Share

2. Bertemu Calon Suami

"Silakan duduk." 

Shila tersenyum sopan. Berusaha untuk bersikap biasa saja di hadapan mereka semua. Meskipun, jauh di dalam dirinya, ia sangat gugup sekarang. Bertemu dengan calon keluarga barunya nanti. Ah, sebenarnya, Shila belum memutuskan. Jadi, ia hanya bisa menyebutnya 'calon'. Itu pun ia masih merasa sangat asing. 

"Bagaimana kabarnya, Figo?" tanya seorang pria yang duduk di bagian sebelah kiri—berhadapan langsung dengan keluarga Shila. 

Figo menganggukkan kepalanya sambil tersenyum dengan lebar. Bisa Shila lihat dari kedua bola matanya bahwa papanya itu sangat senang untuk pertemuan makan malam ini. Apakah ia mampu untuk mengecewakan Figo dengan menolak perjodohan yang sudah dipersiapkan oleh papanya itu? Seketika, Shila dilanda kebingungan yang sangat luar biasa. 

Shila tidak setega itu untuk membuat Figo sedih atau kecewa. Meskipun Figo begitu menyebalkan, tapi Shila sangat menyayanginya. Cinta pertama dalam hidupnya. 

"Kabar baik. Apalagi, sebentar lagi kita akan menjadi besan," balas Figo dengan nada yang terdengar seperti candaan. Namun, dari tatapannya Figo terlihat tulus. 

Dalam hati Shila meringis mendengarnya. Mendengar kata-kata asing itu entah mengapa membuat perasaannya berubah menjadi sedikit tak nyaman. Mungkin, karena ini adalah hal yang baru baginya. Jadi, apakah dari sekarang ia harus mulai membiasakan semuanya? Calon besan? Astaga, Shila bahkan tidak pernah membayangkan jika ini akan terjadi dalam hidupnya. 

"Ini Shila, kan?" tanya pria tadi sambil mengalihkan tatapannya ke arah Shila. "Cantik sekali. Mirip dengan Yeslin, ya, Go," sambungnya menatap Shila dengan tatapan penuh kagum. Wajah Shila dengan mendiang istri pertama Figo—Yeslin, sangatlah mirip. Sama-sama cantik. 

Figo tersenyum. "Dia anaknya, gak mungkin mirip sama kamu kan, Hen?" tanya Figo dengan nada yang bergurau. 

Sontak pertanyaan itu membuat mereka tertawa. Terkecuali Shila dan laki-laki yang sejak tadi hanya diam menatap ke arah lain. Jujur, Shila sangat penasaran dengan laki-laki itu. Ia sudah menebak jika itu adalah calon suaminya. Tidak salah lagi. Mana mungkin pria yang sejak tadi mengobrol adalah pilihan Figo, yang benar saja! 

"Sudah-sudah. Lebih baik, kita menikmati dulu makanannya, tidak enak kalau sudah dingin," lerai seorang wanita yang berada di samping Hendri—Fira. 

*** 

"Jadi, bagaimana dengan keputusan kalian?" tanya Hendri menatap Figo dan keluarganya satu per satu. Berharap jika keputusan yang ia dengar adalah keputusan yang membahagiakan. 

"Sabar dulu. Shila katanya mau berkenalan dengan calon suaminya. Kamu belum memperkenalkan anakmu kalau lupa," balas Figo sambil memutar bola matanya dengan malas. Sahabatnya itu tidak pernah berubah sejak dulu. Suka lupa dan ceroboh. 

Sontak Hendri langsung tertawa. Pantas saja ia merasa ada yang janggal sejak awal tadi. "Ini gara-gara kamu, Gerald. Ayo, ngomong, dong. Masa diam aja dari tadi. Itu Shila—calon istri kamu." 

Dengan sengaja Hendri menyenggol lengan anaknya dengan sangat kuat hingga membuat sang empu mendongakkan kepalanya—menatap ke arah Shila. Menatap kedua bola mata itu dengan tatapan yang sangat tajam dan membunuh—membuat Shila merasa sangat risih dan takut dalam satu waktu. Seumur hidupnya, belum pernah ada yang menatapnya seperti itu. 

"Jangan gitu natapnya, Gerald. Kamu gak sopan banget," tegur Fira—istri Hendri yang berada tepat di sebelah anaknya. Merasa tidak enak dengan Shila yang sudah pasti tidak nyaman dengan tatapan Gerald sekarang. 

Gerald membuang nafasnya dengan kasar. "Geraldi Hatma Dikara, salam kenal," ucap Gerald dengan nada yang terdengar sangat kaku. 

Lagi-lagi Shila meringis dalam hatinya. Apakah seperti ini pilihan Figo? Seorang laki-laki bermata tajam dan kaku dalam berbicara? Tidak bisa dibayangkan bagaimana hari-hari Shila nantinya. Pasti sangat membosankan. Ditambah dengan laki-laki yang bernama Gerald itu sangat minim ekspresi. Selamat, Shila. Penderitaanmu akan dimulai dari sekarang. 

"Astaga, Gerald. Pantas saja sampai sekarang kamu tidak punya kekasih. Kamu aja seperti itu, kaku banget—mirip robot," sindir Hendri menatap putranya tak percaya. Sifat yang dimiliki Gerald sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang humble dan friendly. Kira-kira di mana anaknya menemukan sifat aneh itu? 

"Heh, gak boleh gitu," tegur Fira, yang kali ini ia tunjukan kepada sang suami. Tidak teriak karena anak kesayangannya diejek oleh Hendri—suaminya sendiri. 

"Tidak apa. Mungkin, dia grogi karena ini pertemuan pertama mereka," sahut Figo menatap Gerald dengan tatapan yang sulit diartikan. Tersenyum maklum karena pastinya mereka sangat canggung dengan pertemuan pertama ini. 

Hendri berdeham. Merasa tidak enak hati jika seperti ini. "Bagaimana kalau nanti kalian sering-sering bertemu? Tenang saja. Soal pernikahan biar kami semua yang urus. Pernikahan kalian akan berlangsung bulan depan." 

Uhuk. 

Shila yang sedang minum pun langsung tersedak. Sepertinya, mulai sekarang, tersedak adalah hobi baru Shila. Bagaimana tidak, ia sangat terkejut dengan kenyataan yang baru saja ia dengar. Bulan depan? Itu sangat di luar perkiraannya. Kenapa semuanya terkesan seperti terburu-buru, sih? Shila tidak bisa lagi tahan dengan semuanya. 

"Pelan-pelan, menantu. Jangan bilang si Figo belum kasih tahu, ya?" tanya Hendri menatap sahabatnya dengan kepala yang menggeleng sebanyak dua kali. Bisa-bisanya Figo melewati sesuatu yang penting. 

Shila menoleh ke samping. Menatap Figo seolah meminta penjelasan atas semuanya. "Papa, kok, gak kasih tahu aku dulu, sih? Satu bulan itu cepat banget, Pa," protes Shila yang tanpa sadar keluar begitu saja dari mulutnya. Tidak peduli jika sekarang bukan hanya ada keluarganya, tapi ada keluarga lain yang juga menatap ke arahnya. 

"Lebih cepat, kan, lebih baik, sayang. Niat baik itu tidak boleh ditunda-tunda," timpal Karin yang berusaha untuk menenangkan Shila. Jangan sampai anak gadisnya itu marah dan berakhir tidak mau berbicara dengan mereka. 

"Bunda bilang itu terus dari kemaren. Bunda gak tahu gimana rasanya jadi aku yang harus dijodohin gitu aja. Papa itu egois!" 

Figo tersentak di tempat duduknya. Menatap Shila dengan tatapan sendu. Untuk pertama kalinya Shila mengatakan dirinya egois. Selama ini putri kesayangannya itu selalu menuruti perkataannya. Selalu mengalah walaupun awanya mereka harus berdebat dulu, tapi sepertinya, tidak berlaku untuk sekarang. 

Seketika suasana di antara mereka berubah menjadi hening. Tidak ada yang berani menimpali perkataan Shila sedikit pun. Terutama, keluarga Gerald. Mereka hanya bisa menonton dalam diam. 

"Shila, dengerin penjelasan Papa dul—

"Gak ada yang harus dijelasin, Pa. Selama ini Papa selalu berlaku seenaknya atas hidup aku. Aku selalu nurut aja, kan? Tapi aku gak nyangka kalau Papa udah sejauh ini buat ngontrol kehidupan aku. Bahkan, siapa pasangan aku pun Papa yang memilih." 

Akhirnya, semua unek-unek Shila keluar begitu saja. Ia tidak bisa lagi untuk lebih lama menahannya. Tidak peduli dengan keluarga lain yang melihat dan mendengar kejadian sekarang. Yang ada dipikiran Shila sekarang hanyalah mengeluarkan semua isi hatinya. Itu saja. 

Figo memejamkan matanya untuk beberapa saat. Memang, apa yang dikatakan oleh Shila barusan tadi benar adanya. Selama ini—apapun yang berkaitan dengan hidup Shila—ia yang atur. Jika dipikir-pikir, Shila benar. Ia terlalu egois.

"Tapi, Shila ... ini yang terbaik untuk hidup kamu." 

"Terbaik buat Papa belum tentu terbaik buat aku!" 

"Kekanak-kanakan."

Semua perhatian langsung berubah menjadi ke arah Gerald. Mereka semua menatap laki-laki yang baru saja mengeluarkan suaranya. 

Tampak Gerald menatap Shila dengan santai—tidak takut jika perempuan yang disebut sebagai calon istrinya itu akan merasa tersinggung atau marah sekalipun. Karena baginya, apa yang ia katakan tadi benar adanya. 

"Jangan menilai dari satu sisi, sedangkan kamu belum mengetahui sisi lain yang menjadi kebenaran sesungguhnya." 

Telak. 

Shila terdiam seribu bahasa mendengarnya. Menatap Gerald dengan tatapan polosnya.

"Kamu gak tahu apa-apa," balas Shila yang tetap saja tidak terima jika dirinya disalahkan di sini. 

"Bagaimana mungkin saya tidak tahu apa-apa jika saya sendiri juga terlibat di sini?" 

Telak.

Kedua kalinya, Shila bingung harus menjawab apa lagi. Ia kehabisan kata-kata sekarang. Gerald benar-benar membuatnya terdiam bak patung. 

"Jangan merasa seolah tersakiti. Padahal, kamu belum mengerti situasi yang sebenarnya." 

Gerald berdiri dari duduknya. Meraih benda pipih miliknya, lalu memasukkan benda itu ke dalam saku celana. Pergerakan kecilnya tidak luput dari perhatian mereka semua. Gerald memang memiliki daya tarik yang sangat tinggi. 

"Renungkan kesalahan kamu tadi. Saya tidak mau memiliki istri yang suka membantah perkataan orang tuanya." 

Usai mengatakan itu, Gerald segera melangkahkan kakinya—meninggalkan area cafe yang menjadi saksi pertemuan pertama mereka. 

Setelah itu, suasana kembali menjadi canggung. Shila masih terdiam membisu di tempatnya akibat perkataan Gerald tadi. 

Karin yang menyadari itu pun menggenggam tangan Shila dengan lembut. Menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Berusaha untuk menenangkan Shila yang tengah menahan emosi. 

"Tidak apa-apa. Kamu bisa berpikir dulu setelah ini." 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status