Makam dengan tanah cokelat itu baru saja ditinggalkan orang-orang ketika seorang wanita paruh baya bermobil mewah dan berpakaian merah mengkilap datang menemuinya.
Gaun merah yang dikenakannya sangat kontras dengan suasana pemakaman. Juni meninggalkan posisi berlututnya di depan pusara sang anak untuk bangkit dan berdiri di samping wanita itu.
"Jadi anakmu akhirnya meninggal juga," ucapnya dengan dingin.
Juni menyingkirkan air mata dengan kasar. Tatapannya nyalang menghunus wanita itu. "Apa maksud Ibu? Ibu memang mengharapkan anakku mati?"
"Lebih baik dia mati daripada harus menderita hidup berdua denganmu. Rumah pembantuku bahkan sepuluh kali lipat lebih bagus dari rumahmu itu!"
Sang ibu, Maria Lahendra memandang pusara sang cucu dengan tatapan dingin tanpa perasaan. Sikapnya sama sekali tak berubah sejak Juni meninggalkan rumah tujuh tahun yang lalu. Wanita ini masih sama, dingin, tak berperasaan, kejam dan kokoh seperti batu karang.
Juni menegakkan tubuh, tak ingin terlihat lemah di hadapan Maria.
"Jadi, kenapa Ibu datang ke tempat yang hina ini?" singgung Juni, kendati matanya memerah menahan isak.
Tapi Maria tak tersinggung sama sekali. Ekspresinya masih angkuh seolah dirinyalah ratu dari negara ini.
"Menurutmu apa? Aku datang untuk memberikan kesempatan kedua kepada anak tidak berbakti sepertimu. Kembalilah ke rumah dan jalani hidupmu sebagai putri pertama Lahendra."
Juni menatap gumpalan tanah basah di hadapannya dengan datar. "Aku tidak butuh."
Maria tersenyum sinis. "Hilangkan sikap pembangkangmu itu, Juni Aulia. Lihatlah anakmu yang sekarang tiada. Karena siapa dia harus menanggung penderitaan seperti itu?"
Maria melirik Juni yang diam mematung di sampingnya. "Karena kamu lebih memilih pria gembel itu. Meninggalkan keluargamu untuk ditinggalkan olehnya." Ia terkekeh sinis. "Lucu sekali."
"Aku sedang tidak ingin bercanda, Bu."
"Kau pikir aku datang ke sini untuk bercanda?!"
Juni bungkam.
"Tinggalkan rumah reotmu dan kembali padaku. Jangan buat ibumu ini kembali kecewa. Jangan sampai ayahmu mewariskan takhta bisnisnya pada anak pelacur itu."
Juni mendengus bosan. Si pelacur yang dimaksud adalah istri kedua sang ayah yang memiliki dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. Maria dan madunya sudah lama bergelut di rumah megah keluarga Lahendra.
"Aku lebih baik tinggal di rumah reotku daripada kembali ke rumah penuh persaingan dan dengki itu."
"Kamu tidak berada dalam posisi memilih. Suamimu sudah meninggalkanmu sejak lima tahun yang lalu, putramu meninggal dan kamu tidak punya pekerjaan lagi untuk menopang hidup. Kau mau para laki-laki di kampung itu terus menggodamu dan istri mereka akan melabrakmu setiap hari?"
"Sudah kuduga. Ibu selalu mengawasiku."
Maria mengabaikan. "Lagipula kau tidak perlu tinggal di rumah lagi. Aku sudah menyiapkan rumah yang lebih baik untukmu."
Juni menoleh pada Maria dengan kening berkerut. "Apa maksud Ibu?"
"Kau akan tahu nanti."
Maria membetulkan selendang yang tersampir di bahunya.
"Kembalilah ke rumah. Kau tidak perlu lagi hidup sengsara dan melarat ... tapi turuti satu permintaanku."
"Apa?"
"Menikahlah dengan Saga Atlanta."
Juni membeku. Menatap kosong pada dedaunan kering yang beterbangan karena angin.
"Pikirkan baik-baik. Jangan bodoh dengan mengharapkan suami keparatmu itu."
Maria mengayun langkah meninggalkan Juni yang masih terpaku di tempatnya, kemudian memasuki mobil mewahnya. Sebelum menutup pintu, ia kembali memandang dingin sang anak.
"Aku akan menjemputmu nanti malam. Siapkan barang-barang yang layak untuk dibawa."
***
Juni Aulia Lahendra sudah melepaskan gelar keluarganya sejak tujuh tahun yang lalu saat ia memilih menikah dengan Rafael Estigo, seorang pria miskin yang bahkan tidak memiliki orang tua lagi.
Alih-alih menuruti keinginan keluarganya untuk menikah dengan seorang taipan yang sangat tersohor, ia memilih pergi dari rumah megahnya.
"Baik. Nikahi laki-laki gembel itu dan pergi dari rumah ini. Anggaplah aku tidak pernah punya putri sepertimu!" Sang ayah sendiri yang mengusirnya pergi dan mencoret namanya dari daftar keluarga sekaligus pewaris kerajaan bisnisnya.
Kini, dia dipanggil kembali dengan syarat menikahi lelaki yang sama yang dulu dijodohkan untuknya.
Saga Atlanta.
Seorang taipan yang membangun kerajaan bisnisnya di usia yang sangat muda. Anak-anak perusahaannya tersebar di seluruh pelosok benua. Setiap detik kehidupannya selalu menjadi santapan panas dari para media.
Suara klakson mobil terdengar dari luar. Juni segera memasukkan foto putranya yang sejak tadi ia pegang ke dalam tas kumal. Menghapus air matanya dengan kasar lalu berjalan pasti keluar rumah.
Seorang sopir datang menghampirinya dan mengambil tas dalam genggamannya kemudian memasukkan ke dalam bagasi. Lalu mempersilakan Juni masuk ke mobil.
"Bagus. Sekarang kau tak lagi bodoh."
Juni terdiam menerima sindiran dingin dari Maria di sampingnya.
"Jangan tunjukkan air matamu di hadapan ayahmu dan gundiknya. Perlihatkan kekuatanmu di depan mereka."
Mobil melaju dengan kecepatan yang konstan hingga tiba di kediaman Lahendra yang megah dan besar.
Setelah pintu utama dibuka, Juni langsung dihadapkan pada pemandangan ruang tengah yang penuh dengan ketiga saudara dan ibu tirinya serta sang ayah yang duduk di sofa dengan angkuh.
Juni mengangkat wajah dengan percaya diri. Kendati mukanya terlihat sayu dan membengkak, tapi tatapannya lurus ke depan.
Sang ayah, Sandi Lahendra berdiri dengan raut keras dan dingin begitu melihatnya. Juni melirik para saudaranya yang menatap mengejek dan iba, serta istri kedua ayahnya yang tersenyum sok bahagia.
"Kembali ke kamarmu," ucap Sandi dingin, seolah Juni baru saja pulang dari liburan singkat.
Seorang pembantu membawakan tas kumuhnya dan menuntunnya memasuki kamar. Saat melewati sang ibu tiri, ia menangkap tatapan jijik wanita berlipstik merah darah itu pada pakaiannya.
"Tunggu." Suara Sandi menghentikan langkahnya.
"Siapkan dirimu. Tiga hari lagi kau harus menikah dengan Atlanta. Aku tidak menerima penolakan, walau hanya kernyitan di wajahmu."
Juni mengangguk singkat kemudian kembali mengayun langkahnya menuju kamar. Ia sudah tahu dan paham untuk apa dirinya dibawa ke rumah ini.
Sesampainya di kamar, ia mengedarkan pandangan pada ruang pribadinya yang telah ia tinggalkan selama 7 tahun. Semuanya masih terlihat sama. Lampu yang terang benderang dan dinding serba putih dengan plafon berwarna emas. Sederhana namun elegan.
Ingatan itu kembali merebak dan membuat beberapa tetes air matanya meluncur jatuh ke pipi. Baru tadi siang ia selesai menguburkan sang putra. Rasanya aroma tanah pemakaman itu masih tercium dari tubuhnya.
Bibir indahnya bergetar menggumamkan nama putranya. "Elando ...." Ia menunduk dengan air mata berlinang.
Pintu di belakangnya dibuka secara tiba-tiba. Juni terkesiap sebelum menghapus air matanya dengan paksa.
Seorang gadis bermata bulat dan berambut lurus sepinggang muncul dengan seringai badungnya.
"Halo, Kakak. Jadi akhirnya kamu memilih kembali? Well, hidup melarat selama tujuh tahun memang akan membuatmu menjadi mata duitan." Lalu terkekeh dengan cara yang sangat menyebalkan.
Tapi Juni tidak merasa sebal sama sekali. Dia sudah sangat paham dengan karakter orang-orang di rumah ini. Gadis yang berada di depannya adalah anak pertama Ayah dengan istri keduanya.
"Bagaimana? Masuk kembali dalam daftar pewaris dan menikahi taipan pemangsa wanita, bukannya itu takdir yang sangat menyenangkan, Kakak?"
Juni mendengus bosan. "Jangan panggil aku kakak, Jeni."
"Sudah kuduga. Kamu sama sekali belum berubah. Setidaknya belajarlah untuk bersandiwara di hadapan musuhmu. Ah, kau mau kuajari cara untuk merayu dan tersenyum manis di hadapan si serigala kutub itu?"
"Keluar dari kamarku."
"Tidak perlu repot-repot mengusirku begitu. Aku hanya ingin menyapamu. Kudengar putramu baru saja dimakamkan. Waw, nasibmu sungguh sial ya, Kakak, hihihi ... menikah dengan gembel lalu kehilangan anak. Katanya anak itu sampai kekurangan gizi karena kamu tidak memberinya makan lantaran tidak punya uang."
Juni menggertakkan gigi, gadis berkimono tipis itu tersenyum mengejek, sengaja memancing amarah Juni.
"Jangan melewati batasanmu, Jeni. Tutup mulut kotormu itu."
Jeni terkesiap dengan cara yang dibuat-buat. "Oh waw, aku merinding mendengarnya." Lalu terkikik kurang ajar.
"Pergi dari sini."
Jeni mengangkat bahu tak acuh. "Oke, aku juga tidak ingin berlama-lama di tempat ini. Kau tahu? Aku alergi dengan bau apek."
Menatap pakaian yang dikenakan Juni lalu mengernyit jijik, kemudian mengayun langkahnya keluar dari kamar sang kakak.
Setelah penampakan gadis itu menghilang sepenuhnya, Juni meluruh ke lantai. Air mata yang ditahannya mati-matian merebak. Ia menggigit bibir untuk menahan isak pilu.
Demi Tuhan, seberapa berat lagi jalan yang akan ditempuhnya setelah ini?
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke