Pernikahan yang digelar secara tertutup itu terasa begitu sunyi. Tak ada pesta meriah, tak ada gaun pengantin yang mewah seperti yang sering dibayangkan gadis-gadis lain. Hanya sebuah akad sederhana dengan beberapa saksi penting dari keluarga Nathaniel.
Naira berdiri di sisi Adrian, merasa sedikit kaku dalam balutan gaun putih sederhana. Dari sudut matanya, ia bisa melihat ekspresi beragam dari keluarga pria itu. Madam Evelyn, ibu Adrian, tampak tenang tapi sorot matanya menyiratkan ketidakpercayaan. Sementara Natasha, sepupu Adrian, sama sekali tidak menyembunyikan ejekannya. "Apa wanita seperti dia pantas menjadi bagian dari keluarga kita?" bisik Natasha kepada seseorang di sebelahnya. Adrian, yang berdiri tegak di samping Naira, tidak menunjukkan emosi apa pun. Tatapannya tetap dingin, seolah ini hanya bagian dari kesepakatan bisnis biasa. Setelah prosesi selesai, seorang pelayan mendekati Naira dengan sedikit canggung. "Nona... maksud saya, Nyonya Nathaniel, apakah Anda ingin beristirahat di kamar?" Naira menelan ludah. Gelar itu terasa aneh. Ia belum benar-benar merasa seperti seorang istri. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Adrian sudah lebih dulu berbicara. "Aku akan ke ruang kerja." Nada suaranya tajam dan tegas. Ia bahkan tidak menoleh ke arah Naira. Naira menghela napas. Ia tahu sejak awal ini bukan pernikahan yang didasari cinta, tetapi sikap Adrian yang begitu dingin tetap saja menusuk perasaannya. Saat ia hendak melangkah pergi, Madam Evelyn akhirnya angkat bicara. "Naira," panggilnya dengan nada lembut tapi sarat dengan kewibawaan. "Aku harap kau tahu bagaimana cara membawa diri sebagai istri Adrian. Jangan buat keluargaku malu." Naira menunduk sopan. "Saya mengerti, Madam." Tapi Natasha justru tertawa sinis. "Apa gunanya menasihati dia, Bibi? Aku yakin dia hanya mengejar kekayaan Adrian." Naira mengepalkan tangan, mencoba menahan emosinya. Ia baru saja resmi menjadi bagian dari keluarga ini, dan sudah disambut dengan kecurigaan. --- Malam Pertama yang Dingin Ketika malam tiba, Naira masuk ke kamar yang telah disiapkan. Kamar itu luas, mewah, tapi terasa dingin dan asing. Adrian sedang melepas dasinya di dekat cermin. Ia bahkan tidak menoleh ketika Naira masuk. "Adrian..." suara Naira nyaris berbisik, mencoba memecah keheningan. "Tidurlah. Aku tidak akan mengganggumu." Jawaban singkat itu membuat Naira mengernyit. "Jadi kita akan tidur di tempat yang sama?" tanyanya dengan hati-hati. Adrian akhirnya menoleh, tatapannya tajam. "Jangan salah paham, Naira. Aku tidak menikahimu karena ingin menjalani kehidupan suami-istri yang normal. Ini hanya kontrak. Aku akan tidur di sofa." Naira mengangguk pelan. Entah kenapa, ada sedikit rasa kecewa yang menyelinap di hatinya. Ia memang tidak mengharapkan cinta dari pernikahan ini, tetapi ia juga tidak mengira Adrian akan sekeras ini padanya. Ia berjalan menuju ranjang dan duduk di tepinya, menatap Adrian yang sudah mengambil selimut dan berbaring di sofa panjang di sudut ruangan. "Apa kau benar-benar sebenci itu padaku?" tanyanya pelan. Adrian menghela napas. "Aku tidak membencimu, Naira. Aku hanya tidak ingin ada kesalahpahaman di antara kita. Aku akan menjalankan peranku sebagai suamimu di depan orang lain, tapi hanya sebatas itu." Naira terdiam. Ia tahu batasan ini sudah jelas sejak awal, tetapi mendengarnya langsung dari Adrian tetap saja menyakitkan. Di luar sana, media mulai menggali identitasnya. Foto-foto mereka sudah tersebar di internet, membuat hidup Naira berubah dalam sekejap. Ia kini bukan lagi gadis biasa—ia adalah Nyonya Nathaniel, istri dari pria paling dingin yang pernah ia temui. Setelah pena itu menari di atas kertas, Naira menarik napas panjang. Kontrak itu telah resmi ia tanda tangani. Kini, tidak ada jalan kembali. Ia resmi menjadi istri Adrian Nathaniel—meskipun hanya dalam status kontrak. Esok harinya, pernikahan mereka digelar secara tertutup di sebuah vila mewah di pinggiran kota. Tak ada pesta megah seperti pernikahan konglomerat pada umumnya. Hanya ada keluarga dekat dan beberapa rekan bisnis. Saat Adrian meraih tangannya untuk memasangkan cincin, Naira bisa merasakan betapa dingin pria itu. Tatapan mata elangnya kosong, seolah ia sedang berbisnis, bukan menikah. "Apakah kau yakin dengan keputusanmu?" suara Adrian nyaris seperti bisikan, tapi penuh tekanan. Naira menatapnya balik. Ia tahu, sekali ia mengangguk, hidupnya tak akan pernah sama lagi. Namun, demi keluarganya, ia tak punya pilihan lain. "Aku yakin," jawab Naira pelan, tetapi tegas. Pendeta menyatakan mereka sah sebagai suami istri, dan para tamu bertepuk tangan—meski sebagian besar dari mereka tidak benar-benar tulus. --- Reaksi Keluarga Adrian Setelah acara selesai, Naira segera merasakan tatapan tajam dari beberapa orang di sekitar mereka. Ibu Adrian, Madam Veronica Nathaniel, seorang wanita anggun dengan aura bangsawan, menatap Naira dengan senyum tipis yang sulit diartikan. "Kau pasti Naira," ujarnya dengan nada yang terlalu lembut—hingga terasa seperti pisau yang tersembunyi di balik senyum. "Selamat datang di keluarga Nathaniel. Aku harap kau tahu apa yang kau hadapi." Naira menelan ludah, tapi ia berusaha tetap tenang. "Terima kasih, Madam. Saya akan berusaha sebaik mungkin." Di sisi lain, sepupu Adrian, Natasha, tak segan menunjukkan sikap meremehkan. Wanita itu menyilangkan tangan, menatap Naira dari ujung kepala hingga kaki. "Jadi ini istri barumu, Adrian?" Natasha tertawa kecil. "Kukira seleramu lebih tinggi dari ini." Adrian tak bereaksi. Ia hanya menyesap anggur merahnya dengan ekspresi datarnya yang khas. "Aku tak peduli apa yang kalian pikirkan," kata Adrian akhirnya. "Dia istriku. Itu saja yang perlu kalian tahu." Tapi bagi Naira, kata-kata itu tak terasa seperti perlindungan. Justru, ia merasa semakin sendirian dalam rumah tangga yang bahkan belum benar-benar dimulai. --- Malam Pertama yang Penuh Ketegangan Setelah acara berakhir, mereka kembali ke penthouse Adrian. Naira melangkah masuk dengan hati berdebar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Adrian melepas jasnya dan membuka beberapa kancing kemejanya. Lalu, dengan suara datar, ia berkata, "Aku punya beberapa aturan yang harus kau patuhi." Naira menegakkan tubuhnya, bersiap mendengar peraturan itu. "Pertama, kamar ini hanya ada satu tempat tidur, tapi aku tak tertarik berbagi ranjang. Kau bisa tidur di sofa atau tempat lain yang kau suka." Naira menatap tempat tidur king-size yang besar. Lalu menoleh ke sofa yang tidak kalah mewahnya. "Baik," jawabnya singkat. "Kedua," lanjut Adrian, "Di luar rumah, kita harus bertindak sebagai pasangan harmonis. Tapi di dalam rumah, kita hanya dua orang asing yang tinggal bersama. Jangan berharap lebih." Pernyataan itu membuat hati Naira sedikit nyeri, meski ia tahu sejak awal pernikahan ini tidak didasari cinta. "Ketiga, jangan coba-coba ikut campur dalam urusanku. Aku tak suka orang yang terlalu ingin tahu." Naira menahan napas. Setiap kata yang diucapkan Adrian terasa menusuk, tapi ia tak punya pilihan selain menerimanya. "Baik, Tuan Adrian," jawabnya, menekankan kata Tuan dengan sengaja. Adrian memandangnya dengan tajam, lalu berjalan menuju kamar mandi tanpa berkata apa-apa lagi. Di dalam kamar yang luas itu, Naira akhirnya sadar… pernikahan ini baru saja dimulai, tetapi ia sudah merasa terperangkap. --- Media Mulai Menggali Identitas Naira Keesokan paginya, berita pernikahan Adrian Nathaniel tersebar luas. "Pewaris Muda Adrian Nathaniel Resmi Menikah! Siapa Istri Misteriusnya?" "Gadis Biasa Menikahi Miliarder, Apa yang Sebenarnya Terjadi?" Naira menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, pernikahannya dengan Adrian tidak akan luput dari sorotan media. Tapi ia tidak menyangka secepat ini. Di sisi lain, Adrian tampak tidak peduli. Ia membaca koran sambil menyeruput kopi, seolah berita itu hanya sekadar angin lalu. "Biarkan saja mereka menulis apa yang mereka mau," ucapnya santai. "Aku tak pernah peduli dengan omongan orang lain." Naira menggigit bibirnya. Mudah bagi Adrian untuk berkata begitu. Tapi bagi dirinya, ini adalah dunia yang benar-benar baru. Dan ia tidak yakin apakah ia bisa bertahan.Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan Naira dengan Lamia di kafe kecil itu. Dan sejak hari itu pula, pikirannya dipenuhi kalimat-kalimat ambigu yang terus berputar. Lamia memang tak lagi terlihat seperti ancaman, tapi tetap saja—masa lalu tak pernah benar-benar pergi. Naira ingin percaya. Ia sudah melihat perubahan Adrian dengan matanya sendiri. Tapi kepercayaan, sekali retak, sulit menyatu kembali tanpa bekas. Pagi itu, Naira sedang membersihkan ruang kerja kecil di rumahnya. Rak buku dirapikan, dokumen-dokumen disortir ulang. Di antara tumpukan buku, ia menemukan tablet tua milik Adrian—perangkat yang dulu sering digunakan saat mereka masih tinggal bersama sebagai pasangan kontrak. Tablet itu terkunci. Tapi entah bagaimana, saat disentuh, layar menyala dan langsung masuk ke layar utama. Tidak ada kata sandi. Mungkin karena Adrian sudah tak menggunakannya lagi, atau mungkin... karena ia tak merasa perlu menyembunyikan apa pun. Dengan jari yang ragu, Naira membuka galeri dan
Langit mendung menggantung di atas taman yang hampir sepi. Pepohonan bergoyang pelan diterpa angin, dedaunan jatuh satu per satu, menambah suasana sunyi yang menyusup hingga ke dada. Di salah satu bangku kayu taman itu, Adrian duduk menunggu, mengenakan jaket gelap dan celana jeans yang mulai basah karena embun malam. Ia menatap jam tangannya. Sudah hampir satu jam sejak ia duduk di sana, namun Naira belum juga muncul. Lalu terdengar langkah. Pelan tapi pasti. Adrian mendongak dan melihat sosok yang begitu dikenalnya. Naira berdiri di depan bangku taman, mengenakan kerudung tipis dan jaket krem. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam—seolah menyimpan banyak pertanyaan yang tak ingin diulang dua kali. “Aku baca suratmu,” ucapnya langsung. Adrian berdiri, gugup tapi mencoba tenang. “Terima kasih… karena sudah datang.” “Aku datang bukan karena aku sudah memaafkan, Adrian. Tapi karena aku ingin dengar langsung, tanpa gangguan, tanpa perantara. Aku ingin tahu: apa benar kamu me
Langit sore itu berwarna jingga pucat, seperti hati Naira yang sedang belajar tenang. Setelah semuanya—kontrak, luka, dan pengakuan jujur—ia dan Adrian sepakat memulai dari awal. Tak ada lagi perjanjian, hanya cinta yang mereka pilih bangun bersama. Namun, sekuat apapun seseorang ingin melupakan masa lalu, seringkali masa lalu itu sendiri tak pernah benar-benar pergi. Sore itu, mereka berjalan berdampingan di taman kota. Adrian menggenggam tangan Naira dengan tenang, sesekali melirik wajah perempuan yang kini tak lagi rapuh, tapi tetap memancarkan kelembutan yang menyentuh. “Aku masih belum percaya,” gumam Adrian, “kamu mau memberiku kesempatan kedua.” Naira tersenyum samar. “Kamu tidak sedang kuberi kesempatan, Adrian. Kita sedang memulainya bersama.” Namun kebahagiaan yang baru saja bersemi itu goyah, saat suara perempuan terdengar dari belakang mereka—tajam, familiar, dan menyelusupkan hawa dingin di udara hangat sore itu. “Adrian?” Mereka berdua menoleh. Seorang wa
Taman itu masih sama. Rumput yang pernah diinjak oleh langkah marah, kursi kayu yang menjadi saksi pertengkaran hebat mereka, dan angin sore yang kini bertiup lembut, seakan menghapus jejak luka lama. Naira berdiri beberapa langkah di depan, mengenakan gaun sederhana berwarna putih gading. Tangannya menggenggam undangan dari Adrian—undangan tanpa agenda bisnis, tanpa tekanan keluarga, tanpa kewajiban kontrak. Ia menoleh saat suara langkah pelan mendekat. Adrian datang dengan kemeja abu-abu dan celana panjang santai. Tak ada dasi, tak ada aura dingin seorang CEO. Hanya lelaki dengan tatapan penuh penyesalan dan harapan baru. "Aku sempat berpikir kau tidak akan datang," ucap Adrian pelan. Naira tersenyum tipis. "Aku juga sempat berpikir tak akan pernah menginjakkan kaki di taman ini lagi." Keduanya tertawa kecil. Suara mereka menyatu dengan desiran angin dan kicau burung yang kembali ke sarangnya. Adrian menarik napas panjang. "Di tempat ini… kita pernah berkata hal-hal yang
Hujan sore itu turun ringan, mengiringi langkah Naira yang ragu saat menatap amplop undangan berwarna biru lembut di genggamannya. Nama pengirimnya jelas tertulis di pojok kanan atas: Adrian Alexander. Hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setelah malam emosional di mana Adrian memintanya memilih dengan bebas, Naira mencoba menjauh untuk menata pikirannya. Namun undangan ini—mengajaknya ke panti asuhan tempat mereka pertama kali bertemu—seolah menjadi jembatan halus yang ditawarkan Adrian tanpa memaksa. Dengan balutan dress sederhana dan scarf putih, Naira melangkah ke halaman panti asuhan yang kini lebih tertata dan cerah. Senyum anak-anak menyambutnya, membuat hatinya hangat. Tapi pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri di depan panggung kecil, mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengan, tampak bersahaja namun tetap karismatik. Adrian. Saat mata mereka bertemu, waktu seakan berhenti. Adrian tersenyum tipis, lalu melangkah maju. “Terima ka
Hujan gerimis turun perlahan di halaman belakang rumah, mengiringi suasana hati Naira yang tak menentu. Di tangannya tergenggam secarik kertas—salinan kontrak pernikahan mereka, yang kini tinggal menghitung hari sebelum resmi berakhir. Ia duduk sendiri di kursi rotan tua yang biasa mereka gunakan untuk menikmati sore bersama. Tapi sore ini berbeda. Tidak ada Adrian. Tidak ada percakapan. Hanya diam, dan pikiran yang terus menuntut jawaban. "Aku seharusnya lega..." gumamnya pelan. "Tapi kenapa terasa justru lebih menyakitkan sekarang?" Di dalam rumah, Adrian berdiri di balik jendela, memperhatikan Naira dalam diam. Ia tahu waktunya hampir habis, dan kali ini ia tidak berniat memohon atau memaksa. Semua sudah ia serahkan kepada keputusan Naira. Beberapa hari terakhir, ia memilih menjauh secara perlahan. Bukan karena menyerah, tapi karena ingin memberikan Naira ruang—ruang untuk benar-benar mendengar suara hatinya sendiri. --- Naira membuka kembali jurnal kecil yang berisi su