Share

6 Ditolak Duluan Sebelum Meminta

Leandra tidak sempat menghindari senggolan dengan bodi mobil dan dia pun terjatuh bersama motornya ke aspal.

Untungnya, mobil putih itu berhenti dan pengemudinya turun saat beberapa orang mulai datang untuk memberikan pertolongan kepada Leandra.

Sempat heboh sebentar sebelum akhirnya pengemudi mobil itu berjanji akan bertanggung jawab terhadap Leandra meski faktanya dia tidak sepenuhnya bersalah.

“Kamu mau ke rumah sakit?”

Leandra mendongak dan memandang pria yang mengemudi mobil tadi.

“Tidak usah,” geleng Leandra kepada pengemudi mobil itu. “Saya minta maaf, saya yang salah ....”

Pria itu tidak menjawab, dia mengalihkan pandangannya ke arah motor Leandra yang terparkir di dekat mobilnya. Dia mendekati motor itu dan mengamatinya sebentar.

Leandra yang wajahnya masih shock, hanya terduduk bisu sambil mengusap-usap lututnya yang terbentur saat jatuh tadi. Ketika dia menoleh, dilihatnya pria itu sedang mencoba menyalakan mesin motor matic-nya.

“Kamu tidak menelepon orang rumah saja supaya jemput kamu?”

Leandra bergeming ketika pria tetap itu mendatanginya setelah mematikan mesin motor.

“Saya masih bisa naik motor kok,” jawab Leandra sambil menggeleng.

Pria itu mengangguk dan kembali ke mobilnya, tidak berapa lama kemudian dia muncul lagi dengan membawa sesuatu di tangannya.

“Bukannya saya tidak mau bertanggung jawab, tapi saya sedang ada urusan penting.” Dia mengulurkan beberapa lembar uang kertas merah kepada Leandra. “Ini sekadar untuk jaga-jaga kalau kamu terluka atau motor kamu perlu diservis. Sekalian ini kartu nama saya kalau ada apa-apa.”

Leandra terpaku sejenak. Bukan dia menolak rejeki, tapi pengemudi mobil itu memang tidak sepenuhnya salah. Karena itu Leandra lebih memilih untuk mengambil kartu nama pria itu saja dan tidak menerima uangnya.

“Terima kasih, tapi ... Bapak tidak perlu memberi saya uang ... seharusnya malah saya yang memberi Bapak ganti rugi karena mobil Bapak jadi lecet ...” ucap Leandra terbata, dia melirik nama yang terpampang di kartu.

Nama pria itu adalah Tian.

“Tidak usah dipikirkan, anggap saja musibah.” Tian menyahut. “Kalau begitu saya pergi, saya ada urusan.”

Leandra mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi, baginya dia sudah sangat beruntung karena Tian tidak menuntut ganti rugi atas tabrakan tidak disengaja tadi.

Kasih tahu Mas Rendra nggak ya, batin Leandra dalam hati. Kebetulan orang-orang sudah fokus kepada urusannya sendiri-sendiri setelah kejadian yang dialaminya tadi berhasil diselesaikan secara damai antara dua belah pihak.

Nggak usah deh, batin Leandra lagi. Dia berdiri dan berjalan sedikit tertatih karena lututnya yang nyeri. Batal mencari udara segar, Leandra memutuskan untuk kembali ke rumah mertuanya.

“Kamu kenapa?” tanya Rendra ketika malamnya tiba di rumah melihat Leandra berjalan dengan langkah kaki yang terlihat janggal.

“Aku jatuh dari motor,” jawab Leandra jujur.

“Apa?” Rendra langsung memegang bahunya. “Kamu serius jatuh dari motor?”

Leandra mengangguk, dia sempat merasa tersanjung karena ternyata Rendra masih menaruh perhatian besar terhadap dirinya.

“Apa ada yang lecet?” tanya Rendra lagi dengan wajah serius.

“Enggak,” geleng Leandra. “Cuma lutut aku ....”

“Bukan itu, maksud aku motornya!” ralat Rendra, dia mengangkat tangannya dari bahu Leandra dan bergegas lari ke halaman rumah.

Tinggallah Leandra seorang diri yang masih tercengang dengan sikap Rendra yang ternyata lebih mencemaskan keselamatan motor daripada istrinya sendiri.

“Untung nggak kenapa-kenapa, bisa gawat kalau lecet ....”

Leandra bisa mendengar gumaman Rendra ketika dia menyusulnya ke halaman.

“Aku kan sudah bilang kalau motornya nggak lecet,” kata Leandra datar.

Rendra menegakkan tubuhnya dan memandang Leandra.

“Lain kali hati-hati naiknya, Lea. Nanti ibu bisa marah kalau tahu motor ini jatuh.” Dia menegur Leandra.

“Bukannya motor ini kamu yang beli?” komentar Leandra. “Kenapa ibu dibawa-bawa?”

Rendra menarik napas panjang.

“Bukan begitu, Lea. Aku memang beli motor itu buat kamu, tapi bukan berarti ibu aku nggak akan marah kalau kamu nggak hati-hati jaga motornya.”

Leandra mengembuskan napas panjang, dia tidak tahu akan sampai kapan Rendra terus berada di bawah ketiak ibunya.

***

“Lea, minumlah.”

Ivana memberi isyarat kepada Leandra saat turun ke dapur untuk bantu menyiapkan sarapan.

“Apa ini, Tante?” tanya Leandra sambil menatap beberapa minuman yang disajikan dengan gelas kecil-kecil di atas meja ketika dia datang berkunjung ke rumah sang Tante.

“Ini adalah minuman tradisional untuk membantu mempercepat kehamilan,” jawab Ivana dengan wajah cerah. “Ini aman kok, karena dibuat dari bahan-bahan alami. Kalau kamu sama Rendra belum mau program hamil, kita coba saja dulu pakai ramuan ini. Bagaimana?”

Leandra memaksakan diri tersenyum, dia memang belum bercerita kepada Ivana kalau dirinya telah divonis tidak bisa hamil.

“Ini kamu minum pahitnya dulu,” suruh Ivana antusias sambil mengulurkan satu cangkir mungil kepada Leandra yang berdiri di sampingnya. “Setelah itu minum yang ini.”

Leandra terpaku, antara ragu dan tidak mau karena seumur hidup dia memang tidak pernah minum ramuan tradisional seperti itu. Namun, demi menjaga perasaan sang tante, Leandra tetap meminumnya sampai habis.

Semoga aku bisa cepat hamil, harap Leandra dalam hatinya. Namun, tekad itu seolah sudah tidak sekuat dulu lagi.

Setelah tahu bahwa Rendra menikah lagi dengan perempuan lain diam-diam, sejujurnya semangat Leandra untuk bisa mengandung nyaris terpatahkan.

Namun, di sisi lain dia juga sadar bahwa dirinya perlahan mulai kehilangan perhatian Rendra seiring dengan bertambahnya usia kandungan wanita itu.

Wanita yang sampai sekarang belum Leandra ketahui betul identitasnya selain nama.

“Kamu nggak ke sana, Mas?” tanya Leandra ketika dia baru saja selesai mencuci wajahnya dan melihat Rendra berbaring santai di tempat tidur mereka.

“Ke sana mana?” sahut Rendra sambil mengganti saluran televisi.

Leandra duduk di depan meja riasnya dan tidak menjawab, dia masih enggan menyebut nama sang madu di dalam kamar mereka.

Mencoba tidak peduli, Leandra mencolek sedikit krim malam dari pot dan mengolesnya ke wajah perlahan.

Sadar kalau Leandra masih bersikap abai terhadapnya, Rendra mulai memikirkan cara yang ampuh untuk bisa mencairkan kebekuan yang tercipta di antara mereka.

“Lea, sudah selesai pakai krim-nya?” tanya Rendra heran karena sang istri tidak segera beranjak dari depan meja rias.

“Kamu tidur duluan saja, Mas.” Leandra menyahut.

“Kenapa begitu?” tanya Rendra sembari melipat kedua tangannya di dada.

Leandra berbalik dan menatap sang suami, “Aku belum ngantuk.”

Rendra bangkit berdiri dan mendatangi Leandra.

“Kebetulan aku juga belum mengantuk,” katanya sambil meletakkan tangan di lekukan leher Leandra dan membelainya lembut.

Namun, Leandra tetap duduk bergeming.

“Ya nggak apa-apa kamu rebahan dulu di sana, nanti juga lama-lama ketiduran.” Leandra menyahut, dia sedikit mengibas tangan Rendra dengan menaikkan bahunya pelan.

“Terus kamu?” tanya Rendra heran, merasa dirinya sudah ditolak duluan sebelum meminta jatahnya.

“Nanti aku nyusul,” jawab Leandra datar, senyum hangat yang setiap malam biasa dia persembahkan, kini padam seperti bara api yang tersiram air.

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status