Juni terperangah, memandang punggung Saga yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Untuk waktu yang lama ia merinding hingga tak bergerak sama sekali.
Liar dan berbahaya.
Dipandanginya pintu kamar mandi yang tertutup. Beberapa menit lagi Saga akan keluar dan mungkin akan menagihnya.
Juni tahu dirinya tidak punya pilihan lain selain itu. Tidur sekamar dengan Saga—dan melayaninya setiap malam, mengingat betapa besarnya gairah lelaki itu—atau melihatnya bercinta setiap malam dengan wanita yang berbeda.
Bukan karena cemburu. Ia hanya muak jika terus menonton percintaan yang menjijikkan itu.
"Jika setuju, maka hanya ada kita yang akan bercinta setiap malam sampai kau tidak bisa berjalan dengan benar."
Juni bergidik mengingat perkataan lelaki itu. Itu juga bukan pilihan yang bagus. Ia menutup wajah dan mengerang frustasi. Sama sekali tidak ada habisnya. Saga dan keegoisannya tidak pernah berakhir.
"Sud
Juni membanting pintu kamar dengan jantung berdebar liar. Dadanya berdenyut nyeri dan ia merasa perlu menarik napas lebih dalam untuk menghilangkan sesak di dadanya. Diliriknya lemari yang terbuka dengan pakaian yang berantakan. Padahal ia baru ingin mengemas pakaiannya dan memilih tinggal di kamar Saga. Ia tidak bisa membiarkan dirinya direndahkan. Dia bukan budak seks dan boneka yang bisa dipermainkan. Tekadnya memang teguh, tapi yang membuatnya merintih adalah dadanya yang kian sesak dan tiba-tiba saja setetes air jatuh dari matanya. Juni tertegun menyadari dirinya baru saja menangis. Dengan cepat dihapusnya air mata itu, mendongak untuk menahan air mata yang hendak keluar dengan deras. Pintu di belakangnya diketuk dengan sopan. "Ini Lenna, Nyonya." Juni menepuk-nepuk kelopak matanya yang sembab sebelum membuka pintu, kemudian mengatur ekspresinya sedatar mungkin. "Boleh saya masuk, Nyonya?"
Saga menatap dirinya lewat cermin wastafel. Wajah dingin yang kejam itu memandangnya dengan ekspresi yang rumit. Dalam mata cokelat yang bersinar di bawah lampu kamar mandi itu terpancar kebingungan, kemarahan, kekecewaan, dan luka yang besar."Aku memilih pilihan yang kedua asal kau tahu.""Kalau kau sebegitunya menyukai seks, aku akan berdiri di sudut kamarmu dan melihat hobimu yang tidak beradab itu."Saga menggertakkan gigi. Seluruh rasa yang tadi menyelimutinya terkalahkan oleh amarah ... dan dia kebingungan harus marah pada siapa.Apakah pada wanita itu yang mengatainya maniak seks dan tak beradab, atau pada dirinya yang memang sudah melakukan apa yang dikatakan sang istri.Detik berikutnya ia tertawa miris. Ia memang maniak seks. Memanggil wanita manapun untuk melampiaskan hasrat dan amarahnya. Itu memang benar.Memaksa Juni untuk menonton percintaannya memang tak beradab. Memang benar. Dia tidak beradab.Dia
Sudah tiga hari Saga tak terlihat. Ia tak pernah ikut sarapan ataupun makan malam. Ini di luar ekspekstasi Juni. Dia pikir Saga akan kembali memaksanya berdiri di sudut kamar dan menonton adegan bercintanya setiap malam.Tapi lelaki itu malah tidak pernah menampakkan batang hidungnya.Tak ada yang memaksanya, hidupnya tenang selama tiga hari ini dan ia merasa sangat lega.Harusnya itu yang dia rasakan alih-alih merasa gelisah dengan dada berdenyut nyeri. Mestinya ia menyegarkan pikiran ketimbang terus memikirkan hal-hal yang tidak penting, seperti:"Apa perkataanku keterlaluan?""Ya? Ah, tidak ... memang saya yang salah."Juni terkesiap ketika menyadari ia telah mengatakan isi pikirannya dengan lantang. Menunduk untuk mendapati Sarah yang berlutut di hadapannya sambil membersihkan pecahan mangkuk. Juni mengerutkan kening di atas ranjang."Apa yang terjadi?""Sa-saya menumpahkan sup yang saya
"Aku merindukan bibirmu." Saga mengecup bibir Juni secepat kilat.Jantung Juni mendadak diliputi debaran yang aneh."Aku merindukan matamu yang pembangkang itu." Napas Saga berembus keras di wajah Juni hingga kedua pipi wanita itu merona."Jangan menyiksaku dengan rasa bersalah. Aku tidak akan meminta maaf."Juni merasakan tubuh Saga yang menindihnya kian berat. Tubuh mereka menempel hingga Juni bisa merasakan dada Saga yang panas. Lelaki itu terus meracau dan mengucapkan kata-kata yang tidak ia mengerti."Kau mabuk. Bangunlah."Juni mencoba mendorong tubuh Saga, tapi lelaki itu bergeming dan malah menyandarkan kepala ke bahu Juni. Napasnya mulai berembus teratur dan tubuhnya menjadi sangat berat.Dan akhirnya Juni merasakan lelaki itu tertidur di atas tubuhnya. Tubuhnya sangat berat sekaligus panas. Susah payah Juni memindahkan Saga ke samping dan mengatur posisinya dengan nyaman.Ia mencari-cari selimut untu
Lelaki berambut ikal dengan postur tinggi itu masih membeku. Matanya terbuka lebar menghunjam Juni.Rafael Estigo.Juni menggumamkan nama itu lamat-lamat di hatinya. Sudah lima tahun mereka berpisah dan tak lagi bertukar kabar. Dari reaksi lelaki itu, Juni akhirnya mengukuhkan tebakannya bahwa dia memang adalah Rafael.Jantung Juni berdebar dengan hebat dan hatinya berdenyut luar biasa sakit. Bagaimana sang suami yang dulu dia cintai dan sekarang dia benci ada di hadapannya, sedang menggendong gadis lain yang bersandar pada dadanya dengan manja.Ia bisa mendengar degup jantungnya yang kian menggila ketika lelaki berambut hitam ikal itu mengerjap dan menatap penuh rindu padanya. Sinar hangat dan penuh kasih dalam mata kelam itu terasa masih sama.Juni menggigit bibir dan membuang muka ketika lelaki itu mulai membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu."Mau jalan sekarang, Nyonya?"Juni menyembunyikan ai
Suasana pemakaman sangat sepi ketika Juni turun dari mobil. Angin lembut menyapu wajahnya dan meniup selendang yang melilit di kepalanya.Beberapa pengawal siap siaga di belakangnya. Ia melangkah memasuki area pemakaman setelah menarik napas untuk yang keseki"Nyonya ingin dikawal masuk?" Seorang pengawal yang Juni tahu sebagai tangan kanan Edward mendahuluinya."Tidak emm—""Nama saya Arnold."Juni mengangguk. "Tidak usah, Arnold. Aku ingin waktu berdua dengan putraku."Pengawal berwajah blasteran itu mengangguk lalu mempersilakan Juni masuk.Karena bukan pemakaman mewah, maka lingkungannya tidak sebersih yang dibayangkan. Daun-daun kering yang berguguran tampaknya sudah berhari-hari tidak dibersihkan. Rumput-rumput liar yang merambati makam dibiarkan tumbuh dengan bebas."Kuharap makam Elando tidak sekotor itu," gumamnya sendu sambil melewati makam-makam yang ditumbuhi tanaman liar.Kening Juni mengerut dal
Kepalanya tertunduk menatap kosong gumpalan tanah yang menjadi rumah bagi sang putra. Rambut ikalnya yang dibelai angin menguatkan kesenduan dari wajahnya.Bekas air mata masih bertakhta di pipinya ketika ia menyadari sang istri telah berbalik arah dan benar-benar meninggalkannya. Rafael teramat tahu di mana letak kesalahannya."Aku melakukannya demi kau, Sayang. Aku menahan semua kesakitan itu untuk kalian," gumamnya pilu. Dipegangnya dadanya yang teramat sakit seolah telah ditikam puluhan kali.Saat tiba di perantauan, Rafael yang tidak punya latar pendidikan tinggi harus bekerja serabutan dengan upah pas-pasan. Ia teramat lelah saat sepulang kerja yang didapatinya hanyalah kamar kecil sumpek yang ditinggali oleh 4 orang termasuk dirinya. Baju-baju berserakan dan kecoa berlalu-lalang dengan bebas.Yang didengarnya setiap malam bukanlah suara lembut Juni seperti biasanya, melainkan dengkuran keras dari teman-teman sekamarnya.Segalanya menja
Juni meringkuk di atas ranjang. Tak mengira hatinya akan sesakit ini. Dulu ia sangat mencintai Rafael sehingga rela meninggalkan rumah Lahendra dan semua zona nyamannya.Ditinggalkan lelaki itu adalah keterpurukan yang sangat menyakitkan. Namun, Juni merasa bertemu kembali dengannya lebih menyakitkan lagi, terlebih ketika ia sudah berstatus sebagai istri orang lain.Merasa semakin sesak berada di dalam kamar, Juni bangkit dari ranjang dan bergegas keluar. Lumayan lelah ketika kakinya harus menyusuri lorong panjang dan menuruni tangga hingga ke bawah. Mansion Atlanta sangatlah besar. Terdiri dari tiga lantai yang ketiganya sangatlah luas dengan lorong-lorong di setiap ruangan.Juni baru melangkah melewati pintu utama ketika Saga berdiri di hadapannya secara tiba-tiba. Ia terlonjak dan hampir terjatuh jika Saga tidak menahan lengannya.Apakah kulit lelaki itu memang selalu panas? Karena setiap kali mereka bersentuhan, kulit Saga selalu terasa panas.