Share

7 Setega Itu Membagi Benihnya

“Kamu masih marah sama aku?” tanya Rendra sambil menatap Leandra.

“Entahlah, Mas ... Menurutku itu pertanyaan yang nggak membutuhkan jawaban,” ucap Leandra, dengan sengaja memutus kontak matanya dengan Rendra.

“Lea, justru aku sedang berusaha memperbaiki hubungan kita.” Rendra berjongkok di depan Leandra dan menatapnya sungguh-sungguh. “Aku mengerti kalau kamu masih merasa berat menerima semua ini, tapi aku percaya kalau kamu adalah istri yang bijak.”

Leandra masih menolak memandang Rendra, sekalipun sang suami berusaha meluluhkan hatinya dengan menggenggam tangannya erat.

Bagi Leandra, sentuhan sekecil apa pun dari Rendra kini tak lagi membuatnya bergelora seperti dulu.

Yang ada justru perasaan muak setiap kali dia mengingat kalau suaminya sudah setega itu membagi benihnya dengan wanita lain.

“Kita ke sana yuk, nonton tivi.” Rendra berdiri kemudian membimbing Leandra menuju tempat tidur mereka.

Masih dengan bibir terkunci, Leandra membaringkan diri di samping Rendra tanpa hasrat sedikitpun. Dia bahkan sampai terperanjat ketika tiba-tiba lengan Rendra memeluknya erat tanpa izin.

“Kamu kenapa sih?” tanya Rendra dengan wajah tanpa dosa. “Aku ini suami kamu, kenapa kamu sekaget itu?”

Leandra cepat-cepat menarik lengan Rendra dan mendorongnya menjauh dengan wajah risi.

“Jangan nempel-nempel dulu, Mas ... Aku gerah!” jawab Leandra beralasan.

Tentu saja Rendra tidak percaya, kamar mereka saat itu terasa sejuk karena AC yang sudah dinyalakan sejak beberapa saat lalu.

“Gerah ya? Kalau begitu buka saja bajunya,” kata Rendra, jemarinya dengan lincah melucuti kancing piyama Leandra.

“Mas, jangan!” Usaha Rendra sontak mendapatkan perlawanan dari istrinya yang merasa tidak nyaman.

“Kamu ini nggak peka? Harus ya aku bilang terus terang kalau aku menginginkan hak aku?” tukas Rendra, jemarinya tetap memaksa mengoyak kancing itu satu demi satu meskipun Leandra sedang tidak ingin melayaninya.

“Jangan sekarang, Mas ... aku nggak mau!” Leandra berontak, mendadak dia merasa jijik dengan suaminya sendiri.

“Kamu tahu dosa?” Rendra yang berang segera mengimpit Leandra. “Itu yang akan kamu dapatkan kalau kamu menolak melayani suami kamu!”

Leandra terpaku dan tidak lagi meronta.

“Kamu masih istri aku yang sah, Lea. Itu artinya aku berhak minta pelayanan kamu kapan pun aku mau,” kata Rendra mengingatkan. “Ngerti kamu?”

Leandra mengerjabkan matanya yang mulai terasa basah.

“Iya, Mas ....” Dia rasakan perlawanannya luruh seketika karena tuntutan kewajiban seorang istri yang masih berada di atas pundaknya.

Rendra tersenyum puas setelah berhasil membuat Leandra menurut kepadanya. Sebagai suami, dia tentu tidak terima jika sang istri memiliki keberanian untuk menolak permintaannya.

Selama kegiatan suami istri itu berlangsung, Leandra sama sekali tidak menikmatinya. Dia menyerahkan tubuhnya kepada Rendra, tapi jiwanya mengembara entah ke mana.

Rasa cinta yang dulunya pernah membara, kini nyaris tak lagi ada.

***

Esok paginya, Leandra terbangun dan mendapati Rendra tertelungkup di sampingnya dengan punggung yang tidak tertutupi selimut.

Betapa pun kini dia mulai merasa tersiksa, Rendra tetaplah suaminya yang sah.

Dengan perasaan yang kacau balau, Leandra turun dari tempat tidur dan menyeret kedua kakinya ke kamar mandi.

“Bagaimana, apa Lea masih marah soal pernikahan kedua kamu?” tanya Widi ingin tahu ketika mendapati Rendra sarapan bersama ayahnya, tetapi tanpa kehadiran Leandra.

“Apa yang kalian lakukan kepada Lea sangat keterlaluan,” Irawan menyela.

Widi membuang muka.

“Aku masih bisa mengatasi Lea,” jawab Rendra seraya mengiris telurnya.

“Itulah kenapa ibu sarankan kamu untuk memilih wanita yang siap hamil,” timpal Widi dengan suara keras. “Supaya kita tidak menunggu terlalu lama seperti ini—tapi ya sudahlah, Silvi juga sudah hamil.”

Rendra dan Irawan saling pandang, tapi enggan menanggapi ucapan Widi.

Akhir pekan kembali tiba, Leandra meminta izin Rendra untuk pergi menginap di rumah Ivana selama dua hari.

“Kok tumben?” tanya Rendra mengernyit. “Biasanya kamu juga di rumah ....”

“Dan menunggu kamu yang sibuk bersenang-senang sama istri kedua kamu?” tanya Leandra menyindir.

Rendra menarik napas dan menyahut, “Aku akan izinkan kamu dengan syarat.”

Leandra memandang suaminya datar.

“Kamu nggak boleh cerita sama Tante Ivana kalau aku menikah lagi,” sambung Rendra. “Kalau kamu sampai cerita dan aku dihujat tante kamu, aku nggak akan pernah kasih izin kamu untuk keluar rumah lagi.”

Kali ini giliran Leandra yang menarik napas.

“Kalau begitu kamu bisa ceraikan aku, Mas,” katanya dengan hati nyeri seperti tertusuk ribuan jarum. “Kamu bisa fokus sama dia dan aku akan fokus sama hidupku sendiri.”

Rendra terenyak.

“Kita nggak akan bercerai, Lea. Aku cinta sama kamu,” tegasnya sambil menatap Leandra.

“Ya terserah, pokoknya aku mau menginap di rumah tante aku selama kamu bermalam sama dia.” Leandra ngotot. “Aku nggak akan cerita apa pun soal pernikahan kedua kamu, jujur aku malah malu.”

Enggan bertengkar lebih jauh, Rendra akhirnya memberikan izin kepada Leandra.

“Tapi aku nggak bisa antar kamu,” kata Rendra memberi tahu. “Perut Silvi kram ....”

“Aku bisa pergi pakai motor,” potong Leandra, yang sangat benci kalau Rendra sudah menyebut nama terlarang itu saat mereka sedang berdua saja seperti ini.

Cepat-cepat dia menyiapkan dua setel pakaian bersih dan memasukkan-kemasukan ke dalam tas, setelah itu ditinggalkannya rumah orang tua Rendra dengan hati remuk redam.

Ivana menyambut kedatangan Leandra dengan hangat.

“Kok sendirian? Rendra mana?” tanya Ivana sambil membimbing keponakannya untuk masuk ke dalam rumah.

“Biasa, sibuk.” Leandra menyahut sekenanya. “Aku mau menginap di sini, Tante. Boleh kan?”

Ivana mengangguk tanpa banyak pertanyaan dan segera meminta Leandra untuk istirahat di kamarnya.

Pagi itu Leandra memandang alat tes kehamilan yang baru saja dia gunakan, jantungnya berdebar ketika dia menyipitkan mata dan harus puas menyaksikan garis satu muncul dengan sangat jelas di alat itu.

“Jangan lupa minum ramuan kamu dulu, Lea.”

Ivana mengingatkan ketika Leandra muncul di dapur sedikit terlambat. Sudah ada teh dan sepiring kue di meja makan.

“Iya, Tante.”

“Bagaimana, sudah ada hasilnya belum?” tanya Ivana seraya melirik Leandra yang baru saja duduk.

“Hasil ...?” Leandra mengernyit.

“Tentu saja, hasil.” Ivana mengangguk, membuat Leandra tertegun sejenak.

“Masih garis satu, Tante.” Leandra memberi tahu. “Negatif—bukankah ramuan itu seharusnya ada hasil?”

“Tapi harus sabar,” sahut Ivana realistis. “Fisik setiap wanita itu berbeda.”

Leandra mengangguk, kemudian memutuskan untuk meminum ramuannya terlebih dahulu yang sudah disiapkan Ivana dalam cangkir yang terpisah.

“Tante mau bersih-bersih rumah dulu,” kata Ivana setelah mereka selesai sarapan. “Kamu santai saja di sini.”

“Oke, Tante.” Leandra tersenyum, meskipun sedikit dipaksakan.

Di kamar Ivana, Leandra termenung sambil menatap ke layar ponsel yang menampilkan foto pernikahannya dengan Rendra. Satu setengah tahun menikah dengan Rendra tidak bisa dibilang kalau dirinya tidak bahagia.

Rendra sebetulnya sangat bertanggung jawab sebagai seorang suami. Dia mampu mencukupi semua kebutuhan Leandra, baik itu nafkah bulanan maupun nafkah batin.

Sayangnya kesempurnaan itu harus dicoreng dengan sebuah pengkhianatan yang sangat sulit untuk Leandra maafkan.

Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status