Aku melongo, kemudian terkekeh. Sadar kalau dia sedang menggombaliku dengan sebuah pertanyaan absurd.“Kamu nanyea? Kamu bertanyea-tanyea? Oke, aku kasih tahu yea,” jawabku dengan meniru video viral yang sering dilafalkan anak-anak zaman now.Gendis sendiri malah terkikik.“Ih, Kak Vino lucu, pengen nyulik, karungin, terus aku bawa ke KUA.”"Mau ngapain ke KUA?""Mau nebus buku couple yang ada gambar lambang garudanya.""Emang ada?" tanyaku. Kura-kura dalam periuk. Eh, perahu. "Ada, dong. Tapi nebusnya pakai mahar dibayar tunai," jawab Gendhis malu-malu.Aku hanya terkekeh dengan menggeleng-geleng. Di saat yang bersamaan, Nawang keluar membawa beberapa gelas minum. Wajahnya terlihat tidak enak dengan melirik Gendis.“Gak usah nyuri start, kamu itu enggak boleh ngelangkahin Kakak,” ucap Nawang sedikit pedas.“Dih, kenapa? Gendis, kan, emang punya cita-cita nikah muda.”“Iya, tapi enggak sama Mas Vino juga.”“Lah? Kenapa emang?”“Mas Vino udah ada yang punya,” jawab Nawang sok tahu.“
“Vin, kamu tahu resepsi pernikahan Wisnu dan istrinya di mana?” tanya Ayah.“Wisnu bilang di aula salah satu hotel milik Pak Nazeem, Yah,” jawabku.“Betul. Mungkin kamu bisa mulai pendekatan dan bertemu lagi sama Kalila pas nanti resepsinya si Wisnu. Kamu pasti ikut ke sana, kan?”Iyalah. Awas saja kalau aku enggak diajak. Aku bikin si Nawang sama Gendis beneran perang nanti. Wisnu adalah sosok kakak yang baik. Dia sangat menyayangi dan melindungi kedua adik perempuannya.“Nazeem bilang, akhir-akhir ini anaknya sibuk sekali dengan urusan hotel, ditambah ikut mempersiapkan acara resepsinya Wisnu dan Ratu, jadi agak sulit mengajaknya bertemu kalau enggak curi-curi waktu. Nazeem juga bilang, buat acara perjodohan ini jangan terkesan terlalu formal. Buat senatural mungkin, biar Kalila santai.”“Jadi, Pak Nazeem juga setuju dengan rencana kita, Yah?” tanyaku antusias.Ayah mengangguk mantap.“Enggak ada salahnya lebih mengakrabkan hubungan baik kami dengan menjodohkan kalian. Ayah juga uda
Sekitar pukul 10.00 pagi, acara ijab kabul akan dimulai. Wisnu tampak gagah dengan tuksedo hijau lumutnya. Berkali-kali kulihat dia mematut dirinya di depan cermin dengan sesekali mengatur napasnya. Aku terkekeh. “Sudah siap, Kapten?” tanyaku. “Vin, gini ya kalau mau ijab kabul? Jantung gue kayak lagi nabuh rebana tau nggak.” Bukannya menjawab, malah tanya balik. “Eh, Bokir, mana gue tahu? Lu ngeledek apa nyindir?” sungutku. Wajah Wisnu masih terlihat tegang. “Eh, Nu, lu kalau begini jauh dari kata tentara tau, nggak?” “Gerogi, Vin.” Aku menatap jam di pergelangan. “Udah setengah sepuluh. Mau turun sekarang apa entar habis Zuhur?” “Ya sekaranglah,” jawab Wisnu. “Udah siap?” “Bismillah, siap.” “Sekali lagi. Sudah siap, Kapten?” “Siap!” jawab Wisnu lebih tegas. “Nah, gitu dong. Oke, cuss.” Aku berdiri dan mengawal Wisnu untuk keluar kamar. Bersamaan dengan pintu terbuka, Om Warman dan salah satu kerabatnya menghampiri kami. Katanya sudah ditunggu. Penghulu sudah on the wa
Suara wanita yang memekik bercampur lafal istigfar mengantarkan tubuhku jatuh hingga ke lantai dasar. Sekujur tubuh terasa sangat sakit dan pusing hebat juga mulai terasa. Kurasakan tubuh serasa remuk. Tanpa perintah, suara mengaduh otomatis keluar dari mulut sebagai protes atas tubuh yang sudah berguling-guling terjun dari anak tangga. Ah, nikmat sekali derita malam ini."Ya ampun, Pak. Maaf, saya enggak sengaja,” ujar seseorang di dekatku dengan sedikit bergetar, mungkin dia takut.Ah, berarti dia tersangkanya. Hey, tunggu! Dia panggil aku apa? Bapak? Gila, sudah ganteng paripurna dengan setelan tuksedo begini dipanggil ‘bapak’. Dengan geram dan masih menahan sakit, aku bilang kalau diri ini bukan bapak-bapak. Lagi-lagi aku meringis menahan sakit usai memperingatkannya.Tidak berapa lama, terdengar derap langkah kaki menuruni anak tangga. Besar kemungkinan itu Om Nazeem dan istrinya yang pasti mendengar sedikit suara gaduh karena aku terjatuh tadi.“Kalila? Ada apa?”Hah? Kalila? J
Ayah dan Ibu yang baru datang dini hari tadi terlihat terkekeh bersama orang tua Kalila. Kami lupa, ternyata ada penonton non bayaran yang sedang menyaksikan perdebatan kami. Mereka berempat semakin gencar menggoda.Om Nazeem mendekati putrinya dan berbicara sesuatu. Dari pembicaraan yang kudengar, seminggu yang lalu Kalila berucap akan mencari suami minggu depan kalau tidak hujan. Aku terkikik dalam hati. Ah, ada-ada saja ikrar calon istriku ini.Akhirnya, Om Nazeem memutuskan bahwa kami akan menikah malam nanti. Semua persiapan mendadak sudah diurus oleh orang kepercayaannya.Aku seperti tengah mencapai puncak Midoriyama atas semua pengorbanan dan semangat pantang menyerah, sampai harus dipasangi gips di tangan dan kaki karena kegigihanku memperjuangkan cinta Kalila. Hahaha, bodoh amat mau dikata lebay juga.Tiba-tiba Kalila memasang tampang imut dengan puppy eyes-nya.“Kak Vino ... ini serius? Menikah hari ini?” tanyaku dengan suara lembut.Ya Allah, gemes banget ini makhluk. Aku
Rasa canggung mulai menyapa saat satu per satu anggota keluarga pamit undur diri hingga menyisakan aku dan Kalila saja. Ah, andai badan ini sehat wal afiat, pasti aku sudah mengajak Kalila salat sunnah pengantin untuk memulai malam pertama kami. Walau di rumah sakit, it’s ok. Wong ruangannya mirip hotel begini. Hanya saja ranjangnya bukan king size. Kalila berjalan seperti hendak menuju mini bar di sudut ruangan luas ini. Aku memanggilnya dan seketika langkahnya langsung berhenti. Ah, penurut juga dia. Aku tersenyum.“Iya, Kak?” jawabnya.Idih, dikira kita sedang di sekolah? Aku terkekeh. Dengan santai aku memberinya pilihan agar mengganti panggilan untuk suaminya ini. Panggil Mas atau Sayang. Dan dia memilih memanggilku ‘Mas’. Ya Allah, malu-malunya itu lho, enggak nahan.Kalila menawariku perlu dibuatkan minum apa tidak. Aku mengangguk dan meminta susu. Refleks kedua tangannya menutupi dadanya sendiri dengan posisi menyilang. Lah, dia kenapa?Tiba-tiba fantasi liarku merespons deng
Sebulan sudah berlalu setelah insiden hari itu. Dokter keluarga rutin memeriksaku tiga kali dalam seminggu. Memantau dan memastikan kesembuhanku. Alhamdulillah, aku dinyatakan sembuh. Namun, Kalila tetap dilarang masuk kerja mengurus hotel sampai kami selesai melaksanakan pesta dan resepsi.Begitu pula denganku. Ayah dan Ibu mengambil alih sementara tugasku mengelola gerai-gerai kuliner mereka.“Wes, Lé, resto dan lainnya biar kami yang handle dulu. Kamu fokus sama kesehatan juga sama istrimu,” ucap wanita terkasihku lewat telepon.Yo wis lah, manut ki penak og. Untuk proyekku sendiri, Galang sebagai teman satu tim dalam penggarapan kerangka-kerangka bangunan juga bisa diandalkan.“Bersenang-senanglah, Bos. Semua biar saya yang handle.”“Wah, makasih banyak, Brother! Tapi, aku akan tetap bantu sebisaku.”“Siap. Santai aja, Mas.”Aku juga sering menelepon Galang jika banyak permintaan via email.“Enggak nyangka, yo, Mas. Niatnya cuma nganter pengantin, eh, malah ketularan jadi pengan
Entah pukul berapa aku terbangun. Merasa terganggu dengan suara gemeletak. Seperti gigi yang diadu sebab kedinginan. Kukucek mata ingin memastikan. Kalila masih terlelap di bawah selimut. Lalu, itu suara apa?Aku ingin kembali menutup mata. Namun, lagi-lagi suara itu mengusik. Aku terbangun sekali lagi. Hendak beranjak ke kamar mandi. Akan tetapi, sebuah tangan mencekal pergelangan ini.Aku terkesiap. Tangan Kalila seperti baru keluar dari lemari es, dingin sekali. Kusibak selimutnya, memastikan keadaannya. Ya Tuhan, istriku kenapa? Tubuhnya bergetar tanpa sadar dan sulit dikendalikan. Mulutnya seperti bergumam dengan gigi terus bergemeletak.“Kal! Kalila! Kamu kenapa? Bangun, Sayang!” Kutepuk-tepuk pelan pipinya yang halus.Ia tak menanggapi. Malah semakin erat menggenggam tanganku yang masih dipegangnya, sementara matanya tertutup rapat.“Sayang, bangun! Jangan bikin aku takut.”Sempat kulirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Kenapa tubuh Kalila bisa menggigil s