Share

4. Cekcok

"Ae in itu teman kuliahku, lagipula sejak kapan kau lancang ingin menjawab panggilan dari ponsel seseorang?" 

"Kau bukan orang lain, kau suamiku. Harusnya tidak ada privasi di antara kita. Ya kalau itu temanmu, kenapa tiba-tiba wajahmu memucat?"

Tatapan yang penuh kecurigaan memperlihatkan perasaan yang tersembunyi. Bibir Yuan yang tegang dan alis yang terangkat menciptakan aura ketidakpercayaan. Hatinya berdebar keras, terjebak dalam labirin pertanyaan tanpa jawaban. Apakah ini hanya paranoid atau benar-benar ada sesuatu yang disembunyikan? Tatapan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang bisa diucapkan. 

Entah mengapa untuk kali ini ia tidak terlalu percaya dengan ucapan suaminya. Nama kontak yang terlalu asing di telinga, panggilan sepagi ini di nomor pribadinya, yang ia tahu seseorang yang menghubungi suaminya di nomor pribadinya hanyalah keluarga besarnya. Untuk teman-teman dan juga rekan kerjanya ia menggunakan ponsel lain. 

"Sudahlah, Yuan. Kau tidak perlu berpikir yang tidak-tidak, kau jangan mencurigai aku soal apa pun. Dia ini hanya temanku, teman lama saja. Lebih baik sekarang kau siapkan bajuku saja!" 

Tanpa menjawab satu patah kata pun, Yuan melakukan apa yang diminta suaminya. Menyiapkan pakaian yang akan laki-laki itu kenakan untuk ke kantor. Sungguh ia tidak tahu pemikiran ini dari mana, tapi yang jelas ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh suaminya. 

"Aku tunggu di bawah, ya."

"Hm, lain kali jangan menyentuh ponselku jika berujung pada kecurigaanmu. Aku tidak suka dicurigai kau tahu itu, kan? Kita suami istri, tapi tetap ada batasan dan juga privasi. Aku tidak akan menyentuh apa pun yang menjadi privasimu. Jadi aku harap kau melakukan apa yang aku lakukan."

Mendengar ucapan suaminya Yuan yang sempat maju dua langkah kembali memutar badan, berdiri di depan suaminya yang tengah memakai pakaian. 

"Privasi apa yang kau maksud, Mas? Apakah ada pasangan suami istri yang masih memiliki privasi? Lalu apa gunanya kita menikah?"

"Aku merasa kau selalu ingin tahu apa yang aku lakukan. Dan aku tidak suka caramu barusan. Kau hampir menjawab telepon seseorang yang sebenarnya tertuju untukku dan ingin bicara padaku. Apakah itu termasuk tindakan yang sopan?"

Yuan tak percaya dengan apa yang ia dengar. Perkara dirinya yang hampir menerima panggilan saja menjadi masalah yang besar bagi suaminya. Jika memang yang menelepon tadi hanyalah teman, untuk apa pula dirinya se paranoid ini? Reaksi yang ditunjukkan oleh Danish sungguh membuat Yuan semakin berpikir yang tidak-tidak dan menyakini ada yang suaminya sembunyikan. 

"Aku mengerti kita suami istri, tapi aku juga butuh waktu untuk diriku sendiri tanpa merasa harus selalu memberikan penjelasan."

"Oh jadi itu yang kau mau? Ya sudah, aku akan memberimu ruang dan aku membebaskanmu mulai hari ini." 

Entah apa yang merasuki diri Yuan, sebenarnya apa yang ia lakukan sekarang di luar kebiasaan wanita itu. Wanita yang selalu bertutur kata lembut dan halus itu kini berubah menjadi sedikit membangkang karena perubahan sikap yang tiba-tiba pada suaminya. Ralat, mungkin tidak terlalu tiba-tiba, sebelum Danish keluar kota pun, sebenarnya sudah ada sedikit demi sedikit perubahan di dalam sikapnya dan juga perlakuannya. Hanya saja ia mengabaikan itu. Dan untuk apa yang dilakukan Danish sekarang tentu saja Yuan tidak bisa mengabaikannya.

Yuan sudah mengatakan dari awal pernikahan dan dari dulu Danish mengetahui bahwa ia tidak menyukai privasi di dalam hubungan suami istri. Untuk apa punya privasi jika mereka saja sudah pernah menyatukan tubuh, bertukar keringat, dan juga hal-hal pribadi lainnya. 

"Jangan keluar kamar sebelum kita menyelesaikan masalah ini. Aku tidak mau kau keluar kamar dan membawa wajah masammu itu di depan kedua orang tuaku. Kau ingin mereka bertanya-tanya, ada apa dengan kita? Mau mengumbar masalah rumah tanggamu?"

Yuan hampir saja menekan gagang pintu, namun urung ia lakukan karena mendengar ucapan suaminya. Untuk kedua kalinya, ia terpaksa memutar tubuhnya menghadap sang suami yang ternyata kini sudah berdiri di dekatnya.

"Memang masalah kita ini apa sih, Mas? Kau ingin privasi dalam hubungan ini, oke aku mengabulkannya. Meskipun aku tidak suka, aku akan memberimu ruang untuk urusanmu sendiri. Sudah selesai, kan? Ayolah ini masalah sepele, kenapa harus diperpanjang? Kalau kau meminta untuk tidak menyentuh lagi ponselmu, baiklah aku tidak akan menyentuhnya lagi. Biarkan saja aku terus tumbuh dengan pemikiran yang salah. Biarkan saja aku terus berpikir yang tidak-tidak dan jangan salahkan aku jika aku terus mencurigaimu."

"Sudah aku katakan yang menghubungiku tadi teman kuliahku. Lalu apa alasanmu berpikir yang tidak-tidak dan mencurigai aku?"

Saking asik bertengkar, mereka tak sadar bahwa mereka adu argumen tepat di belakang pintu. Entah kebetulan macam apa waktu itu, saat mereka sedang adu mulut di saat bersamaan, Rafan melewati kamar mereka. Tanpa sengaja ia pun akhirnya mendengar perdebatan mereka yang cukup keras itu. Dan entah atas perintah siapa, kaki pria itu terhenti tepat di depan kamar. Tidak bermaksud untuk menguping, tapi ada sesuatu di dalam hatinya yang menggelitik dan ingin tahu permasalahan apa yang tengah mereka berdebatkan. 

"Kau sepertinya lupa bahwa kontak temanmu bukan di ponsel pribadimu. Ini sudah siang, aku anggap masalah ini selesai."

Tanpa aba-aba, Yuan dengan gerakan secepat kilat membuka benda persegi yang ada di dekatnya itu dan saat pintu terbuka, betapa kagetnya ia melihat ada sosok kakak iparnya yang tengah berdiri mematung tepat di depan kamarnya. 

"Aku harap kau tidak sedang menguping," kata Danish entah menduga atau menuduh. 

"Aku tidak perlu menguping. Apakah kalian tidak sadar kalian adu mulut di belakang pintu. Siapa pun orang yang melewati kamar kalian, pasti akan mendengar perdebatan kalian. Jangan biasakan memulai pagi dengan sebuah pertengkaran."

"Aku tidak butuh nasihatmu!" jawab Danish buang muka. 

Memang hubungan kakak beradik ini seringkali tidak akur, entah mengapa mereka sejak kecil hingga sekarang sering terlibat pertengkaran yang terkadang mampu membuat mereka tak saling tegur sapa hingga beberapa hari. Itu adalah hal biasa bagi mereka dan kedua orang tuanya. 

"Kalau kau tidak butuh nasihatku, seharusnya kau bisa memperlakukan wanita dengan baik. Nada bicaramu tadi terlalu tinggi hingga terdengar jelas dari luar. Pria sejati tidak akan memperlakukan wanita seperti itu, terlebih lagi dia adalah istrimu." Rafan maju beberapa langkah dan mengibaskan tangannya di pundak Danish, seakan pakaian yang rapi itu banyak noda. 

"Pria sejati juga tidak sepertimu. Mana ada pria sejati ikut campur dalam urusan rumah tangga orang terutama adiknya sendiri?"

"Aku hanya mengingatkanmu, tidak bermaksud ikut campur. Tapi, jika kau melakukan kekerasan, tentu saja aku akan masuk tanpa permisi. Wanita tidak layak diperlakukan seperti kau memperlakukan Yuan tadi. Aku memang laki-laki brengsek, tapi se brengsek-brengseknya aku, aku tidak pernah sekalipun menaikkan nada bicara di depan wanita." Rafan mengalihkan pandangannya ke arah Yuan. "Apalagi yang kau lakukan di sini? Turunlah, adikku sedang marah. Kau ladeni dia, dia akan semakin marah."

Huft. 

Yuan bernapas lega. Akhirnya ada yang membantunya untuk selesai dari perdebatan yang tak berguna ini. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status