Tiga hari itu telah tiba. Semuanya sudah dipersiapkan dengan sempurna tanpa campur tangannya sedikit pun. Ia hanya perlu memakai gaun pengantin yang mewahnya tidak ketulungan dengan permata di setiap sulaman benangnya hingga benda itu benar-benar bersinar di tubuhnya.
Ia hanya perlu berdiri di depan altar dan mengucapkan janji suci bersama lelaki itu. Saga Atlanta.
Lelaki yang tidak mengucapkan sepatah kata pun sampai semua proses pernikahan itu selesai. Dia hanya terus menatap lurus apa pun yang tertangkap dalam iris cokelat pekatnya.
"Mari saya antar, Nyonya. Kamar Anda di sebelah sini." Seorang wanita paruh baya berpostur tegak dan berpakaian formal menghampirinya setelah pesta mewah yang hambar itu selesai dan para tamu sudah pergi.
Dia dituntun menyusuri koridor panjang dan tiba di sebuah kamar yang besar.
Saat Juni memasuki kamar itu, yang terlihat hanyalah kemewahan yang menyilaukan matanya, seolah ruangan besar nan luas itu diperuntukkan untuk seorang ratu. Dinding licin seakan terbuat dari berlian, lampu besar yang menggantung di tengah ruangan tampaknya terbuat dari susunan emas yang tidak terhitung.
Pandangannya teralih ke ranjang besar di tengah ruangan. Ia yakin tempat tidur itu akan muat jika ditiduri oleh seluruh penghuni mansion ini. Saat ia melongokkan kepala ke jendela, pemandangan kolam renang besar langsung menyambut matanya, di sekelilingnya ditumbuhi rumput segar yang tampaknya bukan rumput biasa.
Meski ia tumbuh dalam istana Lahendra, tapi rumah ini dan seluruh pemandangan di dalamnya berkali-kali lipat lebih mewah dari rumahnya.
"Sebaiknya Anda membersihkan diri. Tuan besar akan datang mengunjungi Anda sebentar lagi." Sang pelayan yang tampaknya bukan pekerja biasa itu membungkuk hormat sebelum menyuruh dua orang pelayan lainnya masuk.
"Mereka akan membantu Anda untuk membersihkan diri."
Sepertinya dia memiliki status yang tinggi di antara para pekerja lainnya. Dua pelayan itu mengangguk patuh lalu membungkuk hormat padanya.
Pelayan paruh baya itu membungkuk pelan lalu mengayun langkah menuju pintu.
"Tunggu," tahan Juni.
Pelayan itu menoleh dengan ekspresi penuh hormat.
"Siapa namamu?"
"Saya Lenna, kepala pelayan dan pengurus di rumah ini."
Ah, seperti dugaannya.
Juni mengangguk. "Kalau begitu terima kasih." Kemudian memberikan senyum tipis yang ramah sekaligus berwibawa.
Setelah Lenna pergi, kedua pelayan tadi membantunya melepas gaun pernikahan dengan hati-hati. Jangan sampai baju megah itu lecet. Kemudian menuntunnya untuk mandi dan berendam di bath up dengan sangat telaten.
Juni memejamkan mata, menikmati aroma sabun yang memenuhi bath up mewah itu. Setelah pergulatan panjang dengan batinnya sejak ia mengantar kepergian sang anak, baru kali ini ia merasa sedikit rilek. Kendati air matanya masih meluruh.
Salahkah jika ia mengingat masa-masa kelamnya selama lima tahun ini? Sejak ditinggal Rafael yang merantau untuk mengadu nasib—dan akhirnya tidak ada kabar setelah satu tahun—Juni harus merelakan dirinya banting tulang ke sana kemari untuk menghidupi putranya yang masih amat kecil.
Semua penghinaan sudah diterimanya. Diremehkan, dimaki, segalanya sudah dia telan bulat-bulat. Hari ini dia bertekad, tak akan lagi membiarkan dirinya diinjak-injak, karena dia tak lagi punya putra yang harus dia lindungi.
***
Ia berdiri angkuh di kegelapan, di sudut kamar yang tak tersentuh sambil bersandar pada dinding dan bersedekap. Matanya tajam seperti bilahan pedang yang siap mencabik-cabik mangsanya.
Iris cokelat pekatnya menghunus seorang wanita bergaun kuning cerah dengan belahan dada yang rendah di depan sana, yang tengah menari dengan erotis di tengah keremangan kamar.
Kedua buah dadanya bergerak dengan cara yang menggiurkan dan tubuh moleknya yang bak gitar spanyol meliuk-liuk mengikuti alunan musik klasik yang menggoda.
Lelaki itu memutuskan keluar dari sudut kamar yang gelap dan menghampiri tempat sang wanita. Mengamit pinggang rampingnya kemudian menciumnya dengan dalam.
Pertama-tama, ia menggigit bibir wanita itu kemudian menelusupkan lidahnya dengan berani dan menggoda. Dicengkeramnya rahang sang wanita dan dijelajahinya mulut beraroma red wine itu.
Wanita itu mendesah sambil menyebutkan namanya. "Tuan Saga, ah ... beri aku lebih," pintanya dengan mata yang sayu dan ekspresi mendamba.
Saga menatap tajam. Rautnya dingin seperti gumpalan es yang tak akan runtuh. "Memohonlah."
Pandangan wanita itu semakin sayu. "Aku mohon—" Wajahnya mengerut kesakitan saat Saga mencekik lehernya dengan kuat. "A-aku mo-hon beri aku lebih."
"Beri apa?" Ia semakin menekan tangannya di leher wanita itu.
"Tiduri aku. Aku mo-hon."
Saga melepaskan cengkeramannya lalu mendorong wanita itu hingga terjatuh di atas ranjang kemudian merobek pakaiannya dengan kasar. Kembali mencekik ketika wanita itu menjerit kesakitan.
"Jangan menjerit. Mendesahlah. Mengeranglah dengan nada memohon, atau kau akan kulempar ke bawah."
Wanita itu melotot ngeri. Dilempar dari lantai 3 adalah jembatan menuju kematian.
"Kau yang datang sendiri padaku, tapi kau tidak bisa pergi sendiri!"
Ia meraba dengan kasar, menjelajah dengan brutal dan melumat dengan penuh gairah, membuat siapa pun yang berada dalam kendalinya akan merasa takut sekaligus meminta lebih.
Saga Atlanta adalah definisi dari kata berbahaya.
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke