"Aaaahhh!" Hena menjerit saat tubuhnya jatuh ke dalam styrofoam box berisikan air es bercampur darah ikan. Bau anyir menyeruak membuatku merasakan mual yang amat sangat.
Aku menutup hidung, lalu pergi meninggalkan Hena yang masih berusaha keluar dari tempat yang menjijikkan itu.
"Dadah, mantan!" ucapku sebelum beranjak.
"Arini, awas kau!!"
Aku mengibaskan tangan di udara tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya.
Orang-orang mulai berkerumun menyaksikan pertunjukkan Hena yang jatuh dalam styrofoam bekas ikan. Sedangkan aku, memilih cepat pergi untuk mengantarkan pesanan ikan yang sedang ditunggu pelanggan.
*
Selesai mengantarkan ikan pada pelanggan, dan berjalan-jalan sebentar, aku pun segera pulang. Segudang pekerjaan rumah sudah menantikan sentuhan tanganku."Kok, pulangnya telat, Rin?"
Pertanyaan Mas Andri menyambut kepulanganku.
Aku berhenti melangkah, menoleh pada suami yang tengah menikmati secangkir kopi sambil menonton tv.
"Kan gak langsung antar ikan, Mas. Aku harus memilih dan menimbang dulu, berdesakkan sama penjual lain yang mau belanja juga di sana. Pasti lama, lah. Aku juga sampai di semprot pelanggan, karena datang kesiangan." Aku membuka jaket dan menyimpannya di kursi. Duduk sejenak untuk menghilangkan penat.
"Palingan juga, kamu ngobrol dan main dulu sama para nelayan di pelabuhan. Iya, kan? Kegatelan."
Aku yang baru saja menyandarkan punggung, kini kembali duduk dengan tegak. Ucapan Mas Andri sungguh sangat mengusikku.
"Aku lelah, lho Mas. Habis jualan, bukan habis jalan-jalan. Seenaknya saja kamu nuduh aku yang tidak-tidak?"
Mas Andri menyesap kopi hitam yang menjadi kegemarannya. Juga, sebatang rokok tidak pernah lepas dari sela jarinya.
"Kalau cuma nganter ikan, tidak akan sesiang ini, Rin. Kamu jual ikan, apa jual d*ri?"
"Mas!" Aku berteriak tak terima dengan tuduhan yang dilontarkan Mas Andri padaku.
Napasku memburu, rasa panas menjalar ke setiap aliran tubuh. Kata yang Mas Andri ucapkan sungguh menyinggungku.
"Jangan berteriak, jika itu tidak benar. Ingat, ya Rin. Aku tidak akan pernah mengampunimu, jika suatu saat kamu ketahuan berselingkuh di belakangku. Ingat, itu Rin!" pungkas Mas Andri. Lalu ia pergi entah ke mana.
Aku mengusap wajahku dengan sangat kasar. Bisa-bisanya dia mengancamku dengan tuduhan yang tidak aku lakukan.
Sudah jelas dia yang bermain api di belakangku. Kini Mas Andri malah menuduhku, bahkan mengancamku untuk dosa yang sebenarnya dia lakukan sendiri.
"Rin! Arini, apa yang kamu lakukan pada Hena?"
Aku yang akan pergi ke dapur, mengurungkan niatku saat Mas Andri datang dari luar dengan langsung bertanya soal mantan istrinya.
Si mantan sepertinya sudah mengadukan kejadian di TPI tadi.
"Rini, kamu dengar apa yang aku katakan?" tanyanya lagi seraya mendekatiku.
Wajah Mas Andri sudah tidak lagi setenang tadi. Dia marah karena aku mengerjai mantan istri yang mungkin akan menjadi istrinya lagi.
"Kenapa, sih Mas. Kamu itu selalu bertanya soal Hena padaku? Aku tidak tahu, Mas."
"Tapi, Rin. Tadi ...." Mas Andri tidak lagi melanjutkan ucapannya saat menyadari tatapan tajam dariku.
"Orang-orang di pelabuhan, ramai membicarakan Hena yang kejebur air es bekas ikan, Rin. Masa kamu tidak tahu, kalian tadi 'kan sama-sama berada di sana," ujar Mas Andri mencoba menipuku.
Sayangnya, aku sudah paham dengan kebohongan dia.
"Aku gak tahu," ucapku singkat.
Aku ingin lihat, beranikah Mas Andri, bilang kalau Hena telah menghubunginya dan mengatakan kalau aku yang membuat dia malu di sana?
Pasti dia tidak berani.
"Aku lapar, mau makan sama pepes ayam," kataku saat melihat dia hanya diam di tempat.
"Kamu beli pepes ayam, Rin?" tanyanya antusias. lauk itu adalah lauk kesukaan Mas Andri.
"Iya," jawabku singkat.
Wajah yang tadi merah menahan amarah, kini lunak kembali hanya dengan pepes ayam. Mas Andri mengekor di belakangku.
"Makan, Mas." Aku mengambilkan nasi dan memberikannya pada Mas Andri yang sudah siap di meja makan.
"Kamu tumben, Rin, pake beli pepes ayam segala?" tanya Mas Andri seraya menyuapkan pepes ke mulutnya.
"Iya, lagi punya rejeki lebih. Aku menemukan harta karun, jadi aku belikan ini untukmu," kataku.
Mas Andri menautkan alis sambil melihatku tidak mengerti.
"Harta karun dari mana?"
"Dari sini," ujarku seraya menyimpan amplop yang sudah kosong di atas meja.
Mata Mas Andri membulat sempurna melihat amplop berwarna cokelat itu. Pasti dia mengerti tanpa harus aku menjelaskannya. Apalagi, di luar amplop itu ada tulisan tangan yang dibuat sendiri oleh Mas Andri.
[Untuk Hena Morena Terena-ena.]
"Rin, aku bisa jelasin."
"Jangan bicara jika sedang makan. Habiskan dulu makananmu, lalu nanti bicara." Aku berujar dengan sangat dingin.
"Tapi, Rin—."
"Makan aku bilang." Aku memotong ucapannya.
Mas Andri menurut, tapi kemudian dia terdiam dengan memegangi perutnya.
"Kenapa, Mas? Perutnya sakit?" tanyaku.
Mas Andri mengangguk lemah.
"Pasti sakit, soalnya aku sudah memasukkan obat pencahar ke dalam pepes itu."
"Apa?!"
"Selamat berena-ena di toilet, Mas," kataku lalu pergi meninggalkannya.
Bersambung
Pukul setengah lima sore, aku sudah berdiri di depan pagar. Menanti kepulangan gadisku dari menuntut ilmu."Huhu .... Hu hu ...!" Seorang anak laki-laki menangis berjalan melewatiku."Dek, kenapa?" tanyaku menghentikan anak itu."Dijahatin, Bi.""Dijahatin sama siapa?" tanyaku lagi.Anak yang berusia sebaya dengan Aish itu mengusap matanya yang sudah merah karena air mata."Sama Aisha. Huhu ...." Dia kembali menangis seraya menunduk. Kemudian, berjalan meninggalkanku.Ya Allah, apa yang dilakukan Aisha?Aku melihat ke arah mesjid, tidak ada tanda-tanda Aisha berjalan dari sana. Hatiku mulai cemas, mungkin dia tidak mau pulang karena takut aku marahi. Aku pun berniat untuk ke sana, menjemput Aisha ke tempat dia mengaji.Namun, baru satu langkah ka
ENAM TAHUN KEMUDIAN"Aisha!"Aku keluar dari dalam rumah dengan piring di tangan. Sepagi ini, anak itu sudah tidak ada di dalam rumah.Yusuf pun sama. Pasti mereka sekarang sedang bersama saat ini. Tapi, di mana?Di restoran? Atau di kolam?Aku berjalan menyusuri jalanan setapak menuju kawasan kolam renang. Setelah barusan ke restoran, ternyata mereka tidak ada di sana, kini kakiku melangkah masuk ke wisata kolam renang yang kami buat tiga tahun yang lalu.Rame? Alhamdulilah. Banyak sekali pengunjung yang datang setiap harinya.Bukan hanya ada kolam renang saja, ada juga tempat bersua foto yang cocok sekali bagi anak muda yang suka berselfi ria.Kehadiran Aisha laksana magnet rezeki bagi kami. Dari mulai dia di dalam perut sampai dia lahir, rezekinya tak hent
"Bertepatan dengan tujuh bulan kehamilan istri saya, khusus hari ini, saya akan menggratiskan seluruh pelanggan yang makan di restoran kami ini. Silahkan nikmati hidangan kami, dengan suka cita."Tepuk tangan dan suara orang-orang yang mengucapkan terima kasih, begitu riuh terdengar oleh kami. Aku yang berdiri tepat di samping suamiku ikut merasakan senang dengan apa yang disampaikan Yusuf barusan.Kita sedang berbahagia, apa salahnya kita juga memberikan kebahagiaan kepada orang-orang yang berada di sekitar kita. Contohnya kepada pelanggan setia yang selalu datang dan makan di restoran kami."Kita lihat yang di rumah, yuk!"Yusuf mengangguk. Dengan hati-hati, ia menuntunku untuk keluar dari restoran. Perutku yang semakin besar, membuatku tidak bisa berjalan dengan cepat seperti sebelum hamil. Dan Yusuf, dia semakin protektif dengan melarangku mel
"Masya Allah, Abah ...," ucap Yusuf menggelengkan kepala."Besarkan suaranya, A!"Yusuf pun menekan tombol di samping ponsel untuk menambah volume suara."PENGUMUMAN! Dengarkan semuanya!" Dengan melambaikan tangan ke atas, Abah berkata dengan begitu lantang.Aku masih fokus untuk mendengarkan apa yang Abah sampaikan."Dikarenakan hari ini saya sedang berbahagia atas kepulangan menantu saya, juga atas adanya kabar jika sebentar lagi saya akan menjadi seorang kakek, jadi ... khusus malam ini semua nelayan yang memakai perahu saya, saya bebaskan dari setoran harian! Semua ikan yang kalian dapatkan dari hasil melaut malam ini, semuanya untuk kalian! Tidak perlu kalian menyetorkan hasil tangkapan pada saya! Aku bersedekah pada kalian!"Aku menutup mulut dengan rasa haru. Sebahagia itu Abah saat mengetahui kehamilanku. Bahkan ia sampai mensedekahkan penghasilan yang selama ini jadi sumber keuangannya. 
Tidak berapa lama, mereka pun pergi menuju rumah Aki Sanip. Dasar mereka, dengan alasan tidak ingin mengganggu bulan madu kedua kami, mereka sampai pergi ke rumah orang tuanya. Padahal hari sudah mulai gelap, adzan maghrib pun sudah terdengar diserukan dari mesjid."Kita salat dulu, ya? Nanti setelahnya, kita makan."Aku mengangguk mengiyakan ajakan Yusuf.Makan malam kali ini begitu sempurna menurutku. Yang biasanya aku sendiri, kini sudah ada temannya lagi.Pria itu, selalu bisa membuatku beruntung bisa menjadi istrinya. Bagaimana tidak, dari awal makan, dia terus menyuapiku sampai ke suapan terakhir.Alhamdulilah, aku diperlakukan seperti ratu olehnya."Aku akan menembus hari-harimu tanpa aku. Melakukan apa yang telah aku lewatkan sebagai suami," ucapnya kala aku
"Yusuf, kenapa pertanyaannya seperti itu?" ujar Mama Salma."Mama bayangin aja, sebulan lebih Yusuf pergi, dan sekarang ada berita kalau Arini, hamil. Ya, jelas aku bertanya-tanya lah."Aku menggelengkan kepala seraya menutup mulut. Aku tidak percaya, jika suamiku telah mencurigaiku."Ini anak kamu, A. Aku tidak mungkin berkhianat," kataku sembari tersedu."Anakku? Benar itu anakku? Bukan .... anak Aki Sanip?"Aku membulatkan mata mendengarkan ucapan dari Yusuf. Wajah Yusuf semakin memerah dengan kedua pipi mengembang menahan tawa."Hahaha! Wajahmu lucu sekali, Rin!" Tawa Yusuf pecah. Dia tergelak sembari memegangi perutnya.Aku mengusap mata yang tadi sempat mengeluarkan air dari sana.Plak!Ak