Share

Bab 2: Malaikat Penyelamat

“Bikin celaka orang. Untung saya nggak mati kejedot batu!” semburnya tanpa menatap Seruni. Kedua tangannya sibuk mengibaskan jas, menghilangkan debu dan rumput kering yang menempel.

Menyadari posisinya yang bisa membuat otak laki-laki travelling, Seruni segera berdiri dan membungkuk. “Ma-maaf, Pak. Saya nggak sengaja. Saya dikejar orang.” Gadis berkulit cokelat terang itu kembali menengok ke belakang.

Bram mendengkus. Setelah memakai kembali jasnya, ia meneruskan langkahnya menuju tempat parkir. Masih ada satu agenda lagi yang harus segera diselesaikan.

Sepeninggal Bram, Seruni terdiam sesaat. Dengan keadaannya saat ini, tidak mungkin ia keluar hotel. Alih-alih selamat, bisa jadi ia malah jadi santapan macan kota. Dilihatnya punggung Bram dan mendadak matanya berbinar. Ia segera berlari dan mengikuti langkah lelaki itu.

Tepat ketika Bram menekan kunci otomatis, Seruni mendekati pintu. Tanpa permisi, ia membukanya dan masuk ke Honda Accord silver milik Bram.

“Lho, lho, apa-apaan ini? Main selonong saja!” Salah satu tangan Bram mencengkeram pintu sementara tubuhnya sedikit membungkuk sehingga ia bisa melihat wajah Seruni yang ketakutan.

“To-tolong saya, Pak. Izinkan saya ikut Bapak. Demi keselamatan saya.” Seruni memperlihatkan wajah sememelas mungkin. Ia memang belum tahu bagaiamana Bram. Namun, dari semua lelaki yang berpapasan dengannya malam itu, hanya Bram yang tidak menatapnya seperti kucing hendak mencuri ikan. 

“Memangnya kamu siapa? Apa urusanmu di sini?” Bram menatap tajam Seruni sebelum kembali mengalihkan pandangan.

“Sa-saya Seruni, Pak. Saya mau dijual. Tolong saya, Pak.” Kali ini suara Seruni bergetar dan matanya berkaca-kaca.

Hati Bram mulai luluh. “Bagaimana kalau ternyata kamulah yang jahat?”

Bram masih ingat kejadian beberapa waktu silam ketika ia dijebak salah satu pesaingnya dengan mengirim perempuan ke kamar tempatnya menginap. Beruntung, ia bisa mengusir wanita itu. Bisa jadi, kali ini pesaingnya mencoba memerangkapnya lagi.

“Saya berani sumpah, saya korban, Pak.” Seruni mengusap sudut mata. Malam itu ia benar-benar merasa tak lebih berharga dari sampah.

Bram menghela napas. Sepertinya gadis di depannya tidak berbohong.

“Apa ini, Pak?” Seruni menatap heran Bram yang mengulurkan jas padanya.

“Pakai saja.” Bram duduk di balik kemudi.

“Ba-baik, Pak.”

Sembari menyalakan mesin, Bram melirik Seruni sekilas. Setidaknya jantungnya aman sampai ia menemukan toko baju. Jas yang dipinjamkannya cukup bisa menutupi sebagian tubuh Seruni. Tak lama kemudian, ia melajukan mobil menuju pintu keluar.

Bram melajukan Honda Accord miliknya dengan kecepatan sedang. Selain menatap jalan, ia juga mencari-cari toko baju. Ia menarik napas lega ketika akhirnya menemukan sebuah distro.

“Turun!” titahnya setelah memarkir mobil.

“Ke-kenapa, Pak? Ini rumah Bapak?”

“Jangan banyak omong. Kalau tidak mau diturunkan di jalan, turuti saja perintah saya.”

“Ba-baik, Pak.” Seruni mengkerut. Ia membuka pintu kemudian mengikuti langkah Bram.

“Pilih baju yang kamu sukai.”

“Maksud Bapak?” Mata Seruni mengerjap, meminta penjelasan. “Saya tidak punya uang untuk bayar.” Ia berujar dengan lirih lalu pandangannya tertuju ke lantai.

Bram berdecak. “Siapa yang suruh bayar. Kamu cuma milih baju saja.” Lelaki berwajah persegi itu melihat arloji di tangan. “Cepet. Waktu saya tidak banyak.”

Tidak ingin Bram kehilangan kendali, Seruni menurut. Tanpa pertimbangan apa pun, ia menyambar kemeja dan celana longgar selutut. Setelah itu, ia pergi ke kamar ganti dan mengganti pakaiannya. Kemudian, ia melipat minidress. Seruni akan menyimpannya. Suatu hari, ia akan mengembalikan pada si tato kalajengking agar tidak ada utang yang ditanggung. Jika suatu hari tiba-tiba ajal menjemput, Seruni akan mati dengan tenang karena tidak punya tanggungan.

Setelah memastikan tidak ada yang salah dengan pakaiannya, Seruni keluar dari kamar ganti. Ia mundur selangkah setelah menyerahkan label baju yang dipilihnya dan jas milik Bram.  Seruni nyaris berteriak ketika karyawan di balik meja kasir menyebut nominal yang harus dibayar.

Belum habis rasa terkejut di hati Seruni, Bram tiba-tiba meninggalkan kasir dan melangkah ke display topi di sudut distro. Ia mengambil topi hitam dan menyerahkan ke kasir. Setelah membayar, dalam diam, ia memberikannya pada Seruni.

Dengan mulut terbuka, Seruni menerima pemberian Bram. Sesaat ia termangu dan hanya melihat Bram melangkah menuju pintu.

“Kamu mau tetap di sini atau ikut saya?”

“Eh, anu ....” Seruni menggaruk kepala. Selama beberapa detik ia menimbang. Berhenti di tempat yang masih asing tanpa tahu tujuan akan sangat berbahaya. Bukan tidak mungkin si tato kalajengking sudah siuman dan mengejarnya.

“Oke kalau kamu mau berhenti di sini.” Bram membalikkan tubuh lalu membuka pintu kaca hingga terdengar denting lonceng.

“Eh, saya ikut, Pak. Saya masih harus bayar utang.” Seruni menunjuk baju lantas berjalan cepat ke arah Bram. Dengan kepala sedikit menunduk, ia mengikuti langkah Bram menuju mobil.

“Saya di belakang saja, Pak,” ujar Seruni ketika sudah berada di samping mobil.

“Saya bukan sopir kamu. Duduk saja di depan.” Bram menekan kunci otomatis. Dengan dagunya, ia memberi isyarat pada Seruni agar segera masuk.

“Maaf sudah merepotkan, Pak.” Seruni memberanikan diri bicara ketika mobil sudah berada di jalanan kota Yogyakarta. Ia menggigit bibir ketika Bram hanya meliriknya. “Saya akan bayar setelah punya uang. Saya tidak akan melupakan bantuan Bapak.”

“Kamu bisa diam, nggak?” Bram menatap kesal Seruni. Ia sedang tidak ingin diajak bicara. Gara-gara bidadari yang turun dari langit itu, ia terlambat. Satu hal yang hampir tidak pernah dilakukannya.

“Ba-baik, Pak.” Seruni mengganjur napas. Pandangannya tertuju pada hiruk-pikuk jalanan kota pelajar dan kerlip lampu dari toko-toko di tepi jalan. Kemudian, keping-keping masa lalunya satu per satu muncul di depan mata.

“Paklik minta maaf, tapi sekolahmu sampai di sini saja.” Suara adik Bapak yang selama ini menjadi pelindungnya setelah kematian kedua orangtuanya terngiang di telinga.

“Kenapa, Paklik? Saya bisa sekolah sambil kerja. Nanti saya bisa cari beasiswa.”

Seruni ingat, mendiang bapak dan ibunya meninggalkan rumah, sawah, dan emas. Meski tidak kaya sekali, tetapi keduanya memiliki cukup tabungan.

Lelaki berusia empat puluh lima tahun itu menggeleng. “Sebentar lagi kamu akan pindah ke rumah Om Doni.”

Seruni ternganga. Siapa pun tahu siapa laki-laki yang disebut pakliknya. “Ta-tapi, Paklik ....”

“Daripada Paklik kehilangan rumah ini, lebih baik Paklik turuti permintaannya untuk ngambil kamu jadi anak asuhnya.”

Tubuh Seruni lemas seketika. Ia tidak menyangka, keluarga satu-satunya yang ia percaya tega mengirimnya ke tempat laknat. Bahkan Bulik dan sepupunya pun bungkam. Tidak satu pun dari mereka yang membela. Belakangan Seruni tahu kalau Paklik kalah judi dan berutang sangat banyak pada Om Doni.

“Ayo, turun!”

Suara Bram menarik Seruni dari ingatan masa lalu. Tergeragap ia menoleh. “Kita di mana, Pak?” Seruni melihat sekeliling dari balik jendela. Jantungnya serasa berhenti berdetak ketika melihat bangunan megah tidak jauh dari tempat Bram menghentikan mobil. “I-ni ho-hotel, Pak?”

Dada Seruni kembali sesak. Kenapa ia harus kembali berada di hotel? Apakah lelaki di hadapannya hanya berpura-pura baik?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status