Share

5. Perlakuan Kasar

Yuan sempat mengira bahwa pertengkaran yang ia lakukan pagi itu adalah pertengkaran yang terakhir. Namun siapa yang mengira, justru pertengkaran pagi itu adalah pertengkaran yang membawa masalah-masalah lain dalam rumah tangganya.

Kecurigaan yang memenuhi kepalanya berusaha untuk diabaikan, karena ia sadar semakin memikirkan itu, ia sama saja menyakiti diri sendiri. Tapi sayangnya, sikap abainya itu justru membuat tingkah Danish semakin menjadi, semakin mencurigakan, semakin berubah, dan semakin menunjukkan sifat aslinya.

Pertengkaran yang ia kira sebagai bumbu tambahan dalam rumah tangga. Kini nyatanya menjadi bumbu utama dalam rumah tangganya. Selalau saja ada pertengkaran kecil yang menjadi teman dalam kamar mereka.

"Berhenti menuang air panas di cangkir yang penuh."

Suara bariton yang berjarak dekat dengannya membuatnya terkejut. Ia menunduk dan membola melihat air yang sudah tumpah ruah ke mana-mana. Beruntung air itu tak mengenai ujung kulitnya.

"Astaga, aku tidak sadar kalau cangkirnya sudah penuh," ujar Yuan membersihkan meja dapur dengan lap.ll

"Apa yang kau pikirkan?"

"Tidak ada."

"Kenapa sampai tumpah kalau kau tidak memikirkan apa pun? Fokusmu tidak pada cangkir, tapi pada hal lain. Kau masih memikirkan kejadian malam itu? Kau sendiri yang mengatakan kita harus melupakan dan merahasiakannya, tapi kenapa setelah kejadian itu seolah-olah kau malah banyak pikiran?"

Yuan berhenti sesaat dari kegiatannya, sementara tangan Rafan masih bergerak untuk membuat susu. Kebiasaan yang jauh berbeda dari sang adik.

"Jadi ini sebabnya kopiku tidak datang-datang? Ck ck ck." Danish menggeleng pelan dengan tatapan tajam nan kesal.

Sudah cukup lama ia menunggu kopinya, cairan hitam yang selalu menjadi teman sebelum ia beraktivitas tak kunjung ia nikmati membuat ia memaksa tubuhnya yang sedang malas untuk turun ke dapur. Hal yang sangat jarang dan nyaris tak pernah dilakukan oleh Danish.

"Kau menunggu lama? Maaf tadi aku menumpahkan air jadi aku membersihkannya dulu."

"Kau sengaja menumpahkan air supaya bisa dijadikan alasan untuk berduaan di dapur dengan Kakak iparmu?"

Air muka tak percaya keluar begitu saja dari wajah Yuan. Kesimpulan macam apa ini? Hanya karena ia berada di satu ruangan yang sama dengan Rafan, kenapa dirinya malah menjadi tertuduh seakan mencari kesempatan dalam kesempitan?

"Kesimpulan dari mana kata-katamu itu? Atas dasar apa kau menuduhku seperti itu? Jangan mengatakan kecurigaan yang tidak berdasar."

Nada bicara yang tak enak di dengar membuat Danish tak terima. Ia melangkah ke depan dan, "lupakan kopi itu, kita ke kamar sekarang!" Rahang Danish sedikit mengeras. Sangat terlihat dari nada dan caranya berbicara. Itulah Danish, ia seringkali emosi untuk hal-hal kecil.

Sebuah seretan kasar tak sengaja Danish pertontonkan di depan Rafan. Refleks pria itu menarik tangan Yuan yang lain. Tindakannya itu membuat keduanya sama-sama tercengang. Sementara Rafan menampilkan wajah tenang seperti biasa.

"Bukankah sudah pernah aku katakan untuk tidak memperlakukan seorang wanita dengan kasar? Kau menaikkan nada bicaramu di depan wanita saja sudah salah dan lihat dirimu sekarang!" Mata Rafan tertuju pada tangan sang adik yang menarik kasar tangan Yuan. Tangannya sendiri pun masih bertengger di pergelangan tangan mungil Yuan.

Selagi kedua pria itu saling tatap dalam diam dan sama-sama memancarkan pisau di bola mata mereka, napas Yuan sudah naik turun tak karuan. Ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk mengingat malam panas itu, tapi sentuhan Rafan sudah memaksanya untuk kembali mengingat.

"Bukankah aku juga pernah mengatakan untuk tidak ikut campur urusan rumah tanggaku? Kenapa kau tidak mengurus dirimu sendiri saja?" Dengan pelan tangan Danish menurunkan tangan sang kakak dari tangan istrinya. Sangat berbanding terbalik dengan tatapan membunuhnya.

"Kalau begitu bersikaplah baik pada wanita, dia istrimu."

"Ada apa dengan kakakku ini? Kenapa setiap perlakuan yang aku berikan pada istriku sendiri selalu menjadi perhatiannya? Sebagai kakak ipar juga kau terlalu peduli pada istriku. Kalian sedang tidak merahasiakan hal busuk dariku, bukan?"

"Terserah kau saja."

"Ini keterlaluan, kau menuduhku atas hal yang tidak berdasar! Ada apa denganmu, Danish?" sela Yuan.

"Kau sudah berani memanggilku hanya dengan sebutan nama?"

"Kenapa tidak? Bukankah selama ini aku sudah cukup bersabar? Sejak kepulanganmu dari luar kota kau berubah drastis. Kau hanya fokus pada ponselmu, kau sepanjang hari bekerja, kau pulang larut malam, tidak ada obrolan di antara kita, sekalinya kita ngobrol hanyalah pertengkaran. Kau selalu menaikkan nada bicaramu, kau selalu mengentengkan apa yang menjadi bebanku. Kau tidak pernah mendengarkan aku, kau tidak pernah mendengarkan jeritan hatiku. Keluh kesah yang aku sampaikan padamu selalu berakhir dengan kau memintaku untuk membuatkan kopi. Kau tidak pernah menenangkan aku, kau selalu menghindari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menjadi bebanku."

Sudah berbulan-bulan semenjak Yuan menemukan kontak ae-in, semenjak itulah sikap Danish juga perlahan berubah dan itu cukup menyakitkan untuknya. Ia mengabaikan perubahan itu untuk ketenangan hatinya, tapi yang terjadi justru hatinya selalu gundah gulana.

Danish sudah mengepalkan kedua tangannya. Ia sungguh marah kali ini, karena istrinya itu bicara tidak sopan, panjang lebar, dan terlalu berani padanya. Apalagi ia mengatakan kalimat itu di depan Rafan yang membuat harga dirinya runtuh di tempat.

"Selesaikan ini di kamar!"

Sekali lagi, Danish meraih tangan Yuan untuk ditariknya dengan kasar wanita itu sampai hampir tersungkur karena tarikannya.

Yuan berusaha untuk menarik tangannya, tapi tenaga yang ia punya tak seberapa. Ia terpaksa mengikuti langkah Danish yang dekat dengan langkah yang sulit.

Brak!

Pintu kamar Danish banting, ia menguncinya dan mendorong istrinya dengan kasar. Tak sampai di situ saja, jari tangannya yang besar juga tengah mencengkram kuat kedua sisi pipi wanita itu.

"Aku tidak pernah menyangka akan berbuat ini padamu, Yuan. Sungguh kau sudah meruntuhkan harga diriku di depan kakakku sendiri. Pantaskah kau mengucapkan semua kalimat yang kau ucapkan tadi di depannya?"

Lihatlah, Danish lebih peduli dengan harga dirinya dibandingkan suara hati istrinya.

Dengan sisa keberanian yang ada, Yuan menepis kasar tangan suaminya. Tindakannya membuat darah Danish semakin mendidih dan

Plak!

Tamparan di pipi itu adalah sebuah jawaban atas tindakannya. Sudut bibirnya berdarah, air mata yang tak ingin ia keluarkan luruh tanpa ia minta.

"Jangan keluarkan air matamu. Sebenarnya aku sudah muak dengan tingkahmu akhir-akhir ini. Kau selalu mencurigaiku dengan pikiran-pikiran dangkalmu itu. Sementara kau sendiri mengabaikan aku dan memilih untuk mencuri waktu dengan Rafan."

"Jika kau saja sudah muak, aku lebih dari muak!"

Danish tak banyak kata, ia sudah kembali melayangkan tangannya, namun berhenti di udara karena pintu yang dibuka paksa. Sepasang suami istri itu mengarahkan pandangan ke arah yang sama. Dan entah siapa yang memaksa, air mata Yuan seolah berlomba dan berdesakan untuk keluar.

'Dia?'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status