Share

Pria Terjahat

Tepat sekali, seperti dugaan Marley pasti ada yang tidak beres di rumahnya. Kendaraan roda empat Marley memasuki pelataran rumahnya, ia sudah disambut oleh keberadaan Medusa yang kini melipat kedua tangannya di dada, dengan tatapan menusuk seperti ingin membunuh ke arah Marley. Medusa tak sendiri, di sebelahnya ada wanita kurang bahan yang merupakan salah satu teman kencannya. Mata wanita itu sembap, sepertinya ia datang di waktu yang salah, di mana harus berhadapan langsung dengan Medusa.

Marley turun dari mobil, belum sempat mengeluarkan jurus basa-basi, wanita di sebelah Medusa sudah berlari ke arahnya dan menggamit lengan kekar Marley erat, seperti meminta perlindungan. Keputusan yang salah, tak ada yang bisa berlindung dan menghindar dari amarah Medusa.

“Sayang, ibumu memarahiku.” Dia mengadu, tapi masih membuat Marley bergeming.

“Kenapa kau ke sini?” tanyanya ketus. Sukses membuat air muka wanita itu berubah.

“Kenapa katamu? Aku ke sini untuk meminta pertanggungjawaban.” Usai berucap demikian, ia langsung menyerahkan alat tes kehamilan, dan menaruhnya tepat di telapak tangan Marley. Matanya refleks melebar, ia tahu benda apa itu tanpa harus membukanya lebih dulu. Tapi lirikan tajam Medusa, langsung membuatnya kembali bersikap tenang.

“Kau yakin itu anakku?” tanya Marley remeh. Wanita di hadapannya refleks menampar Marley, tapi tangannya langsung dicegah Medusa, ia menatapnya seperti ingin memakan teman kencan Marley.

“Beraninya kau mengangkat tanganmu ke wajah putraku,” geram Medusa kemudian menghempaskan tangan sang gadis. Tatapan Medusa lekas beralih pada Marley.

“Masuk! Biar aku yang mengurusnya!”

Tanpa menunggu perintah dua kali, Marley berhambur masuk dan menutup pintu dengan rapat, tak peduli seberapa kencang suara teriakan, dan seberapa sering ia mengumpat dan memaki Marley, pemuda itu percaya, Medusa bisa menangani segalanya seperti biasa. Marley langsung merebahkan diri dan bersandar pada sofa panjang, tubuh, otak, dan jiwanya seperti lelah hari ini. Marley berusaha terpejam, langkah yang besar akan ia lalui esok, tapi Medusa belum mengetahui apa pun tentang rencana mendadaknya.

Ia yakin, Medusa tak akan mudah memberi restu, tapi semoga saja ia bisa menentang Medusa kali ini. Baru beberapa menit terpejam, Medusa sudah masuk dan kini duduk di sofa yang berseberangan dengan Marley.

“Mau sampai kapan kau seperti ini? Beruntung mereka bisa langsung pergi setelah menerima uang dariku. Marley, sudah ku katakan bukan, berhenti bermain-main, atau mami juga akan memaksamu menikahi mereka, juga tak ingin membantumu lagi. Biar kau hidup bersama wanita-wanita rendahan yang sering kau tiduri itu.”

Marley perlahan membuka mata. Medusa memang keras dan egois, tapi ia tak pernah mau jika Marley berada dalam masalah, meski sejatinya Marley memang bersalah. Pemuda tampan itu merenggangkan otot-ototnya, kemudian membenarkan posisi duduk sebelum menjawab semua kegelisahan Medusa.

“Lusa hari pernikahanku. Bersiaplah menyambut menantumu!” tutur Marley tenang. Bukannya senang, Medusa malah tertawa mengejek.

“Jangan bilang kau akan menikahi salah satu dari mereka. Marley, sepertinya kau memang tak akan mendapatkan berlian di tumpukan pasir kotor itu.”

Marley masih terlihat tenang, ia tersenyum tipis.

“Aku akan menikahi sekretarisku, Almeera. Wanita yang baik, dan pantas untukku.”

Medusa terbelalak, terkejut dengan nama yang baru saja Marley sebut. Buru-buru ia menunjukkan wajah tak setujunya. Marley sudah menduga, Medusa pasti akan menentangnya.

“Almeera Zulaikha? Wanita berhijab yang memiliki keyakinan itu?” Marley mengangguk mantap.

“Tidak! Mami tidak setuju. Ada banyak wanita baik-baik di luar sana selain Almeera, hentikan omong kosongmu, Marley!”

“Wanita baik seperti apa yang mami maksud? Aku sudah puluhan kali berkelana dari satu wanita ke wanita yang lain, hasilnya mereka tetap sukarela memberikan tubuh mulusnya padaku ‘kan?” Marley terdiam sebentar, kedua tangannya meraih tangan Medusa yang masih terlihat kesal, tatapannya tetap sama, tatapan meyakinkan tapi tak mampu menembus relung hati Medusa yang memang sekeras baja.

“Empat tahun dia menjadi sekretarisku. Dia wanita yang belum sekali pun aku lihat bersentuhan dengan lelaki, juga tak pernah terlibat kencan bahkan sekedar menerima jemputan dari lelaki. Almeera itu wanita yang baik, dia tak mudah tergoda, bahkan mengizinkan lelaki lain melihat rambutnya saja tak pernah. Percaya sama Marley, Mam! Almeera adalah wanita yang baik.”

Medusa membuang napas berat, melepaskan genggaman tangan Marley dan membuang pandang ke arah lain, raut khawatir terbersit di sana.

“Kau akan bertekuk lutut di bawah perintah Almeera, lalu dia akan merebutmu sepenuhnya dari mami. Marley, kau putraku satu-satunya, tak ada orang tua yang tak ingin putranya bahagia. Lupakan Almeera! Mami sendiri yang akan mencari wanita baik dari kalangan kita untukmu.”

Marley tahu tak mudah membuat Medusa percaya. Tapi ia juga tak terlalu membutuhkan restu Medusa, mereka sudah terlibat perjanjian dan ia sudah mantap dengan keputusannya sendiri.

“Jika bukan Almeera, maka wanita mana pun aku enggan menerima.”

Medusa menatap tak percaya, sulit sekali memerintah Marley sekarang. Ia terdiam, berusaha mendinginkan kepala. Entah sejak kapan putranya mulai menyukai wanita pembawa sial seperti Almeera, baginya sekretaris Marley adalah ancaman baginya, dan juga Marley. Tidak! Marley tak boleh terpengaruh dan terlibat oleh ajaran religius, yang bisa membuat anggapan mereka tentang semua itu berubah, tidak bisa! Tapi jika menghadapi Marley dengan keras kepalanya, maka Medusa harus bersikap sebaliknya.

“Baiklah, mami tak bisa menentangmu. Tapi, ingat! Apa pun yang terjadi, derajatmu tetap lebih di atasnya!”

Marley tersenyum tipis. Tak masalah, itu hal yang mudah. Lagi pula setelah menikah, Almeera dan dirinya tetaplah atasan dan sekretaris, tak ada hubungan lebih dari ini, sesuai dengan yang tertulis di surat perjanjian yang ia buat, jadi ini bukan masalah besar. Medusa tak tersenyum sedikit pun, sekali pun ia mengatakan setuju, tapi hatinya berat menerima Marley menikah dengan wanita yang tak se pemahaman dengan keluarga besarnya.

Sirene bahaya berdenging di kepala, hanya Medusa yang mampu mendengar sejak nama Almeera disebut, seperti baru saja berhadapan dengan musuh sebenarnya, padahal jika dilihat dari fisik dan rupa, Almeera hanya manusia yang bisa dengan mudah disingkirkan, jika disandingkan dengan banyak wanita cantik yang pernah menjadi teman tidur putranya, entah apa yang Marley lihat dari Almeera, hingga membuatnya matanya seperti tak berfungsi sekarang.

Medusa bangkit, bersiap pergi. Rasanya aura di rumah putranya menjadi pengap dan panas, terlebih ketika membayangkan Almeera juga akan tinggal dan berkeliaran di setiap sudut rumah ini. Medusa membuang napas berat, kemudian menatap ke arah pintu setelah berhasil meraih tas tangannya yang berada di meja.

“Mami akan mengurus pernikahanmu.”

Bibir Marley tak henti-hentinya tersenyum, ia tahu Medusa terpaksa, tapi apa pedulinya, toh ia juga sudah mengeluarkan banyak uang untuk biaya pengobatan Mariam, ibu Almeera. Sayang jika perjanjiannya tak diteruskan, bahkan jika ia menuntut Almeera untuk segera membayarnya, gaji setahun Almeera pun tak akan sanggup.

“Mam!”

Medusa terhenti ketika hampir menjangkau pintu, tanpa berbalik, tapi menanti kalimat selanjutnya yang akan terlontar dari bibir Marley.

“Terima kasih,” lanjutnya kemudian.

Medusa tersenyum tipis sekali. Ia jarang mendengar kalimat ini dari Marley, mendengarnya saja seperti membuat hatinya sedikit tenang. Setelah itu, Medusa melangkah tanpa kata, meninggalkan Marley yang kini bergegas ke kamarnya. Ada banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan di rumah, terlebih hari pernikahannya nanti akan digelar secara mewah, tak peduli sekali pun pernikahannya palsu, yang penting mereka tahu jika ia sudah menikah dengan wanita sebaik Almeera.

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status