Share

Jadi Orang Kaya

“Selamat, ya! Ngga nyangka akhirnya pensiun juga jadi bejat.”

“Akhirnya kamu bisa buktikan ke kita kalau kamu normal.”

Marley hanya tersenyum masam menanggapi pernyataan beberapa teman dan sepupunya, tak satu pun yang ia tanggapi, rasanya malas. Sementara di sebelahnya, Almeera terlihat diam dan kaku, entah apa yang ia khawatirkan, padahal pernikahan sudah berjalan dengan se mestinya hanya secara hukum. Mungkin berat bagi Almeera, ia akan tinggal satu atap bersama lelaki yang tak tahu apa itu religius yang sebenarnya.

Jika bukan karena Mariam, ia tentu tak akan mengambil langkah berbahaya ini. Pernikahan berlangsung meriah, tapi tak ada gurat bahagia yang terpancar dari wajah Almeera, ia justru merasa asing di tengah-tengah mereka, keringat dingin sudah membasahi telapak tangannya. Mungkin sebentar lagi ia akan pingsan, entahlah.

Persendiannya juga seperti lemas tak bertulang.  Benar-benar sendiri, berulang kali meyakinkan diri sendiri jika ia mampu melewatinya, lagi pula hanya satu tahun, dan perjanjian yang terjadi antara mereka sama sekali tak membuat Almeera merugi, ia juga tahu betul seperti apa selera Marley.

Terlebih ketika melihat Medusa semakin mendekat, wajah datar tanpa ekspresinya jujur saja seperti pisau tajam, yang siap mengulitinya hidup-hidup, Almeera tebak, Medusa pasti tak setuju pada pernikahan putranya.

“Senang, ya?”

Itu tak terdengar seperti pertanyaan, tapi ejekan dan Almeera tahu itu. Ia hanya berusaha tersenyum tipis, dengan tatapan yang tak lepas dari Medusa, meski ia akui, jiwanya sedikit gentar berhadapan dengan Medusa. Empat tahun menjadi sekretaris di perusahaan Marley, ia juga tahu betul jika Medusa adalah satu-satunya orang yang paling ditakuti Marley.

“Hari ini dan seterusnya, kau telah menjadi orang kaya. Bahagia sekali ‘kan?” lanjutnya dengan tatapan sinis. Almeera lagi dan lagi hanya tersenyum.

“Jangan munafik! Saya tahu tipikal manusia strata bawah seperti kalian, pasti mengincar kekayaan. Saya akan memberikan berapa pun yang kau mau, asal secepatnya tinggalkan Marley!”

Medusa begitu naif, melihat seseorang hanya dengan sebelah mata. Almeera menatap mertuanya dengan senyum yang tak pernah pudar, mungkin orang akan berpikir jika mereka terlihat tengah akrab dan bahagia.

“Simpan saja uangnya untuk keperluan yang lebih penting, dari pada menyerahkannya pada saya. Karena berapa pun nominal yang nyonya berikan, tetap saja tak bisa mempertahankan harga diri saya, andai saya menyandang status janda.”

Medusa mencebik kesal, tak menyangka jika wanita yang selama ini hanya menjadi babu di perusahaan Marley, berubah menjadi wanita yang sok pintar berbicara. Jika sebelumnya ia abai pada beberapa karyawan dan urusan perusahaan Marley, maka mulai detik ini ia akan mengusut tuntas siapa Almeera sebenarnya, ia tak ingin Marley berlama-lama mempertahankan parasit di hidupnya.

Beberapa jam berlalu, akhirnya acara selesai. Kamar luas yang ditaburi kelopak mawar merah, terlihat sangat memanjakan mata, aroma kembang juga membuat Almeera nyaman ketika menghirupnya, jauh lebih tenang, dan aman. Jika dilihat-lihat, kamar ini lebih luas dari ruang tamu di rumahnya yang berada di Jakarta.

Gaun pengantin masih melekat, tubuhnya seperti remuk karena kelamaan berdiri, ia juga belum memakan apa pun selain sepotong roti yang disuapi Marley tadi, sewaktu di pelaminan. Almeera memilih duduk di bibir ranjang, posisinya tepat berhadapan dengan kaca, wajah cantik dengan polesan riasan yang tak terlalu tebal, mampu menambah kesan kecantikan alaminya. Almeera mulai bergerak ke arah sudut kamar, di mana satu buah koper besar miliknya teronggok di sana, pasti Marley atau orang suruhannya yang meletakkan barang ini asal.

Perlahan ia membuka, mengeluarkan sehelai pakaian sopan, setelan piama tidur panjang, dan juga kerudung instan yang sering ia pakai jika di rumah, ia juga mengeluarkan handuk mandi miliknya. Badannya terasa lengket. Setelah berhasil mengunci pintu, tangannya lihai membuka gaun seorang diri, sekaligus beberapa aksesoris yang menempel di kepala. Almeera menggantung gaun itu, pada patung badan yang berada di dekat lemari, mungkin memang sengaja dan khusus untuk gaun yang ia pakai tadi.

“Hari ini aku telah menjadi seorang istri. Tuhan, dosakah bersuami-kan dia? Sementara dia juga tak masuk ke dalam kategori orang yang pantas menjadi imamku. Tapi, engkau pasti tahu bagaimana kondisi hambamu,” lirihnya dengan tangis yang tak lagi bisa dibendung. Ia mengguyur diri di bawah aliran shower, rasa dingin menusuk hingga ke tulang, dan masuk ke kulit kepala, rasanya perlu sekaligus untuk mendinginkan pikirannya. Biarkan saja, Allah tahu hambanya berada dalam kesulitan.

Sementara di luar kamar, Marley terlihat menggila, menggedor pintu dengan setengah berteriak murka memanggil istrinya. Wajah lelah dan fisik yang seperti remuk membuat amarahnya tak stabil.

“Almeera, buka pintunya!”

Merasa suaranya tak diindahkan, Marley terus saja mengumpat.

“Perempuan kolot! Bisa-bisanya dia mengunci diri seolah ini rumahnya. Aaargh!!!”

Karena rasa kantuk yang menyerang, Marley memilih bersandar pada pintu kamar, dan lambat laun memejamkan mata. Almeera tanpa rasa bersalah, tengah mengeringkan rambut, kemudian memakai kerudungnya. Badannya terasa lebih segar dan bertenaga dari sebelumnya.

Tiba-tiba perutnya berbunyi minta diisi, karena rasa lapar yang melilit, membuatnya bergegas membuka pintu, tapi sedetik kemudian ia justru dibuat terkejut dengan apa yang ada di hadapannya. Marley yang tadinya bersandar langsung terjengkang seiring dengan dibukanya pintu kamar.

“Pak Marley!” kejutnya setengah ketakutan.

“Sial! Apa-apaan ini?”

Marley susah payah bangun dan sesekali menepuk pakaiannya meski sebenarnya tak ada debu berarti di sana. Matanya nyalang menatap tajam ke arah Almeera, wanita itu sudah siap dengan konsekuensi yang akan ia terima karena kejadian barusan. Melihat raut ketakutan Almeera, justru membuat Marley semakin kesal.

“Tidak tahu diri! Apa pendengaranmu sudah terganggu? Saya berteriak sedari tadi sampai pita suara seperti mau hilang dari tempatnya.” Sungut Marley kesal. Mendengar itu, refleks Almeera menutup mulutnya dengan tangan karena terkejut.

“Apa? Pak, ini masalah serius. Sebaiknya kita ke rumah sakit!”

“Untuk apa?” sewot Marley lagi.

“Memeriksa pita suara bapak,” jawab Almeera polos.

“Kupingmu yang harus diperiksa. Pekak! Minggir sana!”

Marley menepis Almeera hingga terdorong ke samping, ia langsung masuk seiring dengan suara pintu yang ditutup dengan keras.

“Kok marah, sih? Tadi katanya pita suaranya mau hilang.”

 

Almeera mengendikan bahu, kemudian melanjutkan langkahnya ke lantai bawah. Ia lapar sekali. Rumah Marley kosong, tak ada siapa pun selain mereka berdua, ini semua atas permintaan Almeera juga, ia takut tak bebas melakukan apa saja di rumah Marley, seperti memasak dan yang lainnya.

“Masak nasi goreng aja kali, ya. Simpel, enak, dan sehat.”

Almeera bermonolog sendiri. Ia langsung membuka kulkas dan mengambil beberapa bahan yang bisa dimasak, kemudian fokus dengan kegiatannya sendiri. Beruntung ia sedikit mahir berkat Mariam, tiba-tiba ia merindukan wanita itu. Mariam pasti merasa kesepian di rumah sakit. Almeera mendongak menatap jam dinding besar di dekat dapur.

“Belum terlalu larut. Aku harus membawakan makan malam untuk ibu.”

Almeera tersenyum, dengan bersemangat ia menyiapkan nasi goreng telur juga sosis, nugget ayam, dan sup brokoli dicampur wortel. Tak lama semua selesai, Almeera segera mencari kotak makan, dan menyimpannya dengan baik. Setelah selesai, ia langsung berjalan menuju kamarnya, untung tak dikunci, di sana sudah ada Marley yang tidur dengan posisi terlentang, seperti menguasai kasur. Pria itu juga tak memakai baju. Buru-buru Almeera membuang pandangan ke arah lain.

“Bilang saja kau suka melihatnya.”

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status