Setelah dokter berlalu, Banyu masih berdiri di tempat yang sama. Diam. Kaku. Seolah tubuhnya kehilangan kendali. Dadanya sesak—terlalu sesak. Lalu perlahan, kedua lututnya melemas. Ia menjatuhkan tubuh ke bangku tunggu yang dingin, memegangi wajahnya dengan kedua tangan.Hening, lalu—Air mata itu jatuh.Panas. Deras.Membasahi sela jemari yang mengepal.Tangis Banyu pecah dalam sunyi lorong rumah sakit. Lelaki itu menunduk dalam-dalam, membiarkan perih membanjiri. Ia menggigit bibir bawahnya keras-keras, mencoba meredam suara, namun tubuhnya tetap bergetar.“Maafkan aku... Maaf... Aku tidak bisa menjagamu,” gumamnya lirih, terisak. “Maafkan aku, Nak... Ayah gagal...”Ia ingat malam-malam saat ia mengelus perut Diajeng, bercakap dengan janin mereka, berharap bayi itu tumbuh sehat, menjadi kebanggaannya. Semua harapan itu kini hancur berantakan.Di tengah isaknya, suara langkah kaki menggema dari ujung lorong."Banyu!"Suara Ibu Banyu.Disusul Papa Diajeng, Ibu Diajeng, dan beberapa an
Langit hari itu kelabu, seperti suasana hati Diajeng yang tak menentu. Aula utama Fakultas Bisnis Universitas Mahadwipa dipenuhi oleh ratusan mahasiswa. Hari ini adalah briefing besar untuk acara tahunan yang dinanti-nanti: Kunjungan Kerja Lapangan (KKL). Diajeng duduk bersama Erika dan beberapa teman sekelas. Blus longgar yang dikenakannya menyamarkan perut yang mulai sedikit membulat. Ia tampak tenang di luar, tapi kegelisahan tersembunyi di balik tatapannya yang sesekali melirik ke pintu masuk aula. “Kalau Banyu beneran datang, gosip satu kampus bisa meledak,” bisik Erika sambil menyeruput kopi dinginnya. “Dia gak bakal datang. Dia sibuk,” balas Diajeng cepat. Namun saat itu juga, pintu terbuka—dan seolah dunia mempermainkan kata-katanya, sosok tinggi dengan jas semi-formal dan wajah tenang itu melangkah masuk. Banyu Samudra. Tapi, penampilannya jauh dari mahasiswa biasa. Dengan rambut rapi, kemeja hitam, jam tangan mewah, dan aura eksekutif muda yang memancar jelas, ia terli
Alexander Benjamin memandangi bayangan Banyu dan Diajeng dari kejauhan. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras. "Gila... Diajeng benar-benar sudah jadi milik musuhku." Semua orang kampus mungkin bisa dibuat kagum dengan sosok Banyu—tampan, cerdas, kaya, dan sekarang diketahui sudah menikah diam-diam dengan mantan kekasihnya. Tapi tidak dengan Alex. Ia tahu siapa Banyu sebenarnya. Dan ia tahu, meskipun sekarang status Diajeng adalah istri sah pria itu, cinta di hati gadis itu belum sepenuhnya berpindah. "Masih ada celah... Masih ada jalan." Alex menekan layar ponselnya dan menghubungi Erika. Tak butuh waktu lama hingga sambungan tersambung. “Erika, aku butuh bantuanmu.” “Apa lagi, Alex? Kenapa pagi-pagi kamu merecokiku?” sahut Erika dari seberang, terdengar malas. “Tolong bawa Diajeng ke klinik kampus, terserah kamu pakai alasan apa. Aku tunggu di ruang konsultasi,” ucap Alex cepat. Erika diam sesaat. “Kamu punya rencana apa?” “Bukan apa-apa. Aku cuma mau bicara, tanpa
Pagi itu, langit cerah. Matahari belum terlalu terik, namun hati Diajeng terasa sebaliknya—panas dan sesak. Ia berdiri canggung di depan gerbang kampus, mengenakan cardigan tipis dan celana jeans. Di sampingnya, Banyu tampak tenang dengan setelan casualnya yang membuat aura ketampanan pria itu meningkat.“Kamu yakin mau masuk bareng aku?” tanya Diajeng pelan, menunduk sedikit agar tak bertemu dengan tatapan penuh harap milik Banyu.Banyu hanya tersenyum kecil. “Aku suamimu. Aku ingin mendampingi kamu, bukan hanya di rumah... tapi juga di manapun.” Tangannya terulur, mencoba menggenggam jemari Diajeng.Namun, Diajeng mundur setengah langkah.“Aku… belum siap, Banyu,” gumamnya. “Aku tahu kamu suami yang baik. Tapi hatiku belum bisa langsung berpindah arah. Kamu tahu siapa yang masih ada di sana…”Banyu menarik napas panjang. Ia menunduk, menyembunyikan rasa kecewanya. Tapi ia tak memaksa. Ia hanya berkata pelan, “Aku tahu. Tapi aku tetap akan ada di sini, menunggu kamu siap.”Mereka mel
Kampus Mahadwipa siang itu dipenuhi aktivitas mahasiswa. Namun suasana kantin yang semula hangat dengan tawa dan obrolan santai mendadak menegang ketika seorang pria melangkah masuk.Langkahnya tegap, sepatu kulit hitam berkilat mengetuk lantai dengan ritme mantap. Pria itu mengenakan setelan formal: kemeja putih yang masih rapi terpasang di tubuh bidangnya, jas hitam elegan tersampir di lengannya, dan dasi longgar melingkar di leher, seolah baru saja keluar dari rapat penting. Rambutnya sedikit berantakan, namun justru membuatnya terlihat semakin maskulin.Semua mata tertuju pada sosok itu.“Eh… siapa tuh? Anak baru?” bisik seorang mahasiswi.“Bukan. Kayak pernah lihat deh… Banyu? Itu Banyu, kan?” sahut yang lain tak percaya.“Mana mungkin Banyu…? Banyu kan mahasiswa sini. Kok kayak CEO?”Sementara itu, Alex yang sedang duduk santai di meja pojok bersama Erika dan Diajeng, mendongak dengan tatapan tak suka saat melihat pria itu mendekat.Banyu tak memedulikan keributan kecil itu. Tat
Di kampus... Langkah Diajeng sempat terhenti di gerbang kampus. Semua terasa begitu familiar, tapi juga asing di saat yang sama. Beberapa mahasiswa yang mengenalnya menatap penuh tanya. Mereka membatin: Bukankah Diajeng ini pacar Alex? Kok lama banget nggak kelihatan? Baru saja Diajeng menghela napas lega karena berhasil masuk area kampus tanpa gangguan berarti, sebuah suara yang sangat dikenalnya memanggil. “Diajeng!” Tubuh Diajeng menegang seketika. Jantungnya seperti ditarik turun ke perut. Perlahan ia menoleh, mendapati Alexander Benjamin berdiri di sana dengan kemeja santai, tangan menyelip di saku celana. Senyum tipis menghiasi bibir lelaki itu, tapi sorot matanya penuh tuntutan. “Alex…” gumam Diajeng, berusaha tersenyum sopan. Alex mendekat, jaraknya sengaja diperkecil. Matanya mengamati Diajeng dari ujung kepala hingga kaki. “Kamu menghilang ke mana aja, hm? Aku cari kamu ke mana-mana…” Belum sempat Diajeng menjawab, Erika datang menyusul. Gadis itu langsung merangkul l