Juni keluar dari mobil dan langsung berhadapan dengan karpet merah yang dikelilingi hiasan bunga mewah dengan pot dan guci-guci yang mengkilap.
Para wartawan berkerumun dengan kamera siap siaga dan mikrofon yang mereka ulurkan kepada para tamu kelas kakap yang datang.
"Itu Saga Atlanta!"
"Atlanta sudah datang!"
"Kupikir ini cuma rumor, ternyata dia benar-benar datang."
"Dia bersama seorang wanita, apa itu istrinya?"
Saat pesta pernikahannya bersama Saga, lelaki itu memang tidak mengundang para wartawan. Hanya para kolega dan keluarga terkemuka yang datang. Pestanya pun tak seheboh dan seramai ini. Orang-orang cuma mengetahui namanya—Juni Lahendra—sebagai istri Saga, tidak dengan wajahnya.
Saga mengamit pinggang Juni dengan posesif, membuat wanita itu terksiap sejenak sebelum mengatur kembali ekspresinya, berusaha seanggun mungkin. Melangkah dengan percaya diri diiringi senyum tipis dan langkah kaki yang elegan.
Saat umurnya berada pada fase remaja hingga menginjak dewasa, Juni terkenal sebagai putri sulung Lahendra yang sangat potensial untuk mewarisi seluruh kerajaan bisnis Lahendra.Tapi sejak ia memutuskan menikah dengan Rafael dan meninggalkan semua kemewahan itu, dirinya mulai menjadi santapan bibir orang-orang hingga akhirnya dilupakan sepenuhnya.Orang-orang hanya mengingat tiga anak dari Sandi Lahendra. Satu putri dan dua putra. Hanya itu.Hari ini dia datang kembali, sebagai pewaris utama Lahendra sekaligus istri dari Atlanta.Dua keluarga yang disegani di dunia bisnis. Keluarga termasyhur dan memiliki reputasi baik dan buruk masing-masing.Juni Aulia menggenggam kedua keluarga itu setelah kembali dari pernikahan bodoh dan kehidupan melaratnya."Wah ... kau lihat? Tak ada satu pun yang kurang dari wajah maupun tubuhnya untuk menyandang status penting dari dua keluarga itu.""Aku masih ingat terakhir kali aku melihatnya,
"Aku tidak bisa menyentuhnya sedikit pun karena ada Maria yang selalu melindunginya, bahkan ketika dia tidak berada di rumah Lahendra. Sekarang dia ada dalam genggaman Atlanta. Situasinya jadi semakin sulit."Leticia menghentakkan kaki di lantai rooftop sembari memandang kesal pada bangunan-bangunan tinggi yang menjulang di hadapannya."Ini semua karenamu, Jeni. Kalau kau bersedia menikah dengan Atlanta sebagai pengganti Juni, maka kau yang akan menjadi pewaris Lahendra. Semuanya akan jatuh ke tangan kita."Jeni yang berdiri di sampingnya melirik Leticia sengit. "Ibu menyuruhku menikah dengan serigala kutub itu? Dia memang sangat tampan dan amat kaya, tapi dia adalah pemangsa wanita. Dia sangat berbahaya. Ibu mau aku mati sebagai budak seks-nya?"Leticia mendecak. "Makanya kau harus pintar mengambil hatinya dan menjinakkannya."Jeni mengangkat dagu, mengangkuhkan diri pada bangunan-bangunan tinggi di hadapannya. "Bukannya ini kesempatan bagus
Bagus. Umpannya sudah termakan.Saleh Dipomo pecinta wanita cantik ini terlalu mudah untuk masuk dalam kail pancingannya. Lihat saja tatapan mesumnya yang menjijikkan itu.Leticia sudah bisa menduga perselisihan yang baru saja terjadi antara Saleh Dipomo dan Saga Atlanta ketika Saga membisikkan sesuatu pada lelaki botak jelek itu yang langsung memerah dan panik luar biasa.Bukankah ini adalah kesempatan yang bagus?"Anda pasti sangat ahli menjebak perempuan. Yah ... cara apa pun bisa digunakan."Lelaki bertubuh tambun itu semakin menatap Juni antusias."Juni sangat jarang keluar dari mansion Atlanta, tapi tampaknya malam ini dia bebas."Kedua mata Dipomo membulat, seolah mendapat ide yang sangat cemerlang.'Bagus. Seret anak itu dan bawa dia ke neraka bersamamu.' Leticia berseru puas dalam hati.Dia sudah membayangkan jika Dipomo berhasil membawa Juni ke ranjangnya. Dia sudah menyiapkan bukti-bukti yang
Pelayan suruhannya berdiri di ambang pintu dengan keringat bercucuran."Bagus. Mana wanita itu?"Pelayan laki-laki itu mematung. Wajahnya tampak gelisah.Hidung Dipomo mengerut. "Aku tanya di mana wanita itu? Kau tuli?"Dipomo mendecak kesal. Gairahnya sudah menggebu tapi pelayan bodoh itu masih berdiri dan tidak memperlihatkan Juni Lahendra padanya.Ia baru saja ingin mendekat ketika sang pelayan menggeser tubuhnya dan sosok lain yang bukan Juni terlihat.Dipomo membelalak."Wanita siapa yang kau cari?"'Ke-kenapa Saga Atlanta yang muncul?'Dipomo menelan ludah gugup. Bagaimana bisa rencananya ketahuan secepat ini?!Dengan satu lirikan mata Saga, pelayan itu bergegas keluar dan meninggalkan Dipomo berdua dengan Saga.Saga melangkah maju. Sosoknya yang tinggi tegap menguarkan aura yang mengerikan."Aku tidak tahu kau senekat ini, Dipomo."Dipomo mundur dengan sorot mata
Juni membuka mata dengan pelan. Terasa berat, seolah kelopak matanya tertindih batu besar.Ia mengerjap untuk memperjelas penglihatannya. Perlahan ia mengedarkan mata ke seluruh isi ruangan. Dinding serba putih, plafon putih dan gorden yang putih pula. Apa ini rumah sakit?Tapi tidak ada bau disinfektan dan obat-obatan. Sepertinya bukan. Ini terlalu mewah untuk disebut ruang inap rumah sakit, bahkan untuk ruang VIP sekalipun.Sofa cokelat besar di tengah-tengah ruangan dengan vas bunga keramik yang mengkilat. Gorden tipis yang memperlihatkan langit kekuning-kuningan yang dihiasi oleh bangunan-bangunan tinggi yang berderet indah. Ini seperti kamar hotel berfasilitas mewah.Ia menggerakkan kepala ke arah kiri kemudian mengernyit merasakan sakit yang mendadak mendera kepalanya.Sepersekian detik kemudian, Juni terbelalak. Sepertinya dia melihat punggung seseorang.Ia kembali menoleh. Punggung kokoh dengan otot-otot yang menonjol tep
Juni mengedarkan pandangan ke seluruh kamar. Mengernyit ketika mendapati pakaiannya berserakan di lantai samping ranjang, pun dengan milik Saga. Ia merona malu saat pakaian dalamnya juga bertebaran.Rasa berat masih terasa di kepalanya setiap kali ia bergerak. Juga perih di area selangkangan dan pegal-pegal di seluruh tubuhnya.Suara deras air dari pancuran shower terdengar, gesekan kulitnya dengan selimut dan kicau burung yang sayup-sayup di luar jendela.Juni bergerak hendak bangkit dari tempat tidur. Ia harus segera pergi dari sini."Akh!" Gila! Seluruh sendi tubuhnya terasa lepas dari engselnya. Tulang-tulangnya berasa remuk.Sebenarnya malam seperti apa yang sudah mereka lalui?Ia tertatih memungut satu per satu pakaiannya kemudian memakainya sambil meringis.Juni menoleh ke arah kamar mandi, memastikan Saga belum keluar dari sana. Menarik napas sebelum membuka kenop pintu dan meninggalkan kamar.Juni meringis di ten
Satu jam kemudian, Edward datang dan menghampiri Saga."Kami sudah menemukan keberadaan Nyonya, Tuan. Beliau ada di rumah lamanya.""Bagus. Ayo ke sana."Saga bangkit dari sofa kemudian melangkah keluar dengan wajah dingin. Pandangan matanya lurus seolah siap menjemput mangsanya yang kabur.Edward, sang kepala pengawal dan anak buahnya menuntun Saga melewati jalan yang belum pernah dilaluinya. Perkampungan kumuh yang sepi dengan jalanan licin dan sedikit berlumpur.Mobil sport biru itu berhenti di depan halaman rumah tua yang sudah reot dengan dinding mengelupas.Mengerutkan kening, Saga menatap rumah itu lurus. "Ini tempatnya?""Iya, Tuan. Nyonya ada di dalam."Saga membuka pintu mobil dan berjalan pelan memasuki area rumah itu. Dalam pikirannya, ia merasa heran. Mengapa ada orang yang bisa tinggal di rumah kecil dan tua seperti ini? Dibandingkan rumah, lebih cocok jika dijadikan lokasi syuting film horor. Gelap da
Saat Juni terbangun di tengah malam, ia berada dalam pelukan Saga. Lelaki itu mendekapnya sedikit lebih erat. Ia baru menyadari jika dada Saga ternyata sangat bidang, otot-ototnya begitu keras. Juni mendongak untuk melihat wajah Saga. Rahang yang sangat tajam itu membuat tangan Juni bergerak nakal menelusurinya. Jika sedang tidur, ia tampak tak berbahaya. Hanya seperti lelaki biasa yang tidak akan marah cuma karena hal sepele. Tangan Juni terangkat hendak menyentuh bulu mata yang panjang nan hitam itu ketika Saga menangkap pergelangan tangannya. Juni terkesiap dan langsung menatap mata Saga yang sudah terbuka lebar. Sekarang dia tampak begitu liar dan berbahaya. Juni menelan ludah, sedikit gentar karena tatapan yang tak putus itu. "Sudah pagi?" tanyanya dengan lugas. "Belum. Masih tengah malam." Saga memejamkan mata sejenak sebelum kembali menatap mata Juni. "Ayo kita pulang." Juni belum mengatakan apa pun ketika Saga ban