Share

5 Jangan Menguasai Suami

“Aku nggak bisa,” desis Rendra untuk menimbulkan kesan di depan Leandra bahwa sebenarnya dia tidak menyukai interupsi ini. “Mual-mual itu kan biasa saat hamil ....”

“Kok kamu bilang begitu sama aku sih, Mas?” protes Silvi. “Ini anak juga anak siapa? Anak kamu!”

Rendra memegang keningnya, kenapa semuanya jadi terasa begitu rumit sejak Leandra mengetahui pernikahan keduanya ini?

“Ya aku tahu, tapi sekarang aku nggak bisa!” bisik Rendra, meskipun Leandra masih bisa mendengarnya dengan sangat baik.

“Kamu sengaja pilih istri pertama kamu daripada aku?” protes Silvi dengan nada merengek.

“Memangnya dari awal siapa yang memilih kamu?” tukas Rendra. “Kita juga sudah sepakat kalau aku akan tetap menomorsatukan Lea apa pun yang terjadi, ingat?”

“Tapi, Mas ... aku ini sedang hamil ...” ucap Silvi, nadanya seperti menahan tangis. “Aku juga butuh kamu di samping aku ....”

Rendra menghela napas panjang, dia mengusap rambutnya dengan jemari sebelum akhirnya berkata, “Nanti kita bicara lagi.”

Leandra memalingkan wajah ketika Rendra meletakkan ponselnya kembali di atas meja.

“Kamu kok begitu sama istri kedua kamu?” tanya Leandra dengan mata terarah lurus ke layar ponselnya. “Nanti ibu marah, Mas.”

Mendengar ucapan Leandra, Rendra jadi terpantik amarahnya.

“Kamu sibuk terus sama hape kamu, chit-chat sama siapa?” tanya Rendra dengan nada menyelidik.

“Nggak ada,” jawab Leandra jujur.

“Kita jalan sekarang,” kata Rendra tegas.

“Sebentar, Mas ... kayaknya kapan-kapan saja deh! Nggak apa-apa kan?” sahut Leandra sambil menatap Rendra sekilas, setelah itu dia kembali fokus ke layar ponselnya lagi.

Melihat sikap Leandra begitu, Rendra semakin curiga.

“Lihat hape kamu,” ucap Rendra sambil meraih ponsel milik sang istri.

“Mas, apa sih?” protes Leandra ketika Rendra dengan teliti memeriksa ponselnya tanpa izin. “Aku nggak chit-chat sama siapa pun kok!”

“Lowongan pekerjaan?” gumam Rendra ketika melihat laman web yang tertampil di layar. “Kamu mau kerja?”

Leandra mengangguk terus terang.

“Aku masih sanggup menafkahi kamu,” kata Rendra. “Kamu meragukannya?”

“Iya,” angguk Leandra. “Saat ini mungkin kamu sanggup, tapi gimana kalau anak kamu sudah lahir nantinya? Kebutuhan sehari-hari dia dan ibunya, belum kalau dia masuk sekolah, terus kuliah ....”

“Pikiran kamu kejauhan, Lea!” sergah Rendra sambil mengembalikan ponsel istrinya. “Buat apa kamu berpikir terlalu jauh sampai ke sana?”

“Tentu saja harus!” sahut Leandra sambil berdiri dan menatap Rendra. “Aku memang selalu berpikir jauh ke depan, memangnya kamu yang nggak memikirkan situasi seperti ini ke depannya?”

Kalimat Leandra yang terakhir sukses membungkam bibir Rendra rapat-rapat.

“Aku kan sudah bilang kalau aku terpaksa,” kilah Rendra membela diri setelah terdiam selama beberapa saat.

“Setidaknya kamu bisa bilang sama aku kalau kamu niat,” sahut Leandra. “Nggak butuh sepuluh menit untuk kamu bicara, Mas.”

“Memangnya kamu akan langsung setuju kalau aku bilang mau menikah lagi?” tanya Rendra dengan wajah serius.

Leandra menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Setidaknya kalau kamu bicara, aku akan punya kesempatan untuk minta pisah sama kamu.”

Rendra tertegun, dia berusaha meraih tangan Leandra.

Namun, sang istri sengaja menghindar.

“Buat apa kamu jebak aku dalam pernikahan poligami ini, Mas?” tanya Leandra dengan hati teriris-iris. “Kamu nggak mikir apa, gimana perasaan aku sebagai istri?”

Rendra mengusap wajahnya dengan gusar, dia pikir sikap Leandra yang tetap kalem adalah pertanda baik jika dia bisa menerima pernikahan keduanya dengan Silvi.

Namun, ternyata Leandra hanya menunda waktu untuk menyembur Rendra dengan kemarahan dan rasa kecewa.

“Aku tahu aku salah, tapi aku janji kalau aku tetap menomorsatukan kamu.” Rendra menegaskan. “Soal nafkah, aku juga nggak akan pilih kasih. Jadi kamu nggak perlu cari kerja, aku masih sanggup.”

Leandra diam, meski di hatinya masih bercokol rasa amarah yang belum tersalurkan dengan sempurna.

“Kita akan tetap pergi,” kata Rendra tegas. “Ambil tas kamu, kita ke bioskop.”

Leandra menurut, dia hanya mengganti celana dan mengenakan kardigan untuk menutupi lengan.

“Kalian berdua mau ke mana?” tanya Widi ketika Leandra menuruni tangga bersama Rendra.

“Nonton film,” jawab Rendra lugas.

“Lho, ini kan akhir pekan.” Widi mengingatkan, dan firasat Leandra langsung terasa tidak enak.

“Justru karena ini akhir pekan, makanya aku ajak Lea nonton bioskop.” Rendra memperjelas. “Hari-hari biasanya kan aku sibuk di kantor ....”

“Terus waktu kamu untuk Silvi kapan, Ren?” tanya Widi dengan kening berkerut. “Dia juga butuh perhatian dari kamu, dia kan sedang hamil.”

Leandra memilih diam, karena dia ingin mendengar seperti apa jawaban Rendra kepada ibu kandungnya.

“Minggu depan lah, Bu.” Rendra menyahut.

“Tidak bisa begitu,” tolak Widi dengan nada keberatan. “Lima hari kamu sama Lea terus, akhir pekan jadwalnya kamu sama Silvi—itu sudah pas! Sana, kamu ke rumah istri kamu sekarang ....”

“Bu, aku sudah janji sama Lea untuk nonton film sama dia.” Rendra memberi pengertian.

Widi refleks menoleh ke arah menantu pertamanya.

“Kamu tidak bisa seperti ini, Lea. Jangan menguasai suami demi kepentingan kamu sendiri,” tegur Widi terang-terangan. “Kamu tahu kan sekarang kalau Rendra juga punya istri yang sedang hamil muda?”

“Bu!” Rendra balas menegur.

“Siapa yang menguasai suami, Bu?” tanya Leandra keberatan. “Mas Rendra sendiri yang maksa aku untuk pergi jalan-jalan, aku tadi sudah nolak ....”

“Nah, ya sudah!” potong Widi, dia menoleh kepada Rendra. “Ini giliran kamu ke rumah Silvi, sudah sana.”

Rendra sejenak mematung, dan Leandra menantikan saat-saat di mana suaminya itu akan memilih.

Apakah benar dirinya akan diprioritaskan?

“Lea, maaf!” ucap Rendra akhirnya. “Kita perginya lain kali saja, ya?”

Widi seketika menerbitkan senyum di sudut bibirnya, sementara Leandra harus banyak-banyak memompa kesabaran.

“Aku izin mau keluar sebentar,” pamit Leandra.

“Sekalian saja aku antar,” kata Rendra menawari.

Melihat Widi memasang ekspresi tak setuju di wajahnya, Leandra memilih untuk pergi menggunakan motor sendiri.

Di bawah tatapan tajam ibunya, Rendra sendiri tidak bisa berbuat banyak ketika Leandra mengambil kunci motor dan pergi lebih dulu dari hadapannya.

Jadilah siang itu Leandra mengarungi jalanan tanpa tujuan, karena memang dia tidak memiliki rencana untuk bepergian. Dirinya hanya tidak tahan jika berada di rumah seharian dan membayangkan Rendra yang akan menemui istri keduanya.

Hati wanita mana yang tidak rapuh saat mengetahui kalau suaminya sudah menikah lagi diam-diam?

Kalau memang dia sudah dianggap tidak bisa menjadi istri yang sempurna, kenapa Rendra tidak mengembalikannya baik-baik ke rumah orang tuanya?

Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang berdesakan di kepala Leandra hingga membuatnya nyaris lupa kalau dia sedang mengemudi di jalan raya.

Leandra berusaha fokus dan mengendarai motor matic-nya dengan air mata berderai. Dia asal melaju dengan perasaan yang kacau, tidak memperhatikan arah jalan, rambu lalu lintas, hingga dia berbelok dan terlambat sadar ketika ada mobil putih bersih yang muncul di hadapannya ....

Brakk!

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status