Share

3. Bimbang

Shila melangkahkan kakinya dengan lesu—memasuki kamar kakak laki-lakinya. Di sana ada kakak iparnya yang sedang bermain dengan Hito. Seketika ia menjadi ingat dengan masalah yang menimpanya sekarang. Apakah kehidupannya akan berubah seperti kehidupan Dikta dan Rea? Membangun rumah tangga dan memiliki anak. Shila belum siap dengan semuanya. 

"Eh, ada Shila. Duduk sini, Dek," ajak Rea—istri Dikta yang menggeser posisi duduknya. Terus memperhatikan Hito yang asik dengan mainannya. 

Shila tidak menyahut, tapi tetap menuruti perkataan Rea untuk duduk di sana. Kedua matanya pun bergerak untuk memperhatikan Hito yang sedang asik bermain. Apakah nanti ia siap untuk memiliki seorang anak? Merawat dan mendidiknya? Apakah ia sanggup? Untuk membayangkannya saja Shila tidak mampu. 

"Kamu kenapa lesu gitu mukanya?" tanya Rea menatap Shila dengan alis yang tertekuk. "Kamu pasti mikirin soal perjodohan itu, ya?" tebaknya yang tepat sasaran karena Shila langsung menganggukkan kepalanya sebanyak dua kali sebagai jawaban. 

"Ada yang buat kamu ragu?" Rea menarik pergelangan tangan Shila dengan lembut. Mengisyaratkan agar adik tiri dari suaminya itu mau menatap ke arahnya. "Cerita aja sini sama Kakak. Insya Allah nanti Kakak bantu kasih solusi." 

"Ehm, aku masih ragu, Kak," gumam Shila dengan pelan—menundukkan kepalanya karena tidak siap dengan perubahan yang akan terjadi dengan hidupnya nanti. 

Rea menganggukkan kepalanya mengerti. Di umur Shila yang masih muda seperti ini pasti belum siap untuk menikah. Itu adalah hal yang wajar. Siapa pun pasti akan merasa demikian. Apalagi, permasalahan di sini, Shila dijodohkan, bukan karena kehendak sendiri. Tentunya, tidak ada cinta diantara mereka. 

"Aku ... belum siap." 

Rea tetap diam. Menunggu sampai Shila selesai dengan ceritanya. Ia bisa melihat ada ketakutan di kedua bola mata hitam milik Shila. 

"Aku gak tahu kalau papa bisa sejauh ini buat mengatur kehidupanku. Seharusnya, yang menentukan pasanganku nanti itu, ya, diriku sendiri. Bukan papa, bukan bunda, bukan kak Dikta, juga bukan Kak Rea," jelas Shila yang saat ini sudah berani mendongakkan kepalanya. Menatap lurus ke arah depan. Menerawang bagaimana kehidupannya nanti jika dirinya benar-benar menikah dengan sosok laki-laki yang dipilih oleh Figo. 

Terhitung ini sudah hari kedua setelah kejadian makan malam itu. Di pertemuan pertama pun Shila sudah bisa menilai jika calon suaminya itu memiliki sifat yang dingin, cuek, dan tegas. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana rumah tangganya nanti. Apalagi, minim ekspresi. Sangat tidak sebanding dengan dirinya. 

"Papa juga mendadak banget kasih tahu keputusan ini—bahkan, tanpa diskusi atau meminta pendapat dari aku." 

Shila menolehkan kepalanya ke samping. Menatap Rea dengan tatapan yang sulit diartikan. Baginya, Rea adalah istri dan ibu yang baik untuk Dikta dan Hito. Rea mampu memainkan perannya. Dan Shila takut, takut jika dirinya tidak bisa seperti Rea. 

"Aku harus apa, Kak?" tanya Shila yang terdengar seperti sedang putus asa. Ia tidak tahu lagi harus melakukan apa sekarang. Semuanya penuh kebingungan. 

Rea menarik nafas panjang sebelum akhirnya berkata, "apa yang buat kamu belum siap, Dek?" 

Shila terdiam beberapa saat. Mencoba untuk berpikir apa yang membuatnya tidak siap untuk menikah sekarang. "Banyak hal yang buat aku gak siap. Apalagi, pernikahan itu adalah hal yang sakral. Aku mau menikah hanya satu kali. Menikah juga bukan tentang keinginan, tapi bagaimana kita bisa memikirkan ke depannya. Aku ... takut. Takut gak bisa jadi istri dan ibu yang baik seperti mama dan bunda." 

Apa yang dikatakan oleh Shila benar. Pernikahan itu adalah hal yang sakral. Di dalam rumah tangga bukan hanya tentang satu atau dua orang, tapi lebih. 

"Shila, dengerin Kakak, ya. Dulu Kakak itu menikah sama kakak kamu umurnya sama seperti kamu, dua puluh tiga. Kamu tahu apa yang buat Kakak berani buat terima lamaran dari kakak kamu waktu itu?" tanya Rea yang flashback dengan masa-masa saat bersama Dikta dulu. 

Dengan cepat Shila menggelengkan kepalanya. Menatap Rea dengan tatapan penuh penasaran. Bagaimana bisa Rea seyakin itu untuk menikah di saat umurnya yang masih muda? 

"Karena pernikahan itu adalah ibadah. Kami saling mencintai. Kakak kamu juga udah punya penghasilan yang tetap. Kakak gak mikirin tentang cinta aja, tapi seperti yang kamu bilang tadi. Bagaimana kehidupan kita ke depannya. Mau gaya hidup seperti apa, nanti mau tinggal di mana, Kakak boleh kerja atau tidak, mau punya anak berapa, dan masih banyak lagi yang harus dipikirin." 

"Lalu, apa yang sebenarnya buat Kak Rea mau menikah di umur yang masih muda?" tanya Shila yang belum menemukan inti dari perkataan kakak iparnya. Ia masih menemukan cela di sana. 

"Allah. Karena-Nya Kakak berani buat ambil keputusan itu. Nanti, kamu coba salat Istikharah. Minta petunjuk sama yang di atas." 

Benar, apa yang dikatakan oleh Rea sangat benar. Mengapa Shila tidak kepikiran sampai ke sana? Tidak salah ia bercerita dengan kakak iparnya ini. Rea berhasil mengetuk pintu hatinya. Meski Shila itu keras kepala, tapi jika diberitahukan dengan baik dan lembut seperti sekarang, ia pasti akan menerima pendapat dari orang lain. 

"Akan aku coba nanti," balas Shila dengan cepat sambil menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Merasa lega karena sudah menemukan jawaban dari jalan keluarnya masalah yang sedang ia hadapi sekarang. Menang benar, penolong dari segala penolong adalah yang Maha Kuasa. Tidak ada yang lain. 

"Shila, setiap rumah tangga itu pasti ada masalah. Dimulai dari masalah kecil sampai masalah besar sekalipun. Kamu jangan takut untuk menghadapinya nanti, karena itu adalah hal yang wajar dalam suatu hubungan. Artinya, sang Maha Kuasa sedang menguji. Kuncinya, harus saling percaya dan jujur." 

Shila menganggukkan kepalanya dengan paham. Menatap Hito yang sama sekali tidak terganggu dengan pembicaraan mereka. Lagi-lagi ia terus memikirkan bagaimana jika posisi Rea sekarang akan ia rasakan suatu hari nanti. Shila benar-benar tidak bisa membayangkannya. 

"Kalau boleh tahu, Kakak ada masalah selama menikah sama kak Dikta?" tanya Shila yang kembali menatap ke arah Rea. Rasa penasaran itu semakin menggebu-gebu. Selama ini Shila tidak pernah kepikiran untuk menikah. Ia masih ingin fokus dengan kariernya sebagai model dan beberapa bulan lagi akan ada proyek membuat film di Bali. 

Rea terkekeh pelan mendengarnya. Menganggukkan kepalanya lalu menjawab, "kan, udah Kakak bilang. Masalah itu adalah hal yang wajar dalam suatu hubungan dan itu sudah pasti ada. Gak mungkin gak ada, Dek. Kalau gak masalah dari suami, itu mertua, kalau gak mertua, anak. Pokoknya, masalah itu pasti ada, tapi gak mungkin juga kalau gak ada jalan keluarnya. Ingat lirik lagu aja, badai pasti berlalu." 

Sontak Shila tertawa kecil mendengarnya. Akhirnya, ia bisa lega. Bercerita dengan Rea membuat hatinya menjadi lebih tenang dari yang sebelumnya. Ada benarnya juga kata orang lain. Terkadang, kita membutuhkan sosok yang bisa memberikan solusi kepada kita. Bukan hanya ingin didengar saja, tapi juga dibantu agar diberikan jalan keluar. 

"Kakak dengar kalau calon kamu itu dari anaknya sahabat papa, ya?" tanya Rea sambil membersihkan kotoran yang ada di wajah Hito.

Shila menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Ganteng, sih. Tapi orangnya dingin banget, mukanya juga datar gitu. Gak kebayang kalau aku beneran nikah sama dia nanti." 

Tentu saja Rea tertawa mendengar perkataan dari Shila. "Awas nanti beneran jodoh, loh. Kalau menurut Kakak, sih, laki-laki seperti itu yang paling susah dicari. Orangnya dingin kan? Tapi kalah dia udah menemukan pasangan yang tepat—dia akan berubah menjadi hangat. Percaya itu." 

Dan, obrolan mereka terus berlanjut. Shila merasa hatinya menjadi lebih baik sekarang. Memang benar, jika ingin bercerita sekaligus meminta saran, ada baiknya dengan seseorang yang sudah berpengalaman. 

Setelah ini, Shila akan mencoba saran dari Rea. Semoga ia menemukan jawaban dari segala kebingungan yang mengusiknya beberapa hari ini. 

"Terima kasih, Kak Rea." 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status