**“Kau benar-benar tidak butuh kursi roda?”Bella berdecak sebal menanggapi pertanyaan bernada canda itu. Ia hanya melirik dengan sinis kepada pria yang duduk di balik kemudi, di sampingnya.“Kenapa tidak diantarkan Felix saja, Gio? Kau membiarkan dirimu sendiri yang menyetir?”“Aku tidak suka ada orang ketiga di antara kita. Kecuali jika aku pergi sendirian.”Bella tidak lagi berkomentar. Ia membetulkan duduknya yang agak terasa tidak nyaman akibat peristiwa semalam, sebelum mobil Giovanni melaju, membelah jalanan utama San Diego yang ramai pagi ini.Matahari bersinar cerah, membuat kota pantai yang indah itu bergelimang cahaya. Meskipun biasanya hujan tetap akan turun pada siang menjelang sore nanti.“Di mana orang tuamu tinggal?” tanya Bella ketika ia menyadari mobil suaminya mengarah ke pusat kota.“Diamond Hill,” jawab Giovanni pendek. Ia menyebut nama salah satu apartemen mewah yang terletak di kawasan prestisius San Diego. “Ibuku tinggal di sana.”“Bersama ayahmu?”“Tidak. Dia
**Wanita itu memandang Giovanni dan Bella bergantian dengan mulut terbuka. Ia menggulir roda kursinya sedikit lebih dekat kepada dua yang lebih muda di hadapannya.“Apa kau bercanda, Son?”“Apa menurutmu aku sedang bercanda?”“Tapi … that’s impossible!”Pria tampan itu menatap ibunya dengan pandangan tidak terima. Ia tidak mengatakan apapun, namun meraih rahang Bella kemudian mencium bibirnya dengan sengaja.“Hmp– Gio, apa yang kau lakukan?” Serta merta Bella mendorong menjauh pria itu. Kaget dan malu sekaligus. Sesudahnya, Giovanni kembali mengarahkan pandangan kepada sang ibu dengan wajah jumawa.“See?”“God! Oh, God! Finally!” Ibu Giovanni meraih kedua tangan Bella dan menggenggamnya dengan hangat. “Menantuku. Astaga, kau cantik sekali! Terima kasih sudah menerima putraku, Nak. Siapa namamu? Katakan siapa namamu?”“Emm ….” Bella berdehem dengan canggung. “Isabella Clark, Maam.”“Oh, Tuhan. Ini harus dirayakan! Aku sudah bisa mati dengan tenang setelah ini. Come in, Isabella. Ibu
**Giovanni terus memandangi wanitanya sampai pelayan klab kembali bersama buku menu. Karena ruangan itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, maka buku menu tidak tergeletak sembarangan di sana.Sayang rasanya saat Giovanni mengalihkan atensi dari perempuan itu.“Kemari, Bella. Apa yang ingin kau makan?” titahnya kemudian.Bella beranjak dari tepi balkon. Ia mendekat dan menengok daftar menu yang ditunjuk sang suami. Agak terkejut, sebab sekalipun ini klab, tapi menu-menu makanannya tidak kalah dengan hotel berbintang.“Aku mau Truffle Butter Aged Tenderloin saja. Oh, Apple Pie juga boleh. Sepertinya itu enak.”Giovanni lagi-lagi tidak bisa menahan senyum. Ia pikir perempuan di hadapannya ini cukup punya prinsip hidup. Contoh sederhana saja, tidak bingung saat memilih menu makanan.“Bawakan dua porsi yang disebutkan istriku tadi,” titah sang tuan lagi, kali ini kepada pelayan yang menunggu. “Ah, dan jangan lupa bawakan aku wine terbaik yang kalian miliki.”“Baik, Tuan. Mohon
**“Kau menyebut saudaramu bajingan brengsek? Astaga, Giovanni, kau tidak boleh seperti itu!”“Karena dia memang bajingan dan dia brengsek.”Bella tidak tahu perkara apa yang tengah terjadi di antara Giovanni dan Damian. Tapi sepertinya ini adalah hal yang cukup serius.“Kau bilang begitu, tapi Damian masih berkeliaran di rumahmu, Gio.”“Hanya karena dia seperti lintah yang menempel dan menghisap darah inangnya.”Bella mengerutkan alis mendengar ungkapan yang tidak menyenangkan itu. Kendati demikian, melihat sikap Damian tempo hari, sepertinya kata-kata Giovanni ada benarnya.Nah, ternyata pucuk dicinta ulam tiba.Ketika Audi milik Giovanni merapat ke basement kastilnya, Sebuah Porsche menjajari dan ikut berhenti. Penumpang mobilnya turun semenit kemudian.“Brother!” sapanya dengan senyum lebar yang memuakkan.Damian merentangkan kedua tangan, bersikap seolah gembira bertemu dengan kakak sepupunya.“Kau tidak memberitahuku bahwa kau berhasil menikahi seorang wanita. Aku pikir kau suda
**Giovanni sudah tidak berada di kamar ketika Bella membuka mata esok paginya. Entah pagi atau malah sudah sore, Bella tidak tahu. Yang jelas jendela di balik tirai itu tampak terang.“Sial, dia serius dengan ucapannya. Sepertinya aku benar-benar pingsan karena perbuatannya itu,” desis perempuan itu seraya melangkah tertatih menuju kamar mandi.Paha bagian dalamnya terasa nyeri, menandakan berapa lama Giovanni mengerjainya kemarin.“Aku harus mandi dan bersiap-siap pergi ke hotel. Sudah beberapa hari tidak ke sana. Jangan-jangan Tracy dan ibunya sudah membakar hotelku karena aku meninggalkannya terlalu lama.”Bella harus merelakan waktu favoritnya berendam dalam bathup. Ia mandi dengan cepat dan tidak terlalu memperhatikan ketika berada dalam walk in closet, tempat koleksi busana mewahnya berada.Setelah berpakaian dan menyapukan sedikit make up, ia keluar kamar.“Nyonya?” sapa Felix begitu Bella menghenyakkan diri di atas kursi meja makan. “Apa yang ingin anda makan?”“Asal tidak be
**“Jangan ganggu aku, Damian! Tinggalkan tempat ini sekarang juga!”Bella habis sabar. Ia menunjuk pria di hadapannya dengan terang-terangan. Sama sekali tidak peduli dengan status pria tersebut, yang seharusnya masih patut dihormati karena ia adalah saudara Giovanni.“Kau tidak mau memperkenalkan aku dengan keluargamu, Bella? Wah, padahal aku sudah menganggapmu keluarga sendiri. Bukankah itu agak kejam?”“Pergi dari sini, sial!”“Kenapa denganmu ini? Dia bahkan tak melakukan apapun! Apakah kau tidak bisa sopan sedikit kepada orang lain?”Bella terkesima mendengar kata-kata dengan nada jelas sekali dibuat-buat itu. Ia ternganga ketika menyaksikan Tracy merangsek maju dan mengulurkan tangan dengan malu-malu kepada Damian Estes.“Hai, aku Tracy. Aku kakak Bella,” katanya.“Kakak tiri,” ralat Bella malas. “Dan sudah aku anggap tidak ada hubungan apa-apa lagi sejak dia mengkhianatiku.”Damian mengerutkan alis mendengar kata-kata terakhir Bella. Ia hampir menanyakan apa maksudnya, sebelum
**Felix mengerutkan alis sementara memandang si tuan muda membawa pergi Porsche-nya. Ia juga tidak menyukai Damian, sesungguhnya. Sepupu muda Giovanni itu seringkali bersikap arogan dan merasa dirinya tuan besar.“Tapi aku tidak bisa mengabaikan kata-katanya tentang Nyonya. Jika terjadi sesuatu dengan Nyonya, Tuan Giovanni bisa menggantungku di pintu gerbang mansion.” Seraya mengayun langkah menuju kantor hotel yang sudah dikenalnya dengan baik, pria itu bergumam sendirian.“Apakah anda baik-baik saja, Nyonya?” tanya Felix sesampainya. Kebetulan sekali pintu ruangan Bella terbuka saat itu, sehingga Felix tidak perlu mengetuk.“Hm?” yang lebih muda mengangkat wajah dari balik layar laptop. “Ada apa? Kenapa memangnya?”“Saudari anda? Dia ada di sini?”“Kalau maksudmu Tracy, para pegawai hotel mengatakan bahwa dia sudah pulang setelah mengawal Damian tadi. Mengapa kau menanyakan Tracy?”“Tidak, Nyonya. Saya hanya khawatir kepada anda.”“Astaga, Felix. Kupikir kenapa.” Bella mengangkat
**Felix membungkuk untuk melihat lebih jelas benda berkilau di atas keset toilet itu. Ia memungutnya, dan seketika hatinya terasa mencelos keluar.Itu adalah salah satu anting berlian yang tadinya dipakai oleh sang nyonya.Pria Amerika itu menegakkan tubuh. Pandangan tajamnya kosong mengarah kepada pintu kamar mandi yang terbuka, sementara ia menggenggam anting milik Bella.“Sial!” makinya, seraya berbalik dan mengayun langkah secepat mungkin menuju meja resepsionis di bagian depan restoran.“Tunjukkan padaku rekaman kamera pengawas lorong toiletmu sepuluh menit yang lalu,” bisiknya tajam kepada resepsionis yang berjaga.Gadis muda di sana mengerutkan alis. “Maaf, Sir. Tapi anda memerlukan izin khusus untuk itu. Saya perlu tahu anda siapa.”Bukannya menjawab, Felix justru mempersempit jarak dengan si gadis. Lalu dengan gerakan yang sama sekali tidak kentara dan hanya bisa dilihat oleh gadis itu saja, ia membuka jasnya. Menunjukkan sebuah senjata api jenis Desert Eagle yang mengkilap
**Tidak adanya pergerakan dari sosok di belakangnya, membuat Bella penasaran dan tidak bisa menahan diri untuk menengok. Kala perempuan itu akhirnya menoleh, ia mendapati sang suami sedang diam dan memandangnya lekat-lekat.“Kau tidak mau pergi?” tanya Bella polos. Giovanni terkekeh pelan. Ia mendekat dan menepuk puncak kepala Bella dengan gemas. “Kau yang bilang tidak mau aku tinggalkan, kan? Maka aku di sini untuk menemanimu.”“Benarkah?”Pria itu mendesis. Ia sungguh tidak tahan melihat tingkah Bella yang polos namun separuh menantang itu.“Tolong jangan memprovokasiku, Bella. Kau masih sakit, ingat!”“Memprovokasi apa? Kupikir aku tidak melakukan apapun. Bahkan bergerak pun tidak, kan? Aku hanya mengedipkan mata.”“That’s the point,” tandas Giovanni kesal. “Kau masih sakit.”“Aku sama sekali tidak merasa sakit, kau tahu.”Memang begitulah adanya. Bella tanpa ragu-ragu memejamkan mata ketika Giovanni mendekat ke arahnya. Jadi bagaimana mungkin sang Don tidak tergoda?“Oh, sial! S
**Tidak. Giovanni menggeleng dengan gusar, berusaha menepis pemikirannya sendiri.Ini bukan gayanya. Selama ini, ia menjalani segala sesuatu dengan berbasiskan bisnis. Semua pihak saling mendapat keuntungan selama kerja sama berlangsung, dan ketika selesai, tidak ada hubungan apapun yang mengendap. Sejak kapan ia menggunakan perasaan ketika bertindak? Jika ia menikmati permainan ranjang dengan Bella. maka itu salah satu bonus saja.“Sekarang kau harus istirahat, Bella. Pulihkan dirimu dulu. Jangan khawatir dengan keamananmu, karena bawahanku akan berjaga selama dua puluh empat jam di sini.”“Apa kau sudah akan pergi lagi?”Pertanyaan itu membuat Giovanni tertegun. Tentu saja ia harus pergi lagi. Ia bukan pengangguran yang memiliki waktu luang sepanjang hari. Para klien atau bahkan lawan bisnis menunggunya di luar sana. Namun dengan tatapan memohon dari sepasang netra biru yang cantik itu, apakah ia bisa menolaknya?“Tidak. Aku akan menemanimu di sini sampai kau tidur. Jika kau terban
**Bagaimana Bella bisa menikmati ciuman dalam keadaan demikian?Ia terlalu sibuk terkejut mendengar kabar yang baru saja didengarnya, kendati Giovanni mengucapkan dengan datar-datar saja. Perempuan itu menatap sang suami dengan kedua mata membola.“A-ayah … ayahku? Apa maksudmu, Gio? Aku tidak mengerti!”“Bukankah kata-kataku sudah sangat jelas? Ayahmu yang membayar orang untuk mencoba membunuhmu. Karena kau tidak mati dalam kecelakaan itu, maka orang-orang suruhan itu berinisiatif menenggelamkanmu di laut lepas Tijuana. Aku membunuh mereka, sayang sekali, padahal orang-orang itu sepertinya memiliki dedikasi yang tinggi terhadap pekerjaan. Orang seperti itu cocok denganku.”Bella masih ternganga dan berusaha mencerna informasi. “Ayah … ayahku? Maksudmu Matthew?”“Kau punya berapa banyak ayah, memangnya?”Seketika kepala Bella seperti dihantam benda keras hingga ia merasa pening. Bella tahu, hubungannya dengan sang ayah tidaklah terlalu baik. Ia juga tahu, orang-orang itu tidak begitu
**Pada akhirnya, peluru dalam pistol itu tidak pernah mengenai baik Matthew, Marita, maupun Tracy. Bukan karena Giovanni tidak tega membunuh orang-orang ini. Namun sebab ia ingin mereka lebih dulu memohon maaf secara langsung kepada Bella. Jika perlu sampai bersujud. Ia pikir sayang sekali jika dibunuh begitu saja tanpa membuat pengakuan.Giovanni memilih mengutus anak buahnya mengirim tiga manusia itu ke balik jeruji besi, berikut semua bukti percobaan pembunuhan yang berhasil didapatkan Giovanni dengan sangat mudah.“Aku akan membalasmu!” Marita masih menjerit-jerit dengan kalap sampai para Sheriff memborgol tangannya dan memasukkannya dalam van polisi. “Aku bersumpah akan membalasmu, sialan! Lihat saja nanti!”Sementara Matthew terlihat seperti patung batu yang jelek, dan Tracy tak henti-henti menangis berurai air mata.“Haruskah saya membunuhnya saja, Tuan? Wanita itu berisik!” tutur Felix, yang segera menyusul datang ke tempat kejadian perkara bersama satu batalyon bawahannya se
**Matthew nyaris saja menjatuhkan gelas wine yang sedang ia pegang kala mendengar jawaban Giovanni yang sedikitpun tidak mengandung keraguan. Sepasang netra biru pria itu bergetar panik. Tidak ada kata-kata lain yang diucapkan Giovanni, namun di antara mereka seperti sudah mengerti satu sama lain.Tentang apa yang membuat bos mafia itu datang ke kediamannya.“Mengapa kau terkejut begitu, Pak Tua?” tembak sang Don. “Bukankah seharusnya kau merasa heran dan menanyakan mengapa aku tiba-tiba ingin membunuhmu? Atau kau sudah tahu alasannya, sehingga kau tidak perlu repot-repot terkejut?”Kali ini, Giovanni mengedarkan pandangan kepada dua yang lain.“Kalian juga sama. Tidak mungkin tidak tahu, kan? Karena tidak satu pun di antara kalian yang menunjukkan wajah tidak tahu.”Baik Tracy maupun Marita bertukar pandang dengan gusar. Gelagat mereka seperti menunjukkan ingin segera melarikan diri dari tempat itu.“Ak-aku sungguh tidak mengerti apa yang kau katakan.” Matthew mencoba berkilah. Pria
**“Tuan, astaga! Tuan!”Ingin rasanya Giovanni menendang Felix yang berteriak-teriak seperti nenek-nenek seperti itu. Namun ketika ia melihat ke arah yang ditunjuk sang bawahan dan melihat ada apa di sana, seketika ia juga ikut berteriak.“Bella!”Di bawah tebing itu, di atas batuan yang agak sedikit datar, Bella menengadah dengan napas yang jelas sekali terengah-engah. Wajahnya kotor dan berdarah serta penuh goresan, berkilat entah karena peluh atau air mata. Ia sedang terduduk sembari mencengkeram bebatuan di sekitarnya. Tampaknya ia sedang berusaha keras mempertahankan kesadaran.“Bella! Bella, aku akan menyelamatkanmu, tunggu di sana, tahan, jangan bergerak!” Giovanni, untuk pertama kali dalam hidupnya merasa begitu panik. Berkali-kali ia berada dalam situasi di antara hidup dan mati ketika menghadapi musuh-musuh besarnya, namun ia tidak sepanik ini.“Ada tali di bagasi, Tuan! Saya akan mengambilnya. Jika memaksa turun dengan tangan kosong, akan sulit kembali ke atas!”Kata-kata
**Bohong jika dua orang pria itu tidak gentar dengan kedatangan tiba-tiba Giovanni. Keduanya hanya pernah melihat sang Don dalam layar kaca, sehingga tidak tahu jika versi aslinya ternyata jauh lebih menakutkan. Giovanni Estes yang memiliki tinggi badan sekitar 190 sentimeter dengan tubuh sangat proporsional itu terlihat menjulang bagai patung dewa. Kendati parasnya lebih cocok menjadi selebriti ketimbang bos mafia, namun tetap saja ada aura gelap dalam dirinya yang bisa membuat musuh segan tanpa alasan.“Kau berani berurusan denganku, bajingan?” Giovanni melangkah maju dengan tenang. Ia mendekati dua pria di hadapannya dengan tangan kosong, sekalipun lawannya sudah mengangkat senjata. Sengaja ia lakukan itu, sebab ingin menghabisi bedebah-bedebah itu tanpa bantuan alat. Sepertinya hal itu akan lebih membuatnya puas.“Mundur jika kau tidak mau mati!” Si botak berteriak mengancam. Ia mengacungkan pistolnya lurus ke arah kepala Giovanni. “Kau pikir aku takut kepadamu, ha! Giovanni Es
**“Petunjuk apa yang sudah kau dapatkan, Felix?” Giovanni tidak bisa menyembunyikan nada gusar dalam suaranya ketika bertanya kepada sang bawahan. Pria itu mengerutkan alis sembari menatap kilasan pemandangan kota yang berkelebatan di luar jendela mobil.“Dua orang pria berkebangsaan Amerika, mengendarai sebuah van berwarna hitam yang tidak terdaftar, dan mengarah ke selatan bagian kota.”“Bukan Luigi, kalau begitu.”Felix sekali lagi melirik kepada kaca spion, mematai tuannya yang sedang terlihat termenung, sama sekali tidak terusik dengan kecepatan mobil yang agak mengkhawatirkan.“Sepertinya kali ini begitu, Tuan. Mengingat Tuan Luigi sudah berjanji tidak akan melibatkan Nyonya Bella lagi dalam urusannya dengan Matthew Clark.”Giovanni menggerutu. Satu kesimpulan yang ia dapatkan dalam waktu singkat ini, bukan Luigi yang menculik Bella. Ia tahu, ayahnya itu hanya mempekerjakan orang yang berkebangsaan Italia.Jadi siapa?“Sial! Siapa pengecut yang berani membuat masalah denganku
**Apakah aku akan mati dengan cara menyedihkan seperti ini?Bella kembali memejamkan mata. Rasa sakit berkejaran dengan panik dan takut, membuatnya tanpa sadar terisak lirih. Dua tetes air mata luruh membasahi pipi, menciptakan sensasi perih yang membuatnya segera tahu bahwa ada luka di wajahnya.Giovanni, benarkah aku akan mati secepat ini, segera setelah menjalin hubungan denganmu?Ya, agaknya memang demikian. Hal ini adalah resiko yang sudah harus Bella terima sejak ia berdiri di atas altar untuk mengucap janji pernikahan dengan Giovanni Estes.“Setidaknya beri tahu aku siapa yang menyuruh kalian melakukan ini,” tutur Bella putus asa.“Kau tahu siapa,” balas si Botak. Pria itu agaknya bertindak sebagai juru bicara di sini. Sebab rekannya yang mengemudikan mobil sama sekali tidak bersuara sejak tadi.“Kau tahu siapa orangnya, Nyonya. Kau jelas mengenalnya.”Bella mengerutkan alis. “Aku tidak mengenal satu pun makhluk yang mengaku sebagai musuh Giovanni!”“Bagaimana jika itu adalah