Share

Jangan Membantah!

“Tingkat kepercayaan dirinya lumayan bagus. Tapi, aku sama sekali tidak tertarik melihat dada lempengmu, Pak Marley!”

Mendengar penuturan Almeera, pria dengan tubuh tegap itu tersinggung, akhirnya ia memperbaiki pakaiannya, kemudian duduk bersandar di ranjang. Ia menatap Almeera yang terlihat sibuk memakai jaket tebal, dan meraih kunci motor dari dalam koper, tubuh kecilnya terlihat semakin mungil tenggelam di dalam pakaian hangat itu.

“Ke mana?” tanyanya singkat. Almeera menyahut tanpa menatap Marley, karena berpikir pria itu masih senantiasa memamerkan dada bidangnya yang terbilang gagah dan bersih.

“Menjenguk ibu.”

“Sendiri?”

Almeera mengangguk. Setelah selesai, ia bergegas ke arah pintu.

“Jangan bepergian di malam hari! Kau perempuan, dan sangat rawan berada di luar.” Marley berusaha mencegahnya, tapi Almeera keras kepala.

“Aku bisa jaga diri,” balasnya mantap. Marley tertawa meremehkan.

“Melihat postur tubuhmu saja, saya yakin mudah patah saat dibanting.”

Mendengar itu, refleks Almeera semakin mengeratkan pakaiannya, karena menduga Marley sudah menatap lekuk tubuhnya tanpa permisi. Tak menjawab, Almeera memilih meneruskan perjalanan, baru saja tangan mencapai gagang pintu, ia sudah dihentikan oleh Marley.

“Berhenti!”

“Kau membuang waktuku, Pak.”

“Jangan membantah, Almeera Zulaikha!” tekan Marley membuat Almeera sedikit ketakutan. Suasana hening sebentar, sebelum akhirnya Marley bangkit, meraih kunci mobil dan berjalan keluar melewati Almeera.

“Saya akan mengantarmu!”

“Tapi, ...”

“Ck! Pantas saja kau sulit kaya. Terlalu banyak kata tapi membuatmu ragu mengambil langkah serius. Ayo!”

Marley melangkah tanpa menunggu Almeera, sementara wanita itu tersenyum tipis dan mengekori langkah lebar Marley. Ia meraih rantang makanan dan masuk ke mobil, duduk di sebelah Marley sebelum pria itu protes dan mengoceh panjang lebar lagi.

Roda empat itu bergerak meninggalkan rumah Marley, keheningan menjadi teman setia keduanya, buktinya di antara mereka tak ada yang berinisiatif untuk membuka topik pembicaraan sama sekali. Almeera tak peduli, lagi pula lebih baik begini, karena menurutnya Marley terlalu kaku dan tidak tepat dijadikan teman bicara yang baik.

Tak lama mereka akhirnya sampai, tanpa menunggu perintah, ia berinisiatif turun sendiri.

“Baguslah. Setidaknya ia memiliki kemajuan. Tidak harus menunggu perintahku lagi,” lirihnya yang masih berada di dalam mobil. Marley berjalan bersisian dengan Almeera, sampai ke ruangan Mariam. Wanita itu rupanya belum tidur, ia hanya menatap kosong ke depan dengan mata yang mengembun.

“Ibu?”

Mendengar suara Almeera, refleks Mariam menoleh, ia tersenyum senang, apa lagi ketika melihat Marley yang setia menjaganya.

“Al, akhirnya kau ke sini, Sayang. Ibu merindukanmu.”

Mariam memeluk erat Almeera, Marley seperti biasa memilih menunggu di luar. Melihat kedekatan Almeera dan Mariam, membuatnya sedikit cemburu, Medusa tak pernah bersikap seperti itu, mungkin karena dirinya adalah anak laki-laki, jadi perlakuannya juga akan lebih kejam dari pada anak perempuan.

Marley memilih duduk di dalam mobil, menyesap sebatang rokok seperti menenangkan pikiran. Namun rupanya ia tak benar-benar tenang, nyatanya ponsel miliknya berdering nyaring. Nama sepupu manjanya terlihat jelas di layar, dengan malas ia berusaha mengabaikan telepon tersebut.

[Kak, aku di depan rumahmu. Buka pintunya! Aku punya hadiah untukmu.]

Satu pesan masuk dari Aulya membuatnya jengkel. Sudah beruntung Aulya tak jadi hadir di acara pernikahannya hingga selesai, ia masih malas rasanya bertemu Aulya, apa lagi sejak insiden beberapa tahun lalu, ketika ia masih duduk di bangku SMA. Sejak saat itu, Aulya bukan adik kecil lagi di matanya, melainkan gadis egois dan semena-mena, yang berambisi untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

[Kak, aku kedinginan di luar.]

Akhirnya Marley membalas pesan Aulya meski berat, ia malas dan ingin menjauh dari gadis agresif itu.

[Pulanglah! Aku sedang berada di luar bersama istriku.]

Setelah mengirim pesan itu, ia berniat mematikan ponsel, tapi pesan susulan Aulya membuat Marley refleks mengusap kasar wajahnya.

[Jahat! Aku akan mengatakan pada Tante kalau kakak tak mau bertemu denganku.]

Dia selalu memakai senjata itu, membuatnya geram, dan bergegas pulang. Sampai lupa jika tadinya ia ke tempat ini bersama Almeera. Setelah tiba di rumah, benar saja Aulya duduk di sana seorang diri, dengan memegang paper bag yang entah isinya apa Marley tak peduli.

“Kak Marley!” Aulya berhamburan memeluk Marley, sementara pria itu memilih berdiri mematung tanpa membalas pelukan Aulya sama sekali. Jika bukan perempuan, rasanya ia ingin melempar Aulya sejauh mungkin. Akhirnya Marley melepas pelukan Aulya dengan paksa. Bibir gadis itu mengerucut.

Aulya memang cantik, berpenampilan menarik, dengan wajah menggemaskan, tapi di matanya ia tetap Aulya beberapa tahun lalu yang egois dan tukang fitnah, suka mengompori dan ia benci tipikal wanita seperti itu.

“Kak Marley masih marah sama aku?” netra Aulya mengembun. Ini yang tak ia suka, wanita selalu menggunakan air mata sebagai senjata.

“Apa yang kurang dariku? Cantik, dan menarik. Apa istrimu jauh lebih cantik?”

Mendengar pertanyaan Aulya, membuat Marley sadar jika Almeera tertinggal jauh di sana. Panik, ia berusaha kembali ke mobil, tapi teriakan Aulya membuatnya berhenti.

“Berhenti atau aku akan mengadu pada Tante!?”

Marley terdiam sebentar, kemudian tetap masuk ke mobil.

“Perempuan sialan!”

Marley melajukan mobil sebisanya. Almeera pasti sudah menunggu dengan gelisah di sana. Harap cemas, sampai kendaraan roda empat itu masuk ke pekarangan rumah sakit.

Ia berlari kecil melintasi koridor, sampai tak sadar ia memiliki ponsel yang bisa digunakan untuk menghubungi Almeera. Berulang kali, tapi tak kunjung mendapat jawaban. Dengan rasa panik bercampur malas ia turun dari mobil, berjalan tergesa ke ruangan Mariam, tanpa salam pintu itu terbuka, membuat Mariam yang tadinya mengelus kepala Almeera mengalihkan pandangan ke arah pintu.

“Mau jemput Almeera? Dia tertidur begitu saja, kau pasti menunggu terlalu lama di luar sana, Nak.”

Tutur kata nan lembut dari bibir Mariam, membuat Marley sedikit tenang. Pantas saja Almeera nyaman, pantas Almeera begitu terjaga dan lembut, lihat saja rupa ibunya. Sedikit canggung, Marley masuk, dan berdiri di samping brankar, tepatnya di belakang Almeera yang tertidur dengan posisi duduk.

“Ibu mau membangunkannya tapi tak tega,” ujarnya lagi. Jika biasanya Marley akan marah, sekarang ia justru ikut menunggu di kursi yang tak jauh dari ranjang pesakitan Mariam. Menantunya hanya diam, duduk, dan mulai memejamkan mata. Ia orang kaya dan punya segalanya, tapi ia tak memiliki sikap kasar dan sama sekali tak memaksa Almeera bangun.

“Nak, ibu rasa atasanmu itu memang jodohmu,” lirihnya setengah berbisik setelah anak dan menantunya benar-benar pulas.

Melihat pemandangan itu, membuat hati Mariam tenang, ia yang tadinya gelisah karena mengkhawatirkan kehidupan Almeera setelah menikah, menjadi jauh lebih tenteram karena sikap Marley yang begitu dingin tapi perhatian.

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status