Home / Romansa / Tersandung Cinta Tuan Muda / Bab 7: Menjadi Nyonya Nathaniel

Share

Bab 7: Menjadi Nyonya Nathaniel

Author: Melsya Aulia
last update Last Updated: 2025-03-07 16:24:41

Pernikahan yang digelar secara tertutup itu terasa begitu sunyi. Tak ada pesta meriah, tak ada gaun pengantin yang mewah seperti yang sering dibayangkan gadis-gadis lain. Hanya sebuah akad sederhana dengan beberapa saksi penting dari keluarga Nathaniel.

Naira berdiri di sisi Adrian, merasa sedikit kaku dalam balutan gaun putih sederhana. Dari sudut matanya, ia bisa melihat ekspresi beragam dari keluarga pria itu. Madam Evelyn, ibu Adrian, tampak tenang tapi sorot matanya menyiratkan ketidakpercayaan. Sementara Natasha, sepupu Adrian, sama sekali tidak menyembunyikan ejekannya.

"Apa wanita seperti dia pantas menjadi bagian dari keluarga kita?" bisik Natasha kepada seseorang di sebelahnya.

Adrian, yang berdiri tegak di samping Naira, tidak menunjukkan emosi apa pun. Tatapannya tetap dingin, seolah ini hanya bagian dari kesepakatan bisnis biasa.

Setelah prosesi selesai, seorang pelayan mendekati Naira dengan sedikit canggung. "Nona... maksud saya, Nyonya Nathaniel, apakah Anda ingin beristirahat di kamar?"

Naira menelan ludah. Gelar itu terasa aneh. Ia belum benar-benar merasa seperti seorang istri. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Adrian sudah lebih dulu berbicara.

"Aku akan ke ruang kerja."

Nada suaranya tajam dan tegas. Ia bahkan tidak menoleh ke arah Naira.

Naira menghela napas. Ia tahu sejak awal ini bukan pernikahan yang didasari cinta, tetapi sikap Adrian yang begitu dingin tetap saja menusuk perasaannya.

Saat ia hendak melangkah pergi, Madam Evelyn akhirnya angkat bicara.

"Naira," panggilnya dengan nada lembut tapi sarat dengan kewibawaan. "Aku harap kau tahu bagaimana cara membawa diri sebagai istri Adrian. Jangan buat keluargaku malu."

Naira menunduk sopan. "Saya mengerti, Madam."

Tapi Natasha justru tertawa sinis. "Apa gunanya menasihati dia, Bibi? Aku yakin dia hanya mengejar kekayaan Adrian."

Naira mengepalkan tangan, mencoba menahan emosinya. Ia baru saja resmi menjadi bagian dari keluarga ini, dan sudah disambut dengan kecurigaan.

---

Malam Pertama yang Dingin

Ketika malam tiba, Naira masuk ke kamar yang telah disiapkan. Kamar itu luas, mewah, tapi terasa dingin dan asing.

Adrian sedang melepas dasinya di dekat cermin. Ia bahkan tidak menoleh ketika Naira masuk.

"Adrian..." suara Naira nyaris berbisik, mencoba memecah keheningan.

"Tidurlah. Aku tidak akan mengganggumu."

Jawaban singkat itu membuat Naira mengernyit. "Jadi kita akan tidur di tempat yang sama?" tanyanya dengan hati-hati.

Adrian akhirnya menoleh, tatapannya tajam. "Jangan salah paham, Naira. Aku tidak menikahimu karena ingin menjalani kehidupan suami-istri yang normal. Ini hanya kontrak. Aku akan tidur di sofa."

Naira mengangguk pelan. Entah kenapa, ada sedikit rasa kecewa yang menyelinap di hatinya. Ia memang tidak mengharapkan cinta dari pernikahan ini, tetapi ia juga tidak mengira Adrian akan sekeras ini padanya.

Ia berjalan menuju ranjang dan duduk di tepinya, menatap Adrian yang sudah mengambil selimut dan berbaring di sofa panjang di sudut ruangan.

"Apa kau benar-benar sebenci itu padaku?" tanyanya pelan.

Adrian menghela napas. "Aku tidak membencimu, Naira. Aku hanya tidak ingin ada kesalahpahaman di antara kita. Aku akan menjalankan peranku sebagai suamimu di depan orang lain, tapi hanya sebatas itu."

Naira terdiam. Ia tahu batasan ini sudah jelas sejak awal, tetapi mendengarnya langsung dari Adrian tetap saja menyakitkan.

Di luar sana, media mulai menggali identitasnya. Foto-foto mereka sudah tersebar di internet, membuat hidup Naira berubah dalam sekejap. Ia kini bukan lagi gadis biasa—ia adalah Nyonya Nathaniel, istri dari pria paling dingin yang pernah ia temui.

Setelah pena itu menari di atas kertas, Naira menarik napas panjang. Kontrak itu telah resmi ia tanda tangani. Kini, tidak ada jalan kembali. Ia resmi menjadi istri Adrian Nathaniel—meskipun hanya dalam status kontrak.

Esok harinya, pernikahan mereka digelar secara tertutup di sebuah vila mewah di pinggiran kota. Tak ada pesta megah seperti pernikahan konglomerat pada umumnya. Hanya ada keluarga dekat dan beberapa rekan bisnis.

Saat Adrian meraih tangannya untuk memasangkan cincin, Naira bisa merasakan betapa dingin pria itu. Tatapan mata elangnya kosong, seolah ia sedang berbisnis, bukan menikah.

"Apakah kau yakin dengan keputusanmu?" suara Adrian nyaris seperti bisikan, tapi penuh tekanan.

Naira menatapnya balik. Ia tahu, sekali ia mengangguk, hidupnya tak akan pernah sama lagi. Namun, demi keluarganya, ia tak punya pilihan lain.

"Aku yakin," jawab Naira pelan, tetapi tegas.

Pendeta menyatakan mereka sah sebagai suami istri, dan para tamu bertepuk tangan—meski sebagian besar dari mereka tidak benar-benar tulus.

---

Reaksi Keluarga Adrian

Setelah acara selesai, Naira segera merasakan tatapan tajam dari beberapa orang di sekitar mereka.

Ibu Adrian, Madam Veronica Nathaniel, seorang wanita anggun dengan aura bangsawan, menatap Naira dengan senyum tipis yang sulit diartikan.

"Kau pasti Naira," ujarnya dengan nada yang terlalu lembut—hingga terasa seperti pisau yang tersembunyi di balik senyum. "Selamat datang di keluarga Nathaniel. Aku harap kau tahu apa yang kau hadapi."

Naira menelan ludah, tapi ia berusaha tetap tenang. "Terima kasih, Madam. Saya akan berusaha sebaik mungkin."

Di sisi lain, sepupu Adrian, Natasha, tak segan menunjukkan sikap meremehkan. Wanita itu menyilangkan tangan, menatap Naira dari ujung kepala hingga kaki.

"Jadi ini istri barumu, Adrian?" Natasha tertawa kecil. "Kukira seleramu lebih tinggi dari ini."

Adrian tak bereaksi. Ia hanya menyesap anggur merahnya dengan ekspresi datarnya yang khas.

"Aku tak peduli apa yang kalian pikirkan," kata Adrian akhirnya. "Dia istriku. Itu saja yang perlu kalian tahu."

Tapi bagi Naira, kata-kata itu tak terasa seperti perlindungan. Justru, ia merasa semakin sendirian dalam rumah tangga yang bahkan belum benar-benar dimulai.

---

Malam Pertama yang Penuh Ketegangan

Setelah acara berakhir, mereka kembali ke penthouse Adrian. Naira melangkah masuk dengan hati berdebar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Adrian melepas jasnya dan membuka beberapa kancing kemejanya. Lalu, dengan suara datar, ia berkata, "Aku punya beberapa aturan yang harus kau patuhi."

Naira menegakkan tubuhnya, bersiap mendengar peraturan itu.

"Pertama, kamar ini hanya ada satu tempat tidur, tapi aku tak tertarik berbagi ranjang. Kau bisa tidur di sofa atau tempat lain yang kau suka."

Naira menatap tempat tidur king-size yang besar. Lalu menoleh ke sofa yang tidak kalah mewahnya.

"Baik," jawabnya singkat.

"Kedua," lanjut Adrian, "Di luar rumah, kita harus bertindak sebagai pasangan harmonis. Tapi di dalam rumah, kita hanya dua orang asing yang tinggal bersama. Jangan berharap lebih."

Pernyataan itu membuat hati Naira sedikit nyeri, meski ia tahu sejak awal pernikahan ini tidak didasari cinta.

"Ketiga, jangan coba-coba ikut campur dalam urusanku. Aku tak suka orang yang terlalu ingin tahu."

Naira menahan napas. Setiap kata yang diucapkan Adrian terasa menusuk, tapi ia tak punya pilihan selain menerimanya.

"Baik, Tuan Adrian," jawabnya, menekankan kata Tuan dengan sengaja.

Adrian memandangnya dengan tajam, lalu berjalan menuju kamar mandi tanpa berkata apa-apa lagi.

Di dalam kamar yang luas itu, Naira akhirnya sadar… pernikahan ini baru saja dimulai, tetapi ia sudah merasa terperangkap.

---

Media Mulai Menggali Identitas Naira

Keesokan paginya, berita pernikahan Adrian Nathaniel tersebar luas.

"Pewaris Muda Adrian Nathaniel Resmi Menikah! Siapa Istri Misteriusnya?"

"Gadis Biasa Menikahi Miliarder, Apa yang Sebenarnya Terjadi?"

Naira menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, pernikahannya dengan Adrian tidak akan luput dari sorotan media.

Tapi ia tidak menyangka secepat ini.

Di sisi lain, Adrian tampak tidak peduli. Ia membaca koran sambil menyeruput kopi, seolah berita itu hanya sekadar angin lalu.

"Biarkan saja mereka menulis apa yang mereka mau," ucapnya santai. "Aku tak pernah peduli dengan omongan orang lain."

Naira menggigit bibirnya. Mudah bagi Adrian untuk berkata begitu. Tapi bagi dirinya, ini adalah dunia yang benar-benar baru.

Dan ia tidak yakin apakah ia bisa bertahan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 111 – Rumah Itu Bernama Kita

    Tiga tahun kemudian... Langit sore tampak teduh di atas taman kecil di panti asuhan Harapan. Angin berembus lembut, menerpa bunga-bunga yang tumbuh di sepanjang jalan setapak. Anak-anak berlarian sambil tertawa, membawa balon warna-warni dan bendera kecil bertuliskan "Terima Kasih, Kak Adrian & Kak Naira!" Di tengah keramaian itu, sepasang suami istri berdiri berdampingan, tangan mereka saling menggenggam erat. Adrian mengenakan kemeja putih sederhana, sementara Naira mengenakan gaun biru langit dengan riasan ringan. Wajah mereka tak lagi tegang seperti dulu—hanya ada ketenangan, kedewasaan, dan bahagia yang tak meledak-ledak, tapi terasa penuh. Hari itu bukan hari ulang tahun pernikahan mereka, bukan pula perayaan besar. Hari itu adalah hari peresmian ruang belajar baru di panti asuhan tersebut. Ruangan itu dinamai: Ruang Harapan – Persembahan dari Naira & Adrian. Sebuah ruang kecil, penuh buku, meja belajar mungil, dan papan tulis dengan hiasan tangan-tangan kecil anak-anak.

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 110 – Surat Cinta Terakhir

    Langit sore mulai berubah jingga, senja yang hangat menelusup melalui jendela kamar kerja Adrian yang kini sudah menjadi ruang bersama mereka. Meja kayu di dekat balkon tampak rapi, kecuali satu benda yang kini tergeletak di atasnya: sebuah surat, dengan amplop putih sederhana, dan tulisan tangan Naira di bagian depannya. “Untuk Adrian, dari wanita yang memilihmu.” Adrian belum pulang. Tapi Naira duduk di tepi kursi, menatap surat yang baru saja selesai ditulisnya. Tangannya masih gemetar, bukan karena ragu, tapi karena beban emosi yang begitu dalam saat menuliskan tiap kata. Ia menarik napas panjang, sebelum perlahan mulai membaca ulang isi surat yang telah ditulisnya dengan tinta biru tua. --- Adrian yang aku pilih… Aku menulis surat ini bukan karena aku tak mampu mengatakannya secara langsung. Tapi justru karena aku ingin setiap kalimat dalam surat ini bisa kamu baca kembali, kapan pun kamu merasa ragu, atau lelah, atau lupa kenapa kita berjuang sejauh ini. Banyak hal y

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 109 – Hari Baru, Janji Baru

    Hari itu datang tanpa gemuruh. Tidak ada karangan bunga mewah, tidak ada gaun putih panjang, tidak ada sorotan kamera seperti satu tahun yang lalu saat mereka menikah karena kesepakatan bisnis. Tapi di dalam hati Naira, tanggal itu terasa lebih sakral dari apa pun yang pernah ia alami sebelumnya. Ini bukan sekadar hari ulang tahun pernikahan mereka. Ini hari di mana mereka memilih untuk mengulang segalanya, dengan kesadaran penuh dan cinta yang tumbuh dari keberanian untuk memperbaiki. Pagi hari, Adrian datang ke kamar Naira membawa nampan sarapan dan seikat bunga liar dari halaman belakang. “Selamat ulang tahun pernikahan—versi baru,” ucapnya sambil tersenyum. Naira tertawa kecil. “Kita benar-benar mulai dari awal, ya? Bahkan bunganya juga bukan yang mahal.” “Justru itu. Ini bukan tentang harga, tapi tentang niat. Sama seperti kita.” ** Mereka sepakat merayakan hari itu dengan cara paling sederhana: mengadakan syukuran kecil di panti asuhan tempat segalanya berubah. Tem

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 108 – Jalan Tengah

    Udara pagi terasa segar di halaman belakang rumah mereka. Burung-burung mulai berkicau dari balik pepohonan, seolah menyambut awal yang benar-benar baru. Naira berdiri di depan meja kayu kecil, menyeduh dua cangkir teh hangat. Di dadanya, ada ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—bukan karena semuanya sudah sempurna, tapi karena akhirnya ia memilih dengan sepenuh hati. Adrian muncul dari dalam rumah, masih mengenakan baju rumah dan wajah yang tampak tenang. “Mimpi buruk semalam?” tanyanya lembut, melihat wajah Naira sedikit lelah. Naira mengangguk kecil. “Iya, tapi tidak seperti dulu. Dulu aku merasa sendirian setelah bangun. Sekarang tidak.” Adrian duduk di hadapannya, lalu meraih salah satu cangkir. “Mungkin karena kamu sudah memilih untuk tidak berlari lagi.” “Mungkin,” balas Naira pelan. Mereka duduk dalam diam sejenak. Bukan keheningan yang canggung, tapi keheningan yang saling memberi ruang. “Aku tahu ini nggak akan langsung jadi hubungan yang ideal,”

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 107 – Pilihan yang Terbuka

    Senja mulai turun ketika Naira duduk di ruang keluarga. Cahaya oranye temaram menembus jendela, memantulkan bayangan samar di wajahnya yang murung. Tak lama, langkah kaki Adrian terdengar memasuki ruangan, tenang namun penuh beban. "Aku ingin kita bicara… untuk terakhir kalinya, jika memang itu yang kamu inginkan," ucap Adrian, duduk di seberangnya dengan wajah tegas namun lembut. Naira menatapnya. "Kamu bilang kamu mencintaiku. Tapi kenapa kamu seolah siap kehilangan aku begitu saja?" Adrian menarik napas dalam-dalam. "Karena cinta yang memaksa untuk memiliki bukan cinta yang benar, Naira. Aku belajar... bahwa jika aku benar-benar mencintaimu, aku harus membiarkan kamu memilih tanpa beban masa lalu. Tanpa rasa bersalah." Dia berdiri, lalu berjalan menuju meja kecil di sisi ruangan dan meletakkan dua amplop. “Yang satu berisi tiket ke luar kota, lengkap dengan penginapan dan segala keperluan untuk memulai hidup baru. Yang satu lagi... kosong, simbol bahwa kamu memilih untuk te

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 106 – Titik Balik

    Langit sore berwarna jingga saat Naira turun dari taksi di depan rumah besar itu. Udara terasa lebih berat daripada biasanya—seolah tahu bahwa malam ini bukan hanya soal pulang, tapi soal keputusan besar yang akan diambil. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mendorong pintu pagar. Adrian berdiri di teras, seolah menunggu. Tatapan matanya kosong, tapi bahunya tegang. Ketika melihat Naira berjalan mendekat, ia berdiri lebih tegak, siap menghadapi apa pun yang akan datang. "Aku perlu bicara," kata Naira tanpa basa-basi. Adrian mengangguk. "Aku tahu. Aku juga." Mereka duduk di ruang tamu, tak ada teh, tak ada formalitas. Hanya dua hati yang lelah dan jujur. "Aku lelah dengan semua drama ini, Adrian," ucap Naira memulai. "Kalau kamu masih menyimpan kebohongan, lebih baik kita akhiri sekarang. Aku tidak ingin hidup dengan setengah kebenaran." Adrian menunduk, lalu mengangkat kepalanya dengan tatapan yang berbeda. “Aku tak menyimpan apa-apa lagi, Naira. Semuanya sudah kubuka. Pes

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status