Share

Bab 7

TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 7

"Aaaahhh!" Hena menjerit saat tubuhnya jatuh ke dalam styrofoam box berisikan air es bercampur darah ikan. Bau anyir menyeruak membuatku merasakan mual yang amat sangat. 

Aku menutup hidung, lalu pergi meninggalkan Hena yang masih berusaha keluar dari tempat yang menjijikkan itu.

"Dadah, mantan!" ucapku sebelum beranjak.

"Arini, awas kau!!"

Aku mengibaskan tangan di udara tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya.

Orang-orang mulai berkerumun menyaksikan pertunjukkan Hena yang jatuh dalam styrofoam bekas ikan. Sedangkan aku, memilih cepat pergi untuk mengantarkan pesanan ikan yang sedang ditunggu pelanggan.

*

Selesai mengantarkan ikan pada pelanggan, dan berjalan-jalan sebentar, aku pun segera pulang. Segudang pekerjaan rumah sudah menantikan sentuhan tanganku.

"Kok, pulangnya telat, Rin?"

Pertanyaan Mas Andri menyambut kepulanganku. 

Aku berhenti melangkah, menoleh pada suami yang tengah menikmati secangkir kopi sambil menonton tv.

"Kan gak langsung antar ikan, Mas. Aku harus memilih dan menimbang dulu, berdesakkan sama penjual lain yang mau belanja juga di sana. Pasti lama, lah. Aku juga sampai di semprot pelanggan, karena datang kesiangan." Aku membuka jaket dan menyimpannya di kursi. Duduk sejenak untuk menghilangkan penat.

"Palingan juga, kamu ngobrol dan main dulu sama para nelayan di pelabuhan. Iya, kan? Kegatelan."

Aku yang baru saja menyandarkan punggung, kini kembali duduk dengan tegak. Ucapan Mas Andri sungguh sangat mengusikku.

"Aku lelah, lho Mas. Habis jualan, bukan habis jalan-jalan. Seenaknya saja kamu nuduh aku yang tidak-tidak?"

Mas Andri menyesap kopi hitam yang menjadi kegemarannya. Juga, sebatang rokok tidak pernah lepas dari sela jarinya.

"Kalau cuma nganter ikan, tidak akan sesiang ini, Rin. Kamu jual ikan, apa jual d*ri?"

"Mas!" Aku berteriak tak terima dengan tuduhan yang dilontarkan Mas Andri padaku.

Napasku memburu, rasa panas menjalar ke setiap aliran tubuh. Kata yang Mas Andri ucapkan sungguh menyinggungku. 

"Jangan berteriak, jika itu tidak benar. Ingat, ya Rin. Aku tidak akan pernah mengampunimu, jika suatu saat kamu ketahuan berselingkuh di belakangku. Ingat, itu Rin!" pungkas Mas Andri. Lalu ia pergi entah ke mana.

Aku mengusap wajahku dengan sangat kasar. Bisa-bisanya dia mengancamku dengan tuduhan yang tidak aku lakukan. 

Sudah jelas dia yang bermain api di belakangku. Kini Mas Andri malah menuduhku, bahkan mengancamku untuk dosa yang sebenarnya dia lakukan sendiri.

"Rin! Arini, apa yang kamu lakukan pada Hena?" 

Aku yang akan pergi ke dapur, mengurungkan niatku saat Mas Andri datang dari luar dengan langsung bertanya soal mantan istrinya. 

Si mantan sepertinya sudah mengadukan kejadian di TPI tadi.

"Rini, kamu dengar apa yang aku katakan?" tanyanya lagi seraya mendekatiku.

Wajah Mas Andri sudah tidak lagi setenang tadi. Dia marah karena aku mengerjai mantan istri yang mungkin akan menjadi istrinya lagi. 

"Kenapa, sih Mas. Kamu itu selalu bertanya soal Hena padaku? Aku tidak tahu, Mas."

"Tapi, Rin. Tadi ...." Mas Andri tidak lagi melanjutkan ucapannya saat menyadari tatapan tajam dariku.

"Orang-orang di pelabuhan, ramai membicarakan Hena yang kejebur air es bekas ikan, Rin. Masa kamu tidak tahu, kalian tadi 'kan sama-sama berada di sana," ujar Mas Andri mencoba menipuku.

Sayangnya, aku sudah paham dengan kebohongan dia.

"Aku gak tahu," ucapku singkat.

Aku ingin lihat, beranikah Mas Andri, bilang kalau Hena telah menghubunginya dan mengatakan kalau aku yang membuat dia malu di sana? 

Pasti dia tidak berani.

"Aku lapar, mau makan sama pepes ayam," kataku saat melihat dia hanya diam di tempat.

"Kamu beli pepes ayam, Rin?" tanyanya antusias. lauk itu adalah lauk kesukaan Mas Andri.

"Iya," jawabku singkat.

Wajah yang tadi merah menahan amarah, kini lunak kembali hanya dengan pepes ayam. Mas Andri mengekor di belakangku.

"Makan, Mas." Aku mengambilkan nasi dan memberikannya pada Mas Andri yang sudah siap di meja makan.

"Kamu tumben, Rin, pake beli pepes ayam segala?" tanya Mas Andri seraya menyuapkan pepes ke mulutnya.

"Iya, lagi punya rejeki lebih. Aku menemukan harta karun, jadi aku belikan ini untukmu," kataku.

Mas Andri menautkan alis sambil melihatku tidak mengerti.

"Harta karun dari mana?" 

"Dari sini," ujarku seraya menyimpan amplop yang sudah kosong di atas meja.

Mata Mas Andri membulat sempurna melihat amplop berwarna cokelat itu. Pasti dia mengerti tanpa harus aku menjelaskannya. Apalagi, di luar amplop itu ada tulisan tangan yang dibuat sendiri oleh Mas Andri.

[Untuk Hena Morena Terena-ena.]

"Rin, aku bisa jelasin."

"Jangan bicara jika sedang makan. Habiskan dulu makananmu, lalu nanti bicara." Aku berujar dengan sangat dingin.

"Tapi, Rin—."

"Makan aku bilang." Aku memotong ucapannya.

Mas Andri menurut, tapi kemudian dia terdiam dengan memegangi perutnya.

"Kenapa, Mas? Perutnya sakit?" tanyaku.

Mas Andri mengangguk lemah.

"Pasti sakit, soalnya aku sudah memasukkan obat pencahar ke dalam pepes itu."

"Apa?!"

"Selamat berena-ena di toilet, Mas," kataku lalu pergi meninggalkannya.

Bersambung

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Yuli Chaca
keren ne cewe .........
goodnovel comment avatar
Anita Ratna
Arini keren ngasi pelajarannya...... suami numpang hidup aja belagu
goodnovel comment avatar
Dilansbudiono
keren bener si Arini...ga perlu nangus meratap ..hajar abis si pengkhianat...mampus looo
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status