Aku butuh istri, dan kau butuh uang. Sederhana, bukan?"

Naira mengerutkan kening. "Dan kau pikir aku akan menerima tawaran konyol seperti ini begitu saja?"

Adrian tersenyum miring. "Aku tidak pernah mengatakan kau harus menerimanya tanpa berpikir panjang. Aku hanya memberikan pilihan."

Naira mendesah, pikirannya berkecamuk. Tawaran Adrian terdengar gila, tetapi ia tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa keluarganya membutuhkan uang dalam jumlah besar.

"Apa syaratnya?" tanyanya akhirnya, berusaha tetap tenang.

Adrian melirik ke arah asistennya yang segera menyerahkan sebuah dokumen kontrak. "Semua syarat ada di sini. Tapi aku akan menjelaskan poin-poin pentingnya."

Ia membuka halaman pertama dan mulai membacakan:

"Pertama, pernikahan ini hanya berlangsung selama satu tahun. Setelah itu, kita akan bercerai tanpa tuntutan apa pun."

Naira menelan ludah. Satu tahun?

"Kedua, tidak ada hubungan perasaan. Ini hanya pernikahan bisnis. Aku tidak tertarik dengan urusan cinta," lanjut Adrian, nada suaranya datar.

Naira menatapnya tajam. "Bagaimana jika aku melanggar salah satu aturan?"

Adrian menyandarkan tubuhnya. "Aku yakin kau cukup pintar untuk tidak melakukannya."

Suasana di antara mereka menjadi tegang. Naira merasa seperti terjebak dalam permainan yang tidak bisa ia menangkan. Namun, dengan kondisi keuangannya yang terpuruk, apakah ia benar-benar punya pilihan lain?

Naira menatap dokumen di tangannya dengan perasaan campur aduk. Setiap lembaran kertas itu seakan membawa beban yang lebih berat dari yang bisa ia tanggung. Pernikahan? Kontrak? Semua ini terdengar seperti skenario dalam drama yang biasa ia tonton, bukan sesuatu yang akan terjadi dalam hidupnya sendiri.

Ia mendongak, menatap Adrian yang tampak begitu tenang seolah ini hanyalah transaksi bisnis biasa. Pria itu memang tidak menunjukkan sedikit pun emosi. Matanya tetap dingin, nyaris tak berperasaan.

"Dan bagaimana dengan keluargamu?" tanya Naira akhirnya, suaranya bergetar meski ia berusaha terdengar tegar. "Apakah mereka tahu soal ini?"

Adrian menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Mereka hanya ingin aku menikah. Mereka tidak peduli bagaimana caranya."

Naira mengerutkan kening. "Itu terdengar sangat aneh. Kau benar-benar tidak punya pilihan lain?"

Adrian tersenyum miring, seolah pertanyaan itu sama sekali tidak mengejutkannya. "Aku selalu punya pilihan. Hanya saja, ini adalah yang paling masuk akal. Jika kau menolak, aku akan mencari wanita lain yang bisa memenuhi syaratku."

Kata-kata itu menohok harga diri Naira. Ia tahu bahwa tawaran ini bukan karena Adrian menginginkannya secara pribadi. Ini hanya soal kebutuhan, soal kepentingan masing-masing.

Tapi... apakah itu berarti ia harus melepas kesempatan ini?

"Bagaimana jika aku setuju?" tanyanya, meskipun hatinya masih penuh keraguan.

Adrian menatapnya lebih dalam, lalu menjawab dengan tenang, "Maka kau akan menjalani kehidupan sebagai istriku selama setahun. Aku akan memastikan keluargamu tidak kekurangan apa pun. Setelah itu, kau bebas pergi."

Naira menggigit bibirnya. Logikanya berkata ini adalah solusi terbaik untuk masalahnya. Namun, ada sesuatu di dalam hatinya yang menolak menerima gagasan ini begitu saja.

"Kau tidak akan memperlakukanku seenaknya, bukan?" tanyanya curiga.

Adrian tertawa kecil, pertama kalinya sejak pertemuan mereka. "Aku tidak punya waktu untuk mempermainkan siapa pun, Naira. Aku hanya butuh seseorang untuk mengisi peran ini, dan kebetulan, kau ada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat."

Naira menelan ludah. Ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang dirinya. Keluarganya, utang-utang yang harus dibayar, serta tekanan hidup yang semakin besar—semua itu juga menjadi pertimbangannya.

Ia menghela napas panjang. "Beri aku waktu untuk berpikir."

Adrian menatap jam tangannya sejenak, lalu kembali menatapnya. "Baiklah. Aku akan memberimu waktu dua puluh empat jam. Setelah itu, aku butuh jawabanmu."

Naira merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Dua puluh empat jam? Itu bukan waktu yang cukup untuk mengambil keputusan sebesar ini. Tapi ia tahu Adrian bukan orang yang suka menunggu lama.

"Baik," katanya pelan. "Aku akan mempertimbangkannya."

Adrian tersenyum tipis. "Bagus. Aku harap kau membuat keputusan yang tepat."

Tanpa berkata apa-apa lagi, pria itu bangkit dari tempat duduknya, mengambil jasnya, lalu berjalan keluar dengan tenang. Naira hanya bisa duduk terpaku, matanya masih tertuju pada dokumen yang ada di tangannya.

Apa yang harus ia lakukan?

Malam itu, Naira berjalan mondar-mandir di kamarnya. Otaknya bekerja keras, mencoba mencari solusi lain. Namun, setiap kali ia memikirkan hutang keluarganya, ia merasa seakan-akan dinding mulai menutupinya dari segala arah.

Ia menatap layar ponselnya, melihat nama ibunya yang sedang tertidur di kamar sebelah. Sang ibu tidak tahu apa pun tentang situasi ini. Jika ia menerima tawaran Adrian, setidaknya ibunya tidak perlu khawatir lagi.

Namun, bisakah ia hidup sebagai istri seseorang yang hampir tidak ia kenal?

Ia mengingat bagaimana Adrian menatapnya tadi—tatapan yang dingin dan penuh perhitungan. Pria itu bukan orang biasa. Jika ia masuk ke dalam dunianya, apakah ia bisa keluar dengan selamat?

Naira menghela napas panjang. Besok, ia harus memberikan jawaban.

Dan ia tahu, keputusan ini akan mengubah hidupnya selamanya.

---

Di pagi hari, Naira menerima panggilan dari nomor tak dikenal.

"Aku harap kau sudah memutuskan," suara Adrian terdengar dari seberang telepon.

Jantung Naira berdetak kencang. Ia menghela napas, lalu menjawab...

Setelah panggilan telepon berakhir, Naira duduk termenung di tepi ranjangnya. Matanya menatap kosong ke arah jendela, di mana lampu-lampu kota masih berkelip dalam gelapnya malam. Keputusan ini tidak hanya mempengaruhi hidupnya, tapi juga keluarganya.

Bayangan ibunya yang sedang tidur nyenyak di kamar sebelah membuat hatinya semakin berat. Apakah ini satu-satunya jalan?

Naira menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. Ia membuka kembali dokumen kontrak yang diberikan Adrian. Ia membaca ulang setiap pasal, mencoba mencari celah atau konsekuensi yang bisa merugikannya.

Syaratnya sederhana, tapi juga menakutkan:

1. Pernikahan hanya berlaku selama satu tahun. Setelah itu, mereka akan bercerai tanpa tuntutan apa pun.

2. Tidak ada keterlibatan emosi. Ini hanya pernikahan di atas kertas, tanpa hak untuk mencampuri kehidupan pribadi masing-masing.

3. Ia harus menghadiri acara keluarga dan sosial sebagai istri Adrian.

4. Tidak boleh ada skandal yang mencoreng nama baik keluarga Adrian.

5. Sebagai gantinya, keluarganya akan mendapatkan jaminan finansial dan semua utang mereka akan lunas.

Hanya satu tahun… Tapi, apakah benar hanya satu tahun?

Naira menutup dokumen itu dengan gerakan cepat. Ia menggeleng, mencoba menyingkirkan berbagai kemungkinan buruk yang muncul di kepalanya.

Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, bukan dari Adrian.

Dion.

Dion adalah sahabat sekaligus seseorang yang selalu mendukungnya. Namun, belakangan ini hubungan mereka menjadi canggung. Naira ragu untuk mengangkatnya, tapi akhirnya ia menyerah dan menekan tombol hijau.

“Halo?”

“Naira, kau di rumah?” suara Dion terdengar khawatir.

“Iya, ada apa?”

“Aku dengar ibumu sempat pingsan kemarin. Apa dia sudah membaik?”

Naira menggigit bibirnya. Dion selalu perhatian, tapi ia tidak bisa menceritakan masalah sebenarnya.

“Dia sudah lebih baik. Hanya kecapekan,” jawabnya singkat.

Dion terdiam beberapa detik sebelum bertanya, “Apa kau butuh bantuan?”

Naira menatap kontrak di tangannya, lalu mendesah. Andai saja semudah itu.

“Tidak, aku bisa mengatasinya,” jawabnya pelan.

“Aku tahu kau selalu bilang begitu,” kata Dion. “Tapi jika ada yang bisa kulakukan, tolong beritahu aku.”

Hatinya terasa hangat mendengar perhatian itu. Tapi ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan bantuan Dion.

“Aku akan baik-baik saja,” katanya mencoba meyakinkan.

Setelah menutup telepon, Naira kembali duduk, menatap kontrak di tangannya. Detik demi detik berlalu, dan akhirnya ia tahu bahwa ia sudah mengambil keputusan.

Ia meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat:

"Aku setuju."

Pesan terkirim.

Beberapa detik kemudian, layar ponselnya menyala dengan balasan dari Adrian.

"Bagus. Aku akan menjemputmu besok untuk menandatangani kontrak secara resmi."

Naira meletakkan ponselnya di meja dan menutup matanya.

Besok, hidupnya akan berubah.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 103 – Jejak Pengkhianatan

    Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan Naira dengan Lamia di kafe kecil itu. Dan sejak hari itu pula, pikirannya dipenuhi kalimat-kalimat ambigu yang terus berputar. Lamia memang tak lagi terlihat seperti ancaman, tapi tetap saja—masa lalu tak pernah benar-benar pergi. Naira ingin percaya. Ia sudah melihat perubahan Adrian dengan matanya sendiri. Tapi kepercayaan, sekali retak, sulit menyatu kembali tanpa bekas. Pagi itu, Naira sedang membersihkan ruang kerja kecil di rumahnya. Rak buku dirapikan, dokumen-dokumen disortir ulang. Di antara tumpukan buku, ia menemukan tablet tua milik Adrian—perangkat yang dulu sering digunakan saat mereka masih tinggal bersama sebagai pasangan kontrak. Tablet itu terkunci. Tapi entah bagaimana, saat disentuh, layar menyala dan langsung masuk ke layar utama. Tidak ada kata sandi. Mungkin karena Adrian sudah tak menggunakannya lagi, atau mungkin... karena ia tak merasa perlu menyembunyikan apa pun. Dengan jari yang ragu, Naira membuka galeri dan

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 102 – Ujian Kesetiaan

    Langit mendung menggantung di atas taman yang hampir sepi. Pepohonan bergoyang pelan diterpa angin, dedaunan jatuh satu per satu, menambah suasana sunyi yang menyusup hingga ke dada. Di salah satu bangku kayu taman itu, Adrian duduk menunggu, mengenakan jaket gelap dan celana jeans yang mulai basah karena embun malam. Ia menatap jam tangannya. Sudah hampir satu jam sejak ia duduk di sana, namun Naira belum juga muncul. Lalu terdengar langkah. Pelan tapi pasti. Adrian mendongak dan melihat sosok yang begitu dikenalnya. Naira berdiri di depan bangku taman, mengenakan kerudung tipis dan jaket krem. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam—seolah menyimpan banyak pertanyaan yang tak ingin diulang dua kali. “Aku baca suratmu,” ucapnya langsung. Adrian berdiri, gugup tapi mencoba tenang. “Terima kasih… karena sudah datang.” “Aku datang bukan karena aku sudah memaafkan, Adrian. Tapi karena aku ingin dengar langsung, tanpa gangguan, tanpa perantara. Aku ingin tahu: apa benar kamu me

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 101 – Luka dari Masa Lalu

    Langit sore itu berwarna jingga pucat, seperti hati Naira yang sedang belajar tenang. Setelah semuanya—kontrak, luka, dan pengakuan jujur—ia dan Adrian sepakat memulai dari awal. Tak ada lagi perjanjian, hanya cinta yang mereka pilih bangun bersama. Namun, sekuat apapun seseorang ingin melupakan masa lalu, seringkali masa lalu itu sendiri tak pernah benar-benar pergi. Sore itu, mereka berjalan berdampingan di taman kota. Adrian menggenggam tangan Naira dengan tenang, sesekali melirik wajah perempuan yang kini tak lagi rapuh, tapi tetap memancarkan kelembutan yang menyentuh. “Aku masih belum percaya,” gumam Adrian, “kamu mau memberiku kesempatan kedua.” Naira tersenyum samar. “Kamu tidak sedang kuberi kesempatan, Adrian. Kita sedang memulainya bersama.” Namun kebahagiaan yang baru saja bersemi itu goyah, saat suara perempuan terdengar dari belakang mereka—tajam, familiar, dan menyelusupkan hawa dingin di udara hangat sore itu. “Adrian?” Mereka berdua menoleh. Seorang wa

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 100 – Bukan dari Masa Lalu, Tapi dari Sekarang

    Taman itu masih sama. Rumput yang pernah diinjak oleh langkah marah, kursi kayu yang menjadi saksi pertengkaran hebat mereka, dan angin sore yang kini bertiup lembut, seakan menghapus jejak luka lama. Naira berdiri beberapa langkah di depan, mengenakan gaun sederhana berwarna putih gading. Tangannya menggenggam undangan dari Adrian—undangan tanpa agenda bisnis, tanpa tekanan keluarga, tanpa kewajiban kontrak. Ia menoleh saat suara langkah pelan mendekat. Adrian datang dengan kemeja abu-abu dan celana panjang santai. Tak ada dasi, tak ada aura dingin seorang CEO. Hanya lelaki dengan tatapan penuh penyesalan dan harapan baru. "Aku sempat berpikir kau tidak akan datang," ucap Adrian pelan. Naira tersenyum tipis. "Aku juga sempat berpikir tak akan pernah menginjakkan kaki di taman ini lagi." Keduanya tertawa kecil. Suara mereka menyatu dengan desiran angin dan kicau burung yang kembali ke sarangnya. Adrian menarik napas panjang. "Di tempat ini… kita pernah berkata hal-hal yang

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 99 – Sebuah Undangan yang Tak Terduga

    Hujan sore itu turun ringan, mengiringi langkah Naira yang ragu saat menatap amplop undangan berwarna biru lembut di genggamannya. Nama pengirimnya jelas tertulis di pojok kanan atas: Adrian Alexander. Hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setelah malam emosional di mana Adrian memintanya memilih dengan bebas, Naira mencoba menjauh untuk menata pikirannya. Namun undangan ini—mengajaknya ke panti asuhan tempat mereka pertama kali bertemu—seolah menjadi jembatan halus yang ditawarkan Adrian tanpa memaksa. Dengan balutan dress sederhana dan scarf putih, Naira melangkah ke halaman panti asuhan yang kini lebih tertata dan cerah. Senyum anak-anak menyambutnya, membuat hatinya hangat. Tapi pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri di depan panggung kecil, mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengan, tampak bersahaja namun tetap karismatik. Adrian. Saat mata mereka bertemu, waktu seakan berhenti. Adrian tersenyum tipis, lalu melangkah maju. “Terima ka

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 98 – Di Ambang Perpisahan

    Hujan gerimis turun perlahan di halaman belakang rumah, mengiringi suasana hati Naira yang tak menentu. Di tangannya tergenggam secarik kertas—salinan kontrak pernikahan mereka, yang kini tinggal menghitung hari sebelum resmi berakhir. Ia duduk sendiri di kursi rotan tua yang biasa mereka gunakan untuk menikmati sore bersama. Tapi sore ini berbeda. Tidak ada Adrian. Tidak ada percakapan. Hanya diam, dan pikiran yang terus menuntut jawaban. "Aku seharusnya lega..." gumamnya pelan. "Tapi kenapa terasa justru lebih menyakitkan sekarang?" Di dalam rumah, Adrian berdiri di balik jendela, memperhatikan Naira dalam diam. Ia tahu waktunya hampir habis, dan kali ini ia tidak berniat memohon atau memaksa. Semua sudah ia serahkan kepada keputusan Naira. Beberapa hari terakhir, ia memilih menjauh secara perlahan. Bukan karena menyerah, tapi karena ingin memberikan Naira ruang—ruang untuk benar-benar mendengar suara hatinya sendiri. --- Naira membuka kembali jurnal kecil yang berisi su

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status