Share

Teruntuk Mantan Istri Suamiku
Teruntuk Mantan Istri Suamiku
Penulis: Pena_yuni

Bab 1

Teruntuk Mantan Istri Suamiku

[Mas, aku butuh kendaraan buat nganterin ibu, kontrol ke dokter. Kamu bisa, 'kan belikan aku kendaraan? Roda dua, atau roda empat, aku enggak keberatan, Mas.]

Dadaku berdenyut tidak biasa, saat membaca pesan yang masuk ke ponsel suamiku. Sejak menikah dengan Mas Andri enam bulan yang lalu, ini kali pertama aku memegang dan membuka ponsel miliknya. 

Tidak sopan memang, tapi aku sangat penasaran. Apalagi, akhir-akhir ini ada kontak bernama Hena, yang sering menghubungi Mas Andri. Tidak lain adalah mantan istri dari suamiku.

Sebuah ide muncul dari dalam otakku setelah membaca pesan dari Hena. Langsung saja aku mengetik, dan mengirim pesan balasan untuk sang mantan istri. 

[Iya, nanti akan aku belikan. Kamu tenang saja. Asal, kamu jangan lagi menghubungiku dan mengirimiku pesan. Aku takut istriku curiga.]

Terkirim, dan langsung centang biru.

[Beneran, ya, Mas? Ok, aku enggak akan mengirim pesan maupun meneleponmu lagi. Tapi, kapan kamu akan mengirimkan kendaraan itu untukku?]

[Minggu depan!] balasku cepat.

[Janji, Mas?] 

Aku memutar bola mata malas membaca pesan dari mantan istri suamiku itu. Jika bukan untuk mengerjainya, tidak sudi rasanya bertukar pesan dengan wanita itu. 

[Janji, sumpah, suwer takewer-kewer!] balasku dengan emoticon dua jari.

[Makasih, Mas. Kamu baik banget sama aku. Ah ... makin lope-lope, deh sama kamu.] 

Aku membulatkan mata melihat pesan yang diakhiri emoticon cium serta bentuk hati yang lebih dari lima biji.

'Apa jangan-jangan, selama ini di belakangku, mereka sering berkirim pesan seperti ini?'

Keterlaluan jika dugaanku benar adanya.

Setelah selesai berkirim pesan dengan mantan istri dari suamiku, aku langsung menghapus semua pesan percakapan dengannya. Aku tidak ingin Mas Andri melihat pesan yang dikirimkan Hena untukku. Biarkan kendaraan yang diminta Hena, menjadi urusanku. Aku yang akan mengirimkannya untuk dia.

Kutatap wajah lelah Mas Andri yang tengah tertidur pulas. Dia baru saja pulang dan langsung tidur setelah makan pagi.

Mas Andri adalah seorang nelayan. Dia akan pergi melaut di malam hari, dan akan pulang pagi sampai siang hari. 

"Kenapa liatin aku kayak gitu?" Dengan suara parau, Mas Andri bertanya.

Segera aku menyimpan ponsel miliknya ke tempat semula, sebelum dia mencurigaiku.

"Tidak, Mas. Aku hanya kasihan saja, kamu pasti ngantuk sekali, ya?" ujarku berbasa-basi.

"Iya, Sayang. Mataku berat sekali untuk dibuka."

"Yaudah, tidur aja lagi, aku mau keliling buat nganterin pesanan ikan ke pelanggan."

Meski dengan malas dan mata yang berat, Mas Andri mengangguk memberikan izin untuk aku pergi.

Mumpung hari masih pagi, aku pun segera berangkat untuk menjajakan hasil melaut suamiku semalam.

Tidak setiap hari aku berjualan ikan. Karena ikan hasil melaut sering langsung dijual di tempat penampungan. Sekarang, Mas Andri hanya membawa beberapa kilo saja untuk pembeli yang sudah pesan kemarin. 

"Assalamualaikum, Bu Haji!" Aku berteriak di depan sebuah toko oleh-oleh.

"Waalaikumsalam. Eh, Arini sudah datang rupanya. Jadi berapa semuanya, Rin?" tanya Bu Haji.

"Jadi seratus ribu, Bu Haji."

Wanita yang memiliki badan subur itu, mengeluarkan satu lembar uang dari saku gamisnya. Lalu, ia berikan padaku.

"Terima kasih, Bu Haji."

"Sama-sama," ucapnya seraya mengusap lenganku, tapi terasa seperti remasan untuk ukuran lenganku yang size M. 

Saat aku akan kembali menjalankan sepeda motor, seorang perempuan memanggilku dari arah belakang.

Aku berbalik, dan tiba-tiba dadaku berdenyut melihat siapa yang datang menghampiriku. Dia adalah pelaku pengirim pesan permintaan kendaraan pada suamiku tadi.

"Ada apa, Na?" tanyaku dengan senyum yang dibuat-buat.

"Emm ... ada ikan, enggak?" tanyanya seraya melirik keranjang yang aku bawa.

"Ada di laut," jawabku cepat.

"Eh, bukan di laut. Tapi di sini," ujarnya nyengir memperlihatkan giginya yang dipagari kawat.

"Tidak ada, habis. Aku cuma bawa yang sudah buat pesanan saja. Mungkin besok, kalau kamu mau."

"Oooohh ...." Hena membulatkan mulutnya. 

Astaga, rasanya aku ingin menyumpal mulut itu dengan kepala ikan. Tapi sayangnya ikannya pun sudah tidak ada. Tinggal bau amisnya saja yang masih menempel. 

"Mau pesan, enggak? Aku mau segera pulang, nih. Bayiku belum dikasih mimi." Aku mulai menghidupkan motor.

"Bayi? Emang kamu sudah punya bayi?" 

"Punya, bayi gede!" kataku.

Kulihat Hena memutar bola mata dengan tangan dilipat di perut.

'Eh, kenapa itu mata bisa jungkir balik seperti itu, ya?'

"Aku mau pesan ikan, banyak. Lima kilo." Hena mengangkat sebelah tangan dengan lima jari lengkap.

"Siap!" ujarku semangat.

"Eh, tapi bukan buat besok, buat minggu depan."

'Minggu depan?'

Seketika ingatanku tertuju pada pesan yang aku kirimkan ke dia. 

'Jangan-jangan untuk pesta bakar-bakaran ikan bersama suamiku? Aku jabanin. Yang penting ikanku laris manis.'

"Siap juga!" ujarku tambah semangat.

Kusuguhkan senyum paling indah dan paling manis pada wanita gatal yang tidak tahu diri itu. Biarkan saja sekarang dia merasa paling hebat karena sudah berhasil membuat suamiku menuruti keinginan dia.

"Eh, emang akan ada acara apa minggu depan, Na? Mau nikah atau lamaran?" tanyaku lagi.

"Untuk syukuran kecil-kecilan. Rencananya, minggu depan itu, aku mau beli kendaraan. Jadi, ya ... buat syukuran aja."

Rona bahagia begitu terlihat jelas saat Hena mengatakan akan memiliki kendaraan. Aku pun jadi tidak sabar ingin segera bertemu dengan minggu depan. Sepertinya akan sangat menyenangkan.

Aku membalas ucapan Hena dengan hanya berkata 'oh'. 

*

Setelah lama menunggu, akhirnya aku dipertemukan juga dengan pekan. Dan pagi ini, aku akan pergi mengantarkan pesanan ikan untuk Hena. 

"Mau nganter ikan ke mana, Rin?" tanya Mas Andri. 

"Ke rumah pelanggan. Sudah, ya aku segera berangkat, takut ditungguin." Tanpa menunggu jawaban dari Mas Andri, aku pun berlalu pergi dari hadapannya. 

Aku tidak ingin mengatakan ke rumah siapa aku pergi. Kalau dia tahu aku pergi ke rumah Hena, pasti dia akan ikut. Membuat alasan, kalau aku takut kecapekan. Padahal hanya alibi supaya bisa bertemu mantan.

Sampai di depan rumah Hena, ternyata dia sudah menunggu di teras rumahnya. Tanpa ingin basa-basi, aku segera memberikan ikan yang dia pesan. Lalu, aku kembali pulang setelah mendapatkan uang dari Hena.

Saat aku pulang, Mas Andri sedang tidur. Ini saatnya aku mulai memberikan kejutan untuk mantan istri suamiku.

Aku menghubungi seseorang lewat sambungan telepon. 

"Gimana? Sudah siap?" tanyaku bersemangat.

"Siap, dong. Ini sudah mau di angkut," tutur suara dari sebrang sana. 

Pukul sebelas siang, aku keluar dari rumah menuju rumah Hena. Aku menyamarkan penampilanku dengan kacamata serta masker. Setelah sampai, aku duduk di atas motor di depan toko Bu Haji. 

"Pakeeeet!" 

Supir mobil pickup berteriak, lalu menghentikan laju mobilnya. Dia turun dari mobil dan berbincang sebentar dengan Hena. Kemudian, beberapa orang yang sudah berkumpul di rumah Hena, mereka membantu menurunkan kendaraan untuk Hena dari atas mobil.

"Langsung buka saja," ujar Hena dengan semangat dan gembira, "Eh, video-in, ya?" ujarnya lagi.

Pertama, Hena membuka tutup plastik hitam yang membungkus barang besar di depannya. 

Aku salut sama orang yang membungkus barang itu, sangat rapi dan bagus. Tidak ada yang mengira jika isi dari bungkusan besar itu adalah ....

"Aaaaaaahhhhh!" 

"Astaghfirullahaladzim!"

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status