Share

2. Dilempar Ke Sarang Atlanta

Tiga hari itu telah tiba. Semuanya sudah dipersiapkan dengan sempurna tanpa campur tangannya sedikit pun. Ia hanya perlu memakai gaun pengantin yang mewahnya tidak ketulungan dengan permata di setiap sulaman benangnya hingga benda itu benar-benar bersinar di tubuhnya.

Ia hanya perlu berdiri di depan altar dan mengucapkan janji suci bersama lelaki itu. Saga Atlanta.

Lelaki yang tidak mengucapkan sepatah kata pun sampai semua proses pernikahan itu selesai. Dia hanya terus menatap lurus apa pun yang tertangkap dalam iris cokelat pekatnya.

"Mari saya antar, Nyonya. Kamar Anda di sebelah sini." Seorang wanita paruh baya berpostur tegak dan berpakaian formal menghampirinya setelah pesta mewah yang hambar itu selesai dan para tamu sudah pergi. 

Dia dituntun menyusuri koridor panjang dan tiba di sebuah kamar yang besar. 

Saat Juni memasuki kamar itu, yang terlihat hanyalah kemewahan yang menyilaukan matanya, seolah ruangan besar nan luas itu diperuntukkan untuk seorang ratu. Dinding licin seakan terbuat dari berlian, lampu besar yang menggantung di tengah ruangan tampaknya terbuat dari susunan emas yang tidak terhitung.

Pandangannya teralih ke ranjang besar di tengah ruangan. Ia yakin tempat tidur itu akan muat jika ditiduri oleh seluruh penghuni mansion ini. Saat ia melongokkan kepala ke jendela, pemandangan kolam renang besar langsung menyambut matanya, di sekelilingnya ditumbuhi rumput segar yang tampaknya bukan rumput biasa. 

Meski ia tumbuh dalam istana Lahendra, tapi rumah ini dan seluruh pemandangan di dalamnya berkali-kali lipat lebih mewah dari rumahnya.

"Sebaiknya Anda membersihkan diri. Tuan besar akan datang mengunjungi Anda sebentar lagi." Sang pelayan yang tampaknya bukan pekerja biasa itu membungkuk hormat sebelum menyuruh dua orang pelayan lainnya masuk.

"Mereka akan membantu Anda untuk membersihkan diri." 

Sepertinya dia memiliki status yang tinggi di antara para pekerja lainnya. Dua pelayan itu mengangguk patuh lalu membungkuk hormat padanya.

Pelayan paruh baya itu membungkuk pelan lalu mengayun langkah menuju pintu.

"Tunggu," tahan Juni.

Pelayan itu menoleh dengan ekspresi penuh hormat.

"Siapa namamu?"

"Saya Lenna, kepala pelayan dan pengurus di rumah ini."

Ah, seperti dugaannya. 

Juni mengangguk. "Kalau begitu terima kasih." Kemudian memberikan senyum tipis yang ramah sekaligus berwibawa.

Setelah Lenna pergi, kedua pelayan tadi membantunya melepas gaun pernikahan dengan hati-hati. Jangan sampai baju megah itu lecet. Kemudian menuntunnya untuk mandi dan berendam di bath up dengan sangat telaten.

Juni memejamkan mata, menikmati aroma sabun yang memenuhi bath up mewah itu. Setelah pergulatan panjang dengan batinnya sejak ia mengantar kepergian sang anak, baru kali ini ia merasa sedikit rilek. Kendati air matanya masih meluruh. 

Salahkah jika ia mengingat masa-masa kelamnya selama lima tahun ini? Sejak ditinggal Rafael yang merantau untuk mengadu nasib—dan akhirnya tidak ada kabar setelah satu tahun—Juni harus merelakan dirinya banting tulang ke sana kemari untuk menghidupi putranya yang masih amat kecil.

Semua penghinaan sudah diterimanya. Diremehkan, dimaki, segalanya sudah dia telan bulat-bulat. Hari ini dia bertekad, tak akan lagi membiarkan dirinya diinjak-injak, karena dia tak lagi punya putra yang harus dia lindungi.

***

Ia berdiri angkuh di kegelapan, di sudut kamar yang tak tersentuh sambil bersandar pada dinding dan bersedekap. Matanya tajam seperti bilahan pedang yang siap mencabik-cabik mangsanya.

Iris cokelat pekatnya menghunus seorang wanita bergaun kuning cerah dengan belahan dada yang rendah di depan sana, yang tengah menari dengan erotis di tengah keremangan kamar. 

Kedua buah dadanya bergerak dengan cara yang menggiurkan dan tubuh moleknya yang bak gitar spanyol meliuk-liuk mengikuti alunan musik klasik yang menggoda.

Lelaki itu memutuskan keluar dari sudut kamar yang gelap dan menghampiri tempat sang wanita. Mengamit pinggang rampingnya kemudian menciumnya dengan dalam. 

Pertama-tama, ia menggigit bibir wanita itu kemudian menelusupkan lidahnya dengan berani dan menggoda. Dicengkeramnya rahang sang wanita dan dijelajahinya mulut beraroma red wine itu.

Wanita itu mendesah sambil menyebutkan namanya. "Tuan Saga, ah ... beri aku lebih," pintanya dengan mata yang sayu dan ekspresi mendamba.

Saga menatap tajam. Rautnya dingin seperti gumpalan es yang tak akan runtuh. "Memohonlah."

Pandangan wanita itu semakin sayu. "Aku mohon—" Wajahnya mengerut kesakitan saat Saga mencekik lehernya dengan kuat. "A-aku mo-hon beri aku lebih."

"Beri apa?" Ia semakin menekan tangannya di leher wanita itu.

"Tiduri aku. Aku mo-hon."

Saga melepaskan cengkeramannya lalu mendorong wanita itu hingga terjatuh di atas ranjang kemudian merobek pakaiannya dengan kasar. Kembali mencekik ketika wanita itu menjerit kesakitan.

"Jangan menjerit. Mendesahlah. Mengeranglah dengan nada memohon, atau kau akan kulempar ke bawah."

Wanita itu melotot ngeri. Dilempar dari lantai 3 adalah jembatan menuju kematian. 

"Kau yang datang sendiri padaku, tapi kau tidak bisa pergi sendiri!"

Ia meraba dengan kasar, menjelajah dengan brutal dan melumat dengan penuh gairah, membuat siapa pun yang berada dalam kendalinya akan merasa takut sekaligus meminta lebih.

Saga Atlanta adalah definisi dari kata berbahaya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Alzena Aira
Sadis nya saga
goodnovel comment avatar
🌹isqia🌹
udah punya bini pun
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status