Yuan sempat mengira bahwa pertengkaran yang ia lakukan pagi itu adalah pertengkaran yang terakhir. Namun siapa yang mengira, justru pertengkaran pagi itu adalah pertengkaran yang membawa masalah-masalah lain dalam rumah tangganya.
Kecurigaan yang memenuhi kepalanya berusaha untuk diabaikan, karena ia sadar semakin memikirkan itu, ia sama saja menyakiti diri sendiri. Tapi sayangnya, sikap abainya itu justru membuat tingkah Danish semakin menjadi, semakin mencurigakan, semakin berubah, dan semakin menunjukkan sifat aslinya.Pertengkaran yang ia kira sebagai bumbu tambahan dalam rumah tangga. Kini nyatanya menjadi bumbu utama dalam rumah tangganya. Selalau saja ada pertengkaran kecil yang menjadi teman dalam kamar mereka."Berhenti menuang air panas di cangkir yang penuh."Suara bariton yang berjarak dekat dengannya membuatnya terkejut. Ia menunduk dan membola melihat air yang sudah tumpah ruah ke mana-mana. Beruntung air itu tak mengenai ujung kulitnya."Astaga, aku tidak sadar kalau cangkirnya sudah penuh," ujar Yuan membersihkan meja dapur dengan lap.ll"Apa yang kau pikirkan?""Tidak ada.""Kenapa sampai tumpah kalau kau tidak memikirkan apa pun? Fokusmu tidak pada cangkir, tapi pada hal lain. Kau masih memikirkan kejadian malam itu? Kau sendiri yang mengatakan kita harus melupakan dan merahasiakannya, tapi kenapa setelah kejadian itu seolah-olah kau malah banyak pikiran?"Yuan berhenti sesaat dari kegiatannya, sementara tangan Rafan masih bergerak untuk membuat susu. Kebiasaan yang jauh berbeda dari sang adik."Jadi ini sebabnya kopiku tidak datang-datang? Ck ck ck." Danish menggeleng pelan dengan tatapan tajam nan kesal.Sudah cukup lama ia menunggu kopinya, cairan hitam yang selalu menjadi teman sebelum ia beraktivitas tak kunjung ia nikmati membuat ia memaksa tubuhnya yang sedang malas untuk turun ke dapur. Hal yang sangat jarang dan nyaris tak pernah dilakukan oleh Danish."Kau menunggu lama? Maaf tadi aku menumpahkan air jadi aku membersihkannya dulu.""Kau sengaja menumpahkan air supaya bisa dijadikan alasan untuk berduaan di dapur dengan Kakak iparmu?"Air muka tak percaya keluar begitu saja dari wajah Yuan. Kesimpulan macam apa ini? Hanya karena ia berada di satu ruangan yang sama dengan Rafan, kenapa dirinya malah menjadi tertuduh seakan mencari kesempatan dalam kesempitan?"Kesimpulan dari mana kata-katamu itu? Atas dasar apa kau menuduhku seperti itu? Jangan mengatakan kecurigaan yang tidak berdasar."Nada bicara yang tak enak di dengar membuat Danish tak terima. Ia melangkah ke depan dan, "lupakan kopi itu, kita ke kamar sekarang!" Rahang Danish sedikit mengeras. Sangat terlihat dari nada dan caranya berbicara. Itulah Danish, ia seringkali emosi untuk hal-hal kecil.Sebuah seretan kasar tak sengaja Danish pertontonkan di depan Rafan. Refleks pria itu menarik tangan Yuan yang lain. Tindakannya itu membuat keduanya sama-sama tercengang. Sementara Rafan menampilkan wajah tenang seperti biasa."Bukankah sudah pernah aku katakan untuk tidak memperlakukan seorang wanita dengan kasar? Kau menaikkan nada bicaramu di depan wanita saja sudah salah dan lihat dirimu sekarang!" Mata Rafan tertuju pada tangan sang adik yang menarik kasar tangan Yuan. Tangannya sendiri pun masih bertengger di pergelangan tangan mungil Yuan.Selagi kedua pria itu saling tatap dalam diam dan sama-sama memancarkan pisau di bola mata mereka, napas Yuan sudah naik turun tak karuan. Ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk mengingat malam panas itu, tapi sentuhan Rafan sudah memaksanya untuk kembali mengingat."Bukankah aku juga pernah mengatakan untuk tidak ikut campur urusan rumah tanggaku? Kenapa kau tidak mengurus dirimu sendiri saja?" Dengan pelan tangan Danish menurunkan tangan sang kakak dari tangan istrinya. Sangat berbanding terbalik dengan tatapan membunuhnya."Kalau begitu bersikaplah baik pada wanita, dia istrimu.""Ada apa dengan kakakku ini? Kenapa setiap perlakuan yang aku berikan pada istriku sendiri selalu menjadi perhatiannya? Sebagai kakak ipar juga kau terlalu peduli pada istriku. Kalian sedang tidak merahasiakan hal busuk dariku, bukan?""Terserah kau saja.""Ini keterlaluan, kau menuduhku atas hal yang tidak berdasar! Ada apa denganmu, Danish?" sela Yuan."Kau sudah berani memanggilku hanya dengan sebutan nama?""Kenapa tidak? Bukankah selama ini aku sudah cukup bersabar? Sejak kepulanganmu dari luar kota kau berubah drastis. Kau hanya fokus pada ponselmu, kau sepanjang hari bekerja, kau pulang larut malam, tidak ada obrolan di antara kita, sekalinya kita ngobrol hanyalah pertengkaran. Kau selalu menaikkan nada bicaramu, kau selalu mengentengkan apa yang menjadi bebanku. Kau tidak pernah mendengarkan aku, kau tidak pernah mendengarkan jeritan hatiku. Keluh kesah yang aku sampaikan padamu selalu berakhir dengan kau memintaku untuk membuatkan kopi. Kau tidak pernah menenangkan aku, kau selalu menghindari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menjadi bebanku."Sudah berbulan-bulan semenjak Yuan menemukan kontak ae-in, semenjak itulah sikap Danish juga perlahan berubah dan itu cukup menyakitkan untuknya. Ia mengabaikan perubahan itu untuk ketenangan hatinya, tapi yang terjadi justru hatinya selalu gundah gulana.Danish sudah mengepalkan kedua tangannya. Ia sungguh marah kali ini, karena istrinya itu bicara tidak sopan, panjang lebar, dan terlalu berani padanya. Apalagi ia mengatakan kalimat itu di depan Rafan yang membuat harga dirinya runtuh di tempat."Selesaikan ini di kamar!"Sekali lagi, Danish meraih tangan Yuan untuk ditariknya dengan kasar wanita itu sampai hampir tersungkur karena tarikannya.Yuan berusaha untuk menarik tangannya, tapi tenaga yang ia punya tak seberapa. Ia terpaksa mengikuti langkah Danish yang dekat dengan langkah yang sulit.Brak!Pintu kamar Danish banting, ia menguncinya dan mendorong istrinya dengan kasar. Tak sampai di situ saja, jari tangannya yang besar juga tengah mencengkram kuat kedua sisi pipi wanita itu."Aku tidak pernah menyangka akan berbuat ini padamu, Yuan. Sungguh kau sudah meruntuhkan harga diriku di depan kakakku sendiri. Pantaskah kau mengucapkan semua kalimat yang kau ucapkan tadi di depannya?"Lihatlah, Danish lebih peduli dengan harga dirinya dibandingkan suara hati istrinya.Dengan sisa keberanian yang ada, Yuan menepis kasar tangan suaminya. Tindakannya membuat darah Danish semakin mendidih danPlak!Tamparan di pipi itu adalah sebuah jawaban atas tindakannya. Sudut bibirnya berdarah, air mata yang tak ingin ia keluarkan luruh tanpa ia minta."Jangan keluarkan air matamu. Sebenarnya aku sudah muak dengan tingkahmu akhir-akhir ini. Kau selalu mencurigaiku dengan pikiran-pikiran dangkalmu itu. Sementara kau sendiri mengabaikan aku dan memilih untuk mencuri waktu dengan Rafan.""Jika kau saja sudah muak, aku lebih dari muak!"Danish tak banyak kata, ia sudah kembali melayangkan tangannya, namun berhenti di udara karena pintu yang dibuka paksa. Sepasang suami istri itu mengarahkan pandangan ke arah yang sama. Dan entah siapa yang memaksa, air mata Yuan seolah berlomba dan berdesakan untuk keluar.'Dia?'Tanpa permisi Rafan masuk ke dalam dan memberikan bogeman pada adik kandungnya. Ia benci kekerasan, ia tak suka baku hantam, tapi ia lebih tak suka jika ada yang menyakiti wanita. Tak peduli siapa yang melakukan dan wanita mana menjadi korban. Kedua orang tuanya adalah orang yang baik, keharmonisan rumah tangga mereka dan juga didikan dari ayahnya harusnya sudah cukup menjadi bekal bagaimana cara memperlakukan wanita terutama istrinya. Ibunya pun selalu memberikan kasih sayang yang berlebih pada kedua anaknya, tapi entah kenapa sikap Danish ini berbanding terbalik dengan sang kakak. Rafan dikenal dengan ketegasan dan kejam saat berada di lingkungan kantornya. Tapi bertingkah sebaliknya saat berada di rumah. Sementara Danish dikenal sebagai pribadi yang humble, humoris, dan hangat. Namun, nyatanya saat di rumah ia berubah menjadi monster bagi sang istri. "Tidak bisakah kau melawan saat mendapat perlakuan kasar seperti itu? Kau berani padaku, kenapa kau t
Yuan yang sedang menikmati coklat hangat itu seketika tersedak ketika mendengar suara bariton dari sang ayah mertua. Ia sedikit salah tingkah saat menatap Rafan yang juga terlihat kikuk dan canggung. "Ke mana Danish?""Aku di sini, Yah."Sahutan dari arah tangga membuat Yuan yang hendak berucap kembali terdiam. Seperti biasa, sepasang suami istri itu akan terlihat biasa saja saat berada di depan kedua orang tuanya. Tak peduli mereka sesaat sebelumnya terlibat pertengkaran. Hanya Rafan yang melihat apa yang mereka sembunyikan. Entah dirinya yang memang perasa atau dirinya satu-satunya yang mengetahui bahwa keduanya sedang tak baik-baik saja. Malam itu suasana kantor begitu ramai, penuh sesak oleh orang-orang yang berkedudukan penting dalam perusahaan itu dan ada beberapa kolega besar yang turut hadir memeriahkan acara tersebut. Dengan berjalan anggun dan tangan yang terpaut di lengan Danish, Yuan menampilkan senyum keramahan pada setiap manusia yang ia lewati. Nampak beberapa dari m
Tidak mau berpikir yang bukan-bukan membuat Yuan melanjutkan langkahnya. Insiden tadi membuatnya lupa akan sesuatu yang hatusnya ia cari. Ia kembali berkumpul bersama suaminya tanpa bertanya alasan apa yang membuat ia begitu lama di kamar mandi, urusan penting apa yang membuat ia meninggalkan pesta. "Kenapa aromamu seperti bercampur dengan aroma wanita?" "Kau pikir di pesta ini hanya ada pria? Aku bersalaman dengan banyak orang dan tidak hanya dengan pria saja. Tubuhku juga bergesekan dengan banyak orang. Pikiranmu jangan terlalu picik!" "Aku hanya bertanya. Kenapa kau menjawab seolah aku menuduhmu yang tidak-tidak?""Memang pertanyaanmu mengarah ke sana."Pertengkaran yang dilakukan secara berbisik itu berakhir setelah lagi-lagi Danish meninggalkannya untuk yang kedua kalinya. Ia memilih untuk menjamu para mitra bisnisnya dan mengabaikan sang istri. "Aku kalau menjadi kau sudah pasti akan mencari tahu apa yang membuat pasan
Keadaan Yuan sudah berantakan sesaat sampai di rumah. Seperti saat berangkat tadi, ia masuk rumah dengan leluasa tanpa khawatir akan dipergoki oleh orang rumah. Lebih tepatnya, ia tak memikirkan itu, pikirannya terfokus pada rumah tanggannya yang tanpa ia sadari sudah hancur sehancur hidup dan hatinya. Rambut panjang yang acak adul, tubuhnya yang sudah penuh dengan bengkak merah yang terasa gatal membuat siapa pun merasa iba saat melihat penampilannya. Kata-kata Danish tentang dirinya yang bodoh terus saja terdengar di telinganya. Memang benar apa yang dikatakaan pria itu, harusnya ia tidak mengulur-ulur waktu untuk mencari siapa nama asing itu, seharusnya ia tak terlalu acuh pada kenyataan yang sebenarnya sudah membuatnya curiga dari lama. "Yuan, apa itu kau?" tanya seseorang dari belakang. Yuan acuh, ia terus berjalan pelan seakan adegan slow motion di drama-drama. Ia mengabaikan panggilan Rafan seakan telinganya tak mampu mendengar suara selain kata-kata Danish. Bahkan ia tak m
Pagi harinya, semua berjalan seperti biasa. Meskipun berbagai pertanyaan yang sama diterima oleh Yuan, ia tak bosan menjelaskan bahwa ia semalam menjadi korban drama yang ia lihat. "Aku semalam tidak sengaja menemukan drama yang membuat aku sedih dan menangis semalaman. Hanya terbawa suasana, dan aku tertidur setelah melihat dramanya. Jadi aku tertidur setelah aku menangis, itulah kenapa mataku pagi ini sembab."Semua orang percaya bahkan termasuk, Danish. Lebih tepatnya ia tak peduli dan memikirkan apa yang membuat mata istrinya sembab. Ia acuh semenjak kembalinya Feli dalam hidupnya. Mantan kesayangan yang sempat terpisah jauh itu kini kembali sekitar tiga bulan yang lalu. Satu bulan menghabiskan hari bersama membuat Danish kehilangan kendali, dan memilih untuk menjalin hubungan terlarang dengan sang mantan. "Selamat pagi semuanya," sapa Rafan yang baru saja sampai dan langsung menyiduk nasi wadahnya. Untuk sesaat ia melirik ke arah Yuan yang
"Jika kau mengetahui sesuatu tentang kebusukan adikku, tolong jangan gegabah untuk menegurnya. Teruslah berpura-pura bodoh seperti yang dia katakan. Strategi kita tidak boleh berantakan hanya karena kau menuruti emosimu saja. Harus tetap kendalikan diri untuk keberhasilan rencana yang sudah kita bicarakan.""Hm, baiklah. Aku akan mendengarkanmu. Kau pengusaha, kau lebih pintar soal strategi."Rafan berlalu setelah mengingatkan wanita itu untuk tetap pada tujuan yang mereka bicarakan semalam. Ia paham, bahkan sangat paham bahwa wanita itu hanya memanfaatkannya untuk melampiaskan rasa sakitnya. Yuan butuh seseorang untuk menciptakan kebahagiaanya. Jangan lupa, Rafan adalah pria yang cukup pandai menilai sesuatu. Cukup licik sebenarnya cara Yuan baginya, tapi tak apa. Ia sudah jatuh hati pada wanita itu sejak malam di mana ia tak sadarkan diri. Ia suka aroma tubuhnya, ia suka cara Yuan memperlakukannya di ranjang, ia juga tertarik dengan wanita yang acuh pad
Suasana mendadak hening sesaat. Danish dengan segala kegugupanya hanya mampu terdiam, ia tak bisa berpikir jawaban apa yang bisa ia gunakan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Dirinya mengatai istrinya bodoh, secara tak langsung dirinya sendiri juga bodoh."Ma-maaf, Bu. Saya hanya ingin antar makan siang yang dipesan Pak Danish.""Untukmu saja, kau boleh pergi. Istri saya bawakan makan siang," putus Danish yang memberi kode Feli untuk segera pergi. Suara napas lega diam-diam terdengar dari mulut Danish. "Siapa dia? Kenapa datangnya tidak sopan?""Asisten pribadi. Iya, tadi pas aku minta untuk dibelikan makan, aku memang sedang berada di luar ruangan, jadi dia mungkin mengira kalau aku masih belum kembali.""Kau mengganti asisten pribadimu? Aku baru mengetahuinya."Danish memilih untuk diam, ia memilih menggunakan mulutnya untuk makan. Ia berpikir jika menjawab, tak akan ada habisnya untuk terus mencari kebohongan
[Kau di mana? Aku pulang kenapa kau tidak ada di rumah?]Baru saja hendak membawa mobilnya keluar pekarangan perusahaan, ponsel Yuan berdering pendek. Ia meraih benda pipih miliknya dan membaca pesan yang baru saja ia terima. Ia mengernyit saat mengetahui yang mengirimnya pesan adalah nomor baru. Sempat bingung, namun melihat bio yang ada di profil itu membuat ia mengangguk paham tanpa bertanya pemilik nomor tersebut. [Aku sedang di kantor suamiku. Untuk apa kau pulang? Dari mana kau dapat nomorku?][Pulanglah, waktuku tidak banyak. Kau selalu menanyakan hal yang tidak penting]Yuan hanya mengedikkan bahu acuh. Namun, meskipun acuh ia tetap saja menuruti kata Rafan untuk segera pulang. Di tengah terik matahari, Yuan muncul sebagai pembalap liar pemberani yang tak kenal takut, menantang kerumunan jalanan yang ramai seiring jam istirahat segera berakhir. Jalanan dipenuhi oleh para pekerja yang kembali ke tempat di mana mereka me