Keesokan harinya, Diajeng terpaksa berangkat kuliah. Dia tidak ingin membuat orang tuanya khawatir dan curiga, dia juga tidak ingin membuat Alex khawatir dan mencemaskan keadaannya.
"Sayang, kamu terlihat pucat. Kamu masih sakit?" tanya Alex dengan khawatir. Punggung tangan laki-laki itu menyentuh wajah Diajeng. Diajeng memaksakan sebuah senyum untuk kekasihnya agar tidak khawatir. "Aku gak apa-apa. Cuma kecapean, Lex." Beberapa meter dari sana, Banyu Samudra melihat semua itu. Dalam hatinya pun merasa cemas dengan tampilan Diajeng yang sedikit lebih pucat dan tertekan. Meskipun gadis itu sudah menutupinya dengan make-up tipis. Beberapa minggu pun berlalu. Pagi itu, Diajeng Dirandra berdiri di depan wastafel kamar mandi dengan tubuh gemetar. Aroma sabun cair yang biasanya ia suka kini membuat perutnya mual. Tangannya bergetar saat membasuh wajah. Napasnya berat. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi mual di perutnya tak kunjung hilang. "Aku kenapa…?" bisiknya lirih. Matanya memandang bayangan sendiri yang tampak lebih pucat dari biasanya. Saat ia keluar dari kamar mandi, Erika sudah menunggunya di ruang tamu. Gadis itu segera pergi kerumah Diajeng karena dia tidak masuk sekolah hari itu. “Kamu oke?” tanya Erika dengan suara lembut, terlalu lembut. Diajeng mengangguk pelan. “Cuma masuk angin.” Erika tersenyum, lalu memeluknya. “Kalau kamu mau cerita, aku di sini kok.” Pelukan itu hangat, tapi terasa palsu. Diajeng terlalu lelah untuk membedakan ketulusan dan kepura-puraan. Yang ia tahu, Erika satu-satunya orang yang masih di sisinya. “Terima kasih ya…” Erika menepuk punggungnya, tapi matanya menyipit diam-diam. Ia tidak akan bilang apa-apa soal itu—bukan karena loyal, tapi karena ia tahu siapa Banyu Samudra. Dan pria itu bukan tipe orang yang bisa dipermainkan tanpa resiko. --- Di kampus, Alexander berdiri di lorong, memperhatikan papan pengumuman yang tertempel rapi. Tangannya memainkan ponsel, membuka-buka chat yang tak kunjung dibalas Diajeng. Erika bilang Diajeng sedang tidak enak badan. Tapi hatinya tidak tenang. Naluri seorang cowok yang sedang jatuh cinta berkata ada yang tidak beres. Terutama karena Banyu juga terlihat berbeda. Sejak pesta itu, musuh bebuyutannya itu terlihat lebih muram… dan lebih diam. Sesuatu sedang disembunyikan. Dan Alexander benci tidak tahu apa yang terjadi. --- Sementara itu, Banyu duduk sendirian di kelas kosong, jari-jarinya mengetuk meja tanpa irama. Ia datang pagi-pagi hanya untuk menghindari semua orang. Tapi pikirannya tidak bisa diajak kompromi. Sudah dua hari gadis itu tidak masuk sekolah dan wajah Diajeng tak pernah hilang dari benaknya. Tatapan kosongnya. Tangis diam-diamnya. Banyu mengusap wajah dengan kasar. “Kenapa sih aku malah mikirin dia?” Banyu bahkan belum bisa melihat Diajeng sebagai seseorang yang pantas ia cintai. Baginya, perempuan itu masih bagian dari kehidupan Alexander. Dan Alexander? Musuhnya. Luka yang belum terbalaskan. Tapi rasa bersalah ini… Terasa seperti rantai di lehernya. Mengikat, mencekik. Pintu kelas terbuka pelan. Erika berdiri di sana. Banyu menatap gadis itu. “Ada apa?” Erika menutup pintu, lalu berjalan masuk. Ia berdiri beberapa langkah dari Banyu, menyilangkan tangan. “Aku gak akan cerita ke siapa-siapa,” katanya tanpa basa-basi. Banyu tidak menjawab. “Tapi jangan kira aku gak takut. Aku bisa saja bilang ke keluarganya Diajeng. Aku bisa aja ngadu.” Banyu menatap lurus. “Tapi kamu gak lakuin, kan?” Erika menggigit bibir. “Karena aku tahu kamu gak main-main. Dan kamu bisa lebih kejam dari yang orang kira.” Banyu menyipitkan mata. “Dan kamu juga gak bilang ke Alexander.” “Bukan urusanku. Biar Diajeng yang cerita. Biar dia yang jatuh atau selamat. Terserah.” Banyu menatap Erika tajam. “Kamu aneh. Biasanya kamu paling peduli sama Diajeng.” Erika hanya tersenyum miring. “Kadang peduli itu cuma soal timing.” Dan tanpa berkata lagi, Erika keluar dari kelas. Banyu termenung. Kalimat terakhir Erika terasa seperti teka-teki yang belum ingin ia pecahkan. --- Sore hari, Diajeng duduk di tempat tidurnya sambil memegang test pack. Tangannya gemetar. Satu garis merah mulai muncul perlahan, lalu... satu lagi. Ia menahan napas. Dunia terasa berhenti berputar. Positif. Ia menggigit bibir, menahan isak. Perutnya kembali mual. Tapi bukan karena hormon—karena ketakutan. Bagaimana kalau keluarganya tahu? Bagaimana kalau Alexander tahu? Dan... bagaimana dengan Banyu? Apakah ia bahkan peduli? --- Malam itu, Diajeng akhirnya memberanikan diri mengirim pesan ke Banyu. > Diajeng: Bisa ketemu? Jangan di kelas. Di taman belakang kampus. Besok pagi. Pesan itu dibaca. Tapi tak langsung dibalas. Banyu memejamkan mata. Ia tahu Diajeng butuh penjelasan. Butuh kejelasan. Tapi ia sendiri belum tahu apa yang bisa ia beri. Permintaan maaf? Tanggung jawab? Atau hanya… pelarian? Keesokan harinya. Taman belakang Universitas Mahadwipa masih sepi ketika Diajeng datang. Embun belum benar-benar mengering, dan udara pagi menusuk tulang seperti menyimpan dendam yang tak selesai. Diajeng melangkah pelan, mengenakan hoodie besar berwarna abu-abu tua, seolah ingin menyembunyikan tubuh kurusnya yang kini terasa lebih sensitif, lebih rapuh, dan... lebih asing baginya sendiri. Ia duduk di bangku kayu dekat pohon flamboyan, memeluk lututnya sambil menunduk. Helaan napasnya tampak di udara pagi, seperti kepulan rasa takut yang tak kunjung hilang. Langkah kaki terdengar mendekat. Banyu. Ia berhenti beberapa meter di belakang Diajeng, memandangi punggung gadis itu. Punggung yang dulu selalu tegak saat berjalan di koridor sekolah, kini tampak seperti akan runtuh hanya dengan hembusan angin. Hatinya mencelos. Tanpa berkata apa-apa, Banyu melangkah ke samping, lalu berdiri tepat di hadapannya. Tatapan mereka bertemu—hampa, lelah, bingung, dan sama-sama luka. Beberapa detik yang terasa seperti selamanya berlalu. Lalu Diajeng membuka suara. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar. Tapi tiap kata bagai palu yang menghantam dada Banyu. “Aku… hamil.” Banyu mematung. Tatapannya tetap terpaku padanya, tapi tidak ada emosi yang tergambar jelas di wajahnya. Ia menahan semuanya. Terlalu banyak untuk diproses hanya dalam sekali dengar. “Aku gak minta kamu tanggung jawab,” lanjut Diajeng. “Aku cuma mau kamu tahu.” Banyu menunduk. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Jemarinya bergetar. “Aku gak nyangka semuanya bakal jadi begini…” katanya dengan suara serak. “Aku juga enggak.” Diajeng memeluk dirinya sendiri, seperti butuh perlindungan yang tak bisa ia temukan di dunia ini. Sunyi. Hanya ada angin yang menggerakkan dedaunan. Dan kicauan burung kecil di kejauhan—suara yang biasanya memberi ketenangan, kini terdengar seperti ejekan. Ejekan untuk dua remaja yang terperangkap dalam konsekuensi dari kesalahan yang bukan sepenuhnya keinginan mereka. “Aku gak bisa cerita ke Alex,” bisik Diajeng lirih. “Dan aku juga gak bisa hidup dalam kebohongan…” Banyu perlahan mengangkat wajahnya. Ada sesuatu di matanya—entah amarah, penyesalan, atau keinginan untuk mengulang waktu. Ia tahu tak satu pun dari itu yang bisa menyelamatkan mereka. "Maaf. Maaf untuk semua yang telah aku lakjukan padamu, Diajeng." kata-kata Banyu terdengar sangat tulus. “Kamu-- mau aku nikahi kamu?” Diajeng menatapnya. Syok. Bimbang. Matanya melebar seolah belum siap untuk mendengar kalimat itu. “Aku gak minta itu,” jawabnya cepat, refleks. “Tapi aku akan lakukan,” kata Banyu mantap, walau nadanya lemah. “Aku gak bisa biarin kamu hadapi ini sendirian.” Diajeng menggeleng, air mata mulai menumpuk di ujung matanya. “Aku gak cinta kamu…” Banyu tersenyum tipis, getir. “Aku juga nggak…” Dan untuk pertama kalinya, mereka berdua tidak pura-pura. Tidak menutup-nutupi perasaan. Tidak bersembunyi di balik topeng cinta atau kebencian. Untuk pertama kalinya, kejujuran—meski pahit—terasa jauh lebih melegakan daripada semua kebohongan yang mereka jalani selama ini. Tak ada pelukan. Tak ada sentuhan. Hanya dua anak manusia yang duduk dalam diam, bersama kenyataan yang terlalu besar untuk usia mereka. ---Hari-hari setelah itu berubah menjadi kabut yang tak bisa ditembus. Diajeng tak lagi tersenyum seperti dulu. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan langkahnya lamban seperti kehilangan arah. Ia menghindari aula, menghindari kantin, bahkan menghindari cermin.Ia merasa seperti musuh bagi dirinya sendiri.Setiap kali melihat bayangannya di kaca, rasa malu dan takut langsung merayap naik seperti ular. Suara tawa teman-temannya terasa seperti ejekan. Tatapan orang-orang, bahkan yang tidak tahu apa-apa, terasa seperti tuduhan.Diajeng tahu dirinya hamil. Dua garis merah di test pack yang ia sembunyikan dalam kotak pensil tua adalah pengingat bahwa hidupnya tak akan pernah sama. Dan ia tak tahu harus bagaimana.---Di kampus, ia menghindari Alexander. Lelaki itu semakin mencarinya, mengirim pesan setiap malam, menanyakan mengapa ia berubah dingin. Tapi Diajeng tak mampu menjawab. Ia tahu suaranya akan bergetar jika bicara. Ia takut jika Alexander menyentuhnya dan tahu kenyataan pahit yang seda
Keesokan harinya, Diajeng terpaksa berangkat kuliah. Dia tidak ingin membuat orang tuanya khawatir dan curiga, dia juga tidak ingin membuat Alex khawatir dan mencemaskan keadaannya. "Sayang, kamu terlihat pucat. Kamu masih sakit?" tanya Alex dengan khawatir. Punggung tangan laki-laki itu menyentuh wajah Diajeng. Diajeng memaksakan sebuah senyum untuk kekasihnya agar tidak khawatir. "Aku gak apa-apa. Cuma kecapean, Lex." Beberapa meter dari sana, Banyu Samudra melihat semua itu. Dalam hatinya pun merasa cemas dengan tampilan Diajeng yang sedikit lebih pucat dan tertekan. Meskipun gadis itu sudah menutupinya dengan make-up tipis. Beberapa minggu pun berlalu. Pagi itu, Diajeng Dirandra berdiri di depan wastafel kamar mandi dengan tubuh gemetar. Aroma sabun cair yang biasanya ia suka kini membuat perutnya mual. Tangannya bergetar saat membasuh wajah. Napasnya berat. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi mual di perutnya tak kunjung hilang. "Aku kenapa…?" bisiknya
"Aku benci kamu." Itu adalah kalimat terakhir yang keluar dari bibir Diajeng sebelum bibir lembut Banyu membungkam bibir merah gadis itu dengan ciuman panas dari laki-laki tersebut. Tidak ada kalimat lain yang terucap selain suara desahan dari kedua manusia itu dalam kedapnya kamar tersebut. Sementara Alexander di luar sana mencari kekasihnya seperti orang gila. Apalagi ponsel Diajeng tidak dapat di hubungi. Alexander mendapati rencananya gagal karena menemukan Vanessa tak sadarkan diri dan Banyu menghilang. Di tambah lagi di tidak menemukan Diajeng. Padahal dia ingin menemui kekasihnya tersebut untuk minta maaf dan memperbaiki hubungan mereka. Laki-laki tampan dengan wajah perpaduan Indo-Eropa tersebut benar-benar kesal. ---- Sinar matahari masuk dari celah tirai, menyinari dua tubuh yang terbaring di atas kasur hotel. Diajeng membuka mata dengan pelan. Sakit kepala, mual, dan nyeri menjalar di sekujur tubuhnya. Saat ia melihat sekeliling dan sadar... ia telanjang. Tubu
Suasana pesta para mahasiswa Universitas Mahadwipa di rooftop hotel malam itu meriah. Musik berdentum, lampu disko berputar menciptakan kilauan warna-warni di langit malam, dan minuman mengalir seolah tak ada hari esok. semua orang larut dalam euforia malam kebebasan mereka—malam di mana aturan ditanggalkan, dan semua topeng bisa diturunkan. Dari arah bar, sorotan mata mulai mengarah pada satu titik. Diajeng Dirandra. Ia berdiri sendirian, memandangi lampu-lampu kota yang berkelap-kelip dari ketinggian. Gaun merah marun selutut dengan potongan terbuka di bagian punggung itu membalut tubuh ramping dan proporsionalnya seperti dibuat khusus untuknya. Kain satin yang lembut mengalir mengikuti lekuk tubuhnya, memperlihatkan pinggang mungil dan kaki jenjang yang terpoles sempurna. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai ikal, menambah kesan feminin yang tak terelakkan. Bibirnya yang dilapisi lipstik burgundy tampak mengundang, dengan kilau samar saat terkena cahaya. Mata Diajeng yang dih
Aula Univeesitas Mahadwipa berubah menjadi lautan sorak-sorai. Lampu sorot menari di langit-langit, musik menggelegar, dan denting suara tawa para siswa mengisi udara. Tapi di sudut aula, di balik tirai belakang panggung, suasana berbeda. Alexander Benjamin berdiri dengan kedua tangan di saku celana. Tatapannya tajam, tertuju pada seorang gadis berambut pirang bergelombang yang sedang merapikan make-up. “Jangan lupa peranmu malam ini, Vanessa,” bisik Alexander sambil menyelipkan amplop kecil ke tas tangan si gadis. “Pastikan Banyu... kehilangan kendali. Dia harus kelihatan seperti monster di mata semua orang.” Vanessa mengangguk, tersenyum menggoda. “Tenang. Aku tahu cara menjerat pria cuek sepertinya.” Alexander berbalik. Bibirnya terangkat sinis. “Game dimulai, Banyu Samudra.” Sementara itu, di ruang peralatan pentas, Diajeng Dirandra sibuk menata perlengkapan lomba fashion show. Kardus berisi aksesoris dan kabel-kabel berserakan di sekelilingnya. Keringat menempel di pe
Langit pagi itu tampak kelabu, seolah memberi tanda bahwa hari ini bukan hari biasa. Universitas Mahadwipa tampak ramai seperti biasa, tapi aura ketegangan di antara dua murid unggulannya hampir bisa dirasakan siapa pun yang lewat di koridor lantai dua. Banyu Samudra berjalan dengan langkah tenang, rapi, dan dingin. Seragamnya licin, rambutnya disisir ke belakang, dan tatapannya setajam belati. Semua siswa tahu, meskipun dia jarang bicara, sekali bicara, efeknya dalam. Laki-laki itu entah mengapa selalu terlihat misterius dan mematikan dalam diamnya, membuat tidak ada satu orang pun yang berani mendekatinya. Di ujung koridor, suara tawa meledak. Alexander Benjamin baru saja datang. Rambutnya agak acak-acakan, pakaiannya casual dan senyum liciknya tak pernah absen. Di sekelilingnya ada dua-tiga temanya, selalu tertawa atas apa pun yang dia ucapkan—entah karena lucu, atau karena mereka takut jadi target. Seperti dua kutub magnet yang saling menolak, Banyu dan Alexander tak pernah