Malam itu, Naira nyaris tidak bisa tidur. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya terus bergulat dengan satu pertanyaan besar—haruskah ia menerima tawaran Adrian?
Pernikahan kontrak? Itu bukan sesuatu yang pernah terlintas dalam hidupnya. Namun, apakah ia benar-benar memiliki pilihan lain? Waktu berjalan begitu cepat, dan sebelum ia menyadarinya, matahari sudah terbit. --- Di Kantor Adrian Dengan langkah ragu, Naira memasuki gedung megah tempat Adrian bekerja. Tangannya mengepal, mencoba menenangkan kegugupannya. Seorang resepsionis cantik menyapanya. "Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" Naira menelan ludah. "Saya ingin bertemu Adrian." Resepsionis itu mengangguk, lalu menghubungi seseorang melalui telepon. Beberapa detik kemudian, seorang pria dengan setelan hitam datang dan mempersilakannya naik ke lantai atas. Saat pintu lift terbuka, Naira disambut oleh pemandangan kantor yang luas dan elegan. Dan di tengah ruangan, Adrian duduk di belakang meja dengan ekspresi dingin seperti biasa. "Kau datang," ucap Adrian tanpa ekspresi. Naira mengambil napas dalam-dalam. "Aku ingin mendengar detailnya." Adrian menyandarkan punggungnya ke kursi. "Baiklah. Aku akan langsung ke intinya. Aku ingin kau menikah denganku dalam pernikahan kontrak selama satu tahun. Sebagai imbalannya, aku akan melunasi seluruh utang keluargamu dan memastikan mereka hidup nyaman." Naira menatapnya, berusaha mencerna kata-kata itu. "Satu tahun?" ulangnya. Adrian mengangguk. "Ya. Setelah itu, kita akan bercerai, dan kau bebas pergi. Tidak ada kewajiban untuk menjadi istri dalam arti sesungguhnya. Aku hanya butuh seseorang untuk memenuhi syarat dalam wasiat keluargaku." Naira mengerutkan kening. "Wasiat?" Adrian menghela napas, lalu bangkit dari kursinya dan berjalan mendekatinya. "Kakekku ingin aku menikah sebelum aku bisa sepenuhnya menguasai perusahaan ini. Aku tidak bisa membiarkan orang lain mengendalikan hidupku, jadi aku butuh istri sementara." Naira masih belum yakin. "Kenapa aku? Kau bisa memilih siapa saja." Adrian menyeringai. "Karena kau tidak memiliki hubungan dengan dunia bisnisku. Kau tidak akan mengkhianatiku, karena kau tidak punya alasan untuk melakukannya." Naira terdiam. "Aku tahu ini tidak mudah bagimu," lanjut Adrian. "Tapi, ini adalah kesepakatan yang saling menguntungkan. Kau mendapatkan kebebasan finansial, dan aku mendapatkan kendali atas perusahaanku." Naira menggigit bibirnya. Ini gila. Sangat gila. Tetapi… ia benar-benar tidak punya pilihan lain. "Baik," katanya akhirnya. "Aku setuju." Adrian tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangan. "Selamat datang di dunia baruku, Naira." Dengan ragu, Naira menjabat tangannya. Ia tahu, sejak saat ini, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Setelah menyepakati perjanjian gila itu, Naira masih merasa hatinya berdebar tak karuan. Ia baru saja menyetujui sesuatu yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Kalau begitu, kita akan menandatangani kontraknya besok," ucap Adrian dengan nada datar, seolah mereka hanya membahas transaksi bisnis biasa. Naira mengernyit. "Besok? Bukankah ini terlalu cepat?" Adrian menatapnya tajam. "Aku tidak suka menunda sesuatu yang sudah diputuskan. Jika kau punya masalah dengan itu, lebih baik kita batalkan sekarang." Naira terdiam. Ia tahu bahwa menolak sekarang berarti membiarkan keluarganya tenggelam dalam masalah utang. "Baik," jawabnya dengan suara pelan. Adrian tersenyum tipis. "Bagus. Aku akan menyuruh pengacaraku menyiapkan kontraknya. Kau bisa membacanya terlebih dahulu sebelum menandatanganinya." Naira hanya mengangguk. "Dan satu hal lagi," lanjut Adrian, ekspresinya menjadi lebih serius. "Mulai sekarang, kau harus membiasakan diri dengan peranmu sebagai istriku. Kita akan segera tampil di depan publik, dan aku tidak ingin ada kesalahan sedikit pun." Naira menelan ludah. "Apa maksudmu?" "Aku akan mengatur sesi latihan," ucap Adrian santai. "Kau perlu belajar bagaimana berperilaku sebagai istri seorang pria sepertiku. Aku tidak akan mentoleransi kesalahan sekecil apa pun di depan media atau keluargaku." Sesi latihan? Seperti seorang murid yang belajar menjadi istri pura-pura? Naira ingin tertawa jika saja situasi ini tidak begitu serius. "Tidak bisakah kita melakukannya dengan alami saja?" tanyanya. Adrian mengangkat alis. "Menurutmu, hubungan kita ini alami?" Naira tidak bisa membantahnya. "Mulai besok, kau akan tinggal bersamaku," lanjut Adrian. Mata Naira membelalak. "Apa?" Adrian mendekat, suaranya lebih dingin. "Apakah kau berpikir kita bisa menjalani pernikahan ini tanpa tinggal bersama? Aku tidak ingin ada celah bagi siapa pun untuk mencurigai hubungan kita." Naira menggigit bibir. Tinggal bersama Adrian? Hidup di bawah satu atap dengan pria yang terkenal dengan sikap dingin dan arogan itu? "Tidak ada kamar terpisah?" tanyanya ragu. Adrian menyeringai. "Kau bisa memilih kamar sendiri, asalkan tetap berada di dalam rumahku. Itu cukup adil, bukan?" Naira menghela napas berat. Ini benar-benar situasi yang rumit. Tapi, ia sudah membuat keputusan. Tidak ada jalan untuk mundur sekarang. "Aku mengerti," jawabnya akhirnya. Adrian menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. "Bagus. Sekarang, pulanglah dan persiapkan dirimu. Mulai besok, hidupmu akan berubah sepenuhnya." Naira berjalan keluar dari kantor Adrian dengan perasaan campur aduk. Ia tahu keputusannya ini akan membawa konsekuensi besar, tapi ia tidak menyangka akan secepat ini. --- Di Rumah Naira Setibanya di rumah, Naira langsung disambut oleh ibunya yang tampak cemas. "Naira, bagaimana? Apa kau bisa menemukan jalan keluar?" Naira terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Aku sudah menemukannya, Bu." Ibunya tampak lega. "Syukurlah… Tapi, bagaimana caranya?" Naira menatap ibunya dengan penuh kasih sayang. Ia tidak bisa memberi tahu kebenaran tentang pernikahan kontraknya dengan Adrian. Setidaknya, tidak sekarang. "Tenang saja, Bu," katanya lembut. "Aku sudah mengurus semuanya. Utang kita akan segera lunas." Ibunya menghela napas lega. "Terima kasih, Nak. Kau benar-benar gadis yang kuat." Naira tersenyum getir. Andai saja ibunya tahu harga yang harus ia bayar untuk ini. --- Hari Pernikahan Kontrak Keesokan harinya, Naira berdiri di depan cermin dengan gaun putih yang elegan. Jantungnya berdebar kencang. "Aku benar-benar akan menikah dengan pria itu," gumamnya sendiri. Tak lama, sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Naira, waktunya berangkat," suara seorang asisten Adrian terdengar dari balik pintu. Naira menarik napas dalam-dalam. Inilah awal dari segalanya. Dengan langkah mantap, ia keluar dari kamar dan menuju ke kehidupan baru yang penuh ketidakpastian.Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan Naira dengan Lamia di kafe kecil itu. Dan sejak hari itu pula, pikirannya dipenuhi kalimat-kalimat ambigu yang terus berputar. Lamia memang tak lagi terlihat seperti ancaman, tapi tetap saja—masa lalu tak pernah benar-benar pergi. Naira ingin percaya. Ia sudah melihat perubahan Adrian dengan matanya sendiri. Tapi kepercayaan, sekali retak, sulit menyatu kembali tanpa bekas. Pagi itu, Naira sedang membersihkan ruang kerja kecil di rumahnya. Rak buku dirapikan, dokumen-dokumen disortir ulang. Di antara tumpukan buku, ia menemukan tablet tua milik Adrian—perangkat yang dulu sering digunakan saat mereka masih tinggal bersama sebagai pasangan kontrak. Tablet itu terkunci. Tapi entah bagaimana, saat disentuh, layar menyala dan langsung masuk ke layar utama. Tidak ada kata sandi. Mungkin karena Adrian sudah tak menggunakannya lagi, atau mungkin... karena ia tak merasa perlu menyembunyikan apa pun. Dengan jari yang ragu, Naira membuka galeri dan
Langit mendung menggantung di atas taman yang hampir sepi. Pepohonan bergoyang pelan diterpa angin, dedaunan jatuh satu per satu, menambah suasana sunyi yang menyusup hingga ke dada. Di salah satu bangku kayu taman itu, Adrian duduk menunggu, mengenakan jaket gelap dan celana jeans yang mulai basah karena embun malam. Ia menatap jam tangannya. Sudah hampir satu jam sejak ia duduk di sana, namun Naira belum juga muncul. Lalu terdengar langkah. Pelan tapi pasti. Adrian mendongak dan melihat sosok yang begitu dikenalnya. Naira berdiri di depan bangku taman, mengenakan kerudung tipis dan jaket krem. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam—seolah menyimpan banyak pertanyaan yang tak ingin diulang dua kali. “Aku baca suratmu,” ucapnya langsung. Adrian berdiri, gugup tapi mencoba tenang. “Terima kasih… karena sudah datang.” “Aku datang bukan karena aku sudah memaafkan, Adrian. Tapi karena aku ingin dengar langsung, tanpa gangguan, tanpa perantara. Aku ingin tahu: apa benar kamu me
Langit sore itu berwarna jingga pucat, seperti hati Naira yang sedang belajar tenang. Setelah semuanya—kontrak, luka, dan pengakuan jujur—ia dan Adrian sepakat memulai dari awal. Tak ada lagi perjanjian, hanya cinta yang mereka pilih bangun bersama. Namun, sekuat apapun seseorang ingin melupakan masa lalu, seringkali masa lalu itu sendiri tak pernah benar-benar pergi. Sore itu, mereka berjalan berdampingan di taman kota. Adrian menggenggam tangan Naira dengan tenang, sesekali melirik wajah perempuan yang kini tak lagi rapuh, tapi tetap memancarkan kelembutan yang menyentuh. “Aku masih belum percaya,” gumam Adrian, “kamu mau memberiku kesempatan kedua.” Naira tersenyum samar. “Kamu tidak sedang kuberi kesempatan, Adrian. Kita sedang memulainya bersama.” Namun kebahagiaan yang baru saja bersemi itu goyah, saat suara perempuan terdengar dari belakang mereka—tajam, familiar, dan menyelusupkan hawa dingin di udara hangat sore itu. “Adrian?” Mereka berdua menoleh. Seorang wa
Taman itu masih sama. Rumput yang pernah diinjak oleh langkah marah, kursi kayu yang menjadi saksi pertengkaran hebat mereka, dan angin sore yang kini bertiup lembut, seakan menghapus jejak luka lama. Naira berdiri beberapa langkah di depan, mengenakan gaun sederhana berwarna putih gading. Tangannya menggenggam undangan dari Adrian—undangan tanpa agenda bisnis, tanpa tekanan keluarga, tanpa kewajiban kontrak. Ia menoleh saat suara langkah pelan mendekat. Adrian datang dengan kemeja abu-abu dan celana panjang santai. Tak ada dasi, tak ada aura dingin seorang CEO. Hanya lelaki dengan tatapan penuh penyesalan dan harapan baru. "Aku sempat berpikir kau tidak akan datang," ucap Adrian pelan. Naira tersenyum tipis. "Aku juga sempat berpikir tak akan pernah menginjakkan kaki di taman ini lagi." Keduanya tertawa kecil. Suara mereka menyatu dengan desiran angin dan kicau burung yang kembali ke sarangnya. Adrian menarik napas panjang. "Di tempat ini… kita pernah berkata hal-hal yang
Hujan sore itu turun ringan, mengiringi langkah Naira yang ragu saat menatap amplop undangan berwarna biru lembut di genggamannya. Nama pengirimnya jelas tertulis di pojok kanan atas: Adrian Alexander. Hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setelah malam emosional di mana Adrian memintanya memilih dengan bebas, Naira mencoba menjauh untuk menata pikirannya. Namun undangan ini—mengajaknya ke panti asuhan tempat mereka pertama kali bertemu—seolah menjadi jembatan halus yang ditawarkan Adrian tanpa memaksa. Dengan balutan dress sederhana dan scarf putih, Naira melangkah ke halaman panti asuhan yang kini lebih tertata dan cerah. Senyum anak-anak menyambutnya, membuat hatinya hangat. Tapi pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri di depan panggung kecil, mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengan, tampak bersahaja namun tetap karismatik. Adrian. Saat mata mereka bertemu, waktu seakan berhenti. Adrian tersenyum tipis, lalu melangkah maju. “Terima ka
Hujan gerimis turun perlahan di halaman belakang rumah, mengiringi suasana hati Naira yang tak menentu. Di tangannya tergenggam secarik kertas—salinan kontrak pernikahan mereka, yang kini tinggal menghitung hari sebelum resmi berakhir. Ia duduk sendiri di kursi rotan tua yang biasa mereka gunakan untuk menikmati sore bersama. Tapi sore ini berbeda. Tidak ada Adrian. Tidak ada percakapan. Hanya diam, dan pikiran yang terus menuntut jawaban. "Aku seharusnya lega..." gumamnya pelan. "Tapi kenapa terasa justru lebih menyakitkan sekarang?" Di dalam rumah, Adrian berdiri di balik jendela, memperhatikan Naira dalam diam. Ia tahu waktunya hampir habis, dan kali ini ia tidak berniat memohon atau memaksa. Semua sudah ia serahkan kepada keputusan Naira. Beberapa hari terakhir, ia memilih menjauh secara perlahan. Bukan karena menyerah, tapi karena ingin memberikan Naira ruang—ruang untuk benar-benar mendengar suara hatinya sendiri. --- Naira membuka kembali jurnal kecil yang berisi su