Home / Romansa / Tersesat Dalam Pelukan Musuh / Bab 5: Kepungan Dusta dan Tanggung Jawab

Share

Bab 5: Kepungan Dusta dan Tanggung Jawab

last update Last Updated: 2025-06-18 03:22:12

Keesokan harinya, Diajeng terpaksa berangkat kuliah. Dia tidak ingin membuat orang tuanya khawatir dan curiga, dia juga tidak ingin membuat Alex khawatir dan mencemaskan keadaannya.

"Sayang, kamu terlihat pucat. Kamu masih sakit?" tanya Alex dengan khawatir. Punggung tangan laki-laki itu menyentuh wajah Diajeng.

Diajeng memaksakan sebuah senyum untuk kekasihnya agar tidak khawatir. "Aku gak apa-apa. Cuma kecapean, Lex."

Beberapa meter dari sana, Banyu Samudra melihat semua itu. Dalam hatinya pun merasa cemas dengan tampilan Diajeng yang sedikit lebih pucat dan tertekan. Meskipun gadis itu sudah menutupinya dengan make-up tipis.

Beberapa minggu pun berlalu. Pagi itu, Diajeng Dirandra berdiri di depan wastafel kamar mandi dengan tubuh gemetar. Aroma sabun cair yang biasanya ia suka kini membuat perutnya mual. Tangannya bergetar saat membasuh wajah. Napasnya berat.

Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi mual di perutnya tak kunjung hilang.

"Aku kenapa…?" bisiknya lirih. Matanya memandang bayangan sendiri yang tampak lebih pucat dari biasanya.

Saat ia keluar dari kamar mandi, Erika sudah menunggunya di ruang tamu. Gadis itu segera pergi kerumah Diajeng karena dia tidak masuk sekolah hari itu.

“Kamu oke?” tanya Erika dengan suara lembut, terlalu lembut.

Diajeng mengangguk pelan. “Cuma masuk angin.”

Erika tersenyum, lalu memeluknya. “Kalau kamu mau cerita, aku di sini kok.”

Pelukan itu hangat, tapi terasa palsu. Diajeng terlalu lelah untuk membedakan ketulusan dan kepura-puraan. Yang ia tahu, Erika satu-satunya orang yang masih di sisinya.

“Terima kasih ya…”

Erika menepuk punggungnya, tapi matanya menyipit diam-diam. Ia tidak akan bilang apa-apa soal itu—bukan karena loyal, tapi karena ia tahu siapa Banyu Samudra. Dan pria itu bukan tipe orang yang bisa dipermainkan tanpa resiko.

---

Di kampus, Alexander berdiri di lorong, memperhatikan papan pengumuman yang tertempel rapi. Tangannya memainkan ponsel, membuka-buka chat yang tak kunjung dibalas Diajeng.

Erika bilang Diajeng sedang tidak enak badan. Tapi hatinya tidak tenang. Naluri seorang cowok yang sedang jatuh cinta berkata ada yang tidak beres.

Terutama karena Banyu juga terlihat berbeda. Sejak pesta itu, musuh bebuyutannya itu terlihat lebih muram… dan lebih diam.

Sesuatu sedang disembunyikan.

Dan Alexander benci tidak tahu apa yang terjadi.

---

Sementara itu, Banyu duduk sendirian di kelas kosong, jari-jarinya mengetuk meja tanpa irama. Ia datang pagi-pagi hanya untuk menghindari semua orang. Tapi pikirannya tidak bisa diajak kompromi.

Sudah dua hari gadis itu tidak masuk sekolah dan wajah Diajeng tak pernah hilang dari benaknya. Tatapan kosongnya. Tangis diam-diamnya.

Banyu mengusap wajah dengan kasar. “Kenapa sih aku malah mikirin dia?”

Banyu bahkan belum bisa melihat Diajeng sebagai seseorang yang pantas ia cintai. Baginya, perempuan itu masih bagian dari kehidupan Alexander. Dan Alexander? Musuhnya. Luka yang belum terbalaskan.

Tapi rasa bersalah ini…

Terasa seperti rantai di lehernya. Mengikat, mencekik.

Pintu kelas terbuka pelan. Erika berdiri di sana.

Banyu menatap gadis itu. “Ada apa?”

Erika menutup pintu, lalu berjalan masuk. Ia berdiri beberapa langkah dari Banyu, menyilangkan tangan.

“Aku gak akan cerita ke siapa-siapa,” katanya tanpa basa-basi.

Banyu tidak menjawab.

“Tapi jangan kira aku gak takut. Aku bisa saja bilang ke keluarganya Diajeng. Aku bisa aja ngadu.”

Banyu menatap lurus. “Tapi kamu gak lakuin, kan?”

Erika menggigit bibir. “Karena aku tahu kamu gak main-main. Dan kamu bisa lebih kejam dari yang orang kira.”

Banyu menyipitkan mata. “Dan kamu juga gak bilang ke Alexander.”

“Bukan urusanku. Biar Diajeng yang cerita. Biar dia yang jatuh atau selamat. Terserah.”

Banyu menatap Erika tajam. “Kamu aneh. Biasanya kamu paling peduli sama Diajeng.”

Erika hanya tersenyum miring. “Kadang peduli itu cuma soal timing.”

Dan tanpa berkata lagi, Erika keluar dari kelas.

Banyu termenung. Kalimat terakhir Erika terasa seperti teka-teki yang belum ingin ia pecahkan.

---

Sore hari, Diajeng duduk di tempat tidurnya sambil memegang test pack. Tangannya gemetar. Satu garis merah mulai muncul perlahan, lalu... satu lagi.

Ia menahan napas. Dunia terasa berhenti berputar.

Positif.

Ia menggigit bibir, menahan isak. Perutnya kembali mual. Tapi bukan karena hormon—karena ketakutan.

Bagaimana kalau keluarganya tahu? Bagaimana kalau Alexander tahu?

Dan... bagaimana dengan Banyu?

Apakah ia bahkan peduli?

---

Malam itu, Diajeng akhirnya memberanikan diri mengirim pesan ke Banyu.

> Diajeng:

Bisa ketemu?

Jangan di kelas. Di taman belakang kampus. Besok pagi.

Pesan itu dibaca. Tapi tak langsung dibalas.

Banyu memejamkan mata. Ia tahu Diajeng butuh penjelasan. Butuh kejelasan.

Tapi ia sendiri belum tahu apa yang bisa ia beri.

Permintaan maaf? Tanggung jawab? Atau hanya… pelarian?

Keesokan harinya.

Taman belakang Universitas Mahadwipa masih sepi ketika Diajeng datang. Embun belum benar-benar mengering, dan udara pagi menusuk tulang seperti menyimpan dendam yang tak selesai. Diajeng melangkah pelan, mengenakan hoodie besar berwarna abu-abu tua, seolah ingin menyembunyikan tubuh kurusnya yang kini terasa lebih sensitif, lebih rapuh, dan... lebih asing baginya sendiri.

Ia duduk di bangku kayu dekat pohon flamboyan, memeluk lututnya sambil menunduk. Helaan napasnya tampak di udara pagi, seperti kepulan rasa takut yang tak kunjung hilang.

Langkah kaki terdengar mendekat.

Banyu.

Ia berhenti beberapa meter di belakang Diajeng, memandangi punggung gadis itu. Punggung yang dulu selalu tegak saat berjalan di koridor sekolah, kini tampak seperti akan runtuh hanya dengan hembusan angin. Hatinya mencelos.

Tanpa berkata apa-apa, Banyu melangkah ke samping, lalu berdiri tepat di hadapannya.

Tatapan mereka bertemu—hampa, lelah, bingung, dan sama-sama luka.

Beberapa detik yang terasa seperti selamanya berlalu.

Lalu Diajeng membuka suara. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar. Tapi tiap kata bagai palu yang menghantam dada Banyu.

“Aku… hamil.”

Banyu mematung. Tatapannya tetap terpaku padanya, tapi tidak ada emosi yang tergambar jelas di wajahnya. Ia menahan semuanya. Terlalu banyak untuk diproses hanya dalam sekali dengar.

“Aku gak minta kamu tanggung jawab,” lanjut Diajeng. “Aku cuma mau kamu tahu.”

Banyu menunduk. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Jemarinya bergetar.

“Aku gak nyangka semuanya bakal jadi begini…” katanya dengan suara serak.

“Aku juga enggak.” Diajeng memeluk dirinya sendiri, seperti butuh perlindungan yang tak bisa ia temukan di dunia ini.

Sunyi.

Hanya ada angin yang menggerakkan dedaunan. Dan kicauan burung kecil di kejauhan—suara yang biasanya memberi ketenangan, kini terdengar seperti ejekan. Ejekan untuk dua remaja yang terperangkap dalam konsekuensi dari kesalahan yang bukan sepenuhnya keinginan mereka.

“Aku gak bisa cerita ke Alex,” bisik Diajeng lirih. “Dan aku juga gak bisa hidup dalam kebohongan…”

Banyu perlahan mengangkat wajahnya. Ada sesuatu di matanya—entah amarah, penyesalan, atau keinginan untuk mengulang waktu. Ia tahu tak satu pun dari itu yang bisa menyelamatkan mereka.

"Maaf. Maaf untuk semua yang telah aku lakjukan padamu, Diajeng." kata-kata Banyu terdengar sangat tulus. “Kamu-- mau aku nikahi kamu?”

Diajeng menatapnya. Syok. Bimbang. Matanya melebar seolah belum siap untuk mendengar kalimat itu.

“Aku gak minta itu,” jawabnya cepat, refleks.

“Tapi aku akan lakukan,” kata Banyu mantap, walau nadanya lemah. “Aku gak bisa biarin kamu hadapi ini sendirian.”

Diajeng menggeleng, air mata mulai menumpuk di ujung matanya. “Aku gak cinta kamu…”

Banyu tersenyum tipis, getir. “Aku juga nggak…”

Dan untuk pertama kalinya, mereka berdua tidak pura-pura. Tidak menutup-nutupi perasaan. Tidak bersembunyi di balik topeng cinta atau kebencian.

Untuk pertama kalinya, kejujuran—meski pahit—terasa jauh lebih melegakan daripada semua kebohongan yang mereka jalani selama ini.

Tak ada pelukan. Tak ada sentuhan.

Hanya dua anak manusia yang duduk dalam diam, bersama kenyataan yang terlalu besar untuk usia mereka.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 33 : awal pendekatan

    Aroma kopi arabika memenuhi ruangan kafe kecil di sudut kota. Erika duduk di kursi dekat jendela, menunggu seseorang dengan wajah penuh kesabaran—atau lebih tepatnya, penuh perhitungan. Tangan halusnya memainkan sedotan plastik sambil sesekali melirik jam tangan mewah yang baru saja ia beli dengan sisa uang tabungannya.Tak lama kemudian, seorang pria tinggi berjaket denim memasuki kafe. Rambut hitamnya sedikit berantakan, tapi karisma alaminya tetap memancar. Alexander Benjamin.Alex menarik kursi dan duduk di hadapan Erika. “Kamu kelihatan serius banget. Ada apa?”"Aku lagi mikirin cara kita deketin Diajeng," jawab Erika seraya menatap pria pujannya. “Dan kalau dia nggak tertarik sama aku?”Erika menyeringai. “Tenang. Di situ aku yang main peran. Aku sahabatnya. Aku tahu semua pintu yang bisa kita buka. Percayakan sisanya ke aku.”Tatapan mereka bertemu. Dan di titik itulah, dosa pertama mereka dimulai—sebuah rencana yang kelak akan menghancurkan lebih banyak hati daripada yang mer

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 32 : Lamaran

    Mobil sedan hitam menggelinding mulus menyusuri jalan kota yang mulai diterangi lampu-lampu senja. Di dalamnya, keheningan menggantung seperti selimut tipis—tidak canggung, tapi… penuh degup yang disembunyikan.Diajeng melirik ke arah Banyu yang menyetir dengan satu tangan, tangan satunya bertumpu santai di kemudi. Tuxedo hitam itu membuatnya terlihat terlalu sempurna—pria yang tadinya ia benci, kini terlihat seperti tokoh utama dalam mimpi romantis siapa pun.“Kamu yakin gak salah arah?” tanya Diajeng pelan, mencoba mencairkan suasana.Banyu menoleh sebentar, tersenyum. “Tenang. Aku sudah hafal setiap jalan ke tempat yang akan jadi kenangan terindah kita malam ini.”Diajeng mengerjap pelan. Kalimat itu membuat pipinya sedikit hangat.Tak lama, mobil berbelok masuk ke sebuah kawasan elite. Di ujung jalan berlampu temaram, berdiri sebuah restoran bergaya klasik Eropa, dengan taman kecil di sisi kanan dan lampu-lampu gantung di terasnya. Ada suara lembut piano yang terdengar samar dari

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 31 : rayuan maut (flash back)

    Lampu bar berwarna kuning redup memantul di meja kaca yang basah oleh tetesan alkohol. Aroma vodka dan cerutu bercampur jadi satu, memenuhi udara malam yang pengap.Alexander Benjamin duduk di sudut VIP, kancing atas kemejanya terbuka. Wajahnya tampan tapi kusut, dengan mata merah dan rahang yang mengeras menahan amarah.Di depannya, tiga gelas whiskey sudah kosong. Gelas keempat kini ia genggam erat, jari-jarinya mencengkeram kaca seolah ingin menghancurkannya."Diajeng..." namanya terucap pelan, nyaris seperti geraman.Matanya menatap kosong ke arah lampu gantung bar, tapi pikirannya tak bisa lepas dari bayangan gadis itu. Senyumnya. Suaranya. Dan bayangan yang paling menusuk: Diajeng dalam pelukan Banyu.Alexander mendengus kasar, lalu meneguk whiskey itu sampai habis dalam satu tarikan. Cairan panas membakar tenggorokannya, tapi rasa perih di dadanya jauh lebih menyakitkan."Kenapa, Jeng...? Kenapa kamu harus jatuh ke pelukan dia?"Alex menunduk, menatap layar ponselnya. Foto yang

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 30 : rencana malam yang indah

    Apartemen Erika yang biasanya rapi kini tampak berantakan. Bantal berserakan di lantai, dua cangkir kopi yang belum habis tertinggal di meja, dan setumpuk pakaian bersih belum sempat dilipat.Erika mondar-mandir di ruang tamu dengan napas memburu, matanya memerah karena kurang tidur dan terlalu banyak emosi yang dipendam."Kenapa dia bisa sekuat itu, hah?!" bentaknya ke udara, lalu melempar bantal ke sofa.Gadis itu mengacak-acak rambutnya sendiri, frustasi. Ingatan tentang tatapan Diajeng semalam kembali menghantuinya—tatapan tajam penuh kebencian dan luka."Aku tahu semua, Rik. Aku lihat kalian."Kalimat itu terus terngiang di telinganya, menampar rasa aman yang selama ini ia bangun dengan kebohongan."Seharusnya dia lemah… seharusnya dia hancur!" gumam Erika, suaranya seperti racun.Dia meraih laptopnya dengan kasar, membukanya dan membuka folder tersembunyi berisi cuplikan-cuplikan dari malam pesta itu. Erika memutar video pendek saat Diajeng tampak memasuki kamar hotel sendirian.

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 29 : di pelukanmu

    Mentari siang mulai merambat, menyusup malu-malu lewat tirai yang setengah terbuka. Di atas ranjang, dua insan yang semalam diliputi badai emosi kini masih terbaring dalam diam.Tapi, bukan diam yang dingin. Ini diam yang… hangat. Menenangkan.Diajeng membuka mata lebih dulu. Cahaya tipis dari jendela menyentuh wajahnya. Ia mengedip pelan—dan baru sadar kepalanya masih bersandar di dada Banyu, yang kini terlelap. Tangan pria itu masih memeluknya lembut.Deg.Deg.Deg.Jantungnya seperti berdentang keras di telinga."Astaga... aku tidur sambil meluk dia?!" batin Diajeng panik.Pelan-pelan Diajeng beringsut mundur, tapi baru saja ia bergerak, Banyu mengerang pelan dan membuka mata. Mata mereka bertemu. Sekejap. Tapi cukup untuk membuat keduanya refleks saling menjauh dengan canggung.“Ehm…” Banyu menggaruk tengkuknya sambil menghindari tatapan. “Tidurmu… nyenyak?”Diajeng langsung duduk dan membetulkan rambutnya yang berantakan. “Aku... ya. Lumayan.”Mereka berdua menunduk. Sunyi. Cangg

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 28 : Mencarimu

    Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Suasana apartemen Banyu yang mewah dan biasanya terasa hangat, malam itu justru dingin seperti es. Diajeng duduk memeluk lututnya di sofa ruang tamu, hanya mengenakan sweater longgar dan celana tidur. Rambutnya masih sedikit basah karena tadi sempat mencuci wajahnya—berharap bisa menghapus sisa-sisa air mata yang terlalu keras mengalir..Namun yang tersisa hanyalah perih.Banyu belum pulang.Diajeng menatap kosong ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan kota Jakarta yang masih menyala. Tapi semua cahaya itu tak mampu menenangkan hatinya. Yang ada justru bayangan-bayangan dari masa lalu berputar dalam pikirannya seperti film rusak yang tak mau berhenti diputar ulang.Nama Erika muncul pertama.Sahabat yang selama ini ia percayai. Tempat ia berlindung. Tempat ia mencurahkan ketakutan dan kebingungan saat hidupnya berantakan... ternyata punya wajah lain di balik topeng manisnya.Diajeng mencengkeram bantal kecil di pelukannya lebih erat. Nap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status