Aku ikut menitikkan air mata melihat Mas Alan tergugu dalam dekapan Papa. Pria matang yang kini telah resmi menghalalkan sang kekasih itu masih erat memeluk satu-satunya wali atas dirinya itu. Cinta pertamaku masih terus menepuk-nepuk bahu sang keponakan."Sudah, ini hari bahagiamu, bukan? Jangan jadi lelaki cengeng," ucap Papa menggoda Mas Alan."Alan enggak akan ngelupain semua kebaikan Om dan Tante.""Kami orang tuamu, Nak. Sudah sepantasnya kami merawat dan menjagamu dengan sebaik-baiknya.""Bahkan ibu dan ayah–""Sudah ...," potong Papa. "Jangan kamu sebut-sebut lagi kesalahan mereka dulu. Om sudah mengikhlaskan semuanya. Mereka sudah tenang di sisi-Nya."Aku pun belum lama mendengar cerita sesungguhnya dari Papa siapa orang tua Mas Alan. Ibu Mas Alan masih terbilang saudara walau urutannya terbilang jauh. Saat itu keuangan keluarga Mas Alan melemah. Sang ayah yang suka main judi setelah usahanya gulung tikar selalu mendesak istrinya untuk meminjam uang pada Papa. Melati–ibu Ma
Aku masih bergeming, menatap wanita bergamis biru dongker senada dengan hijab lebarnya itu. Vika tampak tenang dalam gendongannya, sebab sesekali Nindi akan mengajaknya bercanda. "Kamu cantik banget, Sayang. Mirip mamamu, tapi hidung dan matamu mewarisi milik papamu." Vika hanya menatap orang yang tengah menggendongnya, tetapi sesekali mengoceh seolah-olah tengah menimpali obrolan Nindi. "Wah ... kamu pintar. Udah bisa merespons kalau diajak bicara," pujinya dengan terus menatap wajah lucu putriku. Namun, tidak berapa lama Vika merengek. Setelah dilihat, ternyata dia pup. "Biar Mama saja yang ganti popoknya, Kal. Kamu di sini saja temani tamu kita." Aku hanya mengangguk. Setelah kepergian Mama, tiba-tiba Nindi mendekat dan bersimpuh di dekat kakiku. "Eh, Mbak ngapain?" Aku mengganti panggilan yang semula Kakak menjadi Mbak. Tangannya terulur dan menggenggam kedua tanganku. "Makasih, Kal. Makasih karena kamu dan Vino sudah memaafkan Aldrin." "Iya, Mbak, iya. Tapi ... jangan beg
“Telat lamaran, siap-siap jadi tamu undangan. Makan sendirian di meja prasmanan tanpa gandengan. Duh… kasihan.”Ah, sial. Kalimat candaan yang dilontarkan Luna benar-benar membuatku ingin memijat pelipis. Pusing. Segera kupacu mobil agar cepat sampai rumah.Kutaruh undangan jenis fortic yang terdiri dari beberapa lembar tema rustic dengan sentuhan ornamen kain goni dan tali jerami. Di dalamnya ada foto calon mempelai yang sebentar lagi akan melepas masa lajangnya. Ratu, salah satu sahabatku dari zaman seragam biru putih akan segera menikah di usia dua puluh empat tahun.Tadi di kantor, sempat kubuka undangan itu. Mempelai wanita tampak tersenyum bahagia menatap calon suami yang berprofesi sebagai abdi negara. Duh, iri sekali melihatnya.“Baru pulang, Kal?” Mama melangkah dari arah dapur sambil membawakanku segelas air."Iya, Ma," jawabku singkat.Aku sedikit mengubah posisi saat wanita terkasih itu menyodorkan air minum yang dibawanya. Segera kuteguk air putih itu hingga tandas.“Haus
Aku mengerutkan kening dengan meng-zoom foto yang Luna kirim. Mengamati lamat-lamat lelaki yang berfoto dengannya.“Owalah, si Rama, to, ini. Cakepan dikit dia sekarang. Pantas pangling,” imbuhku seraya terkekeh.Segera kutaruh ponsel dan lanjut membaca Surah Al-Kahfi di kamar. Semua kemudahan hidup dan fasilitas yang lengkap tak cacat dalam hidupku. Lahir sebagai putri tunggal dengan materi yang cukup sangat diimpikan semua insan.Papa, yang notabene anak orang berada pernah hidup dalam lingkup anak jalanan, sebab korban broken home. Luntang-lantung menjadi remaja yang hidup keras bersama para tunawisma dan bocah putus sekolah menyadarkannya bahwa ia lebih beruntung dibanding mereka.“Perlahan hati Papa mulai lembut, hingga memutuskan untuk mengakhiri pertengkaran dengan nenek kakekmu, Nak. Papa minta untuk bersekolah dan mondok di sebuah pon-pes. Qodarullah, doa-doa Papa dikabulkan hingga menyatukan kembali keutuhan rumah tangga orang tua yang sempat porak-poranda.” Kisah Papa kala
Luna berhasil membawaku ke depan singgasana pengantin. Wanita yang masih belum istikamah menutup auratnya itu melambaikan tangannya kepada Ratu. Sahabat kami itu hanya tersenyum dan mengacungkan jempol. Firasatku mulai tidak enak mengingat di antara kami hanya aku yang masih single.“Inget, kamu harus dapetin buketnya!” bisik Luna dengan semangat.“Kalo nggak dapet?”“Nggak bakalan dapet jodoh.”“Ih, Luna jahat. Aku tuh, cinta berat,” jawabku konyol.“Aelah, malah Tik-Tok-kan.”Aku berusaha ceria agar tak terlihat gerogi.Seorang MC mulai memberikan aba-aba. Pada hitungan ketiga, buket akan dilayangkan dengan posisi pengantin membelakangi hadirin semua. Namun, pada hitungan terakhir, Ratu dan Wisnu–sang suami–tidak jadi melempar ikatan bunga yang terangkai apik itu. Ia tampak berbisik di telinga sang suami dan ditanggapi anggukan oleh kapten militer tersebut.Hadirin tampak bingung, pun denganku. Bagaimana tidak? Ratu menuruni tangga yang hanya berjumlah tiga tingkat dan menuju ke ara
Vino terus meringis menahan sakit. Apa kakinya benar-benar patah? Ah, paling cuma terkilir. Entah kenapa melihatnya kesakitan, aku malah ingin tertawa. Namun, rasa kasihan lebih dominan. Kembali kulirik ia dari kaca tengah.“Cepat, Kal. Kasihan ini si Excel.”“Iya, Pa. Ini juga udah ngebut,” jawabku dengan sedikit gelisah.Mobil terus melaju menuju rumah sakit terdekat. Tidak berapa lama, kami sampai di pelataran parkir. Langsung kuputar kemudi menuju depan pintu IGD. Begitu mobil berhenti, Papa langsung membuka pintu dan memanggil seorang nurse yang tengah berjaga.Dengan sigap, perawat laki-laki dibantu rekannya segera membantu Vino menuju ruang penanganan. Aku dan Mama ikut turun. Namun, seperti biasa kami dilarang masuk saat pasien tengah ditangani.Papa mulai gusar dan melirikku penuh pertanyaan. Tanpa berlama-lama aku pun menjelaskan runtut seperti apa kejadiannya.“Siapa suruh pegang-pegang, aku ‘kan refleks, Pa. Beneran enggak sengaja. Kalaupun aku tahu itu Kak Vino, aku juga
“Ma, Mama percaya, kan, sama cerita Kalila?” tanyaku menatap Mama. “Lila beneran enggak sengaja bikin Kak Vino jatuh dari tangga.”Mama hanya mengangguk dan membelai punggung ini. Seperti biasa, belaian wanita nomor satu itu selalu sukses menyalurkan sebuah kekuatan dan ketenangan akan kegelisahan yang datang berkelindan. “Atau kalau Mama sama Papa ragu, kita bisa cek CCTV hotel.”Aku terus berbicara walau lawan bicara hanya tersenyum, mengangguk, dan memberikan sentuhan lembut agar sang putri tenang. Sedangkan aku? Bagaimana bisa tenang jika secara tidak langsung semua penyebab insiden bermula dari ketidaksengajaan yang aku lakukan?Namun, kata ‘takut’ tidak pernah ada dalam kamus hidupku jika memang kebenaran berada dalam genggaman. Apalagi ada CCTV hotel yang bisa dijadikan bukti jika ada unsur ketidaksengajaan dalam peristiwa tersebut.Closed Circuit Television di hotel Papa dilengkapi dengan baterai sebagai sumber tenaga cadangan atau backup. Sehingga alat yang bisa dikategorika
Ya, setiap ucapan adalah doa yang terlantunkan. Aku tidak pernah menyangka, bahwa seminggu setelah ucapan di hari Jumat waktu itu benar-benar membawaku pada situasi aneh ini. Aneh. Ya, sangat aneh sekali.Pesona mantan yang belum sepenuhnya sirna, kini kembali lagi hadir di pelupuk mata. Memaksaku untuk kembali mencari kunci hati dan membukanya, hanya untuk sekadar memastikan, apakah mantan masih tetap bertahan?“Di antara kita enggak ada kata putus, kan, Kal?” Ucapan Mas Vino menarikku dari lamunan. “Keputusan menjauh murni maumu, bukan mauku.”Aku bergeming. Mencoba berdamai dengan diri sendiri.Memang, tidak ada kata putus di antara aku dan Kak Vino. Keputusan untuk menjauh adalah keinginanku sendiri. Dibilang mantan juga bukan, dibilang masih pacaran juga enggak, dan sekarang ... semesta seolah-olah ingin kembali mempersatukan.Persiapan serba mendadak sudah selesai. Bakda salat Magrib; penghulu, wali, dan saksi sudah memenuhi ruang VVIP Lily ini. Mama, Luna, dan Ratu akan menjadi