Aku terdiam. Merasakan getaran hebat yang sulit diartikan. Jika dinding yang mengelilingi kami saat ini terbuat dari kaca, mungkin aku bisa melihat seperti apa merahnya wajah ini. Rasa-rasanya, aku telah kembali tertawan oleh pesonanya, persis seperti tujuh tahun yang lalu. Tanpa mengucap sepatah kata pun, segera aku berlalu menuju jendela dan menutup gorden.Benar kata Mas Vino, kerlap-kerlip bintang seolah-olah mengintai malu di balik gumpalan awan tipis di malam ini. Apakah mereka benar-benar cemburu? Ah, kenapa aku jadi terjebak kalimat puitisnya. Bibirku melengkung, kembali merasai hangat yang mendesir.Aku kembali hendak menuju bad penunggu di sebelah suamiku yang masih terduduk menyandar pada bantal.“Sini, Sayang!” pintanya. Menepuk kasurnya sendiri.Aku menggeleng pelan. “Di sini aja, Mas. Enggak muat di situ.”“Muat, kok.” Ia menggeser sedikit tubuhnya.Aku langsung sigap. “Bisa, Mas?”“Bisa. Habis nyium pipi kamu aja aku udah ada sedikit kekuatan. Gimana kalau lebih?” godan
Aku menggeliat saat mendengar bunyi alarm dari sebuah ponsel. Ternyata benda pintar yang dimiliki hampir seluruh umat manusia di era milinial itu ada di bed sebelah.“Loh? Aku, kok ....” Aku bergumam lirih.Mulai sadar sepenuhnya saat melihat satu tanganku digenggam oleh Mas Vino dan diletakkan di atas dadanya. Dia masih tertidur. Posisi kepalanya di samping pinggul, sementara saat ini aku terjaga dalam keadaan terduduk. Jadi, dari semalam aku tidur berdua dengan Mas Vino dalam posisi menyandar? Di tempat tidur pasien yang sempit ini? Astaga ... ketiduran apa terhipnotis?Perlahan kulepas genggaman tangan kami. Aku turun dari tempat tidurnya dengan hati-hati agar tidak membangunkannya. Namun, sesuatu yang basah tampak terasa di bagian sensitif. Saat ingin kuraba bagian belakang, mata ini menangkap bercak merah di seprai putih kasur pasien.Loh? Aku mens? Astaga ....Waktu Subuh sudah tiba. Perlahan kubangunkan Mas Vino agar segera menunaikan salat Subuh. Ia menggeliat dengan pelan-pel
Sebelum mereka berasumsi yang tidak-tidak, segera aku menjelaskan kenapa sudah mandi pagi-pagi begini. Berikut penjelasan seprai dengan bercak darah menstruasi yang aku cuci sendiri. Benar saja, dua wanita yang sudah tampak akrab itu mengira bahwa ritual malam pertama sudah terjadi.“Owalah, kirain Mama kalian udah iya-iya,” bisiknya saat menata sarapan pagi yang dibawanya dari rumah.“Mama yakin kami udah begituan dalam keadaan Mas Vino seperti itu? Ada-ada saja,” jawabku.Mama malah terkikik. “Iya juga, sih. Malah bahaya kalau dipaksa begituan sebelum benar-benar sembuh.”“Nah, itu Mama paham.”Menu sup ayam, perkedel kentang, kerupuk, beberapa olahan ikan laut berikut sambal sengaja beliau masak untuk sarapan kami. Ya, Mama selalu mengajarkan Kalila kecil hingga dewasa ini untuk mencintai makanan rumahan yang dimasak dengan bumbu cinta.“Banyak banget olahan ikannya, Ma?”“Suamimu harus banyak makan ikan laut. Bagus buat tulangnya.”Aku hanya mengangguk sambil melihat sup ayam brok
Sudah lima hari ruangan dengan segala fasilitas mewah ini kutempati bersama suami. Bukan hotel, tetapi ruang rawat inap. Walau kelas VVIP, tetap saja rumah sakit. Tidak ada acara sakral seperti pasangan pengantin baru pada umumnya. Dibantu asisten dokter juga perawat, aku pun ikut membantu dan mendampingi pemulihan Mas Vino dengan berjalan dan melakukan gerakan-gerakan kecil untuk memastikan perkembangannya.Alhamdulillah, setidaknya korban ketidaksengajaanku itu sudah membaik. Aku tersenyum saat ia kembali dari teras samping usai menikmati sinar mentari pagi dari lantai dua ini.“Kal, kita harus adakan pesta untuk pernikahan kita ini.”“Hmm, boleh. Tapi, apa enggak sebaiknya nunggu Mas Vino benar-benar sembuh?”“Kalau itu pasti, Sayang,” jawabnya. “Rencananya di Semarang juga akan diadakan pesta nantinya. Kerabat Ibu banyak yang di sana.”Aku hanya mengangguk dengan mengulas senyum.“Kalau untuk honeymoon, kamu maunya ke mana?Keningku berkerut. “Harus, ya, Mas?”“Iya, dong!”“Kita h
Aroma wangi yang sangat lembut menyambut hangat begitu pintu kamar kudorong ke dalam. Ruang favoritku telah didekorasi sangat cantik. Kelambu tipis transparan diikat ke empat tiang yang mengelilingi kasur berukuran jumbo. Sentuhan bunga segar yang dirangkai cantik pada area kelambu juga terlihat sangat pas, sesuai kesukaanku.“Uwaaah ....” Aku membuka mulut. Takjub dengan dekorasi kamar sendiri.Kelopak mawar yang ditabur di lantai begitu teduh memanjakan mata, ditambah lilin cantik dalam wadah kristal yang sengaja dibentuk serupa jalan hingga menuju ke ranjang. Gorden putih yang terpajang full menutupi jendela kamar juga menambah kesan elegan, hangat, nan romantis.Aku tersenyum. Kedatangan kami penuh penyambutan yang hangat. Pasti Mama minta bantuan Yumna–salah satu tim dekorasi hotel–untuk mendesain semua ini.“Ini kamar kamu, Kal?”Aku mengangguk. “Kamar kita, Mas. Yuk, masuk!” ajakku.Pandangan lelaki yang lengannya masih kugamit itu terlihat berkeliling. Mengitari tiap keindaha
Gombalan Mas Vino tak ada habisnya. Kami terus menyelesaikan pekerjaan masing-masing walau sesekali bercanda.“Jadi, Mas Vino ini arsitek freelance?”“Ya ... bisa dibilang begitu.”“Kalau usaha Ayah siapa yang handle?”“Aku juga,” jawabnya. “Kalau ini murni hobiku yang akhirnya jadi usaha sampingan sampai saat ini. Kalau gerai kuliner ‘kan usaha warisan.”Aku mengangguk. “Kalau kakak perempuanmu, Mas?”“Mbak Vera juga handle gerai kuliner Ayah yang ada di Malaysia dan Hong Kong. Dia, suami, dan ketiga anaknya menetap di Kuala Lumpur.”Aku mengangguk-angguk dan kembali menekuri layar laptop. Malam kian larut, membuatku menguap berkali-kali. Namun, kami berdua belum melaksanakan salat Isya. Akhirnya, aku dan Mas Vino sama-sama menyudahi audit pekerjaan untuk segera melepas penat.“Mas Vino wudu dulu aja. Biar aku siapin sarung sama kokonya.”Mas Vino masih harus mengerjakan salat dengan duduk berselonjor dan punggung menyandar. Untuk sementara kami memilih untuk salat sendiri-sendiri du
Hari-hari sebagai pengantin baru memang terasa begitu syahdu. Walau belum sempurna secara menyeluruh, tetapi diam-diam aku mulai kecanduan dengan kissing yang selalu Mas Vino tawarkan. Terasa hangat dan menyenangkan. Setidaknya, biar ia merasa bahagia agar proses pemulihannya juga cepat. Aku bahagia, enggak? Woiya, jelas. Eh.Papa dan Mama juga tampak bahagia dengan pernikahan mendadak putrinya sebab insiden waktu itu. Papa rutin mengajak menantunya berolahraga ringan. Pun dengan Mama, menu masakan dengan berbagai macam olahan sayur dan ikan laut selalu memenuhi meja makan. Bahkan, mereka berdua melarang putrinya ini untuk kembali mengurus hotel beberapa waktu agar bisa penuh merawat dan melayani suami.“Rawat dan bahagiakan suamimu, Nak. Papa dan Mama ingin segera dipanggil Opa dan Oma,” ujarnya.Aku hanya tersenyum. Semoga mereka tidak tahu bahwa kami masih kembali ingin mengenal lagi. Belum langsung main tempur seperti Ratu dan Wisnu.“Maafin Kalila, Ma, Pa. Biarkan kami kembali n
"Hey! Ada apa?” tanyaku lirih.Suamiku hanya tersenyum dan menggeleng pelan. Papa izin ke kamar duluan, sementara Mama hendak menuju dapur. Mungkin mau menyiapkan makan malam untuk keponakannya itu. Menyisakan kami berdua yang ditemani acara di layar kaca.“Dia belum nikah?”Aku memiringkan kepala. “Siapa?”“Mas Alan.”“Oh, belum.”“Usianya berapa?”“Tiga puluh lima tahun.”“Kenapa belum menikah?”“Jodohnya nyasar. Enggak pakai Google Maps soalnya,” jawabku asal sembari memasukkan camilan keriuk ke dalam mulut.Sebuah cubitan lembut di perut menjadi hadiah dari jawaban asal yang kuberikan. Aku menggeliat. Bukan sakit, tapi geli. Kembali kami berbincang tentang apa saja dengan sesekali saling bercanda.“Ke kamar, yuk!” ajaknya.“Belum ngantuk,” jawabku.“Di kamar kita juga ada TV, kan? Lihat di dalam aja.”“Lihat apa?”“Lihat aku buka baju,” jawabnya santai.Namun, kalimat seperti itu lagi-lagi membuatku bergetar. Kucoba menetralisirnya dengan bertanya, “Mau ngapain?” “Minta kerokin.