"Ae in itu teman kuliahku, lagipula sejak kapan kau lancang ingin menjawab panggilan dari ponsel seseorang?"
"Kau bukan orang lain, kau suamiku. Harusnya tidak ada privasi di antara kita. Ya kalau itu temanmu, kenapa tiba-tiba wajahmu memucat?"
Tatapan yang penuh kecurigaan memperlihatkan perasaan yang tersembunyi. Bibir Yuan yang tegang dan alis yang terangkat menciptakan aura ketidakpercayaan. Hatinya berdebar keras, terjebak dalam labirin pertanyaan tanpa jawaban. Apakah ini hanya paranoid atau benar-benar ada sesuatu yang disembunyikan? Tatapan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang bisa diucapkan.
Entah mengapa untuk kali ini ia tidak terlalu percaya dengan ucapan suaminya. Nama kontak yang terlalu asing di telinga, panggilan sepagi ini di nomor pribadinya, yang ia tahu seseorang yang menghubungi suaminya di nomor pribadinya hanyalah keluarga besarnya. Untuk teman-teman dan juga rekan kerjanya ia menggunakan ponsel lain.
"Sudahlah, Yuan. Kau tidak perlu berpikir yang tidak-tidak, kau jangan mencurigai aku soal apa pun. Dia ini hanya temanku, teman lama saja. Lebih baik sekarang kau siapkan bajuku saja!"
Tanpa menjawab satu patah kata pun, Yuan melakukan apa yang diminta suaminya. Menyiapkan pakaian yang akan laki-laki itu kenakan untuk ke kantor. Sungguh ia tidak tahu pemikiran ini dari mana, tapi yang jelas ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh suaminya.
"Aku tunggu di bawah, ya."
"Hm, lain kali jangan menyentuh ponselku jika berujung pada kecurigaanmu. Aku tidak suka dicurigai kau tahu itu, kan? Kita suami istri, tapi tetap ada batasan dan juga privasi. Aku tidak akan menyentuh apa pun yang menjadi privasimu. Jadi aku harap kau melakukan apa yang aku lakukan."
Mendengar ucapan suaminya Yuan yang sempat maju dua langkah kembali memutar badan, berdiri di depan suaminya yang tengah memakai pakaian.
"Privasi apa yang kau maksud, Mas? Apakah ada pasangan suami istri yang masih memiliki privasi? Lalu apa gunanya kita menikah?"
"Aku merasa kau selalu ingin tahu apa yang aku lakukan. Dan aku tidak suka caramu barusan. Kau hampir menjawab telepon seseorang yang sebenarnya tertuju untukku dan ingin bicara padaku. Apakah itu termasuk tindakan yang sopan?"
Yuan tak percaya dengan apa yang ia dengar. Perkara dirinya yang hampir menerima panggilan saja menjadi masalah yang besar bagi suaminya. Jika memang yang menelepon tadi hanyalah teman, untuk apa pula dirinya se paranoid ini? Reaksi yang ditunjukkan oleh Danish sungguh membuat Yuan semakin berpikir yang tidak-tidak dan menyakini ada yang suaminya sembunyikan.
"Aku mengerti kita suami istri, tapi aku juga butuh waktu untuk diriku sendiri tanpa merasa harus selalu memberikan penjelasan."
"Oh jadi itu yang kau mau? Ya sudah, aku akan memberimu ruang dan aku membebaskanmu mulai hari ini."
Entah apa yang merasuki diri Yuan, sebenarnya apa yang ia lakukan sekarang di luar kebiasaan wanita itu. Wanita yang selalu bertutur kata lembut dan halus itu kini berubah menjadi sedikit membangkang karena perubahan sikap yang tiba-tiba pada suaminya. Ralat, mungkin tidak terlalu tiba-tiba, sebelum Danish keluar kota pun, sebenarnya sudah ada sedikit demi sedikit perubahan di dalam sikapnya dan juga perlakuannya. Hanya saja ia mengabaikan itu. Dan untuk apa yang dilakukan Danish sekarang tentu saja Yuan tidak bisa mengabaikannya.
Yuan sudah mengatakan dari awal pernikahan dan dari dulu Danish mengetahui bahwa ia tidak menyukai privasi di dalam hubungan suami istri. Untuk apa punya privasi jika mereka saja sudah pernah menyatukan tubuh, bertukar keringat, dan juga hal-hal pribadi lainnya.
"Jangan keluar kamar sebelum kita menyelesaikan masalah ini. Aku tidak mau kau keluar kamar dan membawa wajah masammu itu di depan kedua orang tuaku. Kau ingin mereka bertanya-tanya, ada apa dengan kita? Mau mengumbar masalah rumah tanggamu?"
Yuan hampir saja menekan gagang pintu, namun urung ia lakukan karena mendengar ucapan suaminya. Untuk kedua kalinya, ia terpaksa memutar tubuhnya menghadap sang suami yang ternyata kini sudah berdiri di dekatnya.
"Memang masalah kita ini apa sih, Mas? Kau ingin privasi dalam hubungan ini, oke aku mengabulkannya. Meskipun aku tidak suka, aku akan memberimu ruang untuk urusanmu sendiri. Sudah selesai, kan? Ayolah ini masalah sepele, kenapa harus diperpanjang? Kalau kau meminta untuk tidak menyentuh lagi ponselmu, baiklah aku tidak akan menyentuhnya lagi. Biarkan saja aku terus tumbuh dengan pemikiran yang salah. Biarkan saja aku terus berpikir yang tidak-tidak dan jangan salahkan aku jika aku terus mencurigaimu."
"Sudah aku katakan yang menghubungiku tadi teman kuliahku. Lalu apa alasanmu berpikir yang tidak-tidak dan mencurigai aku?"
Saking asik bertengkar, mereka tak sadar bahwa mereka adu argumen tepat di belakang pintu. Entah kebetulan macam apa waktu itu, saat mereka sedang adu mulut di saat bersamaan, Rafan melewati kamar mereka. Tanpa sengaja ia pun akhirnya mendengar perdebatan mereka yang cukup keras itu. Dan entah atas perintah siapa, kaki pria itu terhenti tepat di depan kamar. Tidak bermaksud untuk menguping, tapi ada sesuatu di dalam hatinya yang menggelitik dan ingin tahu permasalahan apa yang tengah mereka berdebatkan.
"Kau sepertinya lupa bahwa kontak temanmu bukan di ponsel pribadimu. Ini sudah siang, aku anggap masalah ini selesai."
Tanpa aba-aba, Yuan dengan gerakan secepat kilat membuka benda persegi yang ada di dekatnya itu dan saat pintu terbuka, betapa kagetnya ia melihat ada sosok kakak iparnya yang tengah berdiri mematung tepat di depan kamarnya.
"Aku harap kau tidak sedang menguping," kata Danish entah menduga atau menuduh.
"Aku tidak perlu menguping. Apakah kalian tidak sadar kalian adu mulut di belakang pintu. Siapa pun orang yang melewati kamar kalian, pasti akan mendengar perdebatan kalian. Jangan biasakan memulai pagi dengan sebuah pertengkaran."
"Aku tidak butuh nasihatmu!" jawab Danish buang muka.
Memang hubungan kakak beradik ini seringkali tidak akur, entah mengapa mereka sejak kecil hingga sekarang sering terlibat pertengkaran yang terkadang mampu membuat mereka tak saling tegur sapa hingga beberapa hari. Itu adalah hal biasa bagi mereka dan kedua orang tuanya.
"Kalau kau tidak butuh nasihatku, seharusnya kau bisa memperlakukan wanita dengan baik. Nada bicaramu tadi terlalu tinggi hingga terdengar jelas dari luar. Pria sejati tidak akan memperlakukan wanita seperti itu, terlebih lagi dia adalah istrimu." Rafan maju beberapa langkah dan mengibaskan tangannya di pundak Danish, seakan pakaian yang rapi itu banyak noda.
"Pria sejati juga tidak sepertimu. Mana ada pria sejati ikut campur dalam urusan rumah tangga orang terutama adiknya sendiri?"
"Aku hanya mengingatkanmu, tidak bermaksud ikut campur. Tapi, jika kau melakukan kekerasan, tentu saja aku akan masuk tanpa permisi. Wanita tidak layak diperlakukan seperti kau memperlakukan Yuan tadi. Aku memang laki-laki brengsek, tapi se brengsek-brengseknya aku, aku tidak pernah sekalipun menaikkan nada bicara di depan wanita." Rafan mengalihkan pandangannya ke arah Yuan. "Apalagi yang kau lakukan di sini? Turunlah, adikku sedang marah. Kau ladeni dia, dia akan semakin marah."
Huft.
Yuan bernapas lega. Akhirnya ada yang membantunya untuk selesai dari perdebatan yang tak berguna ini.
Yuan sempat mengira bahwa pertengkaran yang ia lakukan pagi itu adalah pertengkaran yang terakhir. Namun siapa yang mengira, justru pertengkaran pagi itu adalah pertengkaran yang membawa masalah-masalah lain dalam rumah tangganya.Kecurigaan yang memenuhi kepalanya berusaha untuk diabaikan, karena ia sadar semakin memikirkan itu, ia sama saja menyakiti diri sendiri. Tapi sayangnya, sikap abainya itu justru membuat tingkah Danish semakin menjadi, semakin mencurigakan, semakin berubah, dan semakin menunjukkan sifat aslinya.Pertengkaran yang ia kira sebagai bumbu tambahan dalam rumah tangga. Kini nyatanya menjadi bumbu utama dalam rumah tangganya. Selalau saja ada pertengkaran kecil yang menjadi teman dalam kamar mereka."Berhenti menuang air panas di cangkir yang penuh."Suara bariton yang berjarak dekat dengannya membuatnya terkejut. Ia menunduk dan membola melihat air yang sudah tumpah ruah ke mana-mana. Beruntung air itu tak mengenai ujung kulitnya."Astaga, aku tidak sadar kalau can
Tanpa permisi Rafan masuk ke dalam dan memberikan bogeman pada adik kandungnya. Ia benci kekerasan, ia tak suka baku hantam, tapi ia lebih tak suka jika ada yang menyakiti wanita. Tak peduli siapa yang melakukan dan wanita mana menjadi korban. Kedua orang tuanya adalah orang yang baik, keharmonisan rumah tangga mereka dan juga didikan dari ayahnya harusnya sudah cukup menjadi bekal bagaimana cara memperlakukan wanita terutama istrinya. Ibunya pun selalu memberikan kasih sayang yang berlebih pada kedua anaknya, tapi entah kenapa sikap Danish ini berbanding terbalik dengan sang kakak. Rafan dikenal dengan ketegasan dan kejam saat berada di lingkungan kantornya. Tapi bertingkah sebaliknya saat berada di rumah. Sementara Danish dikenal sebagai pribadi yang humble, humoris, dan hangat. Namun, nyatanya saat di rumah ia berubah menjadi monster bagi sang istri. "Tidak bisakah kau melawan saat mendapat perlakuan kasar seperti itu? Kau berani padaku, kenapa kau t
Yuan yang sedang menikmati coklat hangat itu seketika tersedak ketika mendengar suara bariton dari sang ayah mertua. Ia sedikit salah tingkah saat menatap Rafan yang juga terlihat kikuk dan canggung. "Ke mana Danish?""Aku di sini, Yah."Sahutan dari arah tangga membuat Yuan yang hendak berucap kembali terdiam. Seperti biasa, sepasang suami istri itu akan terlihat biasa saja saat berada di depan kedua orang tuanya. Tak peduli mereka sesaat sebelumnya terlibat pertengkaran. Hanya Rafan yang melihat apa yang mereka sembunyikan. Entah dirinya yang memang perasa atau dirinya satu-satunya yang mengetahui bahwa keduanya sedang tak baik-baik saja. Malam itu suasana kantor begitu ramai, penuh sesak oleh orang-orang yang berkedudukan penting dalam perusahaan itu dan ada beberapa kolega besar yang turut hadir memeriahkan acara tersebut. Dengan berjalan anggun dan tangan yang terpaut di lengan Danish, Yuan menampilkan senyum keramahan pada setiap manusia yang ia lewati. Nampak beberapa dari m
Tidak mau berpikir yang bukan-bukan membuat Yuan melanjutkan langkahnya. Insiden tadi membuatnya lupa akan sesuatu yang hatusnya ia cari. Ia kembali berkumpul bersama suaminya tanpa bertanya alasan apa yang membuat ia begitu lama di kamar mandi, urusan penting apa yang membuat ia meninggalkan pesta. "Kenapa aromamu seperti bercampur dengan aroma wanita?" "Kau pikir di pesta ini hanya ada pria? Aku bersalaman dengan banyak orang dan tidak hanya dengan pria saja. Tubuhku juga bergesekan dengan banyak orang. Pikiranmu jangan terlalu picik!" "Aku hanya bertanya. Kenapa kau menjawab seolah aku menuduhmu yang tidak-tidak?""Memang pertanyaanmu mengarah ke sana."Pertengkaran yang dilakukan secara berbisik itu berakhir setelah lagi-lagi Danish meninggalkannya untuk yang kedua kalinya. Ia memilih untuk menjamu para mitra bisnisnya dan mengabaikan sang istri. "Aku kalau menjadi kau sudah pasti akan mencari tahu apa yang membuat pasan
Keadaan Yuan sudah berantakan sesaat sampai di rumah. Seperti saat berangkat tadi, ia masuk rumah dengan leluasa tanpa khawatir akan dipergoki oleh orang rumah. Lebih tepatnya, ia tak memikirkan itu, pikirannya terfokus pada rumah tanggannya yang tanpa ia sadari sudah hancur sehancur hidup dan hatinya. Rambut panjang yang acak adul, tubuhnya yang sudah penuh dengan bengkak merah yang terasa gatal membuat siapa pun merasa iba saat melihat penampilannya. Kata-kata Danish tentang dirinya yang bodoh terus saja terdengar di telinganya. Memang benar apa yang dikatakaan pria itu, harusnya ia tidak mengulur-ulur waktu untuk mencari siapa nama asing itu, seharusnya ia tak terlalu acuh pada kenyataan yang sebenarnya sudah membuatnya curiga dari lama. "Yuan, apa itu kau?" tanya seseorang dari belakang. Yuan acuh, ia terus berjalan pelan seakan adegan slow motion di drama-drama. Ia mengabaikan panggilan Rafan seakan telinganya tak mampu mendengar suara selain kata-kata Danish. Bahkan ia tak m
Pagi harinya, semua berjalan seperti biasa. Meskipun berbagai pertanyaan yang sama diterima oleh Yuan, ia tak bosan menjelaskan bahwa ia semalam menjadi korban drama yang ia lihat. "Aku semalam tidak sengaja menemukan drama yang membuat aku sedih dan menangis semalaman. Hanya terbawa suasana, dan aku tertidur setelah melihat dramanya. Jadi aku tertidur setelah aku menangis, itulah kenapa mataku pagi ini sembab."Semua orang percaya bahkan termasuk, Danish. Lebih tepatnya ia tak peduli dan memikirkan apa yang membuat mata istrinya sembab. Ia acuh semenjak kembalinya Feli dalam hidupnya. Mantan kesayangan yang sempat terpisah jauh itu kini kembali sekitar tiga bulan yang lalu. Satu bulan menghabiskan hari bersama membuat Danish kehilangan kendali, dan memilih untuk menjalin hubungan terlarang dengan sang mantan. "Selamat pagi semuanya," sapa Rafan yang baru saja sampai dan langsung menyiduk nasi wadahnya. Untuk sesaat ia melirik ke arah Yuan yang
"Jika kau mengetahui sesuatu tentang kebusukan adikku, tolong jangan gegabah untuk menegurnya. Teruslah berpura-pura bodoh seperti yang dia katakan. Strategi kita tidak boleh berantakan hanya karena kau menuruti emosimu saja. Harus tetap kendalikan diri untuk keberhasilan rencana yang sudah kita bicarakan.""Hm, baiklah. Aku akan mendengarkanmu. Kau pengusaha, kau lebih pintar soal strategi."Rafan berlalu setelah mengingatkan wanita itu untuk tetap pada tujuan yang mereka bicarakan semalam. Ia paham, bahkan sangat paham bahwa wanita itu hanya memanfaatkannya untuk melampiaskan rasa sakitnya. Yuan butuh seseorang untuk menciptakan kebahagiaanya. Jangan lupa, Rafan adalah pria yang cukup pandai menilai sesuatu. Cukup licik sebenarnya cara Yuan baginya, tapi tak apa. Ia sudah jatuh hati pada wanita itu sejak malam di mana ia tak sadarkan diri. Ia suka aroma tubuhnya, ia suka cara Yuan memperlakukannya di ranjang, ia juga tertarik dengan wanita yang acuh pad
Suasana mendadak hening sesaat. Danish dengan segala kegugupanya hanya mampu terdiam, ia tak bisa berpikir jawaban apa yang bisa ia gunakan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Dirinya mengatai istrinya bodoh, secara tak langsung dirinya sendiri juga bodoh."Ma-maaf, Bu. Saya hanya ingin antar makan siang yang dipesan Pak Danish.""Untukmu saja, kau boleh pergi. Istri saya bawakan makan siang," putus Danish yang memberi kode Feli untuk segera pergi. Suara napas lega diam-diam terdengar dari mulut Danish. "Siapa dia? Kenapa datangnya tidak sopan?""Asisten pribadi. Iya, tadi pas aku minta untuk dibelikan makan, aku memang sedang berada di luar ruangan, jadi dia mungkin mengira kalau aku masih belum kembali.""Kau mengganti asisten pribadimu? Aku baru mengetahuinya."Danish memilih untuk diam, ia memilih menggunakan mulutnya untuk makan. Ia berpikir jika menjawab, tak akan ada habisnya untuk terus mencari kebohongan