"Aku benci kamu."
Itu adalah kalimat terakhir yang keluar dari bibir Diajeng sebelum bibir lembut Banyu membungkam bibir merah gadis itu dengan ciuman panas dari laki-laki tersebut. Tidak ada kalimat lain yang terucap selain suara desahan dari kedua manusia itu dalam kedapnya kamar tersebut. Sementara Alexander di luar sana mencari kekasihnya seperti orang gila. Apalagi ponsel Diajeng tidak dapat di hubungi. Alexander mendapati rencananya gagal karena menemukan Vanessa tak sadarkan diri dan Banyu menghilang. Di tambah lagi di tidak menemukan Diajeng. Padahal dia ingin menemui kekasihnya tersebut untuk minta maaf dan memperbaiki hubungan mereka. Laki-laki tampan dengan wajah perpaduan Indo-Eropa tersebut benar-benar kesal. ---- Sinar matahari masuk dari celah tirai, menyinari dua tubuh yang terbaring di atas kasur hotel. Diajeng membuka mata dengan pelan. Sakit kepala, mual, dan nyeri menjalar di sekujur tubuhnya. Saat ia melihat sekeliling dan sadar... ia telanjang. Tubuh Banyu berada di sampingnya, setengah tertutup selimut. Diajeng menutup mulutnya sendiri, berusaha tidak menjerit. Ia bangkit pelan, menarik selimut menutupi tubuhnya. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Apa yang terjadi semalam...? Pintu kamar diketuk seseorang dari luar. Dengan tertatih Diajeng memunguti pakaiannya dan segera memakainya. Ia buru-buru membuka puntu yang masih di ketuk oleh seseorang. Pintupun terbuka pelan. Sosok perempuan berdiri di sana. “Erik?!” Diajeng membeku. Erika—sahabatnya sejak SMP—menatap Diajeng berdua dengan mata lebar. Tampilan Diajeng sangat berantakan. Matanyapun segera menerobos melewati punggung temannya tersebut yang masih berdiri mematung. Di dalam sana nampak Banyu Samudra tengah tertidur lelap dengan bertelanjang dada dan hanya menggunakan selimut untuk menutupi sepaaruh tubuhnya. Wajah Erika shock, tangannya gemetar. Tanpa sepatah kata, Erika menutup pintu dan pergi. Langkah kakinya tergesa-gesa. Diajeng menutup wajahnya. “Ya Tuhan...” Ia bahkan tak tahu lagi siapa yang ia harus salahkan. Dirinya? Banyu? Vanessa? Atau orang yang mempermainkan semua ini dari awal? Namun satu hal yang pasti: hidup mereka bertiga takkan pernah sama lagi sejak malam itu. ----- Banyu Samudra duduk di balkon apartemennya yang sepi. Angin pagi meniup pelan rambutnya yang berantakan, sisa dari malam yang tak seharusnya terjadi. Matanya menatap kosong ke arah langit abu-abu, seperti pikirannya yang keruh. Wajah Diajeng terus menghantui ingatannya—wajah yang tampak rapuh, terluka, dan ketakutan saat ia terbangun. Saat gadis itu menatapnya, tubuhnya menggigil sambil menatap benci ke arahnya. Tak ada teriakan, tak ada amarah, hanya air mata dan diam yang menampar Banyu lebih keras dari pukulan manapun. Ia menghela napas panjang. “Kenapa jadi begini…?” Rencananya sederhana—hancurkan Alexander Benjamin seperti laki-laki itu menghancurkan Vanessa. Buat dia merasakan kehilangan yang sama. Tapi semuanya berantakan. Cowok bayaran yang ia siapkan tak datang. Vanessa, dengan obat bius dan niat busuknya, malah menjebaknya dalam kondisi yang membuat Banyu sendiri tak terkendali. Dan sekarang? Sekarang, Diajeng-lah yang terluka. Banyu memijat pelipisnya. Bukan karena ia peduli—begitu pikirnya—tapi karena semua ini tak berjalan sesuai kehendaknya. Alexander seharusnya hancur. Tapi kenapa justru ia yang merasa hampa? Bencinya pada Alex masih menyala. Tapi rasa bersalah pada Diajeng… membuat dadanya berat. Dan yang membuat Banyu resah adalah dia selalu teringat wajah cantik Diajeng saat berada dalam kungkungannya. Dia juga masih bisa merasakan wangi dan halusnya tubuh gadis itu. "Aghrrr! Aku bisa gila!" Banyu mengacak rambut frustasi. Dan di detik berikutnya dia kembali teringat akan noda merah yang ada di sprei hotel semalam, bukti jika Diajeng baru melakukannya pertama kali dengan dirinya. --- Di sisi lain kota, Diajeng Dirandra berdiri mematung di depan cermin kamarnya. Mata sembab, rambut kusut, dan bibir pecah-pecah. Gaun pesta semalam sudah ia buang jauh-jauh. Setiap sentuhan kainnya di kulit membuatnya ingin muntah. Ia menyentuh perutnya dengan gemetar. Belum terlambat… kan? Air mata mengalir lagi. Ia menangis dalam diam—lagi dan lagi—karena suara hatinya terus menyalahkan dirinya sendiri. “Aku… aku pengkhianat...” Wajah Alexander terbayang jelas di benaknya. Tatapan lembut, senyuman hangat saat menjemputnya sepulang sekolah. Pelukan hangat saat ia menangis karena nilai jelek. Semua kenangan itu terasa seperti luka sekarang. Diajeng jatuh terduduk di lantai. Ia tak tahu siapa yang harus ia benci. Banyu? Dirinya sendiri? Vanessa? Atau Alexander yang diam-diam menyimpan sisi gelap dan tega mempermainkan cinta seseorang seperti Vanessa dulu? Tapi satu hal yang pasti: ia masih mencintai Alexander. Meski perbuatannya malam itu… tak akan pernah bisa dimaafkan. --- Erika menatap Diajeng dengan pandangan tajam, kedua tangannya menyilang di dada. Mereka duduk di bangku taman belakang sekolah, tempat biasa mereka curhat tentang segalanya. Tapi kali ini, suasananya mencekam. “Aku liat, Jeng. Aku gak mimpi. Kamu sama Banyu, tadi pagi...” suara Erika nyaris berbisik, tapi penuh tekanan. Diajeng menunduk, bibirnya gemetar. “Aku gak sadar, Rika… aku… aku gak ngerti… aku dikasih minuman dan—” “Minuman? Kamu yakin itu cuma karena minuman?” suara Erika meninggi. “Aku gak mau, Rika. Tapi tubuhku… aku gak bisa nolak…” Hening panjang. Erika menatap sahabatnya dengan campuran marah dan iba. “Alex bakal hancur kalau dia tahu, Jeng. Dia cinta banget sama kamu. Kamu tau kan?” Air mata Diajeng jatuh lagi. “Aku tau… aku tau banget…” --- Alexander Benjamin berdiri di depan papan pengumuman kampus, membaca daftar kegiatan evaluasi pasca-acara. Ia tampak biasa saja, menyapa beberapa temannya dan melambaikan tangan. Tapi matanya menyapu cepat satu nama yang belum juga muncul sejak tadi pagi: Diajeng. Gadis itu belum masuk kaliah. Bahkan tak membalas pesan-pesannya. Ia sempat menelepon Erika, tapi jawaban gadis itu hanya singkat dan menggantung: “Diajeng butuh waktu.” Alexander mengerutkan dahi. “Apa maksudnya?” Pikirannya kembali pada Banyu. Rival lamanya. Sejak pesta semalam, entah kenapa perasaan tak nyaman terus membayangi dirinya. “Ada yang aneh,” gumamnya. Dan biasanya, ketika Banyu terlibat… semuanya memang selalu berakhir kacau. --- Sementara itu, Banyu kembali ke kampus. Ia tahu semua mata akan memandangnya sinis—terutama dari teman-teman dekat Diajeng. Tapi ia tak peduli. Yang ia pedulikan hanya satu hal: memastikan Diajeng tidak hancur karena perbuatannya. Saat istirahat, ia berdiri di depan klinik kesehatan milik kampus, tempat Diajeng biasa duduk jika ingin menenangkan diri. Tapi ruangan itu kosong. Kemudian, langkah kaki kecil terdengar dari arah lorong. Erika. Banyu menatapnya. Erika berhenti satu meter darinya, menatap tajam. “Kamu bajingan,” ucap Erika pelan tapi jelas. “Apa kamu senang sekarang?” Banyu menghela napas. “Aku gak rencana buat itu terjadi...” “Oh ya? Jadi kamu cuma ‘kebetulan’ masuk kamar yang sama, ‘kebetulan’ ketemu Ajeng, dan ‘kebetulan’ bikin dia menangis sepanjang malam?” Banyu menunduk. “Kalau kamu punya sedikit harga diri, kamu harusnya menjauh,” bisik Erika sebelum berjalan pergi. Tapi justru itulah masalahnya. Banyu tahu ia salah. Tapi ia juga tahu… semakin ia mencoba menjauh, semakin hatinya… menolak pergi. --- Sore hari. Diajeng duduk di balkon kamarnya. Matanya masih merah, tapi pikirannya mulai lebih jernih. Ia memutar ulang pesan suara dari Alexander. > “Sayang, kamu kenapa nggak balas chat? Aku khawatir banget... Kabarin aku ya. Aku tunggu.” Hatinya mencelos. “Maaf, Alex…” bisiknya lirih. Ia menyentuh ponselnya, hendak membalas, tapi tangannya berhenti di udara. Ia tak sanggup berbohong. Tapi juga tak sanggup berkata jujur. Dan jauh di seberang kota, Banyu duduk di atas motornya, menatap senja yang mulai meredup. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa… kalah. Bukan oleh Alexander. Tapi, oleh perasaan bersalahnya sendiri. --- [Aroma kopi arabika memenuhi ruangan kafe kecil di sudut kota. Erika duduk di kursi dekat jendela, menunggu seseorang dengan wajah penuh kesabaran—atau lebih tepatnya, penuh perhitungan. Tangan halusnya memainkan sedotan plastik sambil sesekali melirik jam tangan mewah yang baru saja ia beli dengan sisa uang tabungannya.Tak lama kemudian, seorang pria tinggi berjaket denim memasuki kafe. Rambut hitamnya sedikit berantakan, tapi karisma alaminya tetap memancar. Alexander Benjamin.Alex menarik kursi dan duduk di hadapan Erika. “Kamu kelihatan serius banget. Ada apa?”"Aku lagi mikirin cara kita deketin Diajeng," jawab Erika seraya menatap pria pujannya. “Dan kalau dia nggak tertarik sama aku?”Erika menyeringai. “Tenang. Di situ aku yang main peran. Aku sahabatnya. Aku tahu semua pintu yang bisa kita buka. Percayakan sisanya ke aku.”Tatapan mereka bertemu. Dan di titik itulah, dosa pertama mereka dimulai—sebuah rencana yang kelak akan menghancurkan lebih banyak hati daripada yang mer
Mobil sedan hitam menggelinding mulus menyusuri jalan kota yang mulai diterangi lampu-lampu senja. Di dalamnya, keheningan menggantung seperti selimut tipis—tidak canggung, tapi… penuh degup yang disembunyikan.Diajeng melirik ke arah Banyu yang menyetir dengan satu tangan, tangan satunya bertumpu santai di kemudi. Tuxedo hitam itu membuatnya terlihat terlalu sempurna—pria yang tadinya ia benci, kini terlihat seperti tokoh utama dalam mimpi romantis siapa pun.“Kamu yakin gak salah arah?” tanya Diajeng pelan, mencoba mencairkan suasana.Banyu menoleh sebentar, tersenyum. “Tenang. Aku sudah hafal setiap jalan ke tempat yang akan jadi kenangan terindah kita malam ini.”Diajeng mengerjap pelan. Kalimat itu membuat pipinya sedikit hangat.Tak lama, mobil berbelok masuk ke sebuah kawasan elite. Di ujung jalan berlampu temaram, berdiri sebuah restoran bergaya klasik Eropa, dengan taman kecil di sisi kanan dan lampu-lampu gantung di terasnya. Ada suara lembut piano yang terdengar samar dari
Lampu bar berwarna kuning redup memantul di meja kaca yang basah oleh tetesan alkohol. Aroma vodka dan cerutu bercampur jadi satu, memenuhi udara malam yang pengap.Alexander Benjamin duduk di sudut VIP, kancing atas kemejanya terbuka. Wajahnya tampan tapi kusut, dengan mata merah dan rahang yang mengeras menahan amarah.Di depannya, tiga gelas whiskey sudah kosong. Gelas keempat kini ia genggam erat, jari-jarinya mencengkeram kaca seolah ingin menghancurkannya."Diajeng..." namanya terucap pelan, nyaris seperti geraman.Matanya menatap kosong ke arah lampu gantung bar, tapi pikirannya tak bisa lepas dari bayangan gadis itu. Senyumnya. Suaranya. Dan bayangan yang paling menusuk: Diajeng dalam pelukan Banyu.Alexander mendengus kasar, lalu meneguk whiskey itu sampai habis dalam satu tarikan. Cairan panas membakar tenggorokannya, tapi rasa perih di dadanya jauh lebih menyakitkan."Kenapa, Jeng...? Kenapa kamu harus jatuh ke pelukan dia?"Alex menunduk, menatap layar ponselnya. Foto yang
Apartemen Erika yang biasanya rapi kini tampak berantakan. Bantal berserakan di lantai, dua cangkir kopi yang belum habis tertinggal di meja, dan setumpuk pakaian bersih belum sempat dilipat.Erika mondar-mandir di ruang tamu dengan napas memburu, matanya memerah karena kurang tidur dan terlalu banyak emosi yang dipendam."Kenapa dia bisa sekuat itu, hah?!" bentaknya ke udara, lalu melempar bantal ke sofa.Gadis itu mengacak-acak rambutnya sendiri, frustasi. Ingatan tentang tatapan Diajeng semalam kembali menghantuinya—tatapan tajam penuh kebencian dan luka."Aku tahu semua, Rik. Aku lihat kalian."Kalimat itu terus terngiang di telinganya, menampar rasa aman yang selama ini ia bangun dengan kebohongan."Seharusnya dia lemah… seharusnya dia hancur!" gumam Erika, suaranya seperti racun.Dia meraih laptopnya dengan kasar, membukanya dan membuka folder tersembunyi berisi cuplikan-cuplikan dari malam pesta itu. Erika memutar video pendek saat Diajeng tampak memasuki kamar hotel sendirian.
Mentari siang mulai merambat, menyusup malu-malu lewat tirai yang setengah terbuka. Di atas ranjang, dua insan yang semalam diliputi badai emosi kini masih terbaring dalam diam.Tapi, bukan diam yang dingin. Ini diam yang… hangat. Menenangkan.Diajeng membuka mata lebih dulu. Cahaya tipis dari jendela menyentuh wajahnya. Ia mengedip pelan—dan baru sadar kepalanya masih bersandar di dada Banyu, yang kini terlelap. Tangan pria itu masih memeluknya lembut.Deg.Deg.Deg.Jantungnya seperti berdentang keras di telinga."Astaga... aku tidur sambil meluk dia?!" batin Diajeng panik.Pelan-pelan Diajeng beringsut mundur, tapi baru saja ia bergerak, Banyu mengerang pelan dan membuka mata. Mata mereka bertemu. Sekejap. Tapi cukup untuk membuat keduanya refleks saling menjauh dengan canggung.“Ehm…” Banyu menggaruk tengkuknya sambil menghindari tatapan. “Tidurmu… nyenyak?”Diajeng langsung duduk dan membetulkan rambutnya yang berantakan. “Aku... ya. Lumayan.”Mereka berdua menunduk. Sunyi. Cangg
Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Suasana apartemen Banyu yang mewah dan biasanya terasa hangat, malam itu justru dingin seperti es. Diajeng duduk memeluk lututnya di sofa ruang tamu, hanya mengenakan sweater longgar dan celana tidur. Rambutnya masih sedikit basah karena tadi sempat mencuci wajahnya—berharap bisa menghapus sisa-sisa air mata yang terlalu keras mengalir..Namun yang tersisa hanyalah perih.Banyu belum pulang.Diajeng menatap kosong ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan kota Jakarta yang masih menyala. Tapi semua cahaya itu tak mampu menenangkan hatinya. Yang ada justru bayangan-bayangan dari masa lalu berputar dalam pikirannya seperti film rusak yang tak mau berhenti diputar ulang.Nama Erika muncul pertama.Sahabat yang selama ini ia percayai. Tempat ia berlindung. Tempat ia mencurahkan ketakutan dan kebingungan saat hidupnya berantakan... ternyata punya wajah lain di balik topeng manisnya.Diajeng mencengkeram bantal kecil di pelukannya lebih erat. Nap