"Hey! Ada apa?” tanyaku lirih.Suamiku hanya tersenyum dan menggeleng pelan. Papa izin ke kamar duluan, sementara Mama hendak menuju dapur. Mungkin mau menyiapkan makan malam untuk keponakannya itu. Menyisakan kami berdua yang ditemani acara di layar kaca.“Dia belum nikah?”Aku memiringkan kepala. “Siapa?”“Mas Alan.”“Oh, belum.”“Usianya berapa?”“Tiga puluh lima tahun.”“Kenapa belum menikah?”“Jodohnya nyasar. Enggak pakai Google Maps soalnya,” jawabku asal sembari memasukkan camilan keriuk ke dalam mulut.Sebuah cubitan lembut di perut menjadi hadiah dari jawaban asal yang kuberikan. Aku menggeliat. Bukan sakit, tapi geli. Kembali kami berbincang tentang apa saja dengan sesekali saling bercanda.“Ke kamar, yuk!” ajaknya.“Belum ngantuk,” jawabku.“Di kamar kita juga ada TV, kan? Lihat di dalam aja.”“Lihat apa?”“Lihat aku buka baju,” jawabnya santai.Namun, kalimat seperti itu lagi-lagi membuatku bergetar. Kucoba menetralisirnya dengan bertanya, “Mau ngapain?” “Minta kerokin.
Akhirnya, aku tidak hanya menjadi tamu undangan saja, tetapi kali ini benar-benar mendapat giliran menjadi ratu di samping sang raja. Ya, menjadi raja dan ratu sehari dalam pesta megah penuh euforia. Ternyata, rasanya benar-benar bahagia bisa bersanding dengan orang yang kita cinta.Jajaran orang penting, kolega, relasi, keluarga, sahabat, dan teman bergantian menyalami kami dengan wajah berseri. Tentu saja pengantin tak mau kalah. Walaupun awalnya aku merasa terpaksa akan pernikahan ini, tetapi pada dasarnya diriku pun tak mampu menolak pesona mantan yang ingin kembali memperbaiki hubungan.Ya, mantan memang masa lalu. Namun, jika ia kembali atas petunjuk Tuhan dan kita ditakdirkan kembali bersama dalam sebuah ikatan yang halal, kita bisa apa? Bukankah hidup ini hanya sekadar menjalankan? Selebihnya kita tetap berusaha untuk memupuk jalan takdir agar lebih indah untuk dinikmati.“Jangan disebut mantan, Kal. Sebut saja alumni hati. Sengaja atau enggak, kalian pasti akan reuni. Terbuk
“Apa?” pekikku kaget. “Kamu yakin, Ma, itu Mas Alan? Tamu kali.”“Yakin banget, Bu. Siapa, sih, yang enggak kenal sama wajah gantengnya Pak Alan?”Anganku kembali terbang. “Bentar, itu kejadiannya kapan?”“Kayaknya waktu Pak Alan baru balik dari dinas itu, deh, Bu.”Apa jangan-jangan ... waktu malam itu dia pamit keluar, dia mabuk? Apa dia stres terlalu lama mengurus semua pembangunan resort baru kami? Aku menggeleng kuat-kuat. Itu sama sekali bukan kebiasaannya. Mas Alan salah satu lelaki yang aku kagumi karena akhlak dan kecerdasannya. Dia anti main wanita, apalagi minum alkohol.“Bentar! Kamu masih inget dia pakai baju warna apa? Takutnya kamu salah orang, Ma.”Salma tampak berpikir. “Kalau enggak salah, pakai kaus warna biru terus pakai jaket denim. Bawahannya celana jeans. Iya, itu. Saya masih inget banget, kok, Bu.”Benar. Itu warna kaus yang Mas Alan pakai saat berpamitan ingin keluar sebentar. Aku memang tidak tahu dia pulang jam berapa. Paginya pun, aku dan Mas Vino sarapan a
PoV VinoTak pernah terlintas dalam benak, bahwa semesta masih menjaganya untukku. Wanita pertama yang dulu pernah bergelar pacar saat kami masih berseragam putih abu-abu. Ternyata dia adalah putri dari teman ayahku.Di antara kami tak pernah ada kata putus. Dia hanya mundur dan memutus komunikasi sepihak lantaran kesalahpahaman yang belum sempat aku jelaskan. Ya, bagaimana mau menjelaskan, kalau bertemu saja sudah menghindar.Tidak ada momen yang pas hanya sekadar untuk menjelaskan yang sebenarnya. Selain karena dia yang cuek dan terkesan bodoh amat plus tak mau berurusan lagi denganku, ujian kelulusan sangat menyita waktu belajar. Juga persiapan pesta perpisahan kelas XII waktu itu membuatku benar-benar sibuk.Dinyatakan lulus dengan nilai tertinggi nomor dua di sekolah favorit juga tak menggerakkan hati Kalila untuk mengucapkan selamat untukku. Sementara Nindi dan adik-adik kelas seangkatan begitu antusias bergantian memberi ucapan selamat, bahkan tak jarang memberiku hadiah hanya
Aku melongo, kemudian terkekeh. Sadar kalau dia sedang menggombaliku dengan sebuah pertanyaan absurd.“Kamu nanyea? Kamu bertanyea-tanyea? Oke, aku kasih tahu yea,” jawabku dengan meniru video viral yang sering dilafalkan anak-anak zaman now.Gendis sendiri malah terkikik.“Ih, Kak Vino lucu, pengen nyulik, karungin, terus aku bawa ke KUA.”"Mau ngapain ke KUA?""Mau nebus buku couple yang ada gambar lambang garudanya.""Emang ada?" tanyaku. Kura-kura dalam periuk. Eh, perahu. "Ada, dong. Tapi nebusnya pakai mahar dibayar tunai," jawab Gendhis malu-malu.Aku hanya terkekeh dengan menggeleng-geleng. Di saat yang bersamaan, Nawang keluar membawa beberapa gelas minum. Wajahnya terlihat tidak enak dengan melirik Gendis.“Gak usah nyuri start, kamu itu enggak boleh ngelangkahin Kakak,” ucap Nawang sedikit pedas.“Dih, kenapa? Gendis, kan, emang punya cita-cita nikah muda.”“Iya, tapi enggak sama Mas Vino juga.”“Lah? Kenapa emang?”“Mas Vino udah ada yang punya,” jawab Nawang sok tahu.“
“Vin, kamu tahu resepsi pernikahan Wisnu dan istrinya di mana?” tanya Ayah.“Wisnu bilang di aula salah satu hotel milik Pak Nazeem, Yah,” jawabku.“Betul. Mungkin kamu bisa mulai pendekatan dan bertemu lagi sama Kalila pas nanti resepsinya si Wisnu. Kamu pasti ikut ke sana, kan?”Iyalah. Awas saja kalau aku enggak diajak. Aku bikin si Nawang sama Gendis beneran perang nanti. Wisnu adalah sosok kakak yang baik. Dia sangat menyayangi dan melindungi kedua adik perempuannya.“Nazeem bilang, akhir-akhir ini anaknya sibuk sekali dengan urusan hotel, ditambah ikut mempersiapkan acara resepsinya Wisnu dan Ratu, jadi agak sulit mengajaknya bertemu kalau enggak curi-curi waktu. Nazeem juga bilang, buat acara perjodohan ini jangan terkesan terlalu formal. Buat senatural mungkin, biar Kalila santai.”“Jadi, Pak Nazeem juga setuju dengan rencana kita, Yah?” tanyaku antusias.Ayah mengangguk mantap.“Enggak ada salahnya lebih mengakrabkan hubungan baik kami dengan menjodohkan kalian. Ayah juga uda
Sekitar pukul 10.00 pagi, acara ijab kabul akan dimulai. Wisnu tampak gagah dengan tuksedo hijau lumutnya. Berkali-kali kulihat dia mematut dirinya di depan cermin dengan sesekali mengatur napasnya. Aku terkekeh. “Sudah siap, Kapten?” tanyaku. “Vin, gini ya kalau mau ijab kabul? Jantung gue kayak lagi nabuh rebana tau nggak.” Bukannya menjawab, malah tanya balik. “Eh, Bokir, mana gue tahu? Lu ngeledek apa nyindir?” sungutku. Wajah Wisnu masih terlihat tegang. “Eh, Nu, lu kalau begini jauh dari kata tentara tau, nggak?” “Gerogi, Vin.” Aku menatap jam di pergelangan. “Udah setengah sepuluh. Mau turun sekarang apa entar habis Zuhur?” “Ya sekaranglah,” jawab Wisnu. “Udah siap?” “Bismillah, siap.” “Sekali lagi. Sudah siap, Kapten?” “Siap!” jawab Wisnu lebih tegas. “Nah, gitu dong. Oke, cuss.” Aku berdiri dan mengawal Wisnu untuk keluar kamar. Bersamaan dengan pintu terbuka, Om Warman dan salah satu kerabatnya menghampiri kami. Katanya sudah ditunggu. Penghulu sudah on the wa
Suara wanita yang memekik bercampur lafal istigfar mengantarkan tubuhku jatuh hingga ke lantai dasar. Sekujur tubuh terasa sangat sakit dan pusing hebat juga mulai terasa. Kurasakan tubuh serasa remuk. Tanpa perintah, suara mengaduh otomatis keluar dari mulut sebagai protes atas tubuh yang sudah berguling-guling terjun dari anak tangga. Ah, nikmat sekali derita malam ini."Ya ampun, Pak. Maaf, saya enggak sengaja,” ujar seseorang di dekatku dengan sedikit bergetar, mungkin dia takut.Ah, berarti dia tersangkanya. Hey, tunggu! Dia panggil aku apa? Bapak? Gila, sudah ganteng paripurna dengan setelan tuksedo begini dipanggil ‘bapak’. Dengan geram dan masih menahan sakit, aku bilang kalau diri ini bukan bapak-bapak. Lagi-lagi aku meringis menahan sakit usai memperingatkannya.Tidak berapa lama, terdengar derap langkah kaki menuruni anak tangga. Besar kemungkinan itu Om Nazeem dan istrinya yang pasti mendengar sedikit suara gaduh karena aku terjatuh tadi.“Kalila? Ada apa?”Hah? Kalila? J