“Aku nggak bisa,” desis Rendra untuk menimbulkan kesan di depan Leandra bahwa sebenarnya dia tidak menyukai interupsi ini. “Mual-mual itu kan biasa saat hamil ....”
“Kok kamu bilang begitu sama aku sih, Mas?” protes Silvi. “Ini anak juga anak siapa? Anak kamu!”Rendra memegang keningnya, kenapa semuanya jadi terasa begitu rumit sejak Leandra mengetahui pernikahan keduanya ini?“Ya aku tahu, tapi sekarang aku nggak bisa!” bisik Rendra, meskipun Leandra masih bisa mendengarnya dengan sangat baik.“Kamu sengaja pilih istri pertama kamu daripada aku?” protes Silvi dengan nada merengek.“Memangnya dari awal siapa yang memilih kamu?” tukas Rendra. “Kita juga sudah sepakat kalau aku akan tetap menomorsatukan Lea apa pun yang terjadi, ingat?”“Tapi, Mas ... aku ini sedang hamil ...” ucap Silvi, nadanya seperti menahan tangis. “Aku juga butuh kamu di samping aku ....”Rendra menghela napas panjang, dia mengusap rambutnya dengan jemari sebelum akhirnya berkata, “Nanti kita bicara lagi.”Leandra memalingkan wajah ketika Rendra meletakkan ponselnya kembali di atas meja.“Kamu kok begitu sama istri kedua kamu?” tanya Leandra dengan mata terarah lurus ke layar ponselnya. “Nanti ibu marah, Mas.”Mendengar ucapan Leandra, Rendra jadi terpantik amarahnya.“Kamu sibuk terus sama hape kamu, chit-chat sama siapa?” tanya Rendra dengan nada menyelidik.“Nggak ada,” jawab Leandra jujur.“Kita jalan sekarang,” kata Rendra tegas.“Sebentar, Mas ... kayaknya kapan-kapan saja deh! Nggak apa-apa kan?” sahut Leandra sambil menatap Rendra sekilas, setelah itu dia kembali fokus ke layar ponselnya lagi.Melihat sikap Leandra begitu, Rendra semakin curiga.“Lihat hape kamu,” ucap Rendra sambil meraih ponsel milik sang istri.“Mas, apa sih?” protes Leandra ketika Rendra dengan teliti memeriksa ponselnya tanpa izin. “Aku nggak chit-chat sama siapa pun kok!”“Lowongan pekerjaan?” gumam Rendra ketika melihat laman web yang tertampil di layar. “Kamu mau kerja?”Leandra mengangguk terus terang.“Aku masih sanggup menafkahi kamu,” kata Rendra. “Kamu meragukannya?”“Iya,” angguk Leandra. “Saat ini mungkin kamu sanggup, tapi gimana kalau anak kamu sudah lahir nantinya? Kebutuhan sehari-hari dia dan ibunya, belum kalau dia masuk sekolah, terus kuliah ....”“Pikiran kamu kejauhan, Lea!” sergah Rendra sambil mengembalikan ponsel istrinya. “Buat apa kamu berpikir terlalu jauh sampai ke sana?”“Tentu saja harus!” sahut Leandra sambil berdiri dan menatap Rendra. “Aku memang selalu berpikir jauh ke depan, memangnya kamu yang nggak memikirkan situasi seperti ini ke depannya?”Kalimat Leandra yang terakhir sukses membungkam bibir Rendra rapat-rapat.“Aku kan sudah bilang kalau aku terpaksa,” kilah Rendra membela diri setelah terdiam selama beberapa saat.“Setidaknya kamu bisa bilang sama aku kalau kamu niat,” sahut Leandra. “Nggak butuh sepuluh menit untuk kamu bicara, Mas.”“Memangnya kamu akan langsung setuju kalau aku bilang mau menikah lagi?” tanya Rendra dengan wajah serius.Leandra menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Setidaknya kalau kamu bicara, aku akan punya kesempatan untuk minta pisah sama kamu.”Rendra tertegun, dia berusaha meraih tangan Leandra.Namun, sang istri sengaja menghindar.“Buat apa kamu jebak aku dalam pernikahan poligami ini, Mas?” tanya Leandra dengan hati teriris-iris. “Kamu nggak mikir apa, gimana perasaan aku sebagai istri?”Rendra mengusap wajahnya dengan gusar, dia pikir sikap Leandra yang tetap kalem adalah pertanda baik jika dia bisa menerima pernikahan keduanya dengan Silvi.Namun, ternyata Leandra hanya menunda waktu untuk menyembur Rendra dengan kemarahan dan rasa kecewa.“Aku tahu aku salah, tapi aku janji kalau aku tetap menomorsatukan kamu.” Rendra menegaskan. “Soal nafkah, aku juga nggak akan pilih kasih. Jadi kamu nggak perlu cari kerja, aku masih sanggup.”Leandra diam, meski di hatinya masih bercokol rasa amarah yang belum tersalurkan dengan sempurna.“Kita akan tetap pergi,” kata Rendra tegas. “Ambil tas kamu, kita ke bioskop.”Leandra menurut, dia hanya mengganti celana dan mengenakan kardigan untuk menutupi lengan.“Kalian berdua mau ke mana?” tanya Widi ketika Leandra menuruni tangga bersama Rendra.“Nonton film,” jawab Rendra lugas.“Lho, ini kan akhir pekan.” Widi mengingatkan, dan firasat Leandra langsung terasa tidak enak.“Justru karena ini akhir pekan, makanya aku ajak Lea nonton bioskop.” Rendra memperjelas. “Hari-hari biasanya kan aku sibuk di kantor ....”“Terus waktu kamu untuk Silvi kapan, Ren?” tanya Widi dengan kening berkerut. “Dia juga butuh perhatian dari kamu, dia kan sedang hamil.”Leandra memilih diam, karena dia ingin mendengar seperti apa jawaban Rendra kepada ibu kandungnya.“Minggu depan lah, Bu.” Rendra menyahut.“Tidak bisa begitu,” tolak Widi dengan nada keberatan. “Lima hari kamu sama Lea terus, akhir pekan jadwalnya kamu sama Silvi—itu sudah pas! Sana, kamu ke rumah istri kamu sekarang ....”“Bu, aku sudah janji sama Lea untuk nonton film sama dia.” Rendra memberi pengertian.Widi refleks menoleh ke arah menantu pertamanya.“Kamu tidak bisa seperti ini, Lea. Jangan menguasai suami demi kepentingan kamu sendiri,” tegur Widi terang-terangan. “Kamu tahu kan sekarang kalau Rendra juga punya istri yang sedang hamil muda?”“Bu!” Rendra balas menegur.“Siapa yang menguasai suami, Bu?” tanya Leandra keberatan. “Mas Rendra sendiri yang maksa aku untuk pergi jalan-jalan, aku tadi sudah nolak ....”“Nah, ya sudah!” potong Widi, dia menoleh kepada Rendra. “Ini giliran kamu ke rumah Silvi, sudah sana.”Rendra sejenak mematung, dan Leandra menantikan saat-saat di mana suaminya itu akan memilih.Apakah benar dirinya akan diprioritaskan?“Lea, maaf!” ucap Rendra akhirnya. “Kita perginya lain kali saja, ya?”Widi seketika menerbitkan senyum di sudut bibirnya, sementara Leandra harus banyak-banyak memompa kesabaran.“Aku izin mau keluar sebentar,” pamit Leandra.“Sekalian saja aku antar,” kata Rendra menawari.Melihat Widi memasang ekspresi tak setuju di wajahnya, Leandra memilih untuk pergi menggunakan motor sendiri.Di bawah tatapan tajam ibunya, Rendra sendiri tidak bisa berbuat banyak ketika Leandra mengambil kunci motor dan pergi lebih dulu dari hadapannya.Jadilah siang itu Leandra mengarungi jalanan tanpa tujuan, karena memang dia tidak memiliki rencana untuk bepergian. Dirinya hanya tidak tahan jika berada di rumah seharian dan membayangkan Rendra yang akan menemui istri keduanya.Hati wanita mana yang tidak rapuh saat mengetahui kalau suaminya sudah menikah lagi diam-diam?Kalau memang dia sudah dianggap tidak bisa menjadi istri yang sempurna, kenapa Rendra tidak mengembalikannya baik-baik ke rumah orang tuanya?Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang berdesakan di kepala Leandra hingga membuatnya nyaris lupa kalau dia sedang mengemudi di jalan raya.Leandra berusaha fokus dan mengendarai motor matic-nya dengan air mata berderai. Dia asal melaju dengan perasaan yang kacau, tidak memperhatikan arah jalan, rambu lalu lintas, hingga dia berbelok dan terlambat sadar ketika ada mobil putih bersih yang muncul di hadapannya ....Brakk!Bersambung—“Rendra kok lama ya?” pikir Leandra yang masih duduk menunggu, dengan susah payah dia mencoba berdiri karena kondisi perutnya yang tidak nyaman. “Lea!” panggil Rendra ketika langkah kaki Leandra belum terlalu jauh. “tunggu sebentar, aku belum selesai.” “Biar aku naik taksi saja, Ren. Sudah berhari-hari aku nggak pulang, Mas Tian pasti cari-cari aku ... siapa tahu dia juga sudah telepon polisi.” Rendra terpaku ketika Leandra menyebut kata polisi. “Kamu betul juga, Lea.” “Makanya itu biar aku pergi sendiri ....” “Kamu masuk, sekarang.” “Apa maksud kamu?” Rendra tidak menjawab, melainkan menarik tangan Leandra dan memaksanya untuk masuk ke dalam mess karyawan. “Ren, apa-apaan sih?” Rendra celingukan dan lekas mendorong pelan leandra di saat pegawai sedang melayani pembeli yang berbelanja. “Kamu tunggu di sini dulu, lea.” “Kenapa sih kamu maksa? Aku nggak minta kamu untuk antar aku kalau memang nggak bisa, tapi biarkan aku pergi pakai taksi!” Leandra sudah merada
Rendra membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Leandra untuk masuk. “Apa Silvi tidak akan apa-apa?” tanya Leandra ragu.“Aku nggak bersama Silvi,” geleng Rendra sambil mengistirahatkan Leandra untuk masuk. Karena tidak memiliki pilihan lain, Leandra akhirnya setuju untuk menumpang mobil Rendra.“Tolong antar aku ke kantor Mas Tian ya, Ren?” pinta Leandra dengan wajah letih. “Atau ke rumah mertua aku saja, kamu tahu kan?”“Ya ....”“Yang perumahannya dekat sama rumah kamu dan Silvi,” imbuh Leandra lagi. “Aku mau cepat pulang dan bertemu Mas Tian, aku sudah capek.”Rendra mengangguk saja dan segera menutup pintu mobil rapat-rapat begitu Leandra sudah duduk di depan, setelah itu dia ikut masuk dan duduk di kursi kemudi.“Anak kamu sudah umur berapa, Ren?” tanya Leandra basa-basi ketika mobil yang ditumpanginya mulai melaju di jalan raya.“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rendra datar, dan Leandra langsung mengernyitkan keningnya karena merasa nada suara Rendra yang terdengar
“Bagaimana keadaan Ibu, ada keluhan yang dirasakan mungkin?” tanya dokter ketika datang berkunjung.Leandra tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.“Kemarin-kemarin saya lemas sekali, Dok. Perut saya juga rasanya kram, saya pikir kontraksi.”“Ibu tidak dalam kondisi baik saat dibawa ke sini tadi, jadi asupan makanannya harus diperhatikan ya?”“Baik, Dok. Tapi janin saya baik-baik saja kan?”“Semuanya dalam kondisi baik, asalkan Ibu tidak boleh kelelahan, atau banyak pikiran dulu.”Leandra mengangguk paham, setelah itu dokter meninggalkannya sendirian lagi.“Aku lupa tanya sesuatu!” keluh Leandra. “Tapi entah kenapa aku jadi ngantuk sekali, dokter juga bilang kalau aku nggak boleh kecapekan ... nanti saja aku akan tanya ....”Leandra memejamkan matanya, tidak membutuhkan waktu lama dia segera terlelap di alam mimpi.Dan terbangun keesokan paginya ketika beberapa suster masuk ke ruangannya untuk absen.“Sus, apa tidak ada yang datang semalam?” tanya Leandra penuh harap
“Saya harap juga begitu,” timpal Tian, masih dengan ekspresi wajah yang tenang. “Apa maksud kamu?” “Sudah, Mas. Jangan diperpanjang, biar Pak Tian lapor polisi saja ....” “Maksudnya biar dia melaporkan aku ke polisi?” “Bukan melaporkan kamu, tapi melaporkan hilangnya Mbak Lea, Mas!” Silvi meralat, sedikit ngegas karena Rendra terlalu sentimen dalam merespons kata-katanya. Mendengar itu, Tian justru tersenyum samar. Dia punya dugaan, tapi dirinya berharap kalau dugaannya itu salah. “Tentu saja saya akan melaporkan kasus ini ke polisi, saya tidak pernah tahu siapa penjahat yang sebenarnya ....” “Kamu menuduh kami ya?” potong Rendra menahan marah. Tian geleng-geleng kepala. “Kenapa ya dari tadi Anda selalu merasa bahwa saya menuduh Anda?” Dia berkomentar. “Istri Anda saja berpikir lebih bijak, kenapa Anda sendiri memperturutkan emosi? Jangan membuat orang lain merasa makin curiga dengan sikap Anda ini.” Tian langsung meninggalkan kantor Rendra dengan perasaan tidak menentu, dia
Cittt!Suara decit mobil terdengar beradu pada halaman parkir ketika Tian menginjak rem, setelah itu dia turun dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah.“Bik Asih! Pak Adi!”Pemilik nama yang pertama kali muncul adalah asih.“Pak Tian! Syukurlah Bapak pulang juga—Bu Lea, Pak!”“Pelan-pelan bicaranya, Bik! Sebenarnya apa yang terjadi sama Bu Lea?”Asih menarik napas dalam-dalam, kemudian menceritakan ulang kejadian yang telah diceritakan Adi kepadanya.“Kalau begitu di mana Pak Adi sekarang?” tanya Tian yang tidak bisa menutupi rasa paniknya membayangkan Leandra bertemu orang jahat dalam keadaan hamil besar seperti itu.“Saya akan panggilkan, Pak!” Asih buru-buru menghilang ke halaman belakang rumah.Ketika Asih kembali bersama Adi, Tian bergegas mengajaknya pergi ke kantor polisi karena dia tidak mungkin menunggu hingga waktu dua kali dua puluh empat jam.Setelah melapor, Tian segera mengabari orang tua Leandra dan juga orang tuanya sendiri.Reaksi mereka tentu saja su
“Pak, saya kok khawatir sama Bu Lea!” Asisten rumah tangga Tian tergopoh-gopoh mendatangi penjaga sekaligus tukang kebun yang sedang bersih-bersih dekat pintu gerbang. “Kenapa, Bik? Saya juga ketemu tadi, Bu Lea bilang mau antar makan siang buat Pak Tian ... padahal kandungannya sudah sebesar itu.” “Coba susul, Pak! Minimal sampai Bu Lea benar-benar dapat taksi!” “Ya sudah, Bik! Saya jadi ikutan khawatir, takut lahiran di jalan ....” “Jangan bercanda, Pak!” “Bibik tenang, jangan bikin saya tambah panik begini!” Tukang kebun bernama Adi itu segera meletakkan sapu dan serokannya, kemudian terburu-buru menyusul Leandra yang sudah lebih dulu pergi. Leandra sedang berdiri di pinggir jalan besar yang terletak di depan gang perumahan untuk menunggu taksi yang lewat. “Kok tumben sepi begini,” batin Leandra dalam hati. “Bisa-bisa Mas Tian telat makan siang.” Leandra memandang arlojinya dengan resah, dia mulai lelah berdiri dan juga sedikit kepanasan. Tidak lama setelah itu, sebuah ta