TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 8
Wajah Mas Andri kembali memerah menahan amarah. Ia berdiri lalu menggebrak meja makan dengan sangat keras.
"Rin, tunggu! Mau ke mana kau?!" ujar Mas Andri berteriak. Ia mengejar, lalu mencekal pergelangan tanganku.
Matanya melihatku dengan tajam. Rahangnya mengeras dengan gigi yang gemelutuk.
"Kamu, makin lama makin kurang ajar sama suami, Rin. Kamu ingin membunuhku?"
"Jika membunuh dihalalkan, sudah aku lakukan dari kemarin padamu, Mas! Kamu tak paham, dengan apa yang aku rasakan, Mas! Aku melakukan ini karena rasa sakitku akibat ulahmu itu!"
Aku berteriak, meluapkan amarah yang sedari tadi aku pendam. Sekuat apa pun aku menahan, aku juga perempuan yang memiliki perasaan. Di depan Hena, aku bisa tegar dan kuat, karena aku tak ingin wanita itu melihat kelemahanku. Namun, sekarang, di depan Mas Andri, air mataku malah jatuh dan mengalir begitu saja.
"Rin, aku akan menjelaskan semuanya. Apa yang kamu lihat, itu bukan yang sebenarnya. Aku ... ah, tunggu di sini, aku akan kembali untuk menjelaskan semuanya!"
Mas Andri lari dengan kencang menuju kamar mandi. Obat pencahar yang aku berikan, pasti sudah bereaksi. Aku adalah istri yang jahat dan jahil, mengerjai suami sampai dia akan bolak-balik ke kamar kecil.
Biarkan saja. Siapa suruh keganjenan sama mantan istri. Jangankan sama mantan, jika dia melakukan hal serupa sama wanita lain selain Hena pun, aku akan tetap melakukan hal yang sama. Aku tidak suka dikhianati. Apalagi, setelah apa yang Abah berikan padanya.
Tidak tahu terima kasih.
Aku mengusap kedua pipiku hingga kering. Ini hanyalah air pencuci mata, agar mataku bersih, dan pengkihatanku kembali jelas. Bukan air mata kepedihan.
Lebih baik aku pergi dari rumah, daripada harus menunggu Mas Andri yang sedang mencret-mencret.
Ah, akan sangat membosankan.
"Rin, mau ke mana?" tanya Mas Andri saat melihatku mengambil kunci motor.
"Beli bakso, di warung Santi."
"Aku lagi sakit, Rin .... Aduh ...." Mas Andri tidak melanjutkan kata-katanya, ia kembali masuk ke kamar mandi.
Aku menggelengkan kepala, lalu pergi pada tujuan awalku. Biarkan saja Mas Andri berolah raga, supaya perut buncitnya menjadi rata kembali.
Warung Santi berada di sekitar pelabuhan. Ia membuka warung makan, dengan para nelayan sebagai konsumennya. Bukan hanya nelayan saja, orang-orang yang datang untuk berwisata pun, selalu mampir dan makan di warung itu. Karena memang, Santi menyediakan bermacam menu seafood yang dihasilkan dari laut sekitar pelabuhan.
"Hey, tumben datang. Sini, duduk."
Setelah sampai, aku langsung disambut ramah pemilik warung, yang tidak lain adalah temanku–Santi.
"Aku lagi mumet, San. Lelah," kataku seraya menjatuhkan bobot tubuhku di bale-bale bambu depan warung.
Santi keluar dari dalam warung, ia ikut duduk di sebelahku.
"Apa tentang mantan lagi?" tebaknya.
Aku mengembuskan napas kasar.
Sudah bukan rahasia lagi, jika Santi tahu tentang si mantan istri. Bermula dari keranda mayat serta status f******k, hampir semua orang tahu kalau rumah tanggaku tengah diterjang badai masa lalu. Masa lalu Mas Andri.
"Apa lagi sekarang yang dilakukan si mantan? Eh, iya. Kemarin aku sempat dengar, kalau dia katanya pura-pura kesurupan? Gimana ceritanya, tuh?" ujar Santi semakin penasaran.
"Kamu bisa dipercaya, gak?" Aku bertanya seraya menatapnya lekat.
"Ya Allah, Rin. Kapan, sih mulutku ini bocor? Nih, ya kamu ngompol waktu sekolah pun. Aku gak bilang sama siapa pun. Aku jaga rahasiamu sampai saat ini."
Aku melirik, mendelikkan mata pada teman kecilku itu.
"Jangan dibahas, aib."
Santi hanya nyengir melihat lirikan mata tidak suka dariku.
"Maaf .... Ayo, dong cerita," bujuknya. Santi mengangkat kedua kakinya hingga duduk bersila menghadap padaku.
Aku menarik napas dalam, bersiap untuk mencurahkan isi hati kepada temanku itu.
"Aku sudah tidak tahan, San. Aku ... lelah."
Bersambung
Pukul setengah lima sore, aku sudah berdiri di depan pagar. Menanti kepulangan gadisku dari menuntut ilmu."Huhu .... Hu hu ...!" Seorang anak laki-laki menangis berjalan melewatiku."Dek, kenapa?" tanyaku menghentikan anak itu."Dijahatin, Bi.""Dijahatin sama siapa?" tanyaku lagi.Anak yang berusia sebaya dengan Aish itu mengusap matanya yang sudah merah karena air mata."Sama Aisha. Huhu ...." Dia kembali menangis seraya menunduk. Kemudian, berjalan meninggalkanku.Ya Allah, apa yang dilakukan Aisha?Aku melihat ke arah mesjid, tidak ada tanda-tanda Aisha berjalan dari sana. Hatiku mulai cemas, mungkin dia tidak mau pulang karena takut aku marahi. Aku pun berniat untuk ke sana, menjemput Aisha ke tempat dia mengaji.Namun, baru satu langkah ka
ENAM TAHUN KEMUDIAN"Aisha!"Aku keluar dari dalam rumah dengan piring di tangan. Sepagi ini, anak itu sudah tidak ada di dalam rumah.Yusuf pun sama. Pasti mereka sekarang sedang bersama saat ini. Tapi, di mana?Di restoran? Atau di kolam?Aku berjalan menyusuri jalanan setapak menuju kawasan kolam renang. Setelah barusan ke restoran, ternyata mereka tidak ada di sana, kini kakiku melangkah masuk ke wisata kolam renang yang kami buat tiga tahun yang lalu.Rame? Alhamdulilah. Banyak sekali pengunjung yang datang setiap harinya.Bukan hanya ada kolam renang saja, ada juga tempat bersua foto yang cocok sekali bagi anak muda yang suka berselfi ria.Kehadiran Aisha laksana magnet rezeki bagi kami. Dari mulai dia di dalam perut sampai dia lahir, rezekinya tak hent
"Bertepatan dengan tujuh bulan kehamilan istri saya, khusus hari ini, saya akan menggratiskan seluruh pelanggan yang makan di restoran kami ini. Silahkan nikmati hidangan kami, dengan suka cita."Tepuk tangan dan suara orang-orang yang mengucapkan terima kasih, begitu riuh terdengar oleh kami. Aku yang berdiri tepat di samping suamiku ikut merasakan senang dengan apa yang disampaikan Yusuf barusan.Kita sedang berbahagia, apa salahnya kita juga memberikan kebahagiaan kepada orang-orang yang berada di sekitar kita. Contohnya kepada pelanggan setia yang selalu datang dan makan di restoran kami."Kita lihat yang di rumah, yuk!"Yusuf mengangguk. Dengan hati-hati, ia menuntunku untuk keluar dari restoran. Perutku yang semakin besar, membuatku tidak bisa berjalan dengan cepat seperti sebelum hamil. Dan Yusuf, dia semakin protektif dengan melarangku mel
"Masya Allah, Abah ...," ucap Yusuf menggelengkan kepala."Besarkan suaranya, A!"Yusuf pun menekan tombol di samping ponsel untuk menambah volume suara."PENGUMUMAN! Dengarkan semuanya!" Dengan melambaikan tangan ke atas, Abah berkata dengan begitu lantang.Aku masih fokus untuk mendengarkan apa yang Abah sampaikan."Dikarenakan hari ini saya sedang berbahagia atas kepulangan menantu saya, juga atas adanya kabar jika sebentar lagi saya akan menjadi seorang kakek, jadi ... khusus malam ini semua nelayan yang memakai perahu saya, saya bebaskan dari setoran harian! Semua ikan yang kalian dapatkan dari hasil melaut malam ini, semuanya untuk kalian! Tidak perlu kalian menyetorkan hasil tangkapan pada saya! Aku bersedekah pada kalian!"Aku menutup mulut dengan rasa haru. Sebahagia itu Abah saat mengetahui kehamilanku. Bahkan ia sampai mensedekahkan penghasilan yang selama ini jadi sumber keuangannya. 
Tidak berapa lama, mereka pun pergi menuju rumah Aki Sanip. Dasar mereka, dengan alasan tidak ingin mengganggu bulan madu kedua kami, mereka sampai pergi ke rumah orang tuanya. Padahal hari sudah mulai gelap, adzan maghrib pun sudah terdengar diserukan dari mesjid."Kita salat dulu, ya? Nanti setelahnya, kita makan."Aku mengangguk mengiyakan ajakan Yusuf.Makan malam kali ini begitu sempurna menurutku. Yang biasanya aku sendiri, kini sudah ada temannya lagi.Pria itu, selalu bisa membuatku beruntung bisa menjadi istrinya. Bagaimana tidak, dari awal makan, dia terus menyuapiku sampai ke suapan terakhir.Alhamdulilah, aku diperlakukan seperti ratu olehnya."Aku akan menembus hari-harimu tanpa aku. Melakukan apa yang telah aku lewatkan sebagai suami," ucapnya kala aku
"Yusuf, kenapa pertanyaannya seperti itu?" ujar Mama Salma."Mama bayangin aja, sebulan lebih Yusuf pergi, dan sekarang ada berita kalau Arini, hamil. Ya, jelas aku bertanya-tanya lah."Aku menggelengkan kepala seraya menutup mulut. Aku tidak percaya, jika suamiku telah mencurigaiku."Ini anak kamu, A. Aku tidak mungkin berkhianat," kataku sembari tersedu."Anakku? Benar itu anakku? Bukan .... anak Aki Sanip?"Aku membulatkan mata mendengarkan ucapan dari Yusuf. Wajah Yusuf semakin memerah dengan kedua pipi mengembang menahan tawa."Hahaha! Wajahmu lucu sekali, Rin!" Tawa Yusuf pecah. Dia tergelak sembari memegangi perutnya.Aku mengusap mata yang tadi sempat mengeluarkan air dari sana.Plak!Ak