Ya, setiap ucapan adalah doa yang terlantunkan. Aku tidak pernah menyangka, bahwa seminggu setelah ucapan di hari Jumat waktu itu benar-benar membawaku pada situasi aneh ini. Aneh. Ya, sangat aneh sekali.
Pesona mantan yang belum sepenuhnya sirna, kini kembali lagi hadir di pelupuk mata. Memaksaku untuk kembali mencari kunci hati dan membukanya, hanya untuk sekadar memastikan, apakah mantan masih tetap bertahan?
“Di antara kita enggak ada kata putus, kan, Kal?” Ucapan Mas Vino menarikku dari lamunan. “Keputusan menjauh murni maumu, bukan mauku.”
Aku bergeming. Mencoba berdamai dengan diri sendiri.
Memang, tidak ada kata putus di antara aku dan Kak Vino. Keputusan untuk menjauh adalah keinginanku sendiri. Dibilang mantan juga bukan, dibilang masih pacaran juga enggak, dan sekarang ... semesta seolah-olah ingin kembali mempersatukan.
Persiapan serba mendadak sudah selesai. Bakda salat Magrib; penghulu, wali, dan saksi sudah memenuhi ruang VVIP Lily ini. Mama, Luna, dan Ratu akan menjadi saksi dari pihakku. Sementara dari pihak Kak Vino hanya ada kedua orang tuanya berikut suami Ratu. Ya, Wisnu dan Kak Vino ternyata teman dekat.
“Kal, kamu minta mahar berapa sama Kak Vino?” bisik Luna.
“Enggak tahu!” jawabku.
“Kok, enggak tahu, sih?”
“Terserah dia mau ngasih mahar berapa. Manut.”
“Hmm... iya, sih. Sebaik-baik wanita adalah yang paling sedikit maharnya, tapi sebaik-baiknya lelaki adalah dia yang tahu diri.”
Tawaku hampir menyembur saat mendengar kalimatnya. Tukang rias yang sedang mendandaniku malah tertawa. “Mbak Luna memang realistis sekali,” ungkapnya jujur.
“Benar, to, Mbak?” puji Luna akan opininya. “Jangan mau dikasih mahar dikit, Kal. Kamu bakalan seutuhnya jadi milik Vino. Minta jangan tanggung-tanggung. Toh, keluarganya lumayan tajir.”
Aku hanya diam menyimak cuitan Luna yang seolah-olah belum percaya bahwa sahabat jomlo yang diam-diam memang tak punya gandengan, sekali bergerak langsung naik pelaminan.
“Maudy Ayunda mah kalah viral ini. Sat set sat set!” ungkapnya.
“Eh, bentar. Kalau Kak Vino belum bisa duduk apalagi berjalan, berarti pesta kalian dipending, dong?”
“Yang penting halal dulu,” jawabku singkat.
“Cieee, yang menuju halal,” godanya.
Ish! Anak ini benar-benar cerewet. Mengalahkan cuitan sales shampo anti rambut lepek.
“Malam pertama juga di-pending, dong?”
Ya ampun, Luna. Benar-benar membuat rasa grogiku bertambah. Ratu yang mungkin semalam sudah melakukan ritual malam pertama memilih menjauh dengan alasan ingin ke kamar mandi. Ya, dia pasti tidak mau diwawancarai oleh Luna, si Ratu Kepo.
Kebaya putih milik Mama yang dulu dikenakan saat dinikahi Papa sangat pas di badanku. Ditambah riasan natural yang sengaja aku minta kepada tukang paes yang sering bekerjasama dengan hotel, membuat mata Mama berkaca-kaca.
“Anak Mama cantik,” ungkapnya. “Jumat kemarin masih Mama elus-elus. Jumat ini sudah mau dielus orang lain,” lanjutnya. Seperti menyembunyikan raut sedih dengan sedikit bercanda, tetapi bisa kutangkap rasa gelisahnya.
“Mama kenapa?” tanyaku.
Beliau hanya menggeleng dan tersenyum lebar. Sementara seorang pria di atas tempat tidur pesakitannya tampak memperhatikanku. Tersenyum hangat dengan sedikit menahan sakit saat akan dibantu duduk.
Tidak pernah terbayangkan jika aku akan menikah dalam suasana haru seperti saat ini, dengan mantan pula. Insiden semalam itu benar-benar membuatku merasa bersalah. Namun, sedikit pun aku tak keberatan dengan permintaan Vino agar kami menikah sebagai bentuk rasa tanggung jawab.
Tak bisa kuungkapkan rasa aneh yang seperti sedang bereuforia dan melakukan tumpengan di dalam hati dengan adanya pernikahan ini. Apa artinya aku menerima semua ini? Ah, what’s wrong with me?
Walau dengan baju koko putih dan kopiah hitam sederhana, pesona Kak Vino benar-benar sukses membuatku terpana. Uang 31 juta rupiah berikut 31 gram emas dalam bentuk satu set perhiasan disebutkan sebagai mahar untuk menghalalkan diri ini.
“Saya terima nikah dan kawinnya Kalila Izzatun Nazeem binti Khoirun Nazeem dengan mas kawin tersebut, tunai!”
Kata ‘sah’ terucap. Hati seketika menghangat. Kupejamkan mata, menikmati gemuruh di dada yang menggaungkan lagu bahagia. Oh, Tuhan, kenapa terikat kehalalan dengannya menyenangkan seperti ini?
Suasana haru mengepung ruangan putih yang sedikit dingin dengan sentuhan AC. Namun, hatiku menghangat, terperangkap rasa bahagia walau dalam keadaan terpaksa pada awalnya. Mama menangis menciumi wajahku. Ratu dan Luna juga bergantian memeluk.
Papa menyambutku dengan perlakuan yang sama. Setelah kucium punggung tangannya, beliau menciumi dan memeluk putri tunggalnya ini dengan suara bergetar.
“Tugas Papa sudah diambil alih oleh Nak Excel. Patuh dan taatlah dengan semua perintahnya, selama tidak melanggar aturan agama.”
Aku mengangguk dalam isak yang mulai terpancing keluar. Menangis di dadanya seperti masih kecil dulu. Papa mengurai pelukan dan mengantarkanku pada lelaki bergelar suami yang tersenyum dengan mata sedikit berair. Terharukah dia?
“Nak, Papa serahkan gadis semata wayang kami padamu. Papa percaya, kamu akan membimbingnya dengan baik,” ujar papa dengan suara serak.
“Insya Allah, Pa. Doakan kami bisa menjaga amanah bernama pernikahan ini.”
“Papa percaya padamu, Nak.” Serta merta cinta pertamaku memeluk Mas Vino.
Kulihat Papa menangis di pundak menantunya. Berkata lirih dan tak bisa kudengar. Namun, keduanya sama-sama menangis usai kalimat yang Papa ucapkan di telinga sang menantu.
“Kalila ... ayo sambut suamimu, Nak,” ucap Papa. Sisa air mata masih menjejak di pipinya.
Dengan sedikit kikuk, aku mendatangi dan perlahan mengulurkan tangan untuk meraih tangan Kak Vino. Ia pun memberikan tangannya untuk kucium. Sesaat ada haru yang menyergap. Entah kenapa aku malah tergugu. Apalagi saat sebuah doa lirih ia ucapkan tepat di pucuk kepala ini. Sungai jiwa mulai meluap menumpahkan segala rasa.
Tidak ada kamar pengantin, yang ada hanya kamar rawat inap. Walaupun dilengkapi dengan fasilitas smart TV, bed penunggu, sofa, kulkas, mini bar, dan beberapa pelengkap lainnya, tetap saja ini rumah sakit. Kita di sini sebab ada yang sedang sakit dan butuh perawatan.Kini kami hanya berdua. Ayah dan ibu mertua menginap di rumah Papa. Sementara yang lain tentu saja pulang. Selain tidak diperbolehkan banyak penunggu, tentu saja ini juga keinginan pasien.“Pengantin baru, kok, dijagain,” katanya.Yang lain mesem-mesem, aku hanya terdiam pura-pura sibuk. Ya, sibuk menetralkan irama jantung, karena kurasakan pipi sedikit panas. Mungkin juga sudah bersemu merah karena Mama malah menaik turunkan kedua alisnya seperti menggoda. Sementara dua sahabatku juga ikut-ikutan. Halah mbuh, Cah!“Selamat ya, Kal. Enggak nyangka, lho, buket bunga yang langsung aku kasih ke kamu harapannya bekerja dengan cepat,” ucap Ratu, sebelum berlalu digamit sang suami.“Tahu gitu bunganya kamu kasih ke aku aja, Tu,”
Aku terdiam. Merasakan getaran hebat yang sulit diartikan. Jika dinding yang mengelilingi kami saat ini terbuat dari kaca, mungkin aku bisa melihat seperti apa merahnya wajah ini. Rasa-rasanya, aku telah kembali tertawan oleh pesonanya, persis seperti tujuh tahun yang lalu. Tanpa mengucap sepatah kata pun, segera aku berlalu menuju jendela dan menutup gorden.Benar kata Mas Vino, kerlap-kerlip bintang seolah-olah mengintai malu di balik gumpalan awan tipis di malam ini. Apakah mereka benar-benar cemburu? Ah, kenapa aku jadi terjebak kalimat puitisnya. Bibirku melengkung, kembali merasai hangat yang mendesir.Aku kembali hendak menuju bad penunggu di sebelah suamiku yang masih terduduk menyandar pada bantal.“Sini, Sayang!” pintanya. Menepuk kasurnya sendiri.Aku menggeleng pelan. “Di sini aja, Mas. Enggak muat di situ.”“Muat, kok.” Ia menggeser sedikit tubuhnya.Aku langsung sigap. “Bisa, Mas?”“Bisa. Habis nyium pipi kamu aja aku udah ada sedikit kekuatan. Gimana kalau lebih?” godan
Aku menggeliat saat mendengar bunyi alarm dari sebuah ponsel. Ternyata benda pintar yang dimiliki hampir seluruh umat manusia di era milinial itu ada di bed sebelah.“Loh? Aku, kok ....” Aku bergumam lirih.Mulai sadar sepenuhnya saat melihat satu tanganku digenggam oleh Mas Vino dan diletakkan di atas dadanya. Dia masih tertidur. Posisi kepalanya di samping pinggul, sementara saat ini aku terjaga dalam keadaan terduduk. Jadi, dari semalam aku tidur berdua dengan Mas Vino dalam posisi menyandar? Di tempat tidur pasien yang sempit ini? Astaga ... ketiduran apa terhipnotis?Perlahan kulepas genggaman tangan kami. Aku turun dari tempat tidurnya dengan hati-hati agar tidak membangunkannya. Namun, sesuatu yang basah tampak terasa di bagian sensitif. Saat ingin kuraba bagian belakang, mata ini menangkap bercak merah di seprai putih kasur pasien.Loh? Aku mens? Astaga ....Waktu Subuh sudah tiba. Perlahan kubangunkan Mas Vino agar segera menunaikan salat Subuh. Ia menggeliat dengan pelan-pel
Sebelum mereka berasumsi yang tidak-tidak, segera aku menjelaskan kenapa sudah mandi pagi-pagi begini. Berikut penjelasan seprai dengan bercak darah menstruasi yang aku cuci sendiri. Benar saja, dua wanita yang sudah tampak akrab itu mengira bahwa ritual malam pertama sudah terjadi.“Owalah, kirain Mama kalian udah iya-iya,” bisiknya saat menata sarapan pagi yang dibawanya dari rumah.“Mama yakin kami udah begituan dalam keadaan Mas Vino seperti itu? Ada-ada saja,” jawabku.Mama malah terkikik. “Iya juga, sih. Malah bahaya kalau dipaksa begituan sebelum benar-benar sembuh.”“Nah, itu Mama paham.”Menu sup ayam, perkedel kentang, kerupuk, beberapa olahan ikan laut berikut sambal sengaja beliau masak untuk sarapan kami. Ya, Mama selalu mengajarkan Kalila kecil hingga dewasa ini untuk mencintai makanan rumahan yang dimasak dengan bumbu cinta.“Banyak banget olahan ikannya, Ma?”“Suamimu harus banyak makan ikan laut. Bagus buat tulangnya.”Aku hanya mengangguk sambil melihat sup ayam brok
Sudah lima hari ruangan dengan segala fasilitas mewah ini kutempati bersama suami. Bukan hotel, tetapi ruang rawat inap. Walau kelas VVIP, tetap saja rumah sakit. Tidak ada acara sakral seperti pasangan pengantin baru pada umumnya. Dibantu asisten dokter juga perawat, aku pun ikut membantu dan mendampingi pemulihan Mas Vino dengan berjalan dan melakukan gerakan-gerakan kecil untuk memastikan perkembangannya.Alhamdulillah, setidaknya korban ketidaksengajaanku itu sudah membaik. Aku tersenyum saat ia kembali dari teras samping usai menikmati sinar mentari pagi dari lantai dua ini.“Kal, kita harus adakan pesta untuk pernikahan kita ini.”“Hmm, boleh. Tapi, apa enggak sebaiknya nunggu Mas Vino benar-benar sembuh?”“Kalau itu pasti, Sayang,” jawabnya. “Rencananya di Semarang juga akan diadakan pesta nantinya. Kerabat Ibu banyak yang di sana.”Aku hanya mengangguk dengan mengulas senyum.“Kalau untuk honeymoon, kamu maunya ke mana?Keningku berkerut. “Harus, ya, Mas?”“Iya, dong!”“Kita h
Aroma wangi yang sangat lembut menyambut hangat begitu pintu kamar kudorong ke dalam. Ruang favoritku telah didekorasi sangat cantik. Kelambu tipis transparan diikat ke empat tiang yang mengelilingi kasur berukuran jumbo. Sentuhan bunga segar yang dirangkai cantik pada area kelambu juga terlihat sangat pas, sesuai kesukaanku.“Uwaaah ....” Aku membuka mulut. Takjub dengan dekorasi kamar sendiri.Kelopak mawar yang ditabur di lantai begitu teduh memanjakan mata, ditambah lilin cantik dalam wadah kristal yang sengaja dibentuk serupa jalan hingga menuju ke ranjang. Gorden putih yang terpajang full menutupi jendela kamar juga menambah kesan elegan, hangat, nan romantis.Aku tersenyum. Kedatangan kami penuh penyambutan yang hangat. Pasti Mama minta bantuan Yumna–salah satu tim dekorasi hotel–untuk mendesain semua ini.“Ini kamar kamu, Kal?”Aku mengangguk. “Kamar kita, Mas. Yuk, masuk!” ajakku.Pandangan lelaki yang lengannya masih kugamit itu terlihat berkeliling. Mengitari tiap keindaha
Gombalan Mas Vino tak ada habisnya. Kami terus menyelesaikan pekerjaan masing-masing walau sesekali bercanda.“Jadi, Mas Vino ini arsitek freelance?”“Ya ... bisa dibilang begitu.”“Kalau usaha Ayah siapa yang handle?”“Aku juga,” jawabnya. “Kalau ini murni hobiku yang akhirnya jadi usaha sampingan sampai saat ini. Kalau gerai kuliner ‘kan usaha warisan.”Aku mengangguk. “Kalau kakak perempuanmu, Mas?”“Mbak Vera juga handle gerai kuliner Ayah yang ada di Malaysia dan Hong Kong. Dia, suami, dan ketiga anaknya menetap di Kuala Lumpur.”Aku mengangguk-angguk dan kembali menekuri layar laptop. Malam kian larut, membuatku menguap berkali-kali. Namun, kami berdua belum melaksanakan salat Isya. Akhirnya, aku dan Mas Vino sama-sama menyudahi audit pekerjaan untuk segera melepas penat.“Mas Vino wudu dulu aja. Biar aku siapin sarung sama kokonya.”Mas Vino masih harus mengerjakan salat dengan duduk berselonjor dan punggung menyandar. Untuk sementara kami memilih untuk salat sendiri-sendiri du
Hari-hari sebagai pengantin baru memang terasa begitu syahdu. Walau belum sempurna secara menyeluruh, tetapi diam-diam aku mulai kecanduan dengan kissing yang selalu Mas Vino tawarkan. Terasa hangat dan menyenangkan. Setidaknya, biar ia merasa bahagia agar proses pemulihannya juga cepat. Aku bahagia, enggak? Woiya, jelas. Eh.Papa dan Mama juga tampak bahagia dengan pernikahan mendadak putrinya sebab insiden waktu itu. Papa rutin mengajak menantunya berolahraga ringan. Pun dengan Mama, menu masakan dengan berbagai macam olahan sayur dan ikan laut selalu memenuhi meja makan. Bahkan, mereka berdua melarang putrinya ini untuk kembali mengurus hotel beberapa waktu agar bisa penuh merawat dan melayani suami.“Rawat dan bahagiakan suamimu, Nak. Papa dan Mama ingin segera dipanggil Opa dan Oma,” ujarnya.Aku hanya tersenyum. Semoga mereka tidak tahu bahwa kami masih kembali ingin mengenal lagi. Belum langsung main tempur seperti Ratu dan Wisnu.“Maafin Kalila, Ma, Pa. Biarkan kami kembali n