Ingin Tau Semua

Selepas bel pulang sekolah berbunyi, semua murid menghambur keluar sekolah, begitupun Anya yang celingukan mencari sopir nya.

Sejak kaki nya terluka, ia tak memiliki alasan untuk pergi mengikuti Lana. Kedua orang tua asuhnya meminta agar Anya langsung pulang tanpa bermain dulu.

"Ck, padahal mau liat Kak Lana dulu," lirih gadis itu. "Mana sih pak Sopir. Kalau ga ada ya udah, aku cari Kak Lana aja."

Dengan senyum sumringah Anya menoleh ke sana kemari. Lana biasa jalan kaki sepulang sekolah, pasti tak sulit menemukannya dengan memperhatikan sekitar. Namun, bulannya Lana, yang dia dapati justru sosok perempuan yang malam itu bertemu dengannya dan Lana di zebracross.

Perempuan dengan rambut panjang dan lurus, wajahnya sangat cantik, dan tubuhnya gemulai feminim.

"Aneh. Padahal waktu itu Kak Lana nanya perempuan yang mirip ciri-ciri nya kayak dia, tapi pas ditanya kenal atau engga, justru bilang engga," gumam Anya, masih memperhatikan Eliyah yang berada sedikit jauh darinya.

Eliyah yang merasa diperhatikan pun berusaha menghindar dengan mengikuti beberapa orang yang hendak menyeberang di lampu merah.

"Eh, tunggu! Aku mau bicara sama kamu!" Anya sedikit berteriak, tetapi Eliyah mengabaikannya.

Dengan sekuat tenaga Anya berlari mendekat. Di perempatan itu, Anya menarik tangan Eliyah dengan nafas ngos-ngosan, tetapi gadis itu masih bisa tertawa lebar.

"Haah, untung aku bisa ketemu kamu," ujar Anya.

"Ada apa?" Eliyah berujar dengan nada dingin.

Berbeda dari wajahnya yang manis dan cantik, kalimat yang keluar dari mulutnya itu sama sekali tak berekspresi dan datar.

"Umm, kamu kenal sama Kak Lana, kan? Sebelumnya aku tau kalau nama kamu Eliyah. Kak Lana cari kamu."

"Diem! Jangan bilang sama Lana, kalo lu ketemu sama gue," ancam perempuan itu. "Lu ga tau seberapa takutnya gue sama Lana. Lana itu monster, mending lu jangan deket-deket sama dia."

"Aku tau, Riki bilang Kak Lana pernah terobsesi sama kamu, tapi Kak Lana gak sejahat itu. Dia nyari kamu, mungkin dia mau minta maaf!"

"Jangan sok tau!" Eliyah mendorong tubuh Anya. "Lu ga tau rasanya dikurung di rubanah! Gelap, sendiri, sepi! Bahkan sekalipun gue berobat ke Amerika, gue masih tetep trauma setiap kali balik ke sini, ngerti ga lu!"

Melihat setetes air mata di pipi Eliyah, membuat Anya sedikit merasa bersalah. Namun, rasa ingin tah semakin menguat dalam dirinya. "Rubanah? Dikurung? Maksud kamu apa?"

Eliyah kembali mendorong Anya hingga terjerembab, lalu menyeberang jalanan yang cukup ramai.

"Tunggu, jelasin dulu apa maksud kamu!" Anya kembali beranjak, mengejar Eliyah tanpa memperdulikan sekitar.

Sungguh ia ingin tau apa yang sebenarnya terjadi. Setahunya Lana tidak sejahat itu. Namun, kenapa semua orang terus mengatakan kalau Lana adalah monster?

Anya tak bisa berpikir lagi, dalam kepala ia hanya harus mengejar Eliyah, hanya harus bertanya apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu. "Aku pengen tau semua tentang Kak Lana."

Tin ... Tin ....

Chiiit ....

Suara rem berderit kuat sebelum menabrak tubuh seorang pemuda yang mendorong Anya dari belakang.

Anya berteriak histeris, menatap Lana yang terkapar dengan luka di lengannya. Dengan langkah yang terpincang-pincang Anya mendekat. Nyeri di lututnya kembali terasa, apalagi barusan ia berlarian mengejar Eliyah.

"Kak Lana ...!!!"

"Akh, gue gak papa," ujar pemuda itu.

Tangis Anya pecah, ia tak bisa melihat luka beret di lengan Lana yang memerah, membuat seragam putihnya berlumuran noda merah.

Anya menggeleng kasar. "Ayo, Kak ke rumah sakit dulu."

Orang-orang berkerumun melihat Anya yang memapah Lana dengan keadaan berlumuran d4rah. Luka itu tak cukup parah karena mobil yang menabrak sempat mengerem.

"Kalian ini! Menyeberang yang hati-hati!" oceh pria tua yang mengemudikan mobil itu.

"Maaf, pak," lirih Anya.

"Ayo, saya antar ke rumah sakit! Saya akan bicarakan masalah ini ke orang tua kalian!" ujar pria itu tak terima. Hampir saja ia menabrak seseorang karena kecerobohan seseorang itu sendiri.

"Terimakasih, Pak." Lana sudah tak berkomentar, ia meringis menahan perih di lengannya.

****

"Bagus Lana! Papa bangga sama kamu!" Beni bertepuk tangan bangga pada putranya.

Lana yang baru sampai di rumah malam itu, setelah berkumpul dengan geng. Ia menatap heran pada orang tuanya yang tumben sekali duduk bersama di ruang tamu.

'Bukannya khawatir liat tangan anak hampir mati, malah kelihatan seneng,' monolog Lana dalam hati.

Kila menghampiri putra sematawayangnya itu, membawanya duduk bersama di sofa. Aneh, ini situasi yang hampir tak pernah Lana rasakan sebelumnya.

"Sayang, tadi kamu nolongin Anya demi dapat perhatian dari ayahnya Anya, kan? Kamu pintar banget Sayang."

"Haa?" Lana masih sedikit bingung. "Kok Mama sama Papa bisa tau?"

"Iya, tadi Jefran berterimakasih sama kamu, dia nelepon Papa. Papa bangga sama kamu, Lana. Berkat kamu, sekarang Papa bisa makin deket sama Jefran. Kalau kayak gini, gak bakal sulit buat minta bantuan dari dia."

Lana hanya tersenyum canggung. Ia tau bahwa papanya sangat gila kerja, dia bahkan tak segan memanfaatkan orang lain demi kepentingan perusahaannya.

"Ini baru anak Papa, pewaris sejati Gramantha Group"

"Oh iya, Lana. Kamu bilang kamu mau pacaran sama Anya, kan? Kapan itu?" tanya Kila penasaran.

Lana meneguk ludah, kasar. Kenapa pula ibunya tidak lupa perkataannya hari itu. "Eum, itu Ma ... Lana masih pdkt sama Anya. Mama tau lah, banyak yang mau pacaran sama dia."

"Tapi kan kamu ganteng, Lana. Kamu mirip Papa saya muda dulu. Pasti Anya juga bakal mau sama kamu," ujar Beni dengan enteng.

Jika tidak sadar diri, Lana pasti sudah tertawa kencang dan menatap papa nya itu dengan ekspresi julid. Lana bahkan pernah berpikir apa mungkin ia bukan anak kandung Beni Karna wajah mereka yang tidak mirip.

'Dih, mana ada papa ganteng, palingan juga cuma perempuan caper sasimo itu yang bilang kayak gitu buat godain papa,' batin Lana.

"Ya udah kalau gitu, Mama selalu dukung kamu, Lana. Pokoknya kamu harus bisa pacaran si Anya itu. Dia kelihatan bod0h, kamu manfaatin aja dia."

Lana hanya mengangguk sebagai jawaban perkataan mamanya.

"Oh iya, kamu diundang Beni makan malam bersama. Kamu harus tampil ganteng biar mereka terkesan sama kamu," ujar Beni.

Lana sedikit terkejut, tetapi akhirnya mengangguk mengerti. Bagaimana pun ia harus menuruti undangan itu agar bisa semakin dekat dengan Anya. Sebuah kesempatan besar jika Papanya mengabulkan semua permintaan Lana seperti yang dijanjikan.

Beberapa menit dihabiskan Lana hanya untuk membersihkan diri dan bersiap. Ia menatap puas pantulan dirinya di cermin, mengingat janji papanya jika Lana bisa berpacaran dengan Anya.

"Permintaan gue cuma satu, dan Papa harus bisa nurutin itu kalau gue beneran pacaran sama Anya." Sebuah seringai muncul di wajah Lana. "Gue mau Eliyah balik jadi milik gue, gimanapun caranya."