Share

Tertawan Dua Suami
Tertawan Dua Suami
Penulis: Mustacis

1. Kembali Ke Keluarga Besar

Makam dengan tanah cokelat itu baru saja ditinggalkan orang-orang ketika seorang wanita paruh baya bermobil mewah dan berpakaian merah mengkilap datang menemuinya.

Gaun merah yang dikenakannya sangat kontras dengan suasana pemakaman. Juni meninggalkan posisi berlututnya di depan pusara sang anak untuk bangkit dan berdiri di samping wanita itu.

"Jadi anakmu akhirnya meninggal juga," ucapnya dengan dingin.

Juni menyingkirkan air mata dengan kasar. Tatapannya nyalang menghunus wanita itu. "Apa maksud Ibu? Ibu memang mengharapkan anakku mati?"

"Lebih baik dia mati daripada harus menderita hidup berdua denganmu. Rumah pembantuku bahkan sepuluh kali lipat lebih bagus dari rumahmu itu!"

Sang ibu, Maria Lahendra memandang pusara sang cucu dengan tatapan dingin tanpa perasaan. Sikapnya sama sekali tak berubah sejak Juni meninggalkan rumah tujuh tahun yang lalu. Wanita ini masih sama, dingin, tak berperasaan, kejam dan kokoh seperti batu karang.

Juni menegakkan tubuh, tak ingin terlihat lemah di hadapan Maria.

"Jadi, kenapa Ibu datang ke tempat yang hina ini?" singgung Juni, kendati matanya memerah menahan isak.

Tapi Maria tak tersinggung sama sekali. Ekspresinya masih angkuh seolah dirinyalah ratu dari negara ini.

"Menurutmu apa? Aku datang untuk memberikan kesempatan kedua kepada anak tidak berbakti sepertimu. Kembalilah ke rumah dan jalani hidupmu sebagai putri pertama Lahendra."

Juni menatap gumpalan tanah basah di hadapannya dengan datar. "Aku tidak butuh."

Maria tersenyum sinis. "Hilangkan sikap pembangkangmu itu, Juni Aulia. Lihatlah anakmu yang sekarang tiada. Karena siapa dia harus menanggung penderitaan seperti itu?" 

Maria melirik Juni yang diam mematung di sampingnya. "Karena kamu lebih memilih pria gembel itu. Meninggalkan keluargamu untuk ditinggalkan olehnya." Ia terkekeh sinis. "Lucu sekali."

"Aku sedang tidak ingin bercanda, Bu."

"Kau pikir aku datang ke sini untuk bercanda?!"

Juni bungkam. 

"Tinggalkan rumah reotmu dan kembali padaku. Jangan buat ibumu ini kembali kecewa. Jangan sampai ayahmu mewariskan takhta bisnisnya pada anak pelacur itu."

Juni mendengus bosan. Si pelacur yang dimaksud adalah istri kedua sang ayah yang memiliki dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. Maria dan madunya sudah lama bergelut di rumah megah keluarga Lahendra.

"Aku lebih baik tinggal di rumah reotku daripada kembali ke rumah penuh persaingan dan dengki itu."

"Kamu tidak berada dalam posisi memilih. Suamimu sudah meninggalkanmu sejak lima tahun yang lalu, putramu meninggal dan kamu tidak punya pekerjaan lagi untuk menopang hidup. Kau mau para laki-laki di kampung itu terus menggodamu dan istri mereka akan melabrakmu setiap hari?"

"Sudah kuduga. Ibu selalu mengawasiku."

Maria mengabaikan. "Lagipula kau tidak perlu tinggal di rumah lagi. Aku sudah menyiapkan rumah yang lebih baik untukmu."

Juni menoleh pada Maria dengan kening berkerut. "Apa maksud Ibu?"

"Kau akan tahu nanti."

Maria membetulkan selendang yang tersampir di bahunya.

"Kembalilah ke rumah. Kau tidak perlu lagi hidup sengsara dan melarat ... tapi turuti satu permintaanku."

"Apa?"

"Menikahlah dengan Saga Atlanta."

Juni membeku. Menatap kosong pada dedaunan kering yang beterbangan karena angin.

"Pikirkan baik-baik. Jangan bodoh dengan mengharapkan suami keparatmu itu."

Maria mengayun langkah meninggalkan Juni yang masih terpaku di tempatnya, kemudian memasuki mobil mewahnya. Sebelum menutup pintu, ia kembali memandang dingin sang anak.

"Aku akan menjemputmu nanti malam. Siapkan barang-barang yang layak untuk dibawa."

***

Juni Aulia Lahendra sudah melepaskan gelar keluarganya sejak tujuh tahun yang lalu saat ia memilih menikah dengan Rafael Estigo, seorang pria miskin yang bahkan tidak memiliki orang tua lagi.

Alih-alih menuruti keinginan keluarganya untuk menikah dengan seorang taipan yang sangat tersohor, ia memilih pergi dari rumah megahnya.

"Baik. Nikahi laki-laki gembel itu dan pergi dari rumah ini. Anggaplah aku tidak pernah punya putri sepertimu!" Sang ayah sendiri yang mengusirnya pergi dan mencoret namanya dari daftar keluarga sekaligus pewaris kerajaan bisnisnya.

Kini, dia dipanggil kembali dengan syarat menikahi lelaki yang sama yang dulu dijodohkan untuknya. 

Saga Atlanta. 

Seorang taipan yang membangun kerajaan bisnisnya di usia yang sangat muda. Anak-anak perusahaannya tersebar di seluruh pelosok benua. Setiap detik kehidupannya selalu menjadi santapan panas dari para media.

Suara klakson mobil terdengar dari luar. Juni segera memasukkan foto putranya yang sejak tadi ia pegang ke dalam tas kumal. Menghapus air matanya dengan kasar lalu berjalan pasti keluar rumah.

Seorang sopir datang menghampirinya dan mengambil tas dalam genggamannya kemudian memasukkan ke dalam bagasi. Lalu mempersilakan Juni masuk ke mobil.

"Bagus. Sekarang kau tak lagi bodoh."

Juni terdiam menerima sindiran dingin dari Maria di sampingnya.

"Jangan tunjukkan air matamu di hadapan ayahmu dan gundiknya. Perlihatkan kekuatanmu di depan mereka."

Mobil melaju dengan kecepatan yang konstan hingga tiba di kediaman Lahendra yang megah dan besar.

Setelah pintu utama dibuka, Juni langsung dihadapkan pada pemandangan ruang tengah yang penuh dengan ketiga saudara dan ibu tirinya serta sang ayah yang duduk di sofa dengan angkuh.

Juni mengangkat wajah dengan percaya diri. Kendati mukanya terlihat sayu dan membengkak, tapi tatapannya lurus ke depan.

Sang ayah, Sandi Lahendra berdiri dengan raut keras dan dingin begitu melihatnya. Juni melirik para saudaranya yang menatap mengejek dan iba, serta istri kedua ayahnya yang tersenyum sok bahagia.

"Kembali ke kamarmu," ucap Sandi dingin, seolah Juni baru saja pulang dari liburan singkat.

Seorang pembantu membawakan tas kumuhnya dan menuntunnya memasuki kamar. Saat melewati sang ibu tiri, ia menangkap tatapan jijik wanita berlipstik merah darah itu pada pakaiannya. 

"Tunggu." Suara Sandi menghentikan langkahnya.

"Siapkan dirimu. Tiga hari lagi kau harus menikah dengan Atlanta. Aku tidak menerima penolakan, walau hanya kernyitan di wajahmu."

Juni mengangguk singkat kemudian kembali mengayun langkahnya menuju kamar. Ia sudah tahu dan paham untuk apa dirinya dibawa ke rumah ini.

Sesampainya di kamar, ia mengedarkan pandangan pada ruang pribadinya yang telah ia tinggalkan selama 7 tahun. Semuanya masih terlihat sama. Lampu yang terang benderang dan dinding serba putih dengan plafon berwarna emas. Sederhana namun elegan.

Ingatan itu kembali merebak dan membuat beberapa tetes air matanya meluncur jatuh ke pipi. Baru tadi siang ia selesai menguburkan sang putra. Rasanya aroma tanah pemakaman itu masih tercium dari tubuhnya. 

Bibir indahnya bergetar menggumamkan nama putranya. "Elando ...." Ia menunduk dengan air  mata berlinang.

Pintu di belakangnya dibuka secara tiba-tiba. Juni terkesiap sebelum menghapus air matanya dengan paksa. 

Seorang gadis bermata bulat dan berambut lurus sepinggang muncul dengan seringai badungnya.

"Halo, Kakak. Jadi akhirnya kamu memilih kembali? Well, hidup melarat selama tujuh tahun memang akan membuatmu menjadi mata duitan." Lalu terkekeh dengan cara yang sangat menyebalkan.

Tapi Juni tidak merasa sebal sama sekali. Dia sudah sangat paham dengan karakter orang-orang di rumah ini. Gadis yang berada di depannya adalah anak pertama Ayah dengan istri keduanya.

"Bagaimana? Masuk kembali dalam daftar pewaris dan menikahi taipan pemangsa wanita, bukannya itu takdir yang sangat menyenangkan, Kakak?" 

Juni mendengus bosan. "Jangan panggil aku kakak, Jeni."

"Sudah kuduga. Kamu sama sekali belum berubah. Setidaknya belajarlah untuk bersandiwara di hadapan musuhmu. Ah, kau mau kuajari cara untuk merayu dan tersenyum manis di hadapan si serigala kutub itu?"

"Keluar dari kamarku."

"Tidak perlu repot-repot mengusirku begitu. Aku hanya ingin menyapamu. Kudengar putramu baru saja dimakamkan. Waw, nasibmu sungguh sial ya, Kakak, hihihi ... menikah dengan gembel lalu kehilangan anak. Katanya anak itu sampai kekurangan gizi karena kamu tidak memberinya makan lantaran tidak punya uang."

Juni menggertakkan gigi, gadis berkimono tipis itu tersenyum mengejek, sengaja memancing amarah Juni.

"Jangan melewati batasanmu, Jeni. Tutup mulut kotormu itu."

Jeni terkesiap dengan cara yang dibuat-buat. "Oh waw, aku merinding mendengarnya." Lalu terkikik kurang ajar.

"Pergi dari sini." 

Jeni mengangkat bahu tak acuh. "Oke, aku juga tidak ingin berlama-lama di tempat ini. Kau tahu? Aku alergi dengan bau apek."

Menatap pakaian yang dikenakan Juni lalu mengernyit jijik, kemudian mengayun langkahnya keluar dari kamar sang kakak.

Setelah penampakan gadis itu menghilang sepenuhnya, Juni meluruh ke lantai. Air mata yang ditahannya mati-matian merebak. Ia menggigit bibir untuk menahan isak pilu. 

Demi Tuhan, seberapa berat lagi jalan yang akan ditempuhnya setelah ini?

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Alzena Aira
seru kayaknya
goodnovel comment avatar
Cak Ali
wani bandulan
goodnovel comment avatar
🌹isqia🌹
wow awal baru aja udah kayak gini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status