Leandra tidak sempat menghindari senggolan dengan bodi mobil dan dia pun terjatuh bersama motornya ke aspal.
Untungnya, mobil putih itu berhenti dan pengemudinya turun saat beberapa orang mulai datang untuk memberikan pertolongan kepada Leandra.Sempat heboh sebentar sebelum akhirnya pengemudi mobil itu berjanji akan bertanggung jawab terhadap Leandra meski faktanya dia tidak sepenuhnya bersalah.“Kamu mau ke rumah sakit?”Leandra mendongak dan memandang pria yang mengemudi mobil tadi.“Tidak usah,” geleng Leandra kepada pengemudi mobil itu. “Saya minta maaf, saya yang salah ....”Pria itu tidak menjawab, dia mengalihkan pandangannya ke arah motor Leandra yang terparkir di dekat mobilnya. Dia mendekati motor itu dan mengamatinya sebentar.Leandra yang wajahnya masih shock, hanya terduduk bisu sambil mengusap-usap lututnya yang terbentur saat jatuh tadi. Ketika dia menoleh, dilihatnya pria itu sedang mencoba menyalakan mesin motor matic-nya.“Kamu tidak menelepon orang rumah saja supaya jemput kamu?”Leandra bergeming ketika pria tetap itu mendatanginya setelah mematikan mesin motor.“Saya masih bisa naik motor kok,” jawab Leandra sambil menggeleng.Pria itu mengangguk dan kembali ke mobilnya, tidak berapa lama kemudian dia muncul lagi dengan membawa sesuatu di tangannya.“Bukannya saya tidak mau bertanggung jawab, tapi saya sedang ada urusan penting.” Dia mengulurkan beberapa lembar uang kertas merah kepada Leandra. “Ini sekadar untuk jaga-jaga kalau kamu terluka atau motor kamu perlu diservis. Sekalian ini kartu nama saya kalau ada apa-apa.”Leandra terpaku sejenak. Bukan dia menolak rejeki, tapi pengemudi mobil itu memang tidak sepenuhnya salah. Karena itu Leandra lebih memilih untuk mengambil kartu nama pria itu saja dan tidak menerima uangnya.“Terima kasih, tapi ... Bapak tidak perlu memberi saya uang ... seharusnya malah saya yang memberi Bapak ganti rugi karena mobil Bapak jadi lecet ...” ucap Leandra terbata, dia melirik nama yang terpampang di kartu.Nama pria itu adalah Tian.“Tidak usah dipikirkan, anggap saja musibah.” Tian menyahut. “Kalau begitu saya pergi, saya ada urusan.”Leandra mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi, baginya dia sudah sangat beruntung karena Tian tidak menuntut ganti rugi atas tabrakan tidak disengaja tadi.Kasih tahu Mas Rendra nggak ya, batin Leandra dalam hati. Kebetulan orang-orang sudah fokus kepada urusannya sendiri-sendiri setelah kejadian yang dialaminya tadi berhasil diselesaikan secara damai antara dua belah pihak.Nggak usah deh, batin Leandra lagi. Dia berdiri dan berjalan sedikit tertatih karena lututnya yang nyeri. Batal mencari udara segar, Leandra memutuskan untuk kembali ke rumah mertuanya.“Kamu kenapa?” tanya Rendra ketika malamnya tiba di rumah melihat Leandra berjalan dengan langkah kaki yang terlihat janggal.“Aku jatuh dari motor,” jawab Leandra jujur.“Apa?” Rendra langsung memegang bahunya. “Kamu serius jatuh dari motor?”Leandra mengangguk, dia sempat merasa tersanjung karena ternyata Rendra masih menaruh perhatian besar terhadap dirinya.“Apa ada yang lecet?” tanya Rendra lagi dengan wajah serius.“Enggak,” geleng Leandra. “Cuma lutut aku ....”“Bukan itu, maksud aku motornya!” ralat Rendra, dia mengangkat tangannya dari bahu Leandra dan bergegas lari ke halaman rumah.Tinggallah Leandra seorang diri yang masih tercengang dengan sikap Rendra yang ternyata lebih mencemaskan keselamatan motor daripada istrinya sendiri.“Untung nggak kenapa-kenapa, bisa gawat kalau lecet ....”Leandra bisa mendengar gumaman Rendra ketika dia menyusulnya ke halaman.“Aku kan sudah bilang kalau motornya nggak lecet,” kata Leandra datar.Rendra menegakkan tubuhnya dan memandang Leandra.“Lain kali hati-hati naiknya, Lea. Nanti ibu bisa marah kalau tahu motor ini jatuh.” Dia menegur Leandra.“Bukannya motor ini kamu yang beli?” komentar Leandra. “Kenapa ibu dibawa-bawa?”Rendra menarik napas panjang.“Bukan begitu, Lea. Aku memang beli motor itu buat kamu, tapi bukan berarti ibu aku nggak akan marah kalau kamu nggak hati-hati jaga motornya.”Leandra mengembuskan napas panjang, dia tidak tahu akan sampai kapan Rendra terus berada di bawah ketiak ibunya.***“Lea, minumlah.”Ivana memberi isyarat kepada Leandra saat turun ke dapur untuk bantu menyiapkan sarapan.“Apa ini, Tante?” tanya Leandra sambil menatap beberapa minuman yang disajikan dengan gelas kecil-kecil di atas meja ketika dia datang berkunjung ke rumah sang Tante.“Ini adalah minuman tradisional untuk membantu mempercepat kehamilan,” jawab Ivana dengan wajah cerah. “Ini aman kok, karena dibuat dari bahan-bahan alami. Kalau kamu sama Rendra belum mau program hamil, kita coba saja dulu pakai ramuan ini. Bagaimana?”Leandra memaksakan diri tersenyum, dia memang belum bercerita kepada Ivana kalau dirinya telah divonis tidak bisa hamil.“Ini kamu minum pahitnya dulu,” suruh Ivana antusias sambil mengulurkan satu cangkir mungil kepada Leandra yang berdiri di sampingnya. “Setelah itu minum yang ini.”Leandra terpaku, antara ragu dan tidak mau karena seumur hidup dia memang tidak pernah minum ramuan tradisional seperti itu. Namun, demi menjaga perasaan sang tante, Leandra tetap meminumnya sampai habis.Semoga aku bisa cepat hamil, harap Leandra dalam hatinya. Namun, tekad itu seolah sudah tidak sekuat dulu lagi.Setelah tahu bahwa Rendra menikah lagi dengan perempuan lain diam-diam, sejujurnya semangat Leandra untuk bisa mengandung nyaris terpatahkan.Namun, di sisi lain dia juga sadar bahwa dirinya perlahan mulai kehilangan perhatian Rendra seiring dengan bertambahnya usia kandungan wanita itu.Wanita yang sampai sekarang belum Leandra ketahui betul identitasnya selain nama.“Kamu nggak ke sana, Mas?” tanya Leandra ketika dia baru saja selesai mencuci wajahnya dan melihat Rendra berbaring santai di tempat tidur mereka.“Ke sana mana?” sahut Rendra sambil mengganti saluran televisi.Leandra duduk di depan meja riasnya dan tidak menjawab, dia masih enggan menyebut nama sang madu di dalam kamar mereka.Mencoba tidak peduli, Leandra mencolek sedikit krim malam dari pot dan mengolesnya ke wajah perlahan.Sadar kalau Leandra masih bersikap abai terhadapnya, Rendra mulai memikirkan cara yang ampuh untuk bisa mencairkan kebekuan yang tercipta di antara mereka.“Lea, sudah selesai pakai krim-nya?” tanya Rendra heran karena sang istri tidak segera beranjak dari depan meja rias.“Kamu tidur duluan saja, Mas.” Leandra menyahut.“Kenapa begitu?” tanya Rendra sembari melipat kedua tangannya di dada.Leandra berbalik dan menatap sang suami, “Aku belum ngantuk.”Rendra bangkit berdiri dan mendatangi Leandra.“Kebetulan aku juga belum mengantuk,” katanya sambil meletakkan tangan di lekukan leher Leandra dan membelainya lembut.Namun, Leandra tetap duduk bergeming.“Ya nggak apa-apa kamu rebahan dulu di sana, nanti juga lama-lama ketiduran.” Leandra menyahut, dia sedikit mengibas tangan Rendra dengan menaikkan bahunya pelan.“Terus kamu?” tanya Rendra heran, merasa dirinya sudah ditolak duluan sebelum meminta jatahnya.“Nanti aku nyusul,” jawab Leandra datar, senyum hangat yang setiap malam biasa dia persembahkan, kini padam seperti bara api yang tersiram air.Bersambung—“Rendra kok lama ya?” pikir Leandra yang masih duduk menunggu, dengan susah payah dia mencoba berdiri karena kondisi perutnya yang tidak nyaman. “Lea!” panggil Rendra ketika langkah kaki Leandra belum terlalu jauh. “tunggu sebentar, aku belum selesai.” “Biar aku naik taksi saja, Ren. Sudah berhari-hari aku nggak pulang, Mas Tian pasti cari-cari aku ... siapa tahu dia juga sudah telepon polisi.” Rendra terpaku ketika Leandra menyebut kata polisi. “Kamu betul juga, Lea.” “Makanya itu biar aku pergi sendiri ....” “Kamu masuk, sekarang.” “Apa maksud kamu?” Rendra tidak menjawab, melainkan menarik tangan Leandra dan memaksanya untuk masuk ke dalam mess karyawan. “Ren, apa-apaan sih?” Rendra celingukan dan lekas mendorong pelan leandra di saat pegawai sedang melayani pembeli yang berbelanja. “Kamu tunggu di sini dulu, lea.” “Kenapa sih kamu maksa? Aku nggak minta kamu untuk antar aku kalau memang nggak bisa, tapi biarkan aku pergi pakai taksi!” Leandra sudah merada
Rendra membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Leandra untuk masuk. “Apa Silvi tidak akan apa-apa?” tanya Leandra ragu.“Aku nggak bersama Silvi,” geleng Rendra sambil mengistirahatkan Leandra untuk masuk. Karena tidak memiliki pilihan lain, Leandra akhirnya setuju untuk menumpang mobil Rendra.“Tolong antar aku ke kantor Mas Tian ya, Ren?” pinta Leandra dengan wajah letih. “Atau ke rumah mertua aku saja, kamu tahu kan?”“Ya ....”“Yang perumahannya dekat sama rumah kamu dan Silvi,” imbuh Leandra lagi. “Aku mau cepat pulang dan bertemu Mas Tian, aku sudah capek.”Rendra mengangguk saja dan segera menutup pintu mobil rapat-rapat begitu Leandra sudah duduk di depan, setelah itu dia ikut masuk dan duduk di kursi kemudi.“Anak kamu sudah umur berapa, Ren?” tanya Leandra basa-basi ketika mobil yang ditumpanginya mulai melaju di jalan raya.“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rendra datar, dan Leandra langsung mengernyitkan keningnya karena merasa nada suara Rendra yang terdengar
“Bagaimana keadaan Ibu, ada keluhan yang dirasakan mungkin?” tanya dokter ketika datang berkunjung.Leandra tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.“Kemarin-kemarin saya lemas sekali, Dok. Perut saya juga rasanya kram, saya pikir kontraksi.”“Ibu tidak dalam kondisi baik saat dibawa ke sini tadi, jadi asupan makanannya harus diperhatikan ya?”“Baik, Dok. Tapi janin saya baik-baik saja kan?”“Semuanya dalam kondisi baik, asalkan Ibu tidak boleh kelelahan, atau banyak pikiran dulu.”Leandra mengangguk paham, setelah itu dokter meninggalkannya sendirian lagi.“Aku lupa tanya sesuatu!” keluh Leandra. “Tapi entah kenapa aku jadi ngantuk sekali, dokter juga bilang kalau aku nggak boleh kecapekan ... nanti saja aku akan tanya ....”Leandra memejamkan matanya, tidak membutuhkan waktu lama dia segera terlelap di alam mimpi.Dan terbangun keesokan paginya ketika beberapa suster masuk ke ruangannya untuk absen.“Sus, apa tidak ada yang datang semalam?” tanya Leandra penuh harap
“Saya harap juga begitu,” timpal Tian, masih dengan ekspresi wajah yang tenang. “Apa maksud kamu?” “Sudah, Mas. Jangan diperpanjang, biar Pak Tian lapor polisi saja ....” “Maksudnya biar dia melaporkan aku ke polisi?” “Bukan melaporkan kamu, tapi melaporkan hilangnya Mbak Lea, Mas!” Silvi meralat, sedikit ngegas karena Rendra terlalu sentimen dalam merespons kata-katanya. Mendengar itu, Tian justru tersenyum samar. Dia punya dugaan, tapi dirinya berharap kalau dugaannya itu salah. “Tentu saja saya akan melaporkan kasus ini ke polisi, saya tidak pernah tahu siapa penjahat yang sebenarnya ....” “Kamu menuduh kami ya?” potong Rendra menahan marah. Tian geleng-geleng kepala. “Kenapa ya dari tadi Anda selalu merasa bahwa saya menuduh Anda?” Dia berkomentar. “Istri Anda saja berpikir lebih bijak, kenapa Anda sendiri memperturutkan emosi? Jangan membuat orang lain merasa makin curiga dengan sikap Anda ini.” Tian langsung meninggalkan kantor Rendra dengan perasaan tidak menentu, dia
Cittt!Suara decit mobil terdengar beradu pada halaman parkir ketika Tian menginjak rem, setelah itu dia turun dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah.“Bik Asih! Pak Adi!”Pemilik nama yang pertama kali muncul adalah asih.“Pak Tian! Syukurlah Bapak pulang juga—Bu Lea, Pak!”“Pelan-pelan bicaranya, Bik! Sebenarnya apa yang terjadi sama Bu Lea?”Asih menarik napas dalam-dalam, kemudian menceritakan ulang kejadian yang telah diceritakan Adi kepadanya.“Kalau begitu di mana Pak Adi sekarang?” tanya Tian yang tidak bisa menutupi rasa paniknya membayangkan Leandra bertemu orang jahat dalam keadaan hamil besar seperti itu.“Saya akan panggilkan, Pak!” Asih buru-buru menghilang ke halaman belakang rumah.Ketika Asih kembali bersama Adi, Tian bergegas mengajaknya pergi ke kantor polisi karena dia tidak mungkin menunggu hingga waktu dua kali dua puluh empat jam.Setelah melapor, Tian segera mengabari orang tua Leandra dan juga orang tuanya sendiri.Reaksi mereka tentu saja su
“Pak, saya kok khawatir sama Bu Lea!” Asisten rumah tangga Tian tergopoh-gopoh mendatangi penjaga sekaligus tukang kebun yang sedang bersih-bersih dekat pintu gerbang. “Kenapa, Bik? Saya juga ketemu tadi, Bu Lea bilang mau antar makan siang buat Pak Tian ... padahal kandungannya sudah sebesar itu.” “Coba susul, Pak! Minimal sampai Bu Lea benar-benar dapat taksi!” “Ya sudah, Bik! Saya jadi ikutan khawatir, takut lahiran di jalan ....” “Jangan bercanda, Pak!” “Bibik tenang, jangan bikin saya tambah panik begini!” Tukang kebun bernama Adi itu segera meletakkan sapu dan serokannya, kemudian terburu-buru menyusul Leandra yang sudah lebih dulu pergi. Leandra sedang berdiri di pinggir jalan besar yang terletak di depan gang perumahan untuk menunggu taksi yang lewat. “Kok tumben sepi begini,” batin Leandra dalam hati. “Bisa-bisa Mas Tian telat makan siang.” Leandra memandang arlojinya dengan resah, dia mulai lelah berdiri dan juga sedikit kepanasan. Tidak lama setelah itu, sebuah ta
Silvi mengamati sikap Rendra lebih teliti daripada hari-hari biasanya. Sejak keributan yang terjadi di rumah pribadi mereka beberapa waktu yang lalu, dia berusaha memberikan perhatian yang lebih baik kepada sang suami. “Kamu mau dimasakin apa, Mas?” tanya Silvi tepat ketika Rendra tiba di rumah. “Tumben kamu masak,” komentar Rendra dengan kening berkerut. “Memangnya salah kalau aku masak buat suami aku sendiri?” balas Silvi sambil tersenyum. “Sekalian aku juga mau masak buat ibu juga.” “Ibu aku ada sakit darah tinggi, kamu nggak bisa sembarangan masak.” Rendra mengingatkan. “Ya makanya ini aku tanya sama kamu biar nggak salah,” kata Silvi berusaha sabar, meski dalam hati dia ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Namun, apa pun akan dia lakukan supaya rumah tangganya dengan Rendra tetap utuh terlepas apa yang terjadi. “Aku sudah kenyang,” tandas Rendra sambil mengendurkan dasinya. “Ada bibik yang masak untuk makan malam nanti.” Sebelum Silvi sempat berkomentar, Rendra langsun
Leandra mengerjabkan matanya ketika Tian menunjukkan selembar undangan setelah pulang kerja. “Apa ini, Mas?” tanya Leandra tidak mengerti. “Kamu buka saja, tapi jangan kaget.” Tian berpesan. Karena penasaran, Leandra segera mengamati sampul undangan itu dan lantang terpana. “Dari Rendra dan Silvi!” katanya terkejut sembari membuka plastik yang melapisi surat undangan itu. “Syukuran Nayra ... anak mereka? Kapan kamu dapat undangan ini, Mas?” “Tadi aku mampir ke klinik dan dikasih Nezia,” jawab Tian. “Kamu mau datang atau tidak?” Leandra berpikir cukup lama sebelum menjawab. “Kalau tidak mau datang, tidak masalah.” Tian seolah mengerti kebimbangan yang dirasakan Leandra. “Aku malah heran karena mereka mengundang kamu, menurut aku aneh saja.” Leandra menatap suaminya. “Terus apa tujuan mereka mengundang aku ya, Mas?” Tian mengangkat bahu. “Mungkin mau menunjukkan sesuatu? Atau Rendra mau memastikan kalau kamu sebentar lagi akan punya anak?” Leandra tersenyum getir, apa saja yang
“Aku tidak ada hubungan apa pun sama Silvi.” Rendra menatap Denis tidak percaya, dia heran karena pria itu tidak segera angkat kaki dari rumah pribadinya. “Kita sudah bahas ini sejak pertama kali kamu mencurigai aku ada apa-apa sama Silvi,” kata Denis melanjutkan. “Sekali lagi aku tegaskan, bahwa aku bukan orang ketika di antara kalian.” Rendra mendengus pelan. Pagi itu dia sengaja mampir ke rumah pribadinya sebelum berangkat kerja, dan siapa sangka kalau Denis masih punya muka untuk tetap tinggal di sana hingga masa sewa selesai. “Maling mana ada yang mau mengaku,” kata Rendra datar. “Kamu ini lucu sekali,” komentar Denis. “Justru karena aku terbukti tidak salah, aku masih berani tinggal di rumah ini karena masa sewanya masih tersisa ... Bukankah kita juga sudah sepakat di depan satpam perumahan? Kalau aku terbukti salah, mereka pasti sudah mengusirku dari kemarin.” Rendra menatap Denis dengan penuh curiga, tapi pria itu terlihat tidak terganggu sama sekali. “Sudah selesai masa