Share

Khawatirnya Seorang Ibu

“Kau yakin akan menikah dengannya, Al?”

Suara parau Mariam terdengar sendu di telinga Almeera, meski berat ia harus melakukan itu, tak ada waktu untuk menolak jika ia ingin Mariam tetap selamat. Netra beningnya berembun, ia tahu keputusannya salah, beruntung Mariam tak tahu jika Marley dan keluarganya tak memiliki keyakinan apa pun, tak bisa ia bayangkan bagaimana dengan kesehatan Mariam jika mengetahuinya.

“Mereka orang kaya, Al. Ibu takut kau diperlakukan dengan tak wajar di sana,” selorohnya lagi berat.

Almeera masih terdiam, hari ini ia akan bertemu dengan Marley, tapi dengan taraf hubungan yang sedikit berbeda, ia calon istri Marley sekarang. Tangannya masih terlihat menyuapi Mariam, semangkuk bubur tawar terasa semakin hambar di lidah wanita paruh baya itu, seperti halnya Almeera, ia juga tipikal wanita yang gampang terharu dan menangis.

“Maaf, kedatangan ibu malah menyusahkanmu di sini. Andai ibu menuruti perintah ayahmu untuk tak perlu menyusul ke mari, andai ibu tak menuruti rasa rindu, mungkin, ...”

Almeera beralih menatap Mariam, kemudian memeluknya dengan erat. Ia sebenarnya ingin bersikap tegar, dan merahasiakan semuanya pada Mariam, tapi Tuhan berkehendak lain, ia justru membuat Mariam siuman dengan cepat, mungkin karena perawatan yang memadai, Mariam lebih cepat pulih dari biasanya, penyakitnya juga langsung disembuhkan berkat uang yang Marley berikan.

“Tak ada yang perlu disalahkan, Bu. Jodoh, maut, dan rezeki, semua sudah diatur sedemikian rupa, jodoh Almeera juga tak mungkin salah alamat, dan bisa saja pak Marley adalah jodoh yang memang sudah disiapkan Tuhan untuk Almeera.”

Gadis itu lantas menatap arloji yang ada di tangannya, sudah masuk waktu salat. Tangan halusnya mengusap air mata di wajah Mariam, dan bergegas ke kamar mandi rumah sakit untuk mengambil wudu. Hari ini Marley memang membebaskannya dari urusan pekerjaan, selain untuk lebih intens menjaga Mariam, ia juga harus mempersiapkan diri sebagai calon istri Marley.

Mariam masih terbaring lemah, ia juga melakukan gerakan yang serupa dengan Almeera dari atas brankar, tanpa sadar gerakan mereka sedari tadi diintai Marley, pria itu bermaksud menjemput Almeera, tapi melihat pemandangan aneh di hadapan, membuatnya urung masuk dan lebih memilih menunggu sampai Almeera usai.

Beberapa menit berlalu, Almeera yang baru saja bangun dan mengecup punggung tangan Mariam, refleks dibuat sedikit terkejut dengan kehadirannya.

“Bersiaplah! Saya tak punya banyak waktu lagi.”

Marley berucap tenang, ia juga tak menyapa Mariam untuk sekedar membuktikan jika ia adalah calon menantu Mariam, tapi wanita itu juga tak menuntut, sadar posisi strata mereka berbeda, melihat rupa Marley, ia yakin suatu saat keturunan Almeera akan jauh lebih cantik dan tampan, tapi itu tak penting, ia berusaha menelisik apa Marley benar-benar mencintai Almeera atau tidak, ibu mana yang tak ingin anaknya bahagia.

Almeera menggenggam tangan Mariam, melakukan kontak mata dengan wanita yang berharga baginya.

“Almeera pamit ya, Bu. Semua baik-baik saja, tak perlu cemas!”

Seolah tahu apa yang Mariam pikirkan, ia berusaha mengucapkan kalimat yang sekiranya bisa menenangkan Mariam. Wanita itu mengangguk, lekas mengusap pelan kepala Almeera yang masih tertutup kerudung. Setelahnya Almeera benar-benar berlalu, berusaha menyamakan langkahnya dengan Marley, terlihat pelan, tapi kaki panjang Marley sangat kontras dengan Almeera. Mau tak mau, gadis itu terpaksa berlari kecil agar lekas sampai. Sadar suara langkah kaki Almeera terdengar cepat ke arahnya, Marley berinisiatif berhenti. Tapi, hal tak terduga terjadi, Almeera justru menabrak punggung kokoh Marley, membuatnya terdorong ke belakang dan tersungkur ke lantai.

Marley mendengus kesal, tak habis pikir ternyata di balik kepintarannya, Almeera hanya gadis payah yang ceroboh dan lamban. Beberapa perawat dan keluarga pasien yang lain, tertawa melihat Almeera tersungkur. Wajah gadis itu juga memerah menahan malu, ia hanya menunduk tanpa berminat berdiri, sakitnya tak seberapa, malunya yang luar biasa.

Mendengar Almeera jadi bahan lelucon, tubuh tegap Marley berbalik, kemudian mengulurkan tangannya ke arah Almeera, wanita itu hanya mendongak menatapnya, dan berganti pada tangan Marley yang masih melayang di udara.

“Bangun!” titahnya sedikit kesal. Almeera masih saja bergeming. Hingga Marley sadar, ia meraih sapu tangan di kantong, kemudian mengulurkannya pada Almeera, perlahan gadis itu meraih sepotong kain yang dipegang erat Marley, dan berhasil berdiri.

“Dasar ceroboh!”

Setelah puas memaki, ia kembali melanjutkan perjalanannya, kali ini lebih pelan. Tak ingin Marley bertambah kesal lagi, kali ini Almeera yang berinisiatif untuk duduk di kursi samping kemudi, ia tak tahu akan dibawa ke mana sekarang.

Kendaraan roda empat itu berlalu meninggalkan rumah sakit, membelah jalanan dan bersisian dengan pengendara yang lain. Almeera terus menatap ke arah jendela, dengan tangannya yang tak henti bergerak, seraya melafazkan zikir dalam batinnya tanpa didengar Marley. Ia sering melakukan itu, jadi Marley tak terlalu kaget, hanya saja ia tak pernah melihat Almeera salat seperti tadi.

“Turun!”

Almeera terkejut ketika berada di depan butik mewah, jika ia tebak, Marley pasti akan memesan gaun untuknya. Tapi, bukankah pengerjaan gaun itu membutuhkan waktu yang lama, sementara acara pernikahannya akan digelar besok.

“Mengapa kau harus selalu menunggu perintah! Cepat turun!”

Marley jengkel. Almeera buru-buru turun sebelum Marley tambah marah, ia masih kagum, sekali pun ia sudah banyak menghasilkan uang, tapi tak pernah terlintas untuk menghabiskan lembaran uang kertas itu di tempat mahal seperti ini, ia justru lebih mementingkan kebutuhan keluarganya di Jakarta, mereka lebih membutuhkan uang itu.

Marley lagi-lagi melangkah mendahului Almeera, di dalam kedatangannya mereka disambut hangat.

“Siapkan gaun untuk calon istriku. Pengerjaan hari ini, saya tunggu sampai malam hari,” titah Marley tak butuh protes. Mereka sudah hafal wajah Marley, bukan karena ia seorang CEO, melainkan ia adalah putra Medusa, pelanggan setia mereka yang beberapa kali mereka lihat wajahnya dari dekat seperti ini.

“Baik, Tuan Marley.”

Marley memilih duduk di sofa, menunggu Almeera yang tengah dilayani oleh beberapa orang di situ, ukuran tubuhnya juga penting. Ponselnya mendadak berdering, nama Marcella terpampang di layarnya, dengan malas ia menolak telepon darinya, hingga pesan susulan masuk dengan cepat.

[Aku dengar, kau akan menikah.]

Marley terlihat acuh. Marcella memang hanya teman kencannya, tapi gadis itu terlalu berharap lebih pada  Marley, kadang bertanya tentang kepastian hubungan yang tak pernah Marley janjikan sekali pun.

Dering notifikasi berbunyi lagi, kali ini bukan Marcella, tapi Aulya sepupunya.

[Kak, bisa jemput aku di bandara sore ini?]

Marley mendadak malas. Untuk apa wanita manja ini kembali, semakin membuatnya pusing saja.

[Aku juga akan jadi tamu di pernikahanmu, tega sekali jika kau tak menjemputku, Kak.]

Dengan geram, ia mematikan ponselnya sendiri, dan memilih fokus mengawasi Almeera. Tak lama gadis itu kembali. Tanpa banyak kata, ia berlalu setelah membayar lunas agar mereka segera memproses gaunnya.

Sepanjang jalan Almeera masih diam, Marley tahu gadis di sebelahnya memang pendiam, tapi ia juga muak bersisian dengan patung bernyawa seperti Almeera. Kesal, ia membanting klakson, membuat Almeera terkejut.

“Apa aku harus merobek mulutmu saking tak bergunanya, Almeera Zulaikha?”

Tak mendapat jawaban, justru tatapan takut yang Almeera tunjukkan, membuat Marley sadar, sebenarnya Almeera tak salah, tapi dua perempuan itu yang membuat suasana hatinya berantakan begini.

“Haishh, lupakan!”

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status